ACFTA Dalam Perspektif Hubungan Dagang Indonesia China

oleh : Latif Adam

Pusat Penelitian Ekonomi LIPI

ACFTA Dalam Perspektif Hubungan Dagang Indonesia-China

Paling tidak, terdapat tiga peluang positif yang dikemukakan pemerintah pada saat ASEAN-China (ACFTA) pertama kali ditandatangani Megawati di Bandar Sri Begawan, Brunai, tanggal 6 Nopember 2001. Pertama, penurunan dan penghapusan tarif serta hambatan non tarif di China membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatan volume dan nilai perdagangan ke negara yang penduduknya terbesar dan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Kedua, penciptaan regim investasi yang kompetitif dan terbuka membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi dari China. Ketiga, peningkatan kerjasama ekonomi dalam lingkup yang lebih luas membantu Indonesia melakukan peningkatan capacity building, transfer technology, dan managerial capability.

 

Namun demikian, terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa pemerintah tidak mempersiapkan diri secara matang untuk meraih peluang positif dari pemberlakuan ACFTA. Ini salah satunya tercermin dari ketidakmampuan pemerintah mendorong peningkatan daya saing yang sebenarnya merupakan prasyarat utama untuk meraih manfaat dari pemberlakuan ACFTA. Amburadulnya infrastruktur, bunga kredit yang relatif tinggi, birokrasi yang kompleks, masih maraknya pungutan liar, dan peraturan yang tidak pro-bisnis adalah beberapa bukti pemerintah tidak mampu menciptakan necessary condition untuk mendorong peningkatan daya saing beragam sektor ekonomi.

 

Tanpa adanya peningkatan daya saing, kebijakan untuk melibatkan Indonesia dalam ACFTA hanya merupakan blunder yang justru bisa berdampak negatif terhadap perekonomian nasional. Tidak mengherankan bila banyak kalangan bersuara keras memaksa pemerintah meninjau kembali keterlibatan Indonesia didalam ACFTA.

 

Pola Perdagangan

Sinyal bahwa ACFTA berpotensi menganggu eksistensi perekonomian nasional cukup jelas terlihat apabila kita mencermati pola perdagangan Indonesia-China. Berbagai indikator mengenai pola perdagangan diantara kedua negara menunjukkan bahwa produk Indonesia semakin lama semakin inferior terhadap produk China. Secara eksplisit, hal ini terindikasi cukup jelas dari perkembangan ekspor dan impor (Tabel 1).

 

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada periode 1990-2009, pertumbuhan ekspor Indonesia ke China (7,9% per tahun) jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan impor Indonesia dari China (17,1 per tahun%). Ini menunjukkan bahwa kemampuan penetrasi produk China ke pasar Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan kemampuan penetrasi produk Indonesia ke pasar China. Dalam konteks ini, pemberlakuan ACFTA dikhawatirkan akan mendorong peningkatan penetrasi produk China ke pasar Indonesia.

Kemungkinan bahwa pemberlakuan ACFTA akan mendorong semakin tingginya tingkat penetrasi produk China ke pasar Indonesia sangat tinggi. Argumentasinya, melalui ACFTA hambatan perdagangan diantara kedua negara akan semakin berkurang. Ini berarti bahwa kunci persaingan akan lebih banyak ditentukan oleh kemampuan  daya saing. Masalahnya, berbagai studi menunjukkan bahwa beberapa elemen pembentuk daya saing, seperti tingkat efisiensi, produktivitas, dan lingkungan bisnis di China relatif lebih baik dibandingkan dengan di Indonesia.

Tabel 1, Neraca Perdagangan Indonesia-China, 1990-2009 (Ribu USD)

Tahun Total Perdagangan Ekspor Impor Neraca Perdagangan
1990 1486729 834385.8 652343.4 182042.4
1995 3236941 1741718 1495223 246494.5
2000 4789679 2767708 2021971 745736.6
2005 12505216 6662354 5842863 819491.3
2009 20074672 9055010 11019662 -1964652
         
Pertumbuhan (%)        
1990-1995 16.8 15.9 18.0 6.2
1995-2000 8.2 9.7 6.2 24.8
2000-2005 21.2 19.2 23.6 21.2
2005-2009 12.6 7.9 17.1                         –
1990-2009                          – 13.4 16.0                         –

Sumber: Dihitung dari Statistik Perdagangan Luar Negeri

Terdapatnya gap didalam elemen pembentuk daya saing diantara Indonesia dan China membuat berbagai analisa merujuk ke kesimpulan bahwa ACFTA akan memberikan lebih banyak keuntungan bagi China, dan cenderung merugikan Indonesia. Dalam kaitan ini, paling tidak ada dua kerugian  yang kemungkinan besar akan dialami Indonesia.

Pertama, semakin derasnya produk China membanjiri pasar Indonesia akan berdampak secara negatif terhadap performa dan kapasitas produksi sektor-sektor ekonomi lokal yang kemudian akan mendorong munculnya PHK dan pengangguran. Simulasi yang pernah dilakukan P2E-LIPI menunjukkan bahwa setiap penurunan kapasitas produksi sektor industri sebesar 10% berpotensi mendorong PHK (pengangguran) 500.000 orang. Betapa besarnya pengangguran yang akan muncul seandainya ACFTA menekan kapasitas produksi sektor industri sebesar 10% saja.

Kedua, semakin merajalelanya produk China di pasar Indonesia akan membuat posisi neraca perdagangan diantara kedua negara semakin tidak imbang. Meskipun catatan statistik menunjukkan bahwa neraca perdagangan Indonesia terhadap China hanya mengalami defisit pada tahun 2009 (lihat Tabel 1), tetapi ada dugaan bahwa defisit itu sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Argumentasinya, sebelum tahun 2009, impor dari China yang masuk ke Kawasan Berikat (Bonded Zones) tidak dihitung sebagai komponen impor.

Kalau sebelum ACFTA dimana barang dari China dihambat melalui tarif saja neraca perdagangan Indonesia sudah mengalami defisit, maka sangat wajar bila ada kekhawatiran bahwa ACFTA akan membuat defisit neraca perdagangan Indonesia semakin membesar. Permasalahannya adalah, semakin melebarnya defisit didalam neraca perdagangan pada gilirannya akan mengganggu posisi neraca pembayaran (balance of payments). Artinya, Indonesia harus mengeluarkan lebih banyak cadangan devisa (foreign reserves) untuk membiayai impor dari China daripada mendapatkan cadangan devisa dari ekspor ke China.

Korelasi negatif diantara ACFTA dengan neraca pembayaran perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah karena hal ini bisa mengganggu stabilitas moneter. Artinya, semakin tidak imbangnya cadangan devisa yang diperoleh (dari ekspor) dengan yang dikeluarkan (untuk impor) akan menjadi problema moneter, seperti berkurangnya cadangan devisa yang kemudian bisa mempengaruhi nilai tukar dan inflasi. Apalagi fakta menunjukkan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap impor dari China semakin lama semakin menguat. Pada periode 2003-2009, proporsi impor Indonesia dari China meningkat dari 8.8% menjadi 12,7%. Tidak mengherankan bila pada tahun 2009, China menduduki posisi kedua sebagai negara importir terbesar bagi Indonesia.

Struktur Perdagangan

Selain polanya yang semakin tidak menguntungkan, Indonesia juga menghadapi permasalahan struktural didalam menjalin hubungan dagang dengan China. Terdapat indikasi bahwa struktur perdagangan Indonesia dengan China bersifat asimetris. Artinya, di satu sisi, struktur ekspor Indonesia ke China masih sangat didominasi oleh produk primer, seperti minyak dan gas, hasil pertanian, dan pertambangan. Lebih dari itu, terdapat kecenderungan bahwa produk primer didalam struktur ekspor ke China, bukannya melemah, tetapi justru mengalami peningkatan Di sisi lain, struktur impor Indonesia dari China lebih banyak didominasi oleh produk industri pengolahan dengan proporsi yang cenderung terus meningkat (Tabel 2)

 

Tabel 2 Struktur Perdagangan Indonesia-China, 2003-2009 (%)

URAIAN 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009  
 
EKSPOR (Juta USD) 3803 4605 6662 8344 9676 10295 9055.0  
Minyak dan Gas 25.9 25.4 40.57 34.5 31.1 34.2 24.5  
Industri 49.0 48.8 36.91 40.0 40.5 38.6 42.3  
Pertanian 7.7 8.5 8.05 9.0 10.3 9.9 12.2  
Pertambangan 17.4 17.3 14.48 16.5 18.1 17.2 21.1  
                 
IMPOR (Juta USD) 2958 4101 5843 6637.0 8558 13108 11020  
Minyak dan Gas 21.0 18.1 22.1 17.1 7.0 1.8 2.4  
Industri 63.8 66.2 63.5 67.2 75.9 79.6 80.1  
Pertanian 11.6 15.5 13.8 15.4 16.5 18.0 17.2  
Pertambangan 3.6 0.2 0.6 0.2 0.6 0.6 0.2  

Sumber: dihitung dari Statistik Perdagangan Luar Negeri

Paling tidak ada dua permasalahan yang muncul dari tidak simetrisnya struktur perdagangan diantara Indonesia dengan China. Pertama, produk primer memiliki harga yang relatif murah dibandingkan dengan produk industri pengolahan. Ini berarti bahwa perdagangan Indonesia dengan China menimbulkan term of trade yang tidak terlalu menguntungkan Indonesia.

Kedua, mengandalkan produk primer sebagai komoditas ekspor dengan harga murah membuat Indonesia kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dari proses nilai tambah. Tetap mengandalkan produk primer juga bisa menjadi bumerang bagi perkembangan industri nasional. Ini terjadi tidak saja karena produsen barang primer lebih suka memasarkan produknya ke China sehingga membuat industri nasional sering tidak kebagian faktor input (seperti CPO, gas, dan batubara) untuk menjalankan proses produksi, tetapi juga karena barang primer yang diekspor ke China digunakan untuk menghasilkan beragam produk industri yang nantinya dipasarkan ke Indonesia.

Terlepas dari permasalahan di atas, data mengenai struktur perdagangan Indonesia-China sebagaimana tersaji di Tabel 2 memberikan sinyalemen cukup kuat bahwa sektor industrilah yang akan menerima dampak negatif dari pemberlakuan ACFTA. Memang, Indonesia mengimpor berbagai macam barang industri dari China mulai dari tekstil sampai dengan besi-baja (Tabel 3).

Tabel 3, Beberapa Barang Industri Impor Utama dari China, 2008

Barang Impor Proporsi terhadap Total Impor (%)
Tekstil 0.56
Besi dan baja 1.84
Ban 0.37
Mebel 0.12
Pengolahan kakao 0.17
Industri alat kesehatan 0.24
Kosmetik 0.09
Aluminium 0.18
Elektronika 0.49
Petrokimia hulu 1.08
Kaca lembaran 0.14
Sepatu 0.47
Mesin industri 0.83
Alat kantor 0.13
Kendaraan bermotor 0.57
Total Impor (Juta USD) 13108

Sumber: Dihitung dari Statistik Perdagangan Luar Negeri

Tanpa adanya upaya yang serius untuk menata ulang industri nasional, maka dikhawatirkan bahwa industri nasional akan semakin terdegradasi didalam perekonomian nasional. Bukan tidak mungkin gejala awal deindustrialisasi (penurunan kontribusi sektor industri dalam menciptakan output dan menyediakan kesempatan kerja) akan semakin bertambah luas seiring dengan pemberlakuan ACFTA.

Ada beberapa pertimbangan yang membuat kita pesimis bahwa produk-produk industri nasional akan menjadi the lossers untuk bersaing dengan produk industri impor dari China. Pertama, dalam kurun waktu 1998 2008, similarity index dari produk ekspor industri nasional dengan produk ekspor industri China bukannya menurun, tetapi justru meningkat dari 58,9% (1996) menjadi hampir 62% (2008). Ini berarti bahwa struktur perdagangan diantara kedua negara bersifat subsitusi daripada komplementer. Pemberlakuan ACFTA akan membuat produk industri nasional harus head to head bersaing dengan produk industri China.

Kedua, dengan menggunakan rasio output terhadap tenaga kerja sebagai proksi produktivitas, perhitungan menunjukkan bahwa gap produktivitas tenaga kerja Indonesia dengan produktivitas tenaga kerja China justru semakin melebar. Pada tahun 1996,  produktivitas tenaga kerja Indonesia adalah 70,1% dari produktivitas tenaga kerja China, sedangkan pada tahun 2008 menurun menjadi hanya 65,4%.

Ketiga, dibandingkan dengan Pemerintah Indonesia, Pemerintah China memiliki action plan cukup jelas untuk menata sektor industrinya. Misalnya, Pemerintah China menyediakan dana yang cukup besar untuk membantu industri andalan eskpornya, seperti industri TPT, untuk melakukan restrukturisasi permesinan. Tidak mengherankan bila permesinan yang digunakan industri China sangat efisien dengan produktivitas tinggi. Misalnya, permesinan yang digunakan industri TPT China mampu menghemat energi 17% lebih rendah dari permesinan yang digunakan industri TPT Indonesia.

Keempat, Pemerintah China memiliki komitmen yang sangat kuat untuk menciptakan lingkungan yang pro-bisnis. Selain melakukan reformasi birokrasi, menegakan law enforcemen, dan mencipatakan stabilitas ekonomi makro, Pemerintah China mengalokasikan anggaran yang cukup signifikan untuk membangun dan menjaga kualitas infrastruktur. Dalam sepuluh tahun terakhir, budget infrastruktur sebagai rasio terhadap PDB China selalu berada dikisaran 7,5-10%.

Berbeda dengan di China, dalam sepuluh tahun terakhir anggaran infrastruktur yang dialokasikan Pemerintah Indonesia relatif sangat kecil dan cenderung terus menurun dari 3.7% (1999), 3.6% (2003), 2.9% (2008), dan hanya 1.5% (2009). Tidak mengherankan bila beberapa studi menyimpulkan bahwa infrastruktur menjadi salah satu kendala serius yang dihadapi sektor industri untuk memperbaiki dan meningkatkan daya saingnya. Misalnya, studi World Bank (2005) menunjukkan bahwa 900 perusahaan industri yang disurvey mengaku kehilangan 4% dan 6% dari total penjualan mereka masing-masing karena jeleknya infrastruktur trasnportasi dan energi.

 

Kelima, beberapa BUMN yang menguasai industri hulu, seperti Pertamina dan PLN, tidak beroperasi secara efisien. BUMN itu mentransfer ketidakefisienannya kepada industri nasional dengan menetapkan harga jual yang tinggi bagi produk/jasa yang dihasilkannya kepada industri nasional. 

 

Keenam, otoritas moneter di China mampu mendorong perbankan bekerja secara efisien sehingga mampu menyediakan kredit murah. Bunga kredit yang ditawarkan perbankan China ada di kisaran 5-6%, jauh lebih rendah daripada bunga kredit yang ditawarkan perbankan Indonesia, yang masih berada di kisaran 13-14%. Tingginya bunga kredit yang harus dihadapi perusahaan industri Indonesia menyebabkan mereka mengeluarkan biaya modal 8% lebih tinggi dari biaya modal yang harus di bayar perusahaan China.

 

Manfaat dengan Catatatan

Mencermati pola dan struktur perdagangan Indonesia-China yang selama ini terjadi, sektor pertanian tampaknya berpeluang mendapatkan manfaat dari pemberlakuan ACFTA. Ekspor produk pertanian ke China terus mengalami peningkatan, sehingga kontribusi sektor pertanian didalam total penerimaan ekspor meningkat dengan signifikan. Selain itu, neraca perdagangan sektor pertanian Indonesia terhadap China menunjukkan posisi yang selalu surplus.

 

Namun demikian, penting untuk dikemukakan bahwa didalam sektor pertanian itu sendiri, komoditas perkebunan mendominasi struktur ekspor sektor pertanian Indonesia. Sementara itu, produk hortikultura, bawang putih, dan buah-buahan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia justru banyak yang harus diimpor dari China.

 

 

Tabel 4, Pertumbuhan Ekspor Beberapa Komoditas Pertanian Indonesia,

1997-2008

SITC Komoditas Pertumbuhan (%)
42241000 Minyak inti sawit 45,49
42249000 Minyak inti sawit lainnya 42,32
62119990 Karet campuran lainnya 40,37
23125110 SIR 3 CV 36,43
23211910 Karet-polybutadiene-styrene (SBR) 36,23
23121100 Karet lembaran 35,09
09109910 Other edible mixture of veg origin 32,74
42231000 Minyak kopra 32,30
23125160 Karet SIR 20 25,21
42229000 Minyak sawit lainnya 20,87
23211110 Polybutadienen-styrene latex 18,43
07210000 Biji coklat, pecah dan setengah pecah, mentah, roated 18,49
09101900 Margarine curah 18,18
05481100 Gaplek iris dan kering (manioc) 18,14
42221000 Minyak sawit 18,11

Sumber: P2E-LIPI, Hubungan Kerjasama Ekonomi Antar Negara di Kawasan Asia Pasifik

 

Berdasarkan analisis kemampuan tumbuh, studi yang dilakukan P2E LIPI menunjukkan terdapat lima belas jenis komoditi pertanian yang berpotensi mendapatkan manfaat dari pemberlakuan ACFTA (Tabel 4). Ekspor kelima belas komoditas itu ke China memiliki tingkat pertumbuhan yang jauh lebih tinggi dibandingkan baik dengan ekspor seluruh produk, maupun dengan ekspor produk pertanian. Seiring dengan pemberlakuan ACFTA, kelima belas komoditas pertanian itu diperkirakan akan mengalami peningkatan kemampuan penetrasi ke pasar China.

 

Namun demikian, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ekspor produk pertanian yang masih terkategori sebagai komoditas primer hanya memberikan manfaat yang terbatas, mengurangi kesempatan untuk meraih keuntungan dari proses nilai tambah, dan menawarkan term of trade yang tidak terlalu menguntungkan. Ini berarti bahwa akan lebih baik jika komoditas pertanian itu diolah terlebih dahulu didalam negeri untuk kemudian diekspor ke China. Dalam konteks ini, komitmen pemerintah untuk merubah strategi hubungan dagang dengan China melalui upaya untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya industri pengolahan komoditas pertanian akan memberikan manfaat yang lebih menguntungkan bagi Indonesia 

 

About Inspirasi

Tabloid Inspirasi adalah tabloid dwimingguan yang berisi artikel dan opini dari para inteletual Indonesia yang ditujukan untuk membantu meningkatkan kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam mendukung good governance. Selain itu, Inspirasi juga menerbitkan biografi para tokoh yang memiliki karya besar dalam bidangnya.

Posted on 19 Maret 2010, in Uncategorized. Bookmark the permalink. 3 Komentar.

  1. silahkan akses k bps. tks

  2. anda bisaa akses k bps…. slm

  3. ass pak..ada bapak punya data perdagangan indonesia dengan china sebelum di berlakukan acfta dan sesudah acfta..kalau ada tolong di share kan ya pak..ke email juga boleh…..makasi sebelumnya pak….

Tinggalkan komentar