Kenapa Produk Turunan Kelapa Sawit Kita Mandeg?

 ( Dr. Ir. Radian, MS. )

Dosen Fakultas Pertanian Universitas Tanjung Pura

 

Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan penting di dunia yang dapat menghasilkan berbagai produk industri makanan, kimia, kosmetik, bahan dasar industri berat dan ringan, biodiesel, dan lain-lain. Tanaman sawit yang diduga berasal dari Afrika didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli Sumatera Utara pada tahun 1870-an. Berkembangnya perkebunan  sawit di dunia bersamaan meningkatnya permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19.

Di Indonesia pengembangan perkebunan sawit dimulai  di pulau Sumatera yaitu di Deli dan Aceh, bahkan di zaman pendudukan Hindia Belanda sekitar pada 1940 pernah menjadi daerah pemasok utama minyak sawit dunia. Akan tetapi pada masa pendudukan Jepang terjadi berbagai kekacauan yang menyebabkan terbengkalainya pemeliharan kebun sawit dan akhirnya produksi sawit mengalami penurunan yang drastis. Pada saat yang sama di Malaya (Malaysia) perkebunan sawit sudah berkembang dengan baik sehingga pemasok utama minyak sawit dunia diambil alih oleh Malaysia

Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati yang dapat diandalkan karena minyak yang dihasilkan memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan oleh tanaman lain. Salah satu keunggulannya adalah memiliki kadar kolesterol rendah, bahkan tanpa kolesterol. Minyak kelapa sawit mengandung kadar kolesterol yang rendah, yaitu sekitar 3 mg/kg. Sementara, lemak hewani mengandung kadar kolesterol lebih tinggi, 50-100 kali dari minyak kelapa sawit.

Pengolahan kelapa sawit pada dasarnya merupakan suatu proses pengolahan terhadap tandan buah segar (TBS) menjadi minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit (KPO). Minyak nabati yang dihasilkan dari pengolahan buah kelapa sawit berupa minyak sawit mentah (CPO) yang berwarna kuning dan minyak inti sawit (PKO) yang tidak berwarna (jernih). CPO atau PKO banyak digunakan sebagai bahan industri pangan (minyak goreng dan margarin), industry sabun (bahan penghasil busa), industri baja (bahan pelumas), industri tekstil, kosmetik, dan sebagai bahan bakar alternatif (biodisel). Pada dasarnya, CPO dapat diolah menjadi tiga macam bahan kimia, yaitu methyl ester, asam lemak (fatty acid), dan gliserin (glycerine).

Bangkitnya kembali perkebunan sawit di Indonesia dimulai sejak era 1970-an dengan luas  250 ribu hektar, dan pada tahun 2008 telah meningkat menjadi 7,0 juta hektar, tahun 2009 meningkat menjadi 7,3 juta hektar dan pada tahun 2010 luas kebun sawit di Indonesia sudah mencapai 7,9 juta hektar dan menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Menurut data Ditjen Perkebunan, areal perkebunan kelapa sawit tersebar di 17 provinsi meliputi wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Meningkatnya luas perkebunan sawit juga diikuti dengan naiknya produksi CPO, dimana pada tahun 2008 produksinya 19,2 juta ton, pada tahun 2009 produksinya 19,4 juta ton, dan menurut Oil World tahun 2010 produksi CPO Indonesia sebesar 21,8 juta ton, tumbuh sebesar 3,8 persen, sedangkan produksi CPO Malaysia di 2010 mengalami penurunan sebesar 3,3 persen, yaitu dari 17,6 juta ton di 2009 menjadi 17 juta ton. Pada tahun 2011 ini menurut Kementerian Pertanian  Indonesia dapat memproduksi CPO mencapai 22-23 juta ton.

Secara internasional kebangkitan Indonesia sebagai produsen utama dunia cukup lama pulihnya, sejak pendudukan Jepang, maka baru pada tahun 2006 Indonesia sebagai negara produsen kelapa sawit nomor satu di dunia. dimana memberikan kontribusi sebanyak 47 persen dari produksi minyak kelapa sawit yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit di seluruh dunia. Di dalam negeri, industri kelapa sawit nasional berkontribusi sebesar 10% terhadap pendapatan pemerintah dari sektor non migas, dan sebagai menyerap tenaga kerja. Namun sayangnya industri pengolahan produk turunan CPO Indonesia belum berkembang dengan baik, dimana Indonesia masih tetap mengandalkan ekspor minyak sawit mentah ke pasar dunia dan mengandalkan penjualan Tandan Buah Segar (TBS) yang nilainya relatif kecil dibandingkan nilai tambah penjualan produk turunan CPO.

Di sektor produksi CPO sekarang Indonesia adalah rajanya, akan tetapi  Indonesia masih belum mampu mengalahkan Malaysia dalam jumlah ekspor hasil industri turunan produk kelapa sawit tersebut. Pada 2010, dari total produksi sekitar 15,6 juta ton CPO, Indonesia hanya mengekspor sekitar 6,8 juta ton produk turunan. Sementara sisanya, sebesar 8,8 juta ton diekspor dalam bentuk minyak mentah. Produk derivatif CPO diperkirakan tak kurang dari 150 produk turunan baik pangan maupun nonpangan, tetapi industri di Indonesia relatif masih berjalan lambat. Indonesia hanya mampu memproduksi 23 jenis produk turunan CPO.

Perkembangan industri turunan CPO di Indonesia relatif masih berjalan lambat, dimana baru dapat menghasilkan 23 jenis produk. Turunan produk CPO pada industri pangan berupa : minyak goreng, margarin, shortening, CBS, vegetable ghee dan industri non pangan. Sedangkan turunan produk CPO pada industri oleokimia, berupa fatty acids, fatty alcohol dan glycerin, serta biodiesel. Menurut Hasan (2011) sebenarnya industri turunan CPO di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir perkembangan produk turunan CPO di Indonesia semakin membaik, tetapi tidak secepat yang diharapkan, hal inilah kalau tidak dilakukan tindakan yang cepat dan tepat maka Indonesia akan selalu dibawah Malasyia.

Perbandingan ekspor CPO Indonesia dengan produk turunannya masih sekitar 60:40, dimana nilai ekspor CPO dan produk turunan sawit Indonesia mencapai US$ 16,4 miliar, naik 50% lebih dari 2009 yang berjumlah US$ 10 miliar. Namun apabila dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, Indonesia masih jauh ketinggalan. Ekspor CPO dan produk olahan CPO Malaysia 20 persen berbanding 80 persen. Artinya, Malaysia mengekspor CPO lebih didominasi pada produk turunan dari CPO yang memiliki nilai tambah yang lebih besar daripada CPO.

Selama ini, CPO yang berasal dari Indonesia mengalir ke negara Malaysia yang dijual oleh perusahaan perkebunan yang tidak memiliki industri pengolahan ke bagian lebih hilir lagi. Di Malaysia, CPO Indonesia diolah lebih ke hilir dan nilai tambahnya yang cukup besar dinikmati langsung oleh negara serumpun itu. Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Minyak Nabati Indonesia(Gimni) Sahat Sinaga mengatakan, dari total produksi sawit dalam negeri 20,2 juta ton, 14 juta ton di antaranya diekspor dalam bentuk CPO. Akibatnya yang menikmati nilai tambahnya adalah negara-negara pengimpor seperti India, Tiongkok, dan Malaysia. Upaya agar Indonesia dapat mendominasi industri downstream harus terus diupayakan secara serius mengingat pertambahan nilainya cukup besar kalau diolah lebih lanjut, pertambahan nilainya bisa berkisar antara 90 -100 %, bahkan menurut Hadisetyana,  industri manufaktur hilir berbasis kelapa sawit diyakini mampu meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut hingga mencapai 12 kali lipat. Menurut Kementerian Perindustrian, industri manufaktur fatty alcohol memberikan nilai tambah hingga 400 %, fatty acid sampai 300 %, margarin hingga 180 % dan yang tertinggi produksi kosmetik yang mampu meningkatkan nilai produksi hingga 1.200 % dari harga minyak sawit mentah.

Para pengusaha tahu bahwa nilai jual produk turunan CPO ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai jual CPO itu sendiri. Namun, karena infrastruktur sarana dan prasarana yang tidak memadai serta birokrasi yang dianggap belum efisien di Indonesia membuat investor kurang berminat untuk menanamkan modalnya pada industri hilir. Selain itu, para pengusaha CPO menganggap bahwa perdagangan CPO masih prospektif, aman dan nyaman. Para pengusaha CPO menganggap  pemrosesan minyak sawit menjadi CPO tergolong cukup sederhana namun keuntungan yang didapatkan dari penjualan CPO sangat tinggi seiring dengan melonjaknya harga minyak dunia.

Industri hilir minyak kelapa sawit dinilai tidak cepat berkembang akibat belum optimalnya insentif dan keberpihakan pemerintah. Kebijakan dan peraturan daerah yang kurang tepat juga menyebabkan investasi di sektor hilir juga menurun. Beragamnya regulasi di masing-masing daerah akibat otonomi juga dapat menghambat berkembangnya industri hilir tersebut. Para pengusaha dan investor merasa kurang nyaman dalam menghadapi aturan yang dikeluarkan birokrasi, mulai dari perizinan, tata ruang yang tidak jelas, perda yang sering berubah seiring pergantian pejabat.

Kondisi tersebut berbeda dengan iklim usaha dan investasi di Malaysia, industri kelapa sawit di negara tersebut dapat berkembang dengan baik karena adanya sistem pengelolaan industri kelapa sawit yang ditata dengan baik. Jika dibandingkan Indonesia, industri kelapa sawit Malaysia secara umum memiliki keunggulan pada bidang pengembangan pasar, pengembangan teknologi pengolahan produk turunan CPO dan pengembangan teknologi produksi kelapa sawit.

Pembangunan industri turunan (‘downstream’) minyak sawit mentah membutuhkan insentif dan dukungan dari pemerintah, agar para produsen CPO dan investor lainnya bergairah untuk membangun industri hilir tersebut di Indonesia. Oleh karena itu hendaknya pemerintah Indonesia dapat membuat berbagai kebijakan yang mendukung berkembangan industri CPO Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebijakan tersebut hendaknya mencakup berbagai kebijakan seperti : perbaikan infrastruktur, pengembangan pasar, standarisasi mutu, perpajakan, bunga bank, kluster industri dan riset.

Pembangunan infrastruktur yang memadai merupakan prasyarat untuk mencapai kesuksesan program hilirisasi industri sawit tersebut seperti pasokan energi , penyediaan air bersih, sistem transportasi jalan, jembatan dan pelabuhan. Banyak laporan yang menyatakan para investor batal membangun industri hilir pada suatu daerah karena lemahnya infrastruktur. Pembangunan infrastruktur ini mempunyai multiplayer effect pada berbagai industri yang mendorong perbaikan ekonomi masyarakat.

Pengembangan pasar merupakan hal yang penting dilakukan tidak hanya mencari terobosan di pasar luar negeri, akan tetapi peluang pasar dalam negri juga patut mendapat perhatian. Potensi pasar di Indonesia cukup besar. Dari 500 juta orang penduduk di ASEAN, hampir 50 persennya adalah penduduk Indonesia. Kalau kita (industri di dalam negeri) tidak segera mengambil pasar itu, (industri) negara lain akan memanfaatkan potensi yang besar tersebut. Keunggulan pemerintah Malaysia dalam mengembangkan pasar produk kelapa sawit dapat dilihat dari keberhasilan industri kelapa sawit Malaysia tahun 2008 dalam menerobos pasar minyak dan lemak nabati ke 155 negara tujuan ekspor di seluruh dunia dengan 105 macam produk turunan minyak sawit ke berbagai segmen pasar.

Disamping upaya pengembangan pasar yang efesien, hal-hal yang berkenaan dengan tuntutan standar mutu, spesifikasi produk, nilai gizi komposisi kimia produk, kemasan produk, pelayanan informasi serta ketepatan pengiriman, diolah dengan menggunakan teknologi modern agar tuntutan konsumen terpenuhi. Arah pengembangan teknologi industri pengolahan kelapa sawit Malaysia adalah mengupayakan agar minyak sawit dan produk turunannya menjadi produk komersial penuh untuk memenuhi permintaan pasar.

Di bidang perpajakan, pemerintah perlu memberikan insentif bagi investor pengembang industri hilir sawit, misalnya melalui keringanan pajak pagi industri hilir. Disamping itu kebijakan menaikkan pajak ekspor bahan baku seperti CPO dapat mendorong pertumbuhan industri hilir dilandasi pemikiran bahwa kenaikan pajak ekspor CPO akan lebih menjamin ketersediaan bahan baku dengan harga yang lebih rendah.  Kenaikan pajak ekspor bijaksana diharapkan akan menghambat ekspor sehingga ketersediaan bahan baku di dalam negeri akan meningkat dengan harga yang lebih murah. Disamping menaikkan pajak ekspor kebijakan mengurangi tarif impor untuk peralatan/mesin untuk industri hilir dan bahan penolong juga harus dilakukan, mengingat tarif yang relatif tinggi yang diindikasikan oleh koefisien proteksi input nominal (nominal protection coefficient on tradable inputs) yang tinggi.  Perkembangan terbaru dengan keluarnya kebijakan pemerintah mengenai PMK  No. 128/PMK.011/2011, tertanggal 15 Agustus 2011, membuat  ketentuan bahwa BK CPO dan produk turunannya dibedakan antara 6%-7%. Hal ini dapat diartikan bahwa  bea keluar produk turunan CPO lebih rendah antara 6%-7% dibandingkan dengan CPO, sehingga diharapkan industri hilir CPO akan tumbuh dan berkembang di Indonesia. Kita berharap semoga saja dengan adanya PMK baru ini akan memacu pengusaha mengolah CPO menjadi produk hilir karena akan memberikan keuntungan yang lebih besar. Aturan baru ini juga bakal menjadi lebih menarik karena pemerintah juga sudah mengeluarkan insentif berupa pengurangan perpajakan kalau industri dibangun di luar Jawa

Insentif bunga yang rendah bagi pengembangan industri hilir dapat memberikan dorongan bagi pengusaha untuk membangun industri hilir yang padat modal. Seperti di Malaysia, bunga yang rendah dan kebijakan fiskal yang kondusif dari pemerintah, akhirnya Malaysia menjadi raja produk sawit maupun produk turunannya. Mereka membangun pabrik minyak goreng atau pengolahan sawit tidak dengan pipa biasa, tetapi galvanis. Hasilnya, ada nilai tambah pada harga tiga sampai lima kali lipat dari CPO. Kini Malaysia, tak hanya memiliki pabrik yang banyak di industri manufaktur pengolahan turunan CPO, tetapi kebun yang luas. Kini produksinya mampu mencapai 12 juta ton per tahun.

Guna mendukung pengembangan industri turunan CPO, peranan Research dan Development cukup strategis. Lembaga ini harus mampu menemukan berbagai inovasi untuk pengembangan produk turunan. Untuk memperkuat dana Research dan Development pemerintah sebaiknya mengembalikan sebagian dana dari bea keluar CPO untuk mendukung riset, terutama untuk menemukan teknologi yang efisien dan industri turunan dan penemuan derivate baru dari turunan CPO. Insentif ini juga diberikan pada produsen CPO yang melakukan research and development untuk mempercepat pembangunan industri hilir sawit.

Pengembangan klaster industri hilir CPO sangat penting untuk memperkuat rantai industrinya karena industri hilir CPO di dalam negeri masih rapuh, sedangkan negara pesaing kita seperti Malaysia sudah beberapa langkah lebih maju. Manfaat yang diperoleh dari pendekatan klaster industri adalah timbulnya inovasi. Sifat kolektivitas dalam klaster juga dapat mempermudah eksperimentasi dengan ketersediaan sumber daya lokal. Sekelompok industri inti dalam klaster ini harus terkonsentrasi secara regional maupun global dan saling berhubungan atau berinteraksi sosial secara dinamis, baik dengan industri terkait,industri pendukung maupun jasa penunjang, infrastruktur ekonomi dan lembaga terkait dalam meningkatkan efisiensi, menciptakan aset secara kolektif dan mendorong terciptanya inovasi sehingga tercipta keunggulan kompetitif.

Kebijakan untuk mendorong percepatan industri turunan CPO tentu memerlukan komitmen yang kuat dari semua pihak. Lahan yang tersedia untuk perkebunan sawit,iklim yang sangat mendukung, produktivitas hasil yang tinggi, dan kualitas hasil yang baik merupakan modal yang sangat kuat dalam membangun industri turunan CPO yang kuat dengan dukungan bahan mentah yang cukup. ***

 

 

About Inspirasi

Tabloid Inspirasi adalah tabloid dwimingguan yang berisi artikel dan opini dari para inteletual Indonesia yang ditujukan untuk membantu meningkatkan kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam mendukung good governance. Selain itu, Inspirasi juga menerbitkan biografi para tokoh yang memiliki karya besar dalam bidangnya.

Posted on 5 Desember 2011, in Opini. Bookmark the permalink. 1 Komentar.

  1. Saya berharap banyak agar pemerintah dan pemerintah daerah serta pelaku usaha dapat bersama-sama untuk meningkatkan produk minyak kelapa sawit dan turunannya sehingga dapat menembus pasar dunia dan akan menjadikan masyarakat kita lebih sejahtera, Amin.

Tinggalkan komentar