PEMERATAAN KESEJAHTERAAN: SEBUAH MIMPI INDONESIA

Oleh: Arlian Buana Chrissandi

Mahasiswa Hubungan Internasional, FISIP UIN Jakarta. Aktivis PMII Ciputat.

Saat ini menjabat Menteri Kenegaraan BEM UIN Jakarta

 Indonesia, sebagai sebuah entitas kebangsaan dan negara adalah proyek besar sejarah yang dinamis. Proyek ini tak kan pernah selesai, akan tetapi semua mimpi besarnya harus terus-menerus diwujudkan di setiap masa. Setiap hal yang diamanatkan secara gamblang dalam undang-undang, seharusnya terealisasi dengan terang.

Kenyataan memang tidak selalu semanis harapan. Cita-cita kemerdekaan Indonesia tertulis dengan tinta emas di atas kertas, tidak mudah diterjemahkan di lapangan. Hampir setiap hari, koran-koran mengangkat potret buramnya. Taufik Ismail mengekspresikannya dengan puisi “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”, dan masing-masing kita mungkin punya concern berbeda mengenai negeri ini. Akan tetapi, seringkali muara  keprihatinan kita sama: soal ekonomi , masalah kesejahteraan, dan perihal kemiskinan.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, boleh dibilang perut bangsa ini selalu terisi. Meskipun kebebasan masyarakat dikekang. Pada masa itu pulalah, sentralisasi pembangunan dilakukan. Kekayaan dan kemakmuran ditumpuk di Jakarta atau Jawa saja. Sementara daerah-daerah lain dan pulau-pulau terluar Indonesia  hanya bisa gigit jari melihat dari jauh, Jakarta yang mewah dan wah. Jakarta pun kemudian menjadi magnet yang mengundang ledakan penduduk yang tergiur ‘kue’ yang ditumpuk disana. Konon, setelah ‘kue’ itu besar dan cukup, akan dibagi-bagi ke seluruh penjuru negeri. Namun hingga ini, belum juga dibagi.

Semangat reformasi kemudian membawa perubahan bangunan politik negara. Indonesia bebas dari otoritarianisme. Kebebasan tak lagi dikekang, media tak bisa lagi dibredel, civil society tidak dapat dikooptasi lagi dan sejumlah paket demokratisasi mengantarkan Indonesia ke depan pintu gerbang demokrasi sejati. Namun, dibalik reformasi politik tersebut, belum juga terasa reformasi ekonomi. Kesejahteraan umum masih jauh panggang dari api, kesejahteraan masih hak privat beberapa golongan, kemiskinan yang lebih sering dibicarakan sebagai data dan statistik untuk kepentingan politik. Pemerataan pembangunan masih menjadi dongeng. Kue besar untuk dibagi tidak pernah ada, yang banyak adalah mereka yang tambah serakah.

 Daerah tertinggal

Sekitar 199 kabupaten masuk dalam klasifikasi daerah tertinggal.  Jumlah yang fantastis dari total 376 kabupaten di Indonesia. Lebih dari setengahnya. Sementara desa-desa yang mengalami ketertinggalan berjumlah 32.000 dari  total 72.000 desa yang ada di Indonesia (kemenegpdt.org). Keadaan ini menyiratkan bahwa pembangunan ekonomi selama ini belum mampu menciptakan pemerataan bagi banyak daerah, terutama yang berada di pedalaman atau di batas terluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sangat timpang. Masalah ketimpangan yang pada gilirannya akan membawa kepada ketertinggalan dalam hal pembangunan.

Maraknya ketimpangan, baik itu ketimpangan pendapatan, pendidikan, maupun ketimpangan kualitas institusi birokrasi di negara ini akan mendorong proses ketertinggalan yang semakin akut. Salah satu hasil studi William Easterly (2006) mengungkapkan bahwa tingkat ketimpangan (inequality) yang tinggi merupakan penghambat kemakmuran, tumbuhnya institusi yang berkualitas, dan berkembangnya pendidikan yang bermutu tinggi.

Perlu ditegaskan di sini, ketimpangan berkaitan dengan distribusi hasil (outcomes) seperti pendapatan, kemakmuran, konsumsi, dan dimensi-dimensi lain dari apa yang disebut sebagai kesejahteraan (well being). Konsep inequality tersebut harus dibedakan dengan konsep keadilan (equity) yang merujuk pada distribusi kesempatan (opportunities) yang mencakup aspek-aspek ekonomi, politik, dan sosial.

Dalam World Development Report 2006, World Bank (2006) berargumentasi bahwa ketimpangan dalam kesempatan dan akses ekonomi berpengaruh terhadap pembangunan ekonomi. Dilihat dari akar penyebabnya, ketimpangan bisa dibagi dua. Pertama, ketimpangan struktural (structural inequality) yang disebabkan oleh peristiwa-peristiwa bersejarah seperti penaklukan, kolonisasi, perbudakan, dan distribusi tanah oleh negara atau kekuatan kolonial. Situasi ini menciptakan elite-elite yang lahir dengan kebijakan mekanisme non-pasar (non-market mechanism). Kedua, ketimpangan yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan pasar karena kesuksesan dalam pasar bebas (free market) selalu tak sama antarindividu, kota, wilayah, perusahaan, dan industri.

Berkenaan dengan konsep equity di atas, situasi ketertinggalan daerah sangat identik dengan kondisi kemiskinan dan kesenjangan. Kemiskinan yang bersumber dari faktor nonpendapatan sebetulnya jauh lebih memprihatinkan ketimbang  faktor pendapatan. Artinya, daerah tertinggal di Indonesia sebetulnya tidak hanya direfleksikan pada sisi indikator sosial ekonomi yang relatif lemah, namun yang jauh lebih penting adalah aspek aksesibilitas masyarakat terhadap layanan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar seperti jalan, air bersih, dan energi yang sangat terbatas.

Membuka aksesibilitas wilayah sangat terkait erat dengan perlunya pembangunan infrastruktur. Bila selama ini telah terjadi kesenjangan pembangunan, maka paradigma pembangunan baru harus dikembangkan demi mewujudkan mewujudkan keseimbangan pembangunan. Sehingga bukan hanya kota dan daerah yang sudah maju yang terus dibangun, sementara daerah dan desa tertinggal terus menerus dibiarkan.

Untungnya, negara ini memiliki kementerian yang bertugas untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal yakni Kementerian Negara Percepatan Daerah Tertiggal (KPDT). Tugas kementerian ini memiliki peran yang strategis dalam mengentaskan daerah-daerah di Indonesia baik di kawasan barat maupun timur dan kawasan terluar yang masih banyak tertinggal dibanding daerah lain

Meskipun, hingga saat ini masalah daerah tertinggal masih diatasi secara parsial, tidak fokus, berorientasi proyek, dan kurang koordinasi. Langkah acak dalam pembangunan daerah tertinggal di wilayah perbatasan perlu segera disudahi. Paling tidak ada dua paradigma yang perlu diperhatikan oleh pemerintah atau KPDT.

Pertama, paradigma pembangunan daerah perbatasan yang terintegrasi perlu menjadi titik perhatian semua pihak. Terlebih daerah tertinggal di wilayah perbatasan memiliki implikasi yang besar tidak hanya terhadap kedaulatan negara, tetapi juga harga diri bangsa. Keluarnya Undang-Undang No 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara diharapkan mampu menjadi payung atas segala program pemerintah di wilayah perbatasan.

Dan kedua, paradigma membangun daerah tertinggal dengan menjadikan masyarakat daerah tertinggal sebagai subjek dan bukanlah objek dari pembangunan. Hingga saat ini pola pemberdayaan yang bersifat top-down dan mengabaikan kondisi spesifik lokal masyarakat setempat banyak menemui kegagalan. Hal ini sebetulnya tidak hanya menyebabkan pemborosan anggaran namun yang lebih penting yaitu lunturnya kredibilitas pemerintah di mata masyarakat dan akan memengaruhi keseriusan dalam mengimplementasikan program-program pembangunan lanjutan.

Di atas itu semua, masalah ini adalah masalah besar bagi bangsa yang sedang kita hadapi dan harus kita selesaikan. Kisah daerah tertinggal adalah cerita tentang  kegagalan cita-cita kemerdekaan republik ini. Tanggung jawabnya bukan hanya adadi pundak Kementrerian PDT, melainkan juga di pundak setiap anak bangsa. Teruslah bermimpi Indonesiaku.

About Inspirasi

Tabloid Inspirasi adalah tabloid dwimingguan yang berisi artikel dan opini dari para inteletual Indonesia yang ditujukan untuk membantu meningkatkan kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam mendukung good governance. Selain itu, Inspirasi juga menerbitkan biografi para tokoh yang memiliki karya besar dalam bidangnya.

Posted on 16 Juli 2010, in Uncategorized. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar