Category Archives: wacana depan

Waralaba dan Persaingan Usaha

Oleh: Sulistiono Kertawacana

Franchise (waralaba) merupakan jenis usaha yang dikecualikan tunduk pada UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

 

Ada dua hal penting untuk ini yaitu (i) apakah franchisee (terwaralaba) dilarang mengalihkan know how (yang diterimanya) kepada pihak lain dan (ii) guna mencegah terwaralaba bertindak curang memanfaatkan know how yang diperoleh dari franchisor (pewaralaba), haruskah perjanjian waralaba mengatur bahwa setelah perjanjian berakhir, terwaralaba  dilarang melakukan usaha yang sama.

 

Pelaksanaan teknis waralaba di Indonesia diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 16/1997 tentang Waralaba dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.  259/MPP /Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.

 

PP No. 16/1997 juncto SK Menperindag mendefinisikan waralaba (franchise) adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual (HKI) atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan/atau penjualan barang barang dan/atau jasa. HAKI meliputi antara lain merek, nama dagang, logo, desain, hak cipta, rahasia dagang, dan paten.

 

PP No. 16/1997 dan SK Menperindag mensyaratkan waralaba diselenggarakan dengan perjanjian tertulis yang dibuat dalam bahasa Indonesia serta mendasarkan pada hukum Indonesia. Pada prinsipnya, isi perjanjian diserahkan sepenuhnya kepada kedua pihak disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pihak. Sebagaimana prinsip pacta sun servada, maka perjanian adalah berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya.

 

Namun Pasal 7 SK Menperindag memuat ketentuan mandatoir (yang harus ada) mengatur mengenai isi klausul minimal yang harus diatur dalam perjanjian waralaba. Di antaranya (i) jangka waktu, minimal 5 tahun (i) nama dan jenis HKI, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjaadi obyek waralaba dan (iii) hak dan kewajiban para pihak serta bantuan dan fasilitas yang diberikan kepada terwaralaba.

 

Berdasarkan SK Menperindag, maka seakan tak masalah jika diatur dalam perjanjian bahwa terwaralaba dilarang mengalihkan know how yang diterimanya kepada pihak lain. Anggapan itu kurang tepat, sebab Pasal 3 SK Menperindag membolehkan perjanjian waralaba disertai pemberian hak untuk membuat perjanjian waralaba lanjutan.

 

Artinya, pendapat yang secara absolut menolak terwaralaba untuk mengalihkan know how (salah satu elemen dalam HKI) yang diterimanya kepada pihak lain, bertentangan dengan SK Menperindag. Sebab, SK Menperindag memberikan opsi (bukan larangan) para pihak, apakah terwaralaba dilarang atau diperkenankan membuat perjanjian waralaba lanjutan (perjanjian secara tertulis antara terwaralaba utama dengan franchisee lanjutan).

 

Cegah Curang

 

Untuk menghindari adanya ‘broker‘ waralaba yang menciptakan inefisiensi, SK Menperindag mengatur, jika terwaralaba diberi hak menunjuk lebih lanjut franchisee lanjutan, franchisee utama wajib mempunyai dan melaksanakan sendiri minimal melakukan waralaba pada satu tempat usaha.

 

Untuk mencegah terwaralaba bertindak curang memanfaatkan know how yang diperoleh dari pewaralaba, haruskah diatur dalam perjanjian bahwa setelah berakhirnya perjanjian, terwaralaba dilarang melakukan usaha yang sama dalam jangka waktu tertentu? Sebab, bisa saja HKI adalah HKI franchisor sebelumnya, hanya mereknya saja yang berbeda.

 

Pengaturan itu melanggar Pasal 19 UU No. 5/1999 bahwa pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat berupa antara lain menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan usaha yang sama pada pasar besangkutan.

 

Memang pasal itu menyebutkan bukan melakukan perjanjian, tapi melakukan kegiatan. Namun, justru, gradasi perjanjian, tingkatannya lebih tinggi (sebab dua arah dan mengikat pihak yang sepakat untuk melakukannya) dari sekadar kegiatan sepihak (pihak lawan tidak terikat untuk mematuhinya).

 

Meski waralaba berdasarkan Pasal 50 UU No. 5/1999 dikecualikan, namun perjanjian waralaba yang melarang terwaralaba melakukan usaha yang sama dalam jangka waktu tertentu setelah berakhirnya perjanjian, adalah cenderung kurang memahami UU No. 5/1999 dan HKI.

 

Sebab, pengecualian Pasal 50 UU No. 5/1999 hanya berlaku sepanjang perjanjian waralaba masih berlaku setelah perjanjian itu berakhir. Selain itu juga, HKI melindungi pemiliknya dari penggunaan tidak sah pihak lain. Seakan perjanjian waralaba hanya terkait dengan persoalan merek. Padahal berdasarkan PP No. 16/1997 HKI meliputi juga rahasia dagang dan paten.

 

Karenanya, eks-franchisee dapat melakukan usaha di bidang yang sama pasca berakhirnya perjanjian waralaba. Bahkan, ketika masih terikat dalam perjanjian waralaba. Dengan syarat, tidak melanggar perjanjian waralaba yang disepakati (termasuk ketentuan yang fakultatif) dan tidak melanggar HAKI yang dimiliki franchisor atau eks-franchisor.

 

Jika eks-franchisor merasa telah disalahgunakan know how yang pernah diberikannya kepada eks-franchisee, maka eks-franchaisor menggugat melalui Pengadilan Niaga atas penggunaan hak paten dan/atau rahasia dagang yang digunakan secara tidak sah oleh eks-franchisee. Aturlah perjanjian dengan adil!

Mengurai Belenggu pada Koperasi

As’ad Nugroho

Peneliti pada Regulation and Bureaucracy Reform Center (RUBRIC),

Fellow pada Paramadina Graduate School of Business

as'ad

Kehidupan dan perjalanan bangsa Indonesia tidak bisa dipisahkan dari keberadaan dan peran koperasi. Sejak masa penjajahan Belanda, tepatnya pada 1896 sudah terdapat sebuah usaha simpan-pinjam yang berprinsip sebagai usaha koperasi. Usaha ini mampu menggalang partisipasi dan memenuhi kebutuhan masyarakat, utamanya petani, untuk mengembangkan usahanya. Koperasi inilah yang menjadi cikal-bakal Bank Rakyat Indonesia saat ini.

Sejak saat itu hingga awal kemerdekaan Republik Indonesia perkoperasian terus bergerak mendinamisasi perekonomian bangsa dengan segala pasang-surutnya. Muara dari dinamika awal perkoperasian di Indonesia tersebut adalah terjadi pada tanggal 12 Juli 1947 ketika dilaksanakan Kongres Koperasi pertama, yang kemudian dikenal sebagai Hari Koperasi di Indonesia.

Kehandalan koperasi sebagai sistem ekonomi, bersama pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) kembali teruji ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1998. Saat itu koperasi dan UMKM yang menjadi pelaku ekonomi non korporasi berhasil menjadi buffer ekonomi yang saat itu sedang kacau. Sifat informalitas dan kegotong-royongan koperasi dan UMKM menjadi salah satu kunci keberhasilannya meniti gelombang krisis ekonomi.

 

Potensi dan Hambatan

Berbagai keunggulan koperasi sehingga mampu menjadi salah satu sistem ekonomi alternatif di tengah derasnya perkembangan kapitalisme sebagai mainstream, diantaranya adalah sebagai berikut ini. Pertama, uniknya sifat keanggotaan dan kepemilikan pada koperasi. Keanggotaan yang dinamis dan demokratis ini tercermin dalam prinsip-prinsip koperasi sebagaimana yang dirumuskan oleh International Cooperative Organization. Prinsip-prinsip tersebut adalah: keanggotaan bersifat terbuka dan sukarela; pengelolaan secara demokratis; partisipasi anggota dalam ekonomi; kebebasan dan otonomi; serta mengembangkan pendidikan, pelatihan, dan informasi.

Kedua, pinsip pelayanan dari dan untuk anggota. Prinsip ini diterapkan sebagai perwujudan kedaulatan anggota dan untuk menunjukkan bahwa orientasi bisnis dalam koperasi adalah pelayanan dan kesejahteraan bersama, bukan semata mengejar keuntungan individu. Hal ini menjadi keunggulan koperasi dibandingkan dengan sistem bisnis biasa (kapitalisme). Stand point yang unik inilah yang sebenarnya bisa ditawarkan koperasi untuk menjadi sistem alternatif ekonomi berbasis keanggotaan/kerakyatan.

 

Namun demikian, koperasi pada saat ini juga tidak lepas dari berbagai persoalan yang pada gilirannya akan menghambat perkembangan dan signifikansi peran koperasi di Indonesia. Berbagai permasalahan perkoperasian di Indonesia saat ini diantaranya adalah, pertama, intervensi politik. Intervensi politik yang lazim ditemui adalah pemaksaan berbagai agenda politik tertentu baik dari pemerintah maupun kekuatan politik lain pada gerakan koperasi. Intervensi lainnya adalah koperasi digunakan sebagai kendaraan bagi individu atau kelompok tertentu demi meraih keuntungan politik.

Besarnya intervensi politik ini akan sangat berpotensi membuyarkan konsentrasi pencapaian visi-misi koperasi. Alih-alih akan bekerja untuk kepentingan dan kesejahteraan anggota, jika intervensi ini terlalu besar maka institusi koperasi akan lebih mengabdi untuk kepentingan politik tersebut. Hal ini dapat terjadi karena setiap kekuatan politik yang masuk biasanya akan membawa sejumlah amunisi yang besar dan bisa menyilaukan pegiat koperasi di dalamnya.

Kedua, inkonsistensi dalam penerapan prinsip koperasi. Hal ini tercermin, misalnya, dalam inkonsistensi penerapan prinsip pelayanan usaha koperasi dari anggota untuk anggota. Semestinya prinsip ini, yang menjadi salah satu unique value proposition koperasi terhadap sistem bisnis lain, dipegang dengan erat. Namun saat ini banyak dijumpai koperasi yang memberikan layanan pada non anggota. Bahkan diduga ada beberapa koperasi yang operasinya sudah cukup besar namun keanggotannya hanya dimiliki oleh segelintir orang saja.

Ketiga, rendahnya militansi anggota dalam menjalankan perannya di koperasi. Hal ini terjadi diantaranya karena rendahnya pengetahuan dan komitmen dalam berkoperasi. Implikasi yang ditimbulkan bisa tidak sepele, mulai dari tidak berjalannya program sebagaimana mestinya, hingga pada penggadaian dirinya untuk kepentingan politik sesaat.

 

Agenda Revitalisasi

Dari berbagai uraian di atas terlihat bahwa koperasi sebenarnya masih memiliki posisi strategis dan memiliki uniqueness sebagai sebuah penggerak roda ekonomi alternatif. Secara agak heroik gerakan ini bisa dikaitkan dan diberi label “kerakyatan”. Namun secara agak pragmatis juga bisa digunakan sebagai alat pemenuhan kesejahteraan bersama, yang saat ini sudah langka karena mainstreamnya sistem kapitalisme. Namun problem yang dihadapi juga begitu serius, yang terkadang terlihat sebagai sebuah tembok kuat yang tidak mudah diruntuhkan.

Oleh karena itu perlu ada upaya konkrit dan komprehensif untuk merevitalisasi peran koperasi sebagai penopang perekonomian bangsa. Beberapa poin yang bisa dijadikan catatan untuk revitalisasi tersebut adalah sebagai berikut ini. Pertama, membersihkan institusi koperasi dari kepentingan politik praktis. Masuknya berbagai kepentingan politik ini biasanya didasari atas lemahnya kekuatan sumberdaya internal koperasi, sementara berbagai kekuatan politik yang masuk biasanya membawa amunisi besar yang bisa menjadi shortcut untuk menjawab persoalan minimnya sumberdaya. Untuk menjawab tantangan ini maka perlu dibangun kekuatan internal anggota, sehingga koperasi bisa mandiri dan memiliki harga diri yang kuat.

Kedua, tumbuhkan militansi dan kebanggaan anggota pada koperasi. Meskipun koperasi biasanya digunakan sebagai alat pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan anggota, tapi perlu ditumbuhkan pula kesadaran bahwa untuk memenuhi kebutuhan tersebut bisa diraih dengan tetap memegang prinsip dan menjunjung nilai berkoperasi. Jika hal ini dapat dilakukan maka praktek berkoperasi secara benar dapat dilakukan, dan mencegah terjadinya praktek gadai-menggadai suara untuk kepentingan politik sesaat.

Ketiga, melakukan pendidikan perkoperasian secara benar dan terarah. Pendidikan berkoperasi ini perlu dilakukan ke dalam anggota agar nilai-nilai berkoperasi semakin terinternalisasi dalam diri anggota, juga kepada masyarakat umum sebagai ajang rekrutmen anggota. Agar proses pendidikan ini sempurna, maka yang mesti melakukan adalah para pengurus koperasi pada skala masing-masing. Proses ini tidak bisa disandarkan pada pihak luar, termasuk pemerintah.

Keempat, pembenahan manajemen usaha. Kesan bahwa koperasi lambat dan tidak profesional yang kadang menempel pada setiap usaha dan institusi koperasi, harus dihilangkan. Pengelolaan koperasi harus bisa mengadopsi teknik-teknik berorganisasi dan menjalankan bisnis secepat dan seprofesional organisasi bisnis modern lainnya. Hal ini bisa dilakukan dengan melibatkan berbagai perangkat keras, perangkat lunak atau bahkan tenaga profesional yang memadai.

Berbagai catatan untuk revitalisasi koperasi seperti tercantum di atas memang ada yang mudah dilakukan tapi ada juga yang terasa akan sulit diaplikasikan. Banyak kisah sukses, baik di dalam maupun di luar negeri, koperasi yang berhasil menjadi besar bahkan menjadi kekuatan ekonomi yang dapat menyejahterakan ratusan ribu anggotanya tanpa dukungan pihak lain. Semoga koperasi di Indonesia dapat memenuhi harapan mulia para pelopor koperasi terdahulu, yaitu koperasi sebagai soko guru perekonomian bangsa.

Menata Bisnis Waralaba Berbasis UKM Berdaya Saing

 

 

 

 

 

Oleh: Dr.Nazaruddin Malik, M.Si

Waralaba (Franchising atau Franchise) adalah hak-hak untuk menjual suatu produk atau jasa maupun layanan. Versi pemerintah Indonesia, dimaknai sebagai bentuk perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak memanfaatkan dan atau menggunakan hak dari kekayaan intelektual (HAKI) atau pertemuan dari ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan jasa. Sedangkan Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), mengartikannya sebagai suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, dimana pemilik merek (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan (franchisee) untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur, dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu.

Di Indonesia pesatnya pertumbuhan usaha waralaba yang mulai diperkenalkan Isaac Singer (1850-an) sang pembuat mesin jahit Singer, dapat dilihat dari tumbuhnya kegiatan usaha melalui sistem ini sebesar tiga persen per tahunnya. Sejak dimulai sekitar tahun 1950-an dan mengalami perkembangan awal di tahun 1970-an, hingga Juni 2009 tercatat sejumlah 1.010 usaha waralaba terdiri dari 260 waralaba asing dan 750 waralaba lokal. Jumlah gerai waralaba di Indonesia berjumlah 42.900 gerai dan menyerap 819.200 tenaga kerja. Diperkirakan  total omzet bisnis waralaba di Indonesia tahun ini kemungkinan mencapai 135  triliun. Usaha waralaba makanan dan minuman (mamin) menjadi primadona pilihan dengan nilai omzet 42,6 triliun tahun 2010 naik menjadi 49 triliun tahun 2011 atau 36 persen dari total omzet berbagai bidang usaha waralaba yang mencapai sebesar 135,4 triliun.

Pertumbuhan bisnis waralaba di Indonesia pesat bersamaan dengan pertumbuhan pasar dan pusat-pusat ritel modern yang mewabah di kota-kota besar dan menengah di Indonesia. Pertumbuhan mall (mega dan super market-maupun mini-mini market) yang tersebar dalam area-area tata ruang perkotaan memberi kesempatan tumbuhnya bisnis-bisnis ikutan yang memanfaatkan ruang-ruang sewa yang tersedia di pusat-pusat perbelanjaan modern tersebut.

Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) bahkan memprediksikan jumlah usaha waralaba nasional bisa  mencapi 1.700-an pada tahun 2011, naik 10 persen jika dibandingkan tahun lalu sejumlah 1.500 usaha atau sekitar  36 ribu gerai. Hal ini menjadikan waralaba sebagai alternatif bisnis yang cukup menjanjikan. Karenanya cukup tepat untuk merancang kebijakan strategis menata dan mengembangkan usaha waralaba yang berorientasi pada pemberdayaan dan peningkatan daya saing UKM sebagai basis perekonomian nasional.

Peluang Bisnis Dan Dukungan Pemerintah

Upaya-upaya penataan usaha waralaba di Indonesia hendaknya lebih berorientasi pada upaya-upaya yang memberi dukungan penuh pada waralaba yang berbasis pada usaha kecil menengah (UKM).  Umumnya usaha waralaba yang berskala UKM tumbuh lebih karena aspek kesempatan bisnis. Kemunculan usaha waralaba lebih dipicu dan didominasi faktor peluang bisnis (business opportunity). Dari 1.500 perusahaan hanya 100  yang menjalankan usaha waralaba dan sisanya termasuk kategori memanfaatkan peluang usaha. Hal ini dapat dipahami, karena salah satu kendala dari usaha jenis ini adalah inovasi produk dan proses penguatan merek yang membutuhkan waktu cukup lama.

Usaha-usaha baru termasuk franchise baru tidak dengan serta merta dapat berperan dan ikut andil dalam pasar persaingan. Karena itu mengembangkan usaha franchise dengan merek yang telah mengakar apalagi mendunia tentu lebih menguntungkan, Cuma persyaratan permodalan, standarisasi proses dan kualitas produk yang dibutuhkan lebih besar dan kompleks.

Dukungan pemerintah dari aspek legal, finansial maupun upaya pengembangan sistem dan pengembangan sumberdaya manusia sangat strategis bagi pengembagan usaha waralaba sebagai basis perekonomian masyarakat yang didominasi oleh konsumsi untuk sektor ritel. Selama ini usaha-usaha waralaba baru dilihat sebatas potensi dan prospeknya bagi upaya peningkatan dan pengembangan daya saing UKM. Padahal sebagian besar usaha waralaba yang muncul karena memanfaatkan peluang bisnis adalah pelaku dari sektor UKM ini. Kelemahan manajerial, pengetahuan dan penguasaan atas bidang bisnis yang ditekuni, standarisasi pengelolaan keuangan dan pemasaran, daya inovasi dan diferensiasi produk, pemasaran serta kemampuan pengendalian bisnis dan monitoring, kerap diidentikkan dengan sektor UKM, sesuatu yang justru menjadi syarat mutlak sebuah usaha waralaba yang sukses.

Konsekuensinya UKM-UKM umumnya sulit merubah sudut pandang dan cara berfikir dari semula berorientasi menjual produk menjadi orientasi untuk menjual bisnis. Karena itu dorongan pembinaan dari pemerintah dari aspek good will maupun  political will mestinya berupa insentif mendorong produksi dan membesarkan bisnis dengan menjual bisnis sebagai usaha waralaba untuk mendukung pertumbuhannya.

 

Waralaba UKM Berdaya Saing

Memajukan dan menumbuhkan bisnis melalui sistem waralaba membutuhkan kredibilitas dan kemampuan diferensiasi produk dan jasa yang tinggi. Hal ini mutlak didukung pula oleh standar sistem operasional yang lebih dari sekedar memadai yang pada gilirannya akan dapat mendongkrak daya saing termasuk peluang untuk meng internasionalkan usaha waralaba. Dengan kata lain menjadikan UKM sebagai usaha waralaba sukses memerlukan strategi dan kiat-kiat jitu.

Sebelum sebuah UKM diwaralabakan maka dibutuhkan pengetahuan yang menyeluruh tentang mekanisme kerja bisnis ini. Studi kelayakan bisnis waralaba perlu dilakukan sebagai langkah awal apakah bidang bisnis yang ditekuni terutama produk-produknya layak diwaralabakan. Penguasaan potensi dan peluang pasar sangat perlu dimiliki pengusaha UKM yang akan mewaralabakan bisnisnya. Kesiapan SDM, dari aspek kepemimpinan, kemampuan komunikasi dan orientasi pelayanan yang kuat.

Demikian pula terkait pengorganisasian dan pemantapan prosedur standar operasi sangat dibutuhkan serta tentu saja kemampuan monitoring dan melakukan pengendalian terhadap jaringan bisnis. Disini pemerintah dapat berperan melalui penyediaan skema pembiayaan dan konsultasi ahli untuk pematenan produk, menyusun SOP sampai bentuk kerjasama dan proyeksi keuangan bagi UKM-UKM yang berminat terjun ke waralaba. Prioritas bantuan dapat diberikan pada usaha-usaha waralaba skala UKM yang berbasis industri kreatif dengan potensi pasar yang kuat.

Usaha waralaba berbasis UKM memiliki peran strategis dalam membangun ketahanan ekonomi nasional. Kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja, peluang kesempatan usaha dan percepatan alih teknologi melalui sistem kerjasama yang saling menguntungkan tidak perlu diragukan lagi. Hal ini akan mendorong UKM-UKM dengan keunggulan tradisional untuk mengembangkan kemampuan spesialisasi dan modernisasi usaha. UKM berbasis industri kreatif memiliki peluang besar untuk memanfaatkan daya inovasi produk sebagai basis daya saing mereka untuk meningkatkan efisiensi usaha dan memperluas jangkauan distribusinya.