Category Archives: Wacana Utama

Mafia Perberasan

Oleh: Entang Sastraatmadja

Konsultan Agribisnis

Makna Mafia

Kata “mafia” sendiri cenderung berkonotasi negatif. Kata ini selalu dikaitkan dengan perilaku orang-orang yang bersekongkol untuk memanfaatkan kesempatan demi memuaskan hasrat pribadi atau kelompoknya. Mafia adalah kata yang sudah mendunia dan memiliki “trade
mark”
tersendiri dalam kehidupan umat manusia. Tidak terkecuali juga di tanah merdeka ini.

Suka atau pun tidak, praktek mafia di negeri ini, rupanya sudah merambah ke berbagai bidang kehidupan. Mulai dari yang kelas kakap hingga berkaliber teri. Mulai dari yang berkaitan dengan aspek hukum hingga ke soal-soal yang berhubungan dengan kebutuhan bahan makanan pokok. Kita pernah diramaikan dengan adanya mafia yang dikenal dengan istilah mafia peradilan. Disini, kongkalikong antara Hakim, Jaksa dan Pengacara, sungguh terkelola dengan rapih. Kalau saja mereka tidak lalai, maka mafioso semacam ini, sulit untuk dikenali.

 

Begitu pula dengan apa yang dilakukan oleh Gayus Tambunan, yang dikenal dengan kasus mafia pajak itu. Walau kasusnya hingga kini masih di pengadilan, publik tidak bakal pernah tahu bahwa di balik seriusnya Presiden SBY memerangi korupsi, ternyata di tubuh pemerintah sendiri, seorang pegawai negeri sipil non eselon yang mampu menggerogoti uang rakyat, sehingga negara dirugikan hingga ratusan milyar. Ini baru satu orang Gayus. Tentu masih bersuliweran Gayus-Gayus lain. Seorang sahabat malah pernah nyeletuk,  “Yang tidak punya eselon saja sudah seperti itu, apalagi mereka yang punya eselon”.

Di negeri ini, mafia sudah bukan lagi sekedar fenomena, namun telah tumbuh dan berkembang  menjadi sebuah fakta kehidupan. Kehadiran mafia memang bukan mithos, tapi lebih pas disebut sebagai tata nilai. Keberadaannya yang abstrak, mafia seringkali sulit disentuh. Mafia ibarat ada dan tiada. Dengan pola sindikasi yang khas, mafia telah menjerat kehidupan kita sehari-hari. Langkah dan gerakannya sangat sistematik. Mereka kerdilkan semua potensi kemandirian dan keprofesionalan yang dimiliki seseorang, kemudian mengganti  dengan perilaku ketergantungan. Mereka siapkan jerat-jerat sindikasi, yang menyebabkan orang menyerah tanpa syarat.

Kita adalah bangsa yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal dan budaya yang dimiliki. Mafia yang ujung-ujungnya merugikan rakyat banyak, tentu harus kita tendang jauh-jauh dari kehidupan kita sehari-hari. Kita tidak butuh sindikat yang mengedepankan premanisme, koncoisme, dan yang serupa dengan itu. Justru yang kita inginkan adalah tumbuhnya sebuah semangat bahwa sindikasi yang ditunggu adalah ada kiprah anak bangsa yang senantiasa mengutamakan kepentingan bangsa, ketimbang pribadi, keluarga atau kelompok semata.

Citra Perberasan 
Hampir 90 % konsumen beras di dunia berada di Asia dan sebagian kecil bangsa-bangsa di Afrika. Beras adalah makanan utama bangsa-bangsa yang tinggal di Asia. Oleh sebab itu, bila kita bicara soal perdagangan beras dunia, sebetulnya kita bicara tentang sistem perdagangan beras yang ada di Asia. Bangsa-bangsa Amerika dan Eropa, umumnya mereka mengkonsumsi gandum sebagai bahan makanan pokok. Itu sebabnya bila kita sedang kepepet dan butuh beras demi cadangan maka kita tidak pernah berhubungan dengan negara Amerika atau Eropa, namun kita pasti akan bertransaksi dengan gudang-gudang beras di Asia. Kalau tidak Thailand,   Vietnam atau bahkan Pakistan, India dan China.

Di negara kita sendiri, beras adalah bahan pangan utama bagi kehidupan warga masyarakat. Lebih dari 90 % penduduk kita sangat tergantung terhadap beras. Tanpa beras, seolah-olah tanpa kehidupan. Akibatnya wajar jika pemerintah sendiri, sejak jauh-jauh hari telah menetapkan beras sebagai komoditas politis dan strategis. Lebih jauh lagi ternyata berkat kerja keras dan keseriusan Pemerintah Orde Baru, maka bangsa
Indonesia pun mampu merubah citra, yang semula dikenali sebagai importir beras terbesar di dunia, maka sejak tahun 1984 mampu menjadi negara yang berswasembada beras. Sayang, citra yang demikian tidak mampu dilestarikan, karena sudah dua tahun belakangan ini, kembali pemerintah membuka kembali kran impor berasnya.

Di negeri ini, citra beras sebagai komoditas politis dan strategis, tentu saja tidak mungkin akan dapat kita tolak. Beras adalah komoditas yang sangat berpengaruh terhadap perhitungan inflasi. Oleh karena itu, sangatlah wajar jika pemerintah terlihat sangat hati-hati dalam melakukan pengendalian terhadap komoditas beras ini. Melalui kebijakan Inprers Perberasan yang dikeluarkan, pemerintah berharap agar beras tetap dapat terkelola secara baik dengan mendaya-gunakan secara optimal keberadaan Bulog sebagai Lembaga Regulator Pangan.

Sebagai lembaga yang berperan selaku regulator pangan, mestinya Bulog tetap menjadi “alat negara” yang secara penuh melakukan fungsi perlindungan dan pemberdayaan terhadap petani selaku produsen dan masyarakat selaku konsumen. Semangat ini akan dapat dicapai jika Bulog tetap berstatus sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementrian (LPNK) dan langsung berada di bawah Presiden. Namun, jika kita tengok status Bulog saat ini, ternyata sejak bergulirnya reformasi, Bulog tidak lagi memainkan peran sebagai “alat negara” tapi berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) dan harus menjalankan tugas dan fungsinya, baik sebagai “public service obligation” (PSO) maupun selaku lembaga bisnis.

Pada saat Bulog menjadi BUMN inilah banyak kalangan yang meragukan “posisioning” Bulog sebagai lembaga pemerintah yang benar-benar bakal mampu menjadi pelindung para petani. Malah ada juga yang berpandangan bahwa Bulog itu sudah tidak mungkin akan berperan selaku Badan Urusan Logistik, khususnya untuk komoditas beras, namun sebagai Perum dan BUMN, maka Bulog pun dituntut untuk tumbuh dan berkembang menjadi lembaga bisnis yang handal dan mumpuni. Padahal kita sangat faham, betapa sulit nya sebuah kelembagaan bisnis yang didalamnya dibebani fungsi-fungsi pelayanan publik (PSO). Lebih banyak yang rugi ketimbang yang untung nya.

Citra beras dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di Indonesia, memang berbeda dengan apa yang terjadi di negara-negara lain. Bagi bangsa kita, beras adalah komoditas yang harus tersedia setiap saat dan jangan sampai sedetik pun kita tercatat tidak memiliki cadangan beras. Hal ini penting disadari, karena kalau saja kita amati fenomena yang terjadi di berbagai bangsa, ternyata ada negara yang pemerintahannya menjadi “berantakan” karena ketidak mampuan dalam memenuhi kebutuhan beras bagi warga bangsanya. Tapi, kalau bangsa dan negeri tersebut kelebihan beras, maka biasanya pemerintahan pun berlangsung aman-aman saja.

 

Produksi Beras

Salah satu paradoks pembangunan pertanian yang harus kita carikan solusinya adalah bagaimana kita dapat keluar dari jebakan “produksi padi meningkat, namun kesejahteraan petani padinya melorot”. Kejadian semacam ini mestinya tidak perlu terjadi, sekiranya kita mampu “mengelola” pembangunan pertanian secara cerdas. Lebih jauh dari itu, ternyata kita pun ditantang untuk berani membedakan mana “pembangunan pertanian” dan mana yang dimaksud dengan “pembangunan petani”. Selama persepsi yang terbangun pembangunan
pertanian sama dengan pembangunan petani, jangan harap kita akan mampu memecahkan masalah secara signifikan.

 

Secara tegas, pemerintah telah mencanangkan perlunya meningkatkan produksi padi nasional sebesar 10 juta ton. Pemerintah rupanya merasa terpanggil untuk mulai waspada atas “kekuatan beras” yang harus dimiliki oleh bangsa kita. Pengalaman yang memilukan di masa lalu, tentu diharapkan tidak bakal terulang kembali. Sungguh memalukan, sebuah negeri agraris dan telah memproklamirkan diri selaku bangsa yang sudah mampu berswasembada beras, tiba-tiba harus melakukan impor beras, dikarenakan lemahnya cadangan beras yang dimiliki pemerintah.

Soal kemauan politik pemerintah untuk membangun kekuatan cadangan beras secara nasional, tentu saja harus kita dukung sepenuh hati. Hanya penting juga diingatkan apalah artinya produksi yang meningkat jika tidak dibarengi dengan membaiknya tingkat kesejahteraan petani padi  sendiri. Pemerintah mesti  mampu merajut ke duanya sehingga tercipta suatu hubungan yang timbal balik dan saling menguntungkan antara hasrat untuk meningkatkan produksi padi dengan keseriusan guna meningkatkan kesejahteraan petani itu sendiri. Pertanyaannya adalah apakah Pemerintah sudah menyadari dan memikirkan langkah-langkahnya?

 

Bukti mempertontonkan kepada kita bahwa antara peningkatan produksi padi dengan kesejahteraan petani padi sendiri, ternyata belumlah seperti yang diharapkan. Nilai Tukar Petani (NTP) padi, kerap kali memperlihatkan adanya hasil yang “tojai’ah” antara produksi yang meningkat dengan derajat kesejahteraan petani padi. Malah di beberapa daerah sentra produksi padi terekam ada penurunan tingkat kesejahteraan. Akibatnya sering muncul pertanyaan mengapa hal yang demikian harus terjadi ? Apakah dikarenakan ketidak-mampuan kita dalam merancang skenario yang dibangun; ataukah ada faktor lain yang menyebabkan kondisi ini
perlu terjadi ?

 

Pertanyaan ini memang menarik dan penting untuk dicarikan solusinya. Peningkatan produksi padi, sudah seharusnya selalu terkait dengan perbaikan kualitas hidup para petani padi  sendiri. Pemerintah sudah  memposisikan petani sebagai aktor utama dalam upaya peningkatan produksi ini. Petani jangan dipandang hanya sebagai “alat produksi” yang keseharian diberi beban untuk bekerja di sawah demi
terwujud target yang ditetapkan. Disinilah perlu adanya sebuah terobosan yang dapat menghapus kelemahan yang kita hadapi. Salah satunya, kita ditantang untuk berkenan melakulkan “revitalisasi pembangunan pertanian” sekaligus “merancang-bangun lagi sistem perberasan” yang ada.

 

Sisi penting yang segera harus ditempuh adalah perlu dibangun jejaring-jejaring yang menopang terjelmanya hasrat di atas. Paling tidak, ada tiga jejaring yang mutlak hukum  guna dilakukan, yakni jejaring berpikir, jejaring kelembagaan dan jejaring keuangan. Dengan tiga jejaring di atas dan berbasis kewilayahan dan sektor, kita berharap agar sinergitas dapat diwujudkan, sehingga  keserempakan dalam membangun tentu akan dapat dijelmakan. Yang tak kalah penting juga adalah perlu ada konsistensi kebijakan yang sifatnya terpola dan terukur serta terstruktur. Termasuk di dalam  soal pendampingan, pengawalan, pengawasan dan pengamanan di lapangan.

 

Kalau saja hal-hal di atas dapat dirumuskan dan dijadikan gerakan nyata di lapangan, tentu kita optimis bahwa semangat untuk meningkatkan produksi padi, akan juga diikuti oleh perbaikan kualitas hidup para petani padi  secara signifikan.

 

Pasar Beras

Berita tentang sulitnya Bulog mendapatkan gabah atau beras dalam rangka pengadaan stock nasional, sebetulnya bukan hal yang perlu dipertanyakan. Sudah sejak lama organisasi petani mengusulkan agar Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras dinaikan secara proporsional. Sayang, usulan ini tidak ditanggapi dengan serius. Pemerintah, rupanya lebih memilih bahwa untuk tahun 2011 ini, pilihan
kebijakannya adalah dengan tidak menaikkan HPP. Pertimbangannya bisa dikarenakan terlalu takut  pemerintah terhadap meningkatnya angka inflasi, tapi bisa juga disebabkan oleh ketidak siapan pemerintah dalam merubah kebijakan harga beras murah menjadi kebijakan
harga beras yang kompetitif.

 

Salah satu masalah yang dihadapi oleh para petani padi adalah masih diberlakukannya kebijakan harga pangan murah, khususnya untuk komoditas gabah dan beras. Pemerintah rupanya masih terobsesi oleh fenomena masa lalu bahwa gabah atau beras itu adalah komoditas
politik yang perlu ditangani secara serius dan khusus. Di mata pemerintah, gabah atau beras, kelihatannya tetap harus dikendalikan. Komoditas ini tidak boleh dibiarkan tampil bebas sebagaimana komoditas-komoditas pangan lainnya. Perlakuan khusus terhadap gabah atau beras, wajar terjadi, karena sekalinya kita salah menerapkan kebijakan maka beras pun dapat berubah menjadi senjata yang mematikan (food is weapons).

 

Kondisi harga gabah atau beras yang terjadi beberapa bulan belakangan ini, benar-benar sangat menguntungkan petani. Harga gabah di beberapa sentra produksi yang selalu di atas harga HPP, menunjukkan bahwa nilai tambah ekonomi yang diperoleh petani akan semakin baik. Justru yang menjadi soal berikutnya adalah pemerintah (dalam hal ini Bulog) tampak kesulitan  melakukan pengadaan dalam negeri, baik untuk program Raskin ataupun untuk cadangan pemerintah. Berbasis pada fakta di lapangan, Bulog masih belum mampu bersaing secara sehat dan profesional dengan kalangan swasta, yang tentu saja lebih memahami seluk beluk “berdagang”
gabah atau beras.

 

Bulog sebagai BUMN, tampak masih kebingungan memainkan peran PSO dan bisnisnya. Apalagi jika ujung-ujungnya harus berhadapan dengan aparat pengawasan atau pun aparat penegak hukum, dikarenakan ada hal-hal yang dilanggarnya. Hukum memang tidak bisa dikompromikan. Walau dasar pertimbangannya melakukan pembelaan terhadap nasib dan kehidupan petani, namun dalam pelaksanaan ternyata tidak sesuaidengan peruntukannya, maka siap-siap saja dirinya menjadi penghuni hotel Prodeo.Akibatnya wajar, jika banyak petugas Bulog yang bekerja seadanya dan tetap mengacu kepada tupoksi. Hasilnya memang terbukti, dari target yang ditetapkan selama 2011, ternyata menjelang selesai semester pertama, Bulog secara nasional baru mampu melakukan pengadaan gabah dan beras sekitar 20 % saja.

 

Dihadapkan pada kondisi yang demikian, tentunya perlu dipikirkan apa dan bagaimana langkah yang harus ditempuh agar pengadaan gabah dan beras di dalam negeri seperti yang dikelola Perum Bulog tetap mencapai sasaran dan sesuai dengan target yang sudah ditentukan, sekaligus juga harga gabah dan beras di tingkat petani tetap mengikuti mekanisme pasar yang ada. Dengan kata lain dapat juga disebutkan: Pemerintah dapat meningkatkan posisi cadangan gabah dan beras secara nasional, sedangkan petani padi sendiri memperoleh harga jual yang menguntungkan. Jika demikian, apa gunanya lagi pemerintah menetapkan kebijakan HPP, seandainya harga yang terjadi di pasar, jauh di atas angka HPP ?

 

HPP gabah dan beras, pada hakekatnya merupakan “jaminan” pemerintah dalam melakukan pengendalian harga di lapangan. Selain itu, HPP juga dimaksudkan untuk menunjukkan kepada publik bahwa gabah atau beras tetap dijadikan sebagai komoditas politis dan strategis. Pertanyaannya adalah apakah dengan tidak dinaikkan HPP gabah dan beras untuk tahun 2011, pemerintah masih memandang perlu untuk melindungi para petani ? Jawaban atas pertanyaan ini menjadi sangat penting untuk dicermati, karena siapa tahu saja kita akan dapat memberi solusi yang lebih nyata lagi.

 

Mafia Perberasan

Kini rangkaian ceritanya sudah mulai tergambarkan. Secara fenomenologi, praktek mafia, rupanya bukan hanya terjadi di tataran elit bangsa, namun dalam alam kehidupan “grass root” pun kita akan temukan hal yang sejenis. Sebut saja soal mafia perberasan. Persekongkolan tengkulak maupun bandar dengan petugas pemerintah, khususnya tatkala musim pengadaan pangan tiba, kerap kali diwarnai oleh permainan mereka dalam menekan harga jual petani.

 

Mereka terlihat cukup cakap dan profesional. Dengan jaringannya mereka mampu membuat petani menjadi tidak berdaya sekaligus tidak ada pilihan lain yang harus diambil nya, selain mesti tunduk pada kondisi yang ada. Dikarenakan tumbuhnya mafia beras inilah, maka petani padi kita menjadi teramat lemah “bargaining posision”-nya.

Di tingkatan yang lebih tinggi kita juga dapat menyaksikan adanya persekongkolan yang sistemik antara para pedagang dalam mempermainkan harga beras di pasaran. Pengalaman yang kita rasakan beberapa waktu yang lalu, jelas menunjukkan ketidak-berdayaan Pemerintah dalam mengendalikan tingkat harga beras ini. Sekali pun Pemerintah telah menggelar operasi pasar, ternyata harga beras tetap bertengger pada tingkat harga yang tinggi, dan tidak mau turun ke tingkat harga yang wajar.  ***

 

 

Menuju Bisnis Waralaba Global

Oleh: R. Abdul Maqin

Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan

 

 

Dalam sepuluh tahun terakhir jaringan bisnis waralaba global berkembang pesat di tanah air. Perkembangan tersebut bukan tanpa alasan. Jumlah penduduk Indonesia yang besar, ditambah pendapatan per kapita yang terus meningkat, maka jelas bahwa pasar dalam negeri Indonesia adalah pasar yang potensial dengan jaminan terus berkembang (emerging market). Perkembangan bisnis waralaba yang pesat saat ini terjadi, baik pada bisnis waralaba yang dikembangkan dari komoditas barang dan jasa lokal maupun internasional. Meskipun harus diakui, perkembangan waralaba produk dalam negeri masih bersifat lokal, belum go international.

Faktor lain yang juga terlihat memotivasi perkembangan bisnis waralaba global adalah dorongan keterbatasan dana investasi global dan faktor-faktor lain terkait strategi investasi, distribusi risiko, faktor inovasi dan efisiensi. Untuk itu ke depan, perkembangan bisnis waralaba dalam konstelasi perekonomian global diperkirakan akan semakin pesat. Apalagi ditambah semakin terbukanya kawasan-kawasan perekonomian berbagai negara (liberalisasi) bagi lalu-lintas komoditas global. Artinya, ketika pada satu sisi ada kondisi dimana perkembangan ekonomi global semakin terdorong ke arah globalisasi dan disisi lain ada kebutuhan dan peluang mengembangkan skala usaha dalam lingkup/jaringan yang luas begitu menggiurkan, maka bisnis waralaba dapat menjadi pilihan banyak pelaku usaha saat ini.

Bagi lingkungan bisnis di Indonesia, perkembangan bisnis waralaba juga menyimpan banyak cerita sukses, seperti untuk waralaba komoditas makanan, toko modern, dan sebagainya. Tetapi cerita sukses tersebut lebih banyak dinikmati oleh jaringan waralaba global. Bagi jaringan waralaba nasional, perkembangannya masih sangat terbatas secara lokal, tidak banyak yang mampu berkembang sebagai jaringan nasional, apalagi berkembang sebagai jaringan internasional. Melihat itu, upaya kita mendorong jaringan bisnis lokal menjadi jaringan bisnis global masih menyimpan banyak tantangan.

Tantangan pengembangan jaringan bisnis waralaba lokal ketingkat nasional dan internasional membutuhkan adanya kultur baru di lingkungan pelaku bisnis di tanah air. Kultur bisnis tersebut seharusnya dikembangkan dari adanya kebutuhan untuk  mengembangkan skala usaha. Untuk mengembangkan skala usaha, dibutuhkan nilai investasi yang tidak sedikit, disisi lain dengan tingginya bunga kredit saat ini dan terbatasnya alokasi dana investasi usaha, maka perkembangan waralaba lokal menjadi tidak sepesat waralaba internasional.

Pada satu sisi, mungkin saja sudah ada keinginan untuk mengembangkan usaha lokal menjadi skala yang lebih luas. Tetapi di sisi lain, ada banyak keterbatasan untuk melakukan itu. Di samping itu, faktor untuk melindungi produk dengan karakteristik yang spesifik masih menjadi kendala menuju bisnis waralaba global. Bagi sebagian besar pelaku usaha kita, masalah identifikasi spesifik produk belum diperhatikan serius ditambah dengan terbatasnya pemahaman regulasi bisnis tersebut. Sehingga, banyak pengusaha yang akhirnya urung mewaralabakan bisnisnya.

Kondisi tersebut tentu saja akan berpengaruh pada perkembangan waralaba lokal. Sebab, langkah utama mengembangkan bisnis dengan pola waralaba salah satu faktor penentunya adalah dengan produk yang spesifik atau keunikan. Untuk komoditas dengan kandungan inovasi tinggi, akan lebih baik lagi jika dilengkapi dengan jaminan hak kekayaan intelektual (HAKI). Perlindungan hukum yang spesifik atas komoditas yang dihasilkan merupakan jaminan utama berkembangnya bisnis lokal, jika ingin menjadi bisnis waralaba nasional maupun internasional.

Kemudian faktor lain yang menentukan keberhasilan mengembangkan bisnis dengan pola waralaba adalah pemahaman terhadap kemitraan bisnis. Bagi sebagian besar pengusaha kita, kemitraan bisnis masih dianggap baru bisa dilakukan dalam bentuk skala usaha yang sudah besar. Padahal untuk skala menengah bahkan skala usaha mikro dan kecil hal tersebut bisa dilakukan.

Kemitraan dalam pengembangan bisnis waralaba adalah hal yang paling pokok. Kemitraan bisa dibangun atas dasar keterbatasan dana investasi usaha, pengembangan produk untuk jangkauan pasar yang lebih luas, dan permintaan terhadap suatu produk yang terus berkembang. Kemitraan yang dijalankan dalam bisnis waralaba harus didasarkan kepada beberapa aspek diantaranya adalah kesamaan kepentingan, saling mempercayai dan menghormati, tujuan bisnis yang jelas dan terukur serta kesediaan untuk berkorban guna merekatkan kemitraan waralaba dalam jangka panjang.

Untuk masuk menjadi jaringan waralaba global, komoditas yang dihasilkan pengusaha lokal otomatis harus memiliki standar global. Untuk memiliki standar global prosesnya tidak mudah. Ada uji kualitas produk yang harus dilalui dan aturan regulasi di masing-masing negara. Ini menjadi kendala utama dalam mengembangkan jaringan bisnis lokal/nasional menjadi jaringan waralaba global. Untuk masuk ke pasar global, komoditas yang kita hasilkan tidak cukup hanya atas dasar asumsi bahwa komoditas kita akan diterima oleh konsumen global. Untuk masuk pasar global diperlukan produk dan pelayanan yang unik sesuai dengan budaya dan selera masyarakat global dengan berorientasi kepada potensi sumberdaya yang dimiliki.

Potensi-potensi spesifik perkembangan bisnis nasional menjadi jaringan waralaba global bisa terjadi pada berbagai macam komoditas. Potensi dan kultur wilayah perekonomian Indonesia menyimpan banyak faktor spesifik yang membedakan komoditas yang kita hasilkan dengan komoditas yang negara lain hasilkan. Dari sisi kuliner (makanan) misalnya, makanan produk dalam negeri sangat mungkin diterima oleh masyarakat konsumen negara-negara tetangga yang memiliki kemiripan jenis makanan yang tidak jauh berbeda. Contohnya, kita saat ini bisa menikmati restoran Padang ada di Kualalumpur, ke depan bisa saja ini dikembangkan dengan berbagai komoditas lain.

Wilayah kita juga menyimpan banyak tanamann yang menyimpan banyak khasiat yang bermanfaat bagi kesehatan. Seandainya jamu/obat-obatan tersebut distandarnisasi secara global, sangat mungkin kita mengembangkan produk tersebut menjadi jaringan bisnis waralaba global. Yang lagi trend saat ini seperti Kopi Luwak. Sepertinya ironi, sebagai salah satu produsen kopi terbesar di dunia, pasar minuman tersebut untuk kelas konsumen premium di dalam negeri justru dikuasai oleh waralaba asing.

Kita juga salah satu produsen kakao terbesar di dunia, tetapi kita kalah pamor dengan produk olahan kakao dari negara-negara Eropa. Begitu juga kerajinan di Indionesia yang diminati banyak konsumen luar negeri. Prinsipnya banyak komoditas lokal/nasional yang bisa dikembangkan dengan pola waralaba menjadi jaringan bisnis global. Prinsip lain, untuk mengembangkan jaringan bisnis nasional menjadi waralaba global tidak harus berangkat dari komoditas aktual yang saat ini diterima pasar dan sudah memiliki jaringan konsumen global.

Pada sisi tertentu, dibutuhkan juga peran pemerintah dalam perencanaan pengembangan komoditas nasional agar ke depan menjadi komoditas global dengan dukungan jaringan waralaba. Agar keuntungan yang kita peroleh tidak hanya dari menjual komoditas tersebut kepada trader internasional, alternatif mengembangkan jaringan bisnis komoditas nasional melalui waralaba adalah pilihan yang bisa ditempuh. Selain perencanaan kebijakan, sosialisasi kepada pelaku usaha kita juga harus terus dilakukan. Sosialisasi terutama menyangkut pentingnya kualitas produk yang tetap terjaga dan memenuhi standar kualitas internasional.

Dari sisi iklim bisnis global, pemanfaatan peluang pemasaran dan kemitraan melalui waralaba saat ini banyak dimanfaatkan negara-negara maju. Faktor utama yang memudahkan negara-negara maju lebih ekspansif dalam pengembangan waralaba dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor tersebut seperti dukungan teknologi atas pemasaran produk yang dihasilkan serta perlindungan dan identifikasi spesifik yang sudah sangat komprehensif atas produk-produk yang mereka hasilkan. Negara-negara maju memang sudah cukup mapan dalam melindungi komoditasnya dengan aturan-aturan menyangkut paten, merek dan rahasia dagang.

Faktor lain juga didukung oleh dukungan pembiayaan. Kepemilikan dana investasi yang besar menyebabkan pelaku usaha di negara maju tidak memiliki banyak kendala dalam mengembangkan ekspansi usahanya hingga menjadi jaringan usaha global. Atas dasar hal-hal tersebut, daya tawar (bergainning position) pelaku usaha asing lebih kuat dalam mengembangkan pasar dan kemitraan dibandingkan pelaku usaha lokal.

Memotret Kinerja dan Kontribusi Koperasi dalam Perekonomian Nasional

Amelia, SE, RFP-I, MM (Dosen Manajemen Universitas Pelita Harapan Surabaya)

Ronald, ST, MM (Ketua Jurusan Universitas Pelita Harapan Surabaya)

Berbicara mengenai Koperasi bukanlah hal baru di dalam sendi perekonomian nasional. Walaupun koperasi sebenarnya bukanlah organisasi usaha yang asli berasal dari Indonesia, namun dengan keberadaannya lebih dari 50 tahun diharapkan koperasi menjadi pilar atau soko guru perekonomian nasional dan juga lembaga gerakan ekonomi rakyat. Namun, harapan ini tentu tidak seindah kenyataannya dimana gaung dari koperasi sangat jarang terdengar saat ini.

Bila ditilik lebih jauh, kegiatan berkoperasi dan organisasi koperasi (dalam bahasa Inggris disebut co-operation, cooperative) pada awalnya diperkenalkan di Inggris sekitar abad pertengahan, dengan misi utama untuk menolong kaum buruh dan petani yang menghadapi problem-problem ekonomi dengan menggalangkan kekuatan mereka sendiri. Keberhasilan dari kegiatan berkoperasi ini kemudian menyebar ke Amerika Serikat dan negara-negara lainnya di dunia.

Pengenalan mengenai koperasi di Indonesia sendiri baru dimulai pada awal abad 20 sejak masa penjajahan Belanda. Setelah proklamasi kemerdekaan, gerakan koperasi Indonesia akhirnya dideklarasikan sebagai sebuah gerakan pada tanggal 12 Juli 1947 melalui Kongres Koperasi di Tasikmalaya. Koperasi memperoleh tempat sendiri dalam struktur perekonomian nasional dan mendapatkan perhatian dari pemerintah. Hal ini karena badan usaha yang paling sesuai dengan asas kekeluargaan sebagaimana diamanatkan dalam  Pada Pasal 33 UUD 1945 adalah koperasi.

Sejak awal koperasi diperkenalkan di Indonesia, koperasi telah diarahkan sesuai dengan cikal bakal koperasi di Inggris yaitu untuk berpihak kepada kepentingan ekonomi rakyat yang merupakan golongan ekonomi lemah. Keberadaan dari koperasi diharapkan memberi dampak yang positif bagi perekonomian Indonesia dimana tidak terdapat satupun lembaga sejenis lainnya yang mampu menyamainya, namun di lain sisi juga mampu menjadi penyeimbang terhadap pilar perekonomian lainnya. Kesesuaian prinsip koperasi dengan budaya dan tata kehidupan yang dijunjung oleh bangsa Indonesia dapat terlihat dari prinsip koperasi yaitu menolong diri sendiri, kerjasama untuk kepentingan bersama (gotong royong), dan beberapa esensi moral lainnya.

Tegaknya pondasi koperasi di Indonesia sendiri tidak lepas dari peran serta Bung Hatta yang pada awal pergerakan koperasi menjabat menjadi Wakil Presiden RI yang pertama. Buah kerja keras Bung Hatta akhirnya dapat terlihat dengan dihantarkannya koperasi memasuki masa kejayaan pada dekade 1950-1960-an dimana kegiatan ekonomi kerakyatan dengan berasaskan kekeluargaan digerakkan oleh koperasi. Tentu saja tidak salah bila akhirnya Bung Hatta menjadi Bapak Koperasi Indonesia.

Namun, seiring dengan bergantinya kekuasaan dari pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru, kejayaan dari koperasi mengalami penurunan drastis. Ekonomi kerakyatan bukan lagi digerakkan oleh koperasi, melainkan konglomerasi yang serba membutuhkan modal sangat besar. Memasuki tahun 1970-an, koperasi mengalami masa dilematis dimana koperasi haruslah mengurus diri sendiri dan di lain pihak mereka harus bersaing dengan para perusahaan besar (multinasional) yang mendapat berbagai keuntungan, baik dari fasilitas dana dan berbagai kebijakan pemerintah. Salah satu institusi yang dapat memberikan fasilitas peminjaman dana adalah BRI, namun pada masa itu bukanlah lembaga keuangan yang bersahabat dengan koperasi. Sekilas dari perjalanan panjang koperasi tersebut dapat terlihat bahwa perjalanan yang dilewati oleh koperasi tidaklah selamanya mulus.

 

Kontribusi Koperasi dalam Perekonomian Nasional

Perekonomian nasional Indonesia disangga oleh tiga pilar utama, yaitu: Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), dan koperasi. Meskipun setiap pilar tersebut mempunyai peranan masing-masing sesuai dengan kapasitasnya di dalam meningkatkan perekonomian nasional, namun bila ditilik dari UUD 1945 maka dapat dikatakan bahwa koperasi memiliki kedudukan istimewa yaitu sebagai soko guru perekonomian nasional.

Selain itu, diantara ketiga pilar utama perekonomian nasional tersebut, koperasi juga dapat menyesuaikan dengan baik. Di dalam ilmu ekonomi dimana secara makro diharapkan koperasi dapat berkontribusi secara nyata terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), penciptaan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, menjaga kestabilan inflasi dan pada akhirnya mengentaskan kemiskinan demi kesejahteraan masyarakat secara utuh. Di lain sisi, sesuai dengan mikro ekonomi, diharapkan koperasi dapat meningkatkan ketrampilan dan kemampuan serta kemandirian dari setiap anggotanya di dalam korelasinya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan anggotanya. Namun sungguh ironis karena diantara ketiga pilar utama tersebut Koperasi merupakan pilar ekonomi yang paling surut langkahnya dibandingkan BUMN dan BUMS.

Tabel 1: Perkembangan Usaha Koperasi, 2000 – 2010

Periode(Tahun) Total Koperasi(Unit) Tidak Aktif(Unit) Aktif(Unit) % Aktif RAT(Unit) RAT (% dari koperasi aktif) Anggota(Orang)
Des. 98 52.000 .. .. .. .. .. ..
2000 103.077 14.147 88.930 86,28% 36.283 40,80% 27.295.893
2001 110.766 21.010 89.756 81,03% 37.637 41,93% 23.644.850
2002 118.644 26.113 92.531 77,99% 44.834 48,45% 25.007.601
2003 123.181 29.381 93.800 76,15% 44.661 47,61% 27.282.658
2004 130.730 37.328 93.402 71,45% 46.310 49,58% 27.523.053
2005 134.963 40.145 94.818 70,25% 45.508 48,00% 27.286.784
2006 141.326 42.383 98.944 70,01% 46.057 46,55% 27.776.133
2007 149.793 44.794 104.999 70,10% 48.262 45,96% 28.888.067
2008 154.964 46.034 108.930 70,29% 47.150 43,28% 27.318.619
2009 170.411 49.938 120.473 70,70% 58.534 48,59% 29.240.271
2010 177.482 52.627 124.855 70,35% 55.818 44,71% 30.461.121

Sumber: Depkop dan UKM, diolah penulis

Berdasarkan data resmi dari Departemen Koperasi dan UKM sampai pada akhir 2010 menunjukkan bahwa terdapat peningkatan signifikan dari akhir tahun 1998 dimana masa tersebut merupakan masa-masa terjadinya krisis ekonomi sampai pada tahun 2000. Peningkatan yang terjadipun hampir dua kali lipat dari jumlah total koperasi. Menurut Soetrisno (2003), pada dasarnya tanggapan terhadap dibukanya secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres 18/1998, sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan hingga 2001 sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi.

Namun, perkembangan yang terjadi setelah ini cukup memprihatinkan meskipun setiap tahun jumlah koperasi di Indonesia mengalami pertumbuhan. Kondisi prihatin tersebut dapat dilihat dari menurunnya persentasi koperasi aktif dari tahun ke tahun sampai pada akhirnya mengalami peningkatan kecil di tahun 2009 yaitu dari 70,29% menjadi 70,70% untuk kemudian pada akhir tahun 2010 kembali mengalami penurunan ke titik 70,35%. Dan dari jumlah koperasi yang aktif tersebut tidak sampai 50% yang menjalankan Rapat Tahunan Anggota (RAT). Situasi ini menunjukkan kurangnya keseriusan di dalam mengembangkan usaha koperasi karena di dalam RAT dapat dijelaskan mengenai kemampuan dan kelemahan serta strategi pengembangan koperasi ke depannya yang perlu untuk disesuaikan dan disamakan pada semua anggota. Ditambah lagi jumlah anggota koperasi yang kurang menunjukkan peningkatan signifikan dari tahun 2000 sebesar 27.295.893 dan di tahun 2010 sebesar 30.461.121. Padahal bila dapat disosialisasikan dengan baik maka dengan peningkatan anggota koperasi tentu saja akan meningkatkan perekonomian nasional.

Sejalan dengan ketidakseriusan tersebut, penurunan persentasi koperasi aktif ini menunjukkan kurangnya peran pemerintah dalam menjalankan perannya sebagai pembina koperasi. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak menunjukkan dukungan terhadap pengembangan koperasi rakyat. Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), Adi Susono yang diberitakan di Kompas pada 31 Mei 2007 menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah menyebabkan koperasi pasar tradisional semakin tersingkir oleh pasar modern. Selain itu, lebih lanjut Adi Susono menjelaskan bahwa perbankan juga kerap tidak berpihak pada koperasi kecil sehingga koperasi kecil sulit mendapatkan pinjaman modal untuk pengembangan usaha. Ini sangatlah kontras bila pada awal dijelaskan mengenai peran koperasi sebagai soko guru perekonomian Indonesia.

Tabel 2: Perkembangan Usaha Koperasi 2000 – 2010

Periode(Tahun) Modal Sendiri(Rp Juta) Modal Luar(Rp Juta) Rasio Modal dalam dan Modal luar Volume Usaha (Rp Juta) % Perkembangan Volume Usaha SHU (Rp Juta) % SHU terhadap Volume Usaha
2000 6.816.950,25 12.473.404,16

54,65%

23.122.224,23 .. 694.502 3,00%
2001 11.699.952 16.322.599,10

71,68%

38.730.174,95 67,50% 3.134.446,41 8,09%
2002 8.568.530,3 14.773.180,65

58,00%

28.415.411,31 -26,63% 988.516,72 3,48%
2003 9.419.987,16 14.939.422,15

63,05%

31.683.699,39 11,50% 1.871.926,70 5,91%
2004 11.989.451,5 16.897.052,35

70,96%

37.649.091,04 18,83% 2.164.234,54 5,75%
2005 14.836.208,06 18.179.195,39

81,61%

40.831.693,56 8,45% 2.198.320,31 5,38%
2006 16.790.860,53 22.062.212

76,11%

62.718.499,78 53,60% 3.216.817,65 5,13%
2007 20.231.699,45 23.324.032,14

86,74%

63.080.595,81 0,58% 3.470.459,45 5,50%
2008 22.560.380,03 27.271.935,23

82,72%

68.446.249,39 8,51% 3.964.818,55 5,79%
2009 28.348.727,78 31.503.882,17

89,98%

82.098.587,19 19,95% 5.303.813,94 6,46%
2010 30.102.013,90 34.686.712,67

86,78%

76.822.082,4 -6,43% 5.622.164,24 7,32%

Sumber: Depkop dan UKM, diolah penulis

Penggunaan modal dari koperasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu: modal sendiri dan modal luar. Dari tahun 2000 ke tahun 2010 dapat terlihat peningkatan penggunaan modal sendiri dibandingkan modal luar yaitu dari rasio modal dalam dan modal luar tahun 2000 sebesar 54,65% menjadi 86,78% pada tahun 2010. Di satu sisi, ini dapat dipandang sebagai semakin matangnya manajemen serta anggota koperasi sehingga memiliki modal di dalam pengembangan koperasi. Namun, di sisi lain, dapat menimbulkan persepsi bahwa koperasi semakin sulit di dalam memperoleh modal luar di dalam membiayai koperasi. Dengan adanya kedua sisi ini maka perlu dilakukan peninjauan mendalam mengenai alternatif pembiayaan dari koperasi.

Salah satu indikator umum pengukuran kinerja koperasi yaitu perkembangan volume usaha dan Sisa Hasil Usaha (SHU). Seperti halnya profit perusahaan, SHU sangat dipengaruhi oleh sisi permintaan (harga dan volume penjualan efektif) dan penawaran (biaya produksi). Dari persentasi SHU terhadap volume usaha menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun sejak tahun 2002 meskipun peningkatan belum sepenuhnya stabil dan pada tahun 2010 mencapai nilai 7,32%. Hal ini mencerminkan peningkatan tingkat efisiensi yang berbanding lurus dengan tingkat produktivitas di koperasi. Namun, dari persentasi perkembangan volume usaha dapat terlihat kurang stabilnya perkembangan dari volume usaha koperasi ataupun lebih parahnya menjadi kemunduran. Ini dapat terlihat dari penurunan volume usaha pada tahun 2002 sebesar -26,63% dan meskipun tidak sebesar pada tahun 2010 namun kemunduran ini terulang lagi pada tahun 2010 yaitu sebesar -6,43%.

Selain itu, terdapat perbedaan pemerataan koperasi aktif di setiap provinsi di Indonesia berdasarkan data Depkop dan UKM tahun 2011. Terdapat provinsi dengan tingkat koperasi aktif yang tinggi dan di lain pihak terdapat tingkat koperasi aktif yang rendah. Pembahasan ini dapat dilihat dari teori ilmu ekonomi. Secara teori dalam ilmu ekonomi, korelasi antara koperasi aktif dan kondisi ekonomi atau pendapatan per kapita dapat berpengaruh positif ataupun negatif.

Dari sisi permintaan (pasar output), dalam kondisi ceteris paribus maka pendapatan per kapita yang tinggi membuat prospek pasar output baik (kondisi booming), memberi suatu insentif bagi perkembangan aktivitas koperasi karena pelaku-pelaku koperasi dapat melihat peluang besar dimana pasar sedang berkembang, sering disebut sebagai efek demand-pull. Di sisi berseberangan yaitu dari sisi penawaran (pasar output), bila dilihat dari sisi masyarakat dengan ekonomi lemah (petani dan produsen), pendapatan per kapita yang tinggi menciptakan disinsentif bagi para petani atau produsen untuk membentuk koperasi karena mereka merasa telah memperoleh kehidupan yang mereka inginkan atau disebut efek supply-push.

Fenomena supply-push menjelaskan bahwa petani dan produsen yang berada di daerah/provinsi dengan tingkat pendapatan per kapita yang cenderung rendah lebih berpotensi untuk membentuk koperasi dikarenakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi mereka untuk bekerja secara individu. Dengan membentuk koperasi maka mereka dapat memperoleh lebih banyak keuntungan untuk dapat bersaing dengan perusahaan besar baik dalam keunggulan harga ataupun penguasaan pangsa pasar.

Berdasarkan penelitian Tulus Tambunan (2008) dapat terlihat korelasi yang kuat antara koperasi aktif dan tingkat pengangguran di setiap provinsi di Indonesia. Ini dibuktikan dari data tahun 2006 dimana tingkat pengangguran tertinggi di Jawa Barat (22,86%) dan jumlah koperasi aktif juga paling banyak (masing-masing 14.211 dan 20.562 unit). Sedangkan tingkat pengangguran terendah di Bangka Belitung (0,25%) dan jumlah koperasi aktif terkecil (473 unit). Terlihat indikasi fenomena supply-push didalam melihat hubungan koperasi aktif disetiap provinsi yang berbeda-beda.

 

Perjalanan Koperasi Indonesia di Masa Mendatang

Perjalanan koperasi di masa mendatang tentu saja tidak mudah, masih banyak hambatan-hambatan yang akan menghalangi. Namun setiap hambatan janganlah dijadikan penghambat yang dapat mematikan langkah tetapi dapat dijadikan peluang untuk menjadikan koperasi lebih baik lagi di masa mendatang. Sebelum pembahasan mengenai strategi-strategi yang dapat diterapkan oleh koperasi maka perlu dilakukan analisis SWOT (kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan ancaman) terlebih dahulu.

Berdasarkan penelitian Widiyanto (1996, 1998) berhasil mengiventarisasi kekuatan dan kelemahan faktor-faktor internal koperasi yaitu sebagai berikut:

Tabel 3: Inventarisasi Kekuatan dan Kelemahan Faktor-Faktor Internal Koperasi

No.

Faktor

Kekuatan

Kelemahan

Netral

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Captive marketLoyalitas

Mentalitas

Legalitas

Personalia

Dominasi kekuasaan

Konflik misi

Rantai distribusi

Administrasi

X

X

X

X

X

X

X

X

X

Sumber: penelitian Widiyanto (1996, 1998)

Disimpulkan oleh Widiyanto (1996) bahwa tidak banyak koperasi yang memiliki keunggulan bersaing, dan memaparkan bahwa posisi koperasi cenderung pada posisi “dapat bertahan” ke “lemah”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor internal dari koperasi sangat lemah padahal koperasi merupakan usaha yang mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah.

Bila dilihat dari kondisi tersebut maka untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan koperasi menjadi lebih baik diperlukan perhatian lebih terhadap koperasi, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, pemerintah dalam hal ini Departemen Koperasi dan UKM perlu memiliki database yang lengkap mengenai koperasi secara spesifik serta keunggulan kompetitif dan kelemahan dari setiap koperasi, sosialisasi koperasi secara tepat dan berkala akan koperasi ke berbagai pelosok provinsi oleh pemerintah ataupun lembaga terkait untuk meningkatkan kesadaran untuk berkoperasi. Selain itu, juga turut berperan aktif dalam mendukung manajemen koperasi baik dalam kebutuhan, penganggaran, implementasi, dan evaluasi dana koperasi. Lebih lanjut, diperlukan capacity building dalam koperasi yaitu peningkatan sumberdaya manusia untuk dapat menjawab tantangan globalisasi.

Secara eksternal, kemampuan menetapkan harga dan struktur pasar perlu menjadi prioritas pembelajaran bagi koperasi. Di dalam memperoleh keunggulan dan dapat bertahan dalam jangka panjang maka penentuan harga serta pemilihan struktur pasar yang tepat perlu diperhatikan karena akan berdampak pada kualitas dan efisiensi. Selain itu, koperasi dapat lebih aktif di dalam menganalisis strategi yang digunakan badan usaha non-koperasi yang sekiranya dapat diterapkan, seperti: akuisisi, Joint Venture, dan bentuk-bentuk kerjasama lainnya untuk meningkatkan diversifikasi produksi, spesialisasi, serta penerapan teknologi infomasi yang lebih modern dan inovatif. Peran pemerintah lebih spesifik Departemen Koperasi dan UKM diperlukan di dalam pembinaan, baik secara internal maupun eksternal, dan pembinaan ini diharapkan dapat berjalan sistematis dan berkesinambungan sehingga dapat memperoleh hasil seoptimal mungkin.

Keberhasilan koperasi bukanlah semata-mata peran pelaku koperasi dan pemerintah saja tetapi peran keseluruhan masyarakat untuk dapat menjadikan lingkungan yang kondusif untuk koperasi dapat hidup dan berkembang dengan sehat. Oleh karena itu, setiap lapisan masyarakat beserta keseluruhan aparat pemerintah perlu untuk senantiasa bergandengan tangan di dalam menghidupkan kembali dan menyuburkan koperasi Indonesia. Bukanlah mustahil koperasi dapat kembali merasakan masa kejayaannya seperti dahulu atau bahkan lebih.

Hutan dan Perkebunan Merupakan Cadangan Sumber Daya Energi dan Bahan Bakar Terbarukan Indonesia Masa Depan

 

 

 

 

 

 

 

Oleh : Dr.Rudianto Amirta

Dosen Fakultas Kehutanan

Universitas Mulawarman-Kalimantan

Sebagaimana kita ketahui bersama, Indonesia merupakan satu dari sekian negara di dunia yang dikenal memiliki kawasan hutan yang masih tergolong tinggi, selain Brasil dan Zaire. Letak geografis Indonesia yang tepat berada di garis Khatulistiwa, menjadikan negara ini sebagai salah satu pemilik dari hutan tropis basah yang masih dimiliki oleh dunia saat ini. Kawasan hutan tropis basah Indonesia diketahui menyimpan beragam kekayaan hayati (biodiversity). WWF Indonesia bahkan melaporkan bahwa kawasan hutan di Indonesia, khususnya yang berada di Kalimantan Timur (Kayan Mentarang, Malinau) memiliki sekitar 15.000 jenis tanaman pada setiap kilimoter persegi dari kawasannya, dan nilai keberagaman ini merupakan yang paling tinggi, jika dibandingkan dengan kawasan manapun di muka bumi ini (Pio, 2008).

Tidak hanya itu, hutan di Kalimantan juga diketahui menyimpan kekayaan beragam jenis tanaman endemik. Tercatat 6.000 jenis tanaman yang tergolong kedalam klasifikasi ini, termasuk diantaranya 155 jenis dipterokarpa yang secara ekonomis dan ekologis memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di kawasan ini. Namun sayangnya, potensi keragaman yang tinggi tersebut belum sepenuhnya dapat dirasakan manfaatnya, mengingat sebagian besar dari kekayaan hayati tersebut belum dikenal dan diketahui fungsi dan kegunaannya, baik secara ekonomis maupun ekologis guna mendukung kehidupan umat manusia yang mendiaminya secara berkelanjutan.

Lignoselulosa yang tersusun dari selulosa, hemiselulosa dan juga ligninKetidaktahuan akan sifat dasar dan fungsi menjadi faktor utama dan penyebab dari ketidakbermanfaatannya potensi hutan dan sumber biomassa yang kaya akan kandungan lignoselulosa ini. Saat ini, hutan tidak hanya dibangun untuk menghasilkan kayu-kayu pertukangan guna memenuhi keperluan konstruksi bangunan, meubeler serta bahan baku pulp dan kertas semata. Sejak beberapa tahun terakhir, berkembang pula pemikiran dan teknologi pemanfaatan potensi biomassa hutan yang besar dan kaya akan kandungan lignoselulosa ini (lignocellulosic biomass) sebagai bahan baku untuk memproduksi bahan bakar, energi dan bahan kimia yang terbarukan (Watanabe, 2007).

Lignosellulosa adalah sebuah terminologi yang umumnya digunakan untuk menggambarkan komponen utama penyusun dari suatu tumbuhan, baik yang berupa kayu (wood), maupun bukan pohon (non-woody) seperti rumput, jerami dan lain sebagainya.  Komponen ini umumnya dapat dijumpai mulai dari bagian akar, batang dan juga daun tumbuhan.  Sebagaimana yang terlihat pada Gambar 2., secara kimia biomassa berlignosellulosa ini akan tersusun atas 3 komponen utama, yaitu sellulosa (38-50%), lignin (15-30%), dan hemisellulosa (23-32%) (Sierra et al., 2007).

Dewasa ini, penggunaan biomassa hutan yang kaya akan kandungan lignoselulosa sebagai penghara (feedstock) dalam memproduksi bahan bakar yang ramah lingkungan (bioetanol) menjadi sangat penting dan menarik untuk dilakukan terutama didasarkan pada tiga kelebihan utama yang dimilikinya. Pertama, biomassa berlignoselulosa merupakan sumber bahan baku yang bersifat terbarukan (renewable resources), sehingga dapat dikembangkan secara berkelanjutan dimasa datang. Kedua, jenis bahan bakar yang bersumber pada biomassa hampir tidak menghasilkan emisi karbon dioksida (CO2), karenanya berdampak sangat positif pada lingkungan.

Siklus karbon tertutup pada penggunaan bahan bakar yang bersumber dari biomassa yang berlignoselulosaKetiga, bahan bakar biomassa memiliki potensi ekonomi yang sangat menguntungkan dan signifikan, terutama jika dikaitkan dengan fenomena menurunnya produksi dan terus meningkatnya harga bahan bakar fosil dimasa datang (Cadenas dan Cabezudo, 1998; Demirbas, 2007). Lebih dari itu, biomassa hutan, limbah industri perkayuan dan pertanian yang kaya akan kandungan lignoselulosa ini bukan merupakan bahan pangan, sehingga pemanfaatannya sebagai bahan bakar dan energi tidak akan mengganggu ketersediaan cadangan bahan makanan yang kita miliki (non edible biomass).

Khusus mengenai bioetanol, pemerintah Indonesia telah menyusun sebuah peta jalan atau roadmap pengembangan produksi dari bahan bakar yang terbarukan. Dalam peta jalan tersebut, pemerintah berencana untuk memproduksi bioetanol dengan menggunakan bahan-bahan biomassa berlignosellulosa yang bersumber dari hutan, limbah industri perkayuan dan pertanian untuk menggantikan penggunaan bahan pangan, sebagaimana yang ada saat ini (direncanakan pada tahun 2016-2025).

Menyikapi rencana tersebut dan sebagai langkah awal guna mewujudkan dan mengisi roadmap pembangunan industri bioetanol Indonesia yang mandiri, maka sejak dua tahun yang lalu kami telah melakukan serangkaian penelitian yang kami fokuskan pada upaya mengidentifikasi dan melakukan seleksi terhadap kesesuaian penggunaan dari beberapa jenis tumbuhan, khususnya kayu-kayu tropis yang berpotensi untuk dikonversi menjadi bioetanol. Identifikasi dan tahapan seleksi telah kami lakukan dengan menganalisa kandungan kimia kayu dan potensi gula tereduksi yang dimiliki (setelah proses hidrolis secara enzimatis) oleh biomassa berlignoselulosa hutan tropis tersebut. Adapun penelitian ini kami lakukan sebagai bagian dari adaptasi terhadap kemajuan teknologi yang berkembang pesat, khususnya dalam proses pembuatan bioethanol.

Roadmap pengembangan industry bioethanol Indonesia 2006~2025 (ESDM – Anonim, 2010)Hasil penelitian yang telah kami lakukan menunjukkan bahwa beberapa jenis kayu hutan tropis yang selama ini dikenal sebagai jenis pionir hutan sekunder, cepat tumbuh dan dapat beradaptasi dengan lingkungan tanah yang miskin akan unsur hara serta sejauh ini tidak digunakan dan bernilai ekonomi sangat rendah seperti terap, sukun, bungur dan sengon ternyata memiliki tingkat kesesuaian yang sangat tinggi, dan berpotensi besar untuk dikembangkan sebagai bahan baku bioetanol dimasa datang (lignocellulosic biomass). Penilaian positif akan kesesuaian penggunaan kayu-kayu tersebut sebagai bahan baku bioetanol ditandai dengan potensi kandungan gula tereduksinya yang tergolong sangat tinggi, dimana kayu terap (Artocarpus elasticus) mencapai 73,59%, sengon (Paraserianthes falcataria) 70,25%, bungur (Lagerstromia speciosa) 69,06% dan sukun (Artocarpus altilis) 67,84% (w/w). Sejauh yang kami ketahui, hasil penelitian ini merupakan temuan pertama yang memperlihatkan potensi gula Variasi teknologi pada pembuatan bioetanolterreduksi yang sangat tinggi dari kayu-kayu pionir daerah tropis, khususnya dari jenis-jenis pionir yang tumbuh dan banyak di jumpai di kawasan Asia Tenggara.

Tidak hanya itu, kawasan hutan dan areal perkebunan di Indonesia juga merupakan cadangan bahan baku energi yang luar biasa bagi Indonesia. Biodiesel dan pellet energy juga dapat dikembangkan dengan memanfaatkan potensi biomassa yang besar ini. Saat ini, hampir setiap daerah kabupaten maupun kota, terutama yang berada di Sumatera dan Kalimantan merupakan pusat atau basis pengembangan perkebunan dan industri pengolahan kelapa sawit yang ada di negara ini.

Secara nasional, kelapa sawit adalah salah satu komoditas andalan Indonesia dalam meraih devisa.  Selama 20 tahun (1985-2005) tercatat pertambahan luasan kebun kelapa sawit sebanyak 837%, hal ini dibuktikan dengan kontribusi minyak sawit terhadap ekspor nasional sebanyak 6%, komoditas ini juga nomor satu dari produk Indonesia di luar sektor  gas dan minyak bumi. Namun, dampak positif dari perkembangan industri kelapa sawit juga menghasilkan dampak buruk bagi lingkungan apabila limbah yang dihasilkan tidak dikelola dengan baik.

Mass balance dalam industri pengolahan minyak kelapa sawit (Kismanto, 2006-dimodifikasi; Amirta et al., 2008)Jika kita mencermati proses pengolahan tandan buah segar (FFB) menjadi minyak sawit (CPO), maka lebih kurang 45% dari input buah segar yang diolah tersebut pada akhirnya akan berubah menjadi limbah padat berupa cangkang/tempurung (shell), serabut (fiber) dan tandan kosong sawit (EFB) (Gbr. 6).  Setengah dari jumlah limbah padat tersebut merupakan tandan kosong sawit.  Jumlah yang sangat besar, bila mengingat jumlah buah sawit segar yang diolah terus meningkat dari waktu ke waktu, demikian pula kapasitas dari industri pengolahan minyak sawitnya.

Sebagai contoh Propinsi Kalimantan Timur, saat ini telah beroperasi beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan realisasi luas areal penanaman yang telah mencapai 714.000 ha dan dengan tingkat produksi tahunan crude palm oil (CPO) sebesar 2,5 juta ton (produksi buah segar tahunan ± 12,5 juta ton).  Jumlah produksi yang besar tersebut ditopang dengan keberadaan 18 pabrik minyak kelapa sawit yang tersebar disebagian besar wilayah propinsi ini (Anonim, 2010). Jika diasumsikan bahwa 20% limbah tandan kosong akan dihasilkan dari pengolahan setiap ton buah sawit segar, maka setidaknya saat ini terdapat potensi limbah sekitar 2,5 juta, yang siap untuk dimanfaatkan menjadi berbagai produk yang bernilai ekonomi tinggi, satu diantaranya adalah bio-pellet (pellet energy).

Sejauh ini pemanfaatan limbah padat kelapa sawit untuk menghasilkan energi baru terbatas sebagai bahan bakar padat pada ketel (boiler), terutama untuk limbah padat yang berupa cangkang/tempurung dan serabut. Khusus untuk limbah tandan kosong sawit, pemanfaatan sebagai bahan bakar padat boiler mempunyai konstrain/penghambat yaitu pada tingginya kandungan air (moisture) 60% dan polusi yang yang dihasilkan.

                       (a)                                                  (b)                                              (c)

Gbr. 7. (a) Limbah tandan kosong sawit yang melimpah di sekitar lokasi pabrik minyak sawit; (b) limbah yang dikembalikan ke areal kebun; (c) limbah yang dibakar di sekitar kebun sawit (Amirta, 2010)

Namun demikian, dengan pengembangan teknologi proses yang telah dilakukan, kami mampu secara signifikan meningkatkan mutu dan nilai kalor dari produk bio-pellet/pellet energi yang dihasilkan.  Sejauh ini, hasil penelitian kami mampu mengubah limbah padatn tandan kosong kelapa sawit menjadi produk energi alternatif dengan nilai kalor atau rataan panas sebesar ± 5.000 kCal/kg. Tidak hanya itu, hasil penelitian ini juga merupakan temuan pertama yang melaporkan bahwa limbah tandan kosong kelapa sawit dapat diproses menjadi sebuah sumber energi yang mampu memiliki nilai kalor/panas yang relatif tinggi, hingga mencapai nilai 5.354 kCal/kg atau setara dengan 22,4 MJ/kg.

Tabel 1.                 Karakterisasi dari produk bio-pellet limbah tandan kosong sawit dengan gliserol sebagai inisiator peningkatan panas/nilai kalor

Komposisi Campuran (%)

Kadar air (%)

Kerapatan
(g/cm3)

Abu
(%)

Karbon terikat (%)

Volatile matter (%)

Kalori
(kCal/kg)

Tks

Cs

Gli

Tap

80

10

5

5

4,36

0,91

3,52

3,06

89,06

5.230

70

20

5

5

4,35

0,91

3,05

2,54

90,06

5.350

60

30

5

5

4,56

0,91

3,00

2,00

90,64

5.354

50

40

5

5

4,35

0,91

3,00

3,00

90,65

5.354

Keterangan: Tks, tandan kosong sawit; Cs, cangkang  sawit; Bks, bungkil kernel sawit dan Tap, tapioka

Produk pellet energy ini berpeluang luas untuk dikembangkan. Peluang pengembangan industri dan produksi bio-pellet sangat bergantung pada tingkat permintaan akan produk ini dipasar energi, baik itu yang berasal dari dalam negeri (domestik), maupun dari luar negeri. Dengan nilai kalor yang dimiliki oleh bio-pellet berbahan baku limbah tandan kosong kelapa sawit saat ini, yaitu > 5.000 kCal/kg, pada faktanya adalah jauh di atas persyaratan dari Low Rank Coal (LRC) atau batu bara berkalori rendah yang diinginkan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk digunakan sebagai bahan bakar pembangit listrik (power plant) nasional, guna mendukung program penyediaan listrik nasional (nilai panas/kalor 3.900~4.700 kCal/kg).

Kebutuhan PLN akan LRC tersebut dimuat dan disampaikan dalam berbagai kesempatan dan pemberitaan di beberapa media nasional.  Mengutip pemberitaan dari Media Indonesia di penghujung tahun 2009 yang lalu, `PT PLN (Persero) menenderkan pengadaan batu bara kalori rendah (low rank coal – LRC) untuk memenuhi kebutuhan pembangkit sebesar 3,26 juta ton per tahun`.  Itu berarti, bio-pellet limbah tandan kosong sawit sangat berpeluang besar untuk dikembangkan guna memenuhi kebutuhan energi nasional yang dari tahun ke tahun cenderung meningkat.

Oleh karena itu, Kalimantan Timur dan beberapa propinsi lainnya yang menjadi sentra perkebunan dan pengolahan kelapa sawit berpeluang menjadi pusat pengembangan industri bio-pellet/pellet energy berbahan baku limbah padat kelapa sawit, mengingat luas perkebunan dan tingkat produksi minyak sawit yang telah dimiliki saat ini. Tidak hanya itu, program pengembangan perkebunan kelapa sawit 1 juta hektar yang digagas pemerintah daerah juga akan dapat disinergikan dengan pengembangan industri bio-pellet guna mewujudkan kemampuan dan kemandirian daerah dalam memproduksi energi dari sumber-sumber terbarukan yang dimilikinya saat ini.

Selain memiliki pasar di dalam negeri, produk energi terbarukan seperti bio-pellet limbah dari padat kelapa sawit juga berpeluang besar untuk diekspor ke luar negeri. Saat ini trend kebutuhan dunia akan produk pellet energi sangat baik dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Dilaporkan oleh Swaan dan Melin (2008) dan Ekstrom (2009), setiap tahunnya negara-negara Eropa dan Amerika memerlukan sekitar 14~15 juta ton produk pellet energy, baik yang terbuat dari kayu, limbah pertanian dan lain sebagainya. Umumnya pellet energy digunakan sebagai bahan bakar untuk keperluan pemanas ruangan di musim dingin. Namun demikian saat ini kebutuhan akan pellet energy cenderung meningkat, seiring dengan berkembangnya penggunaannya sebagai bahan bakar substitusi pengganti batu bara bagi keperluan industri-industri yang ada di negara-negara tersebut.

Berbekal dari berbagai penjelasan yang telah diberikan tersebut, kami sangat berharap kita bisa menindaklanjuti penjelasan dan hasil-hasil penelitian ini menjadi sebuah peluang berinventasi guna memaksimalkan penggunaan sumber daya alam yang kita miliki, menyediakan energi dan bahan bakar yang cukup bagi masyarakat, khususnya bagi mereka yang tinggal diwilayah pedesaan, sekitar hutan dan perkebunan yang sejauh ini relatif belum tersentuh oleh kecukupan pasokan energi dan bahan bakar sebagaimana kita yang tinggal diwilayah perkotaan. Lebih dari itu, melalui upaya ini kita dapat secara nyata berperan aktif di dalam menjaga lingkungan hidup,  menyelamatkannya dari pemanasan global yang tengah terjadi melalui upaya nyata berupa penggunaan energi ramah lingkungan, terbarukan dan berasal dari biomassa terbarukan yang banyak kita miliki ini.

ACFTA, Perekonomian, dan Kemiskinan

 

oleh: Ali Khomsan

Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB

 

 

Setahun setelah diimplementasikannya ACFTA, kekhawatiran rontoknya beberapa industri tertentu kian menjadi kenyataan. Hal ini disebabkan oleh tidak mampunya industri kita bersaing dengan produk-produk China. Demikian juga produk-produk pertanian yang mungkin akan menghadapi persoalan yang sama.

 

China dikenal sebagai produsen yang efisien, penghasil barang murah, yang tentu saja cocok untuk pasar konsumen dengan daya beli rendah seperti Indonesia.  Di satu sisi, membanjirnya produk China akan semakin memanjakan masyarakat konsumen Indonesia, namun di sisi lain dapat menjadi bumerang karena ancaman PHK bagi tenaga kerja Indonesia.

 

China sebagai salah satu negara industri terkemuka dengan nilai ekspor sangat besar tentu telah banyak belajar untuk memperbaiki citranya sebagai produsen barang kelas 2.  Adanya ACFTA tidak akan disia-siakan, dan negara kita dapat menjadi konsumen paling potensial dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.

 

Kekuatan perdagangan domestik kita menghadapi ujian berat tahun  ini.  Jangan-jangan ACFTA  akan menambah kisruh upaya-upaya Indonesia untuk memerangi kemiskinan. Bukankah ancaman PHK di dunia industri akan menyebabkan tingginya pengangguran yang kemudian akan menambah jumlah orang miskin?

 

Pengangguran di Indonesai tidak hanya dihadapi oleh kaum terdidik tingkat menengah yakni lulusan SMA ke bawah, namun juga lulusan sarjana.  Banyak sarjana-sarjana baru yang harus menunggu lebih dari satu tahun sebelum mendapatkan pekerjaan. Mereka yang telah mendapat pekerjaan tidak secara otomatis bebas dari kemiskinan.  Ada yang bekerja dengan curahan waktu yang kurang sehingga penghasilannya juga minimal, dan ada pula yang bekerja dengan upah tidak layak meski curahan waktunya sudah maksimal. Data pengangguran di Indonesia ada dua macam. Menurut BPS jumlah penganggur adalah 10,55 juta (2007) dan menurut Bank Dunia jumlahnya lebih dari 40 juta orang.

 

Inti dari pemecahan masalah kemiskinan adalah tersedianya lapangan kerja, dan hal ini dapat diwujudkan apabila sektor industri berjalan lancar. Pada tahun 2009 tingkat kemiskinan nasional 14,5 persen. Ditargetkan dalam lima tahun ke depan angka kemiskinan bisa ditekan hingga 8-10 persen. Program-program bantuan untuk orang miskin selama ini sudah berjalan relatif baik, misalnya: raskin, BLT, Jamkesmas, serta Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, dan Kredit Usaha Rakyat.

Ketersediaan lapangan kerja menjadi tanggung jawab berbagai sektor. Sektor perindustrian dan perdagangan akan menjadi pilar penting untuk menggerakkan ekonomi masyarakat dan memberikan kontribusi pendapatan pada setiap keluarga-keluarga di Indonesia.

 

Disadari bahwa sektor pertanian dianggap kurang menjanjikan untuk meningkatkan kesejahteraan. Populasi petani kita lebih banyak didominasi oleh petani gurem dengan pemilikan lahan sangat sempit. Data persentase penduduk miskin usia 15 tahun ke atas (BPS, 2004) menunjukkan persentase terbesar penduduk miskin hampir di seluruh kabupaten/ provinsi adalah  mereka yang bekerja di sektor pertanian.

 

Besarnya angka kemiskinan di sektor pertanian, mungkin juga berkaitan dengan kemampuan pertanian sebagai buffer pengangguran. Di masyarakat, mata pencaharian sebagai petani kadang digunakan sebagai perlindungan dari status pengangguran. Daripada disebut penganggur, lebih baik bekerja di pertanian. Hal tersebut  turut menjelaskan  laporan dalam World Development Report 2003, yakni bahwa penduduk desa yang tinggal di area fragile (dan umumnya bermata pencaharian petani), meningkat  dua kali lipat dalam 50 tahun ini.

 

Pada tahun 1970-an kesejahteraan petani dan tenaga kerja industri tidak begitu jauh berbeda.  Namun kini, keadaan tidak lagi berpihak pada petani. Setiap tenaga kerja pertanian hanya dapat menikmati sepertiga kue pendapatan, sedangkan satu tenaga kerja industri dapat memperoleh tiga bagian pendapatan. Industri melaju jauh lebih cepat dibandingkan sektor pertanian.  Serapan tenaga kerja pertanian memang bertambah, namun kalau pertanian kita hanya dijejali dengan petani gurem maka sektor pertanian akan menjadi penyumbang kemiskinan yang signifikan.

 

Kesejahteraan petani hingga kini masih merupakan mimpi. Pada tahun 2002 dari total penduduk miskin di  Indonesia, lebih dari separonya adalah petani yang tinggal di pedesaan.  Jumlah rumahtangga pertanian pada tahun 2003 adalah 24,3 juta, sekitar 82,7% di antaranya termasuk kategori miskin.

 

Ada pameo yang mengatakan kalau ingin hidup tentram jadilah petani, kalau ingin dihormati jadilah pegawai negeri, dan kalau ingin kaya jadilah pedagang.  Kenyataannya kini petani tidak bisa hidup tentram karena kemelaratan, pegawai negeri tak dihomati karena korupsi, dan pedagangpun banyak yang bangkrut karena produknya tak mampu bersaing dengan produk impor.

Kita yang selalu bangga mengklaim diri sebagai bangsa agraris atau negara maritim, ternyata tidak pernah meraih kemakmuran dari kedua bidang tersebut.  Impor beras dan produk-produk pertanian lainnya masih saja terjadi. Potensi laut kita tidak termanfaatkan secara maksimal karena ketidakmampuan teknologi penangkapan ikan.  Akhirnya produk kelautan banyak dicuri nelayan-nelayan luar.

 

Salah satu teori tentang kelaparan menyebutkan bahwa hunger adalah bencana kemanusiaan yang dapat terjadi bilamana kebijakan pertanian dirumuskan secara tidak tepat.  Kebijakan pertanian yang tepat adalah kebijakan yang berpihak petani. Oleh karena itu kebijakan di bidang ini terlebih dahulu harus digodok dengan matang, dan diperhatikan dampak positip-negatipnya baik bagi petani maupun masyarakat.

Kebijakan pertanian akan menyangkut nasib jutaan petani.  Oleh sebab itu kebijakan yang keliru akan menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan yang tidak mustahil akan meningkatkan jumlah orang miskin di Indonesia.  Kebijakan pengentasan kemiskinan akan menghablur tanpa hasil, karena dampak positipnya tertutup oleh dampak negatip kebijakan lain yang tidak tepat.  Kerja keras pemerintah akan tampak nihil karena orang miskin tidak berkurang tapi justru bertambah.

Fokus pembangunan pertanian adalah keberdayaan petani, daya saing produk, dan kelestarian lingkungan.  Inilah paradigma baru pertanian di abad 21.  Employment shifting diperlukan untuk memberdayakan petani.  Beban sektor pertanian dengan jutaan petani gurem harus dikurangi.  Ini berarti industri nasional harus bergerak dengan laju yang lebih cepat, dan investasi harus segera masuk untuk kemudian menyerap tenaga-tenaga kerja.  Tanpa employment shifting, yang terjadi adalah bertambahnya kegureman petani yang akan semakin memperlihatkan betapa terpuruknya petani-petani kita.

Daya saing produk pertanian harus selalu diperbaiki. Lembaga-lembaga riset pertanian di Indonesia yang jumlahnya sangat banyak dan setiap tahun menyerap anggaran cukup besar jangan hanya jadi macan kertas.  Lembaga-lembaga riset depertemen harusnya lebih banyak menghasilkan karya terapan yang bisa langsung diimplementasikan di lapangan oleh petani-petani kita. Hasil riset yang hanya ditumpuk-tumpuk menjadi laporan atau makalah seminar, tidak akan pernah mensejahterakan petani Indonesia.

Menyangkut kelestarian lingkungan, maka sudah saatnya pemerintah memberi apresiasi kepada petani-petani yang mempraktekkan pola pertanian ramah lingkungan.  Pemanfaatan pupuk organik dan mengurangi penggunaan pestisida akan lebih baik bagi lingkungan hidup kita.  Kita hidup bukan hanya untuk diri kita saat ini, tetapi juga untuk anak cucu kita di tahun-tahun mendatang.  Rusaknya lingkungan berarti hancurnya kehidupan di masa datang, dan generasi saat ini akan terus dikutuk apabila kita tidak berusaha menerapkan cara hidup yang lebih bersahabat terhadap lingkungan.

Sangat penting bagi kita semua, termasuk para birokrat pembuat kebijakan, untuk mengubah mind set bahwa pertanian identik dengan kemiskinan.  Negara-negara lain banyak yang hidup makmur karena memiliki sistem pertanian yang kuat. Negara-negara tetangga kita seperti Thailand, Cina, dan Malaysia dapat berjaya dengan produk pertaniannya. Demikian pula Amerika Serikat, hingga kini tetap menjadi eksportir pangan-pangan utama ke berbagai negara.

 

Dengan memperhatikan persoalan-persoalan besar yang akan muncul bila pemerintah salah membuat kebijakan yang menyangkut nasib petani, maka bangsa ini  harus mempunyai grand design tentang pembangunan pertanian yang menguntungkan petani dan tidak menyengsarakan rakyat.   Sektor pertanian adalah andalan bangsa kita, oleh sebab itu ciptakan kemakmuran bangsa melalui pembangunan pertanian yang tepat.  Diharapkan kebijakan pertanian di masa datang bisa lebih fokus pada usaha-usaha memperbaiki kesejahteraan para pelaku pertanian karena sudah sangat lama para petani memimpikan hidup yang lebih sejahtera

 

ACFTA semakin membuka peluang membanjirnya produk-produk China seperti mainan anak-anak, garmen, dan mungkin produk hortikultura. Selama ini konsumen Indonesia sudah menikmati beragam buah-buahan impor yang dari segi penampilan lebih menarik, dan dari segi harga lebih murah.

 

Ketidakmampuan petani-petani Indonesia menghasilkan produk pertanian bermutu menyebabkan rendahnya daya saing menghadapi produk pertanian China. Telah banyak dilakukan penelitian dan kajian faktor-faktor yang mempengaruhi keterpurukan petani. Salah satu di antaranya adalah kesulitan pembiayaan usahatani dan kebutuhan dana cash untuk keperluan hidup selama masa menunggu penjualan hasil panen. Banyak petani terjebak sistem ijon dan atau hutang kepada para tengkulak yang mematok harga pertanian dengan harga rendah. Para petani kini semakin tidak memiliki bargaining position lagi.  Demikian halnya dengan rendahnya produktivitas petani kecil sebagai konsekuensi beragam masalah seperti keterbatasan sumber daya manusia petani, penyusutan luas lahan produksi, tidak memadainya sarana produksi dan prasarana yang dibutuhkan usaha tani yang efisien, dan berbagai masalah lainnya.

 

Deklarasi Copenhagen yang dirumuskan dalam  UN’s World Summit on Social Development menjelaskan fenomena kemiskinan sebagai deprivasi kebutuhan dasar manusia yang tidak hanya menyangkut sandang, pangan, dan papan, tetapi juga akses terhadap pendidikan, fasilitas kesehatan, air bersih dan informasi.

 

Kemiskinan di Indonesia mungkin merupakan kombinasi beragam kemiskinan yakni kemiskinan subsistens yang dicirikan oleh rendahnya daya beli, waktu kerja panjang, lingkungan tempat tinggal yang buruk, dan sulit mendapatkan air bersih.  Selain itu, masyarakat juga mengalami kemiskinan kultural yaitu keengganan untuk mengentaskan diri dari kemiskinan.  Mereka yang mengalami kemiskinan kultural mungkin sudah pasrah dan menerima keadaan apa adanya.  Kemiskinan kultural menimbulkan mental suka meminta.

 

Membahas soal kemiskinan tidak bisa terlepas dari standar kebutuhan hidup minimum/ layak  yang merupakan garis pembatas untuk membedakan orang miskin dan tidak miskin.  Mencermati garis kemiskinan yang ditetapkan BPS (2006), maka angkanya lebih kecil dari $1 per kapita per hari untuk hampir seluruh kota dan kabupaten di Indonesia.  Garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia $1 atau $2 per kapita perhari memungkinkan  bagi setiap negara untuk membandingkan posisinya dengan negara-negara lain.

 

Sebuah penelitian tentang garis kemiskinan telah dilakukan di Kabupaten Subang (Nani Sufiani dkk., 2008),  hasil temuannya cukup menarik. Garis kemiskinan versi penelitian ini adalah Rp 457.558 per kapita per bulan ($1,6 per kapita per hari).  Angka ini lebih besar dibandingkan garis kemiskinan BPS untuk Kabupaten Subang ($0,66) dan berada di antara garis kemiskinan Bank Dunia $1 dan $2.

Harapan agar ACFTA ditinjau kembali telah disuarakan oleh para pihak. Sangat penting kini pemerintah, sektor industri, dan sektor pertanian bahu membahu mengantisipasi gelombang serbuan produk China.

Bisnis Waralaba dan Pembangunan Ekonomi Rakyat

 

 

 Oleh: Nurlina, S.E., M.Si.

1.   PENDAHULUAN

Pembangunan ekonomi merupakan salah satu aspek dari serangkaian kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masing-masing komponen dalam masyarakat  menurut kapasitas yang dimilikinya. Pembangunan ekonomi dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang  menyebabkan pendapatan perkapita masyarakat meningkat dalam jangka waktu relatif panjang yang dicerminkan oleh  adanya perbaikan atau peningkatan kesejahteraan.

Para ahli ekonomi membedakan antara pembangunan ekonomi (economic development) dan pertumbuhan ekonomi (economic growth). Dalam pertumbuhan ekonomi, tidak diperhitungkan tingkat pertumbuhan penduduk hanya dikaitkan dengan kenaikan pendapatan nasional (GNP) semata. Sedangkan dalam pembangunan ekonomi, disamping kenaikan pendapatan nasional (GNP) secara terus-menerus dan pergeseran struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk yang merupakan suatu faktor penting yang harus diperhitungkan karena angka ini akan sangat menentukan besar kecilnya pendapatan kapita (income percapita).

Rakyat atau penduduk merupakan elemen terkecil yang bertindak sebagai pelaku ekonomi dalam sebuah perekonomian  yang merupakan subjek dan sekaligus objek dari pembangunan itu sendiri. Salah satu indikator kemajuan perekonomian ditunjukkan oleh tingkat kesejahteraan penduduknya.

Sebagaimana kita ketahui sektor swasta merupakan salah satu pelaku ekonomi yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian modern. Semakin maju sebuah perekonomian sebuah negara maka kontribusi sektor swasta makin meningkat baik terhadap pertumbuhan maupun pembangunan ekonomi.

Berdasarkan kuantitas, sektor usaha kecil maupun menengah mendominasi perekonomian Indonesia. Namun kontribusinya terhadap GNP masih relatif rendah dibandingkan dengan pengusaha besar yang kita ketahui lebih rentan terhadap guncangan ekonomi global. Untuk meletakkan fondasi perekonomian yang kuat, salah satu strategi  yang harus ditempuh adalah dengan memberikan pembinaan kepada pelaku usaha kecil dan menengah yang sering disebut UKM. Usaha kecil dan menengah tersebut  dalam menjalankan usahanya bergerak di berbagai bidang, baik sebagai penyedia barang maupun jasa.

Konsumen selalu dihadapkan dengan berbagai pilihan untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki konsumen, para pengusaha berusaha untuk menawarkan barang dan jasa dengan sistem pemasaran yang beragam pula, mulai dengan sistem pasar tradisional sampai kepada sistem waralaba. Bisnis warabala  (franchise) dewasa ini sedang menjamur di Indonesia juga bisa memberikan kontribusi yang besar terhadap pembinaan dan pengembangan usaha kecil dan menengah tersebut dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang.

 2.   APA ITU BISNIS WARALABA ?

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 12 Tahun 2006, waralaba adalah perikatan antara pemberi waralaba  dengan penerima waralaba dimana penerima waralaba diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba dengan suatu  imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan dengan sejumlah kewajiban menyediakan dukungankontribusi operasional  yang berkesinambungan.

Sedangkan menurut Asosiasi Franchise Indonesia, yang dimaksud dengan waralaba ialah suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, dimana pemilik merek (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya .

Bisnis waralaba dapat juga didefinisikan sebagai suatu pola kemitraan usaha antara perusahaan yang memiliki merek dagang dikenal dan sistem manajemen, keuangan dan pemasaran yang telah mantap, disebut pewaralaba, dengan perusahaan/individu yang memanfaatkan atau menggunakan merek dan sistem milik pewaralaba, disebut terwaralaba. Pewaralaba wajib memberikan bantuan teknis, manajemen dan pemasaran kepada terwaralaba. Sebagai imbal baliknya, terwaralaba membayar sejumlah biaya kepada pewaralaba sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati keduanya. Dengan kata lain bahwa bisnis waralaba mengandalkan pada kemampuan mitra usaha dalam mengembangkan dan menjalankan kegiatan usaha waralaba melalui tatacara, proses serta suatu code of conduct” dan sistem yang telah ditentukan oleh perusahaan pemberi waralaba.

Melalui bisnis waralaba pengusaha memperoleh beberapa keuntungan antara  lain pengusaha dalam menjalankan usahanya akan mendapatkan transfer manajemen,  kepastian pasar, promosi,  pasokan bahan baku, pengawasan mutu,  pengenalan dan pengetahuan tentang lokasi bisnis,  pengembangan kemampuan sumberdaya manusia , dan yang paling terpenting adalah resiko dalam bisnis waralaba relative  kecil.

Bisnis waralaba mempunyai keunggulan spesifik yang tidak dipunyai oleh pesaing-pesaing didalam industrinya dan tidak mudah ditiru. Usaha yang akan diwaralabakan harus terbukti dan teruji (track record), misalnya terbukti menguntungkan dan teruji dapat bertahan dalam masa-masa sulit. Usaha waralaba sangat memerlukan standarisasi sehingga kerangka kerjanya harus jelas dan sama. Harus mudah diaplikasikan (applicable) dan mudah dijalankan oleh orang lain (transferable), serta harus menguntungkan yang dibuktikan dengan penerimaan produknya oleh pelanggan (consumers base).

Jenis waralaba yang berkembang terdiri dari dua jenis waralaba. Yang pertama adalah  waralaba produk dan merek dagang, yaitu pemberian hak izin dan pengelolaan dari franchisor kepada penerima waralaba (franchisee) untuk menjual produk dengan menggunakan merek dagang dalam bentuk keagenan, distributor atau lesensi penjualan. Franchisor membantu franchisee untuk memilih lokasi yang aman untuk menjalankan usahanya. Yang kedua adalah  waralaba format bisnis, yaitu sistem waralaba yang tidak hanya menawarkan merek dagang dan logo tetapi juga menawarkan sistem yang komplit dan komprehensif tentang tatacara menjalankan bisnis. Jenis waralaba yang banyak berkembang di Indonesia saat ini adalah jenis waralaba format bisnis.

 
  1. 3.   BISNIS WARALABA DAN PENBANGUNAN EKONOMI RAKYAT

Sebagaimana kita ketahui, bisnis waralaba menimbulkan social effect dan social benefit dalam pembangunan ekonomi rakyat. Berikut ini akan kita coba uraikan dampak dimaksud secara terperinci guna menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah sebagai penentu kebijakan. Uraian ini juga bermanfaat bagi pengusaha sebagai decision maker dalam memilih jenis bisnis yang akan dijalankan agar dapat memberikan keuntungan yang sesuai dengan target dari usaha itu sendiri. Pemerintah sebagai penanggung jawab  dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat pada setiap kebijakannya selalu memberikan fasilitas dan motivasi kepada masyarakat untuk meningkatkan pendapatannya melalui berbagai usaha untuk menghasilkan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan mereka. Bisnis waralaba memberikan kontribusi yang besar dalam pemberdayaan ekonomi rakyat mengingat bisnis ini mempunyai keunggulan dalam membangkitkan kegairahan perekonomiaan rakyat .

Oleh sebab itu, pemerintah harus selalu berupaya untuk mendorong masyarakat untuk ambil bagian dalam bisnis  waralaba tersebut sehingga mereka bisa lebih terberdayakan, yang pada gilirannya diharapkan mampu mengembangkan dirinya secara berkelanjutan. Sejalan dengan itu bagaimana upaya membangun dan menumbuh-kembangkan sistem waralaba yang asli hasil inovasi teknologi dalam negeri agar multiplier pendapatan maupun tenaga kerja seluruhnya dapat dinikmati oleh masyarakat banyak.

Bisnis waralaba mempunyai prospek bisnis bagi pengusaha yang berskala kecil sampai menengah yang didominasi oleh rakyat pada umumnya. Hal ini karena bisnis waralaba sudah terbukti dapat meningkatkan akses pasar, mensinergikan perkembangan pengusaha besar melalui kemitraan, serta mempercepat mengatasi persoalan kesenjangan kesempatan berusaha antara golongan ekonomi kuat yang sudah mempunyai jejaring dengan golongan ekonomi lemah. Sistem ini juga mempercepat pemanfaatan produk dan jasa untuk didistribusikan ke daerah-daerah, karena sistem ini memungkinkan partisipasi dari sumberdaya daerah terlibat hingga ke tingkat kecamatan, bahkan sampai ke pedesaan.

Pengusaha kecil—dengan segala keterbatasan  yang dimilikinya—diharapkan mampu memanfaatkan sistem waralaba dalam mengembangkan usahanya terutama sebagai penerima waralaba (franchisee).  Hal ini disebabkan:

1.   Franchisee mendapat pelatihan khusus yang telah terstruktur dari pihak franchisor untuk mengatasi kendala pengetahuan yang mereka miliki. Di samping itu, franchisee dapat memanfaatkan pengalaman, organisasi dan manajemen kantor franchisor; walaupun dia tetap mandiri dalam menjalankan bisnisnya sendiri.

2.  Franchisee akan mengeluarkan biaya yang lebih rendah dibandingkan bila mereka mencoba menjalankan bisnis sejenis secara mandiri. Hal ini dimungkinkan karena franchisor tidak lagi memperhitungkan biaya-biaya percobaan yang telah dilakukannya.

3.  Franchisee mendapat keuntungan untangible dengan resiko yang lebih rendah karena produk yang dihasilkannya sudah mempunyai nama  dalam pandangan  pikiran konsumen. Di samping itu, franchisee mendapat keuntungan dari penggunaan paten, merk dagang, hak cipta, dan rahasia dagang.

4. Franchisee dapat memanfaatkan hasil penelitian & pengembangan franchisor dalam memperbaiki bisnis sehingga bisnis tersebut tetap konpetitif terutama dalam pemilihan lokasi yang menguntungkan karena kesuksesan bisnis waralaba sangat ditentukan oleh pemilihan lokasi yang tepat dan strategis sehingga memiliki peluang pasar yang bagus.

Berdasarkan hal tersebut di atas bisnis waralaba merupakan peluang yang sangat menjanjikan bagi pengusaha yang mempunyai keterbatasan, baik modal maupun manajemen pengelolaan, untuk mengembangkan usahanya. Walaupun bisnis waralaba sangat menjanjikan, akan tetapi setiap usaha bisnis selalu mempunyai potensi resiko. Oleh karena itu pengelolaan bisnis secara profesional merupakan tuntutan persyaratan untuk keberhasilan. Untuk itu diperlukan pemikiran yang cermat untuk mengambil keputusan untuk terjun dalam bisnis waralaba. Untuk memilih  bentuk dan jenis waralaba yang akan dibeli, harus memperhatikan manajemen, prosedur, etika dan filosofi dari waralaba yang ingin dipilih. Misalnya, bagamana jaringan waralaba dimulai, seberapa luas jaringan waralaba, apakah waralaba tersebut sudah mapan di pasar atau sedang tumbuh, investasi seperti apa yang dibutuhkan, dan banyak lagi faktor yang harus dipertimbangkan.

Adapun yang menjadi permasalahan dalam usaha pemberberdayaan ekonomi rakyat yang diakibatkan oleh menjamurnya bisnis ritel yang modern ini akan mematikan usaha lokal yang bermodal kecil. Persaingan yang tidak seimbang ini secara langsung mematikan peluang usaha masyarakat kecil, dan pengusaha kecil didorong untuk selalu kreatif dalam menggali potensi pasar dan membuat pasar sendiri sebagai penyaluran atas hasil produksinya.

Persaingan usaha antara pemilik modal besar (dalam hal ini franchisor), khususnya di kota-kota kecil Indonesia secara tidak langsung telah mematikan sumber pendapatan ekonomi masyarakat kelas bawah. Persaingan yang timpang ini lambat laun mematikan pasar tradisional yang telah ada dan menggiring masyarakat untuk merubah kebiasan dalam memperoleh setiap kebutuhannya. Peralihan ini menyebabkan struktur hubungan sosiologis masyarakat melalui interaksi secara langsung berkurang drastis.

Penyediaan akses terhadap barang langsung dari produsen sekarang ini hanya terbatas pada pemilik modal besar yang diwakili korporasi tentunya melalui toko retail waralaba. Pemilik modal perorangan, yaitu padagang di pasar yang memiliki toko kelontong, harus melewati jalur distribusi yang panjang untuk mendapatkan barang dari produsen. Hal ini menyebabkan tingginya harga yang didapat pemilik toko kelontong dan berbanding terbalik dengan toko retail waralaba.

Akhirnya, untuk menyelaraskan antara social benefit dan social cost yang ditimbulkan oleh  semakin maraknya bisnis waralaba, pemerintah sebagai regulator seharusnya mampu membuat kebijakan yang dapat mengakomodir kepentingan kedua pihak tersebut. Peran itu dilakuan melalui kebijakan-kebijakan proteksionis terhadap usaha kecil perseorangan serta membatasi ruang gerak toko retail waralaba di beberapa daerah. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan menerapkan kebijakan berdasarkan populasi suatu daerah. Misalnya dengan memberikan pembatasan jumlah jenis usaha yang satu perusahaan sejenis dalam satu daerah. Contohnya, di suatu kecamatan hanya boleh ada satu toko retail waralaba yang satu perusahaan. Itu pun dengan penentuan jarak dari satu toko retail waralaba ke toko retail warlaba lainnya.

GLOBALISASI DAN KEDAULATAN EKONOMI

Oleh: Ahmad Erani Yustika 

Direktur Eksekutif INDEF; Ekonom Universitas Brawijaya

Secara politik, Indonesia sudah merdeka sejak 65 tahun lalu. Selama hampir itu pula kedaulatan bangsa untuk menentukan posisi politik relatif terjaga dengan baik, terlepas dari pasang surut yang terjadi. Namun, kemerdekaan politik tersebut tidak diikuti dengan kedaulatan ekonomi. Perekonomian nasional dari waktu ke waktu justru semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada level domestik, sebagian besar masyarakat Indonesia tercekam dalam kondisi melarat dan menganggur. Jika pun mereka memiliki pekerjaan hanya cukup untuk menghidupi secara minimal (subsisten), seperti di sektor pertanian, perikanan, kehutanan, sektor informal, dan buruh industri. Sedangkan dalam skala internasional, Indonesia menjadi pasar yang empuk bagi produk-produk asing, bahkan untuk komoditas pertanian sekalipun. Inilah nasib buruk yang dialami rakyat selama sekian puluh tahun.

Terkait dengan itu, majalah Time Edisi 14 Maret 2005 benar-benar tidak bisa terlupakan dari ingatan saya. Edisi itu memuat laporan utama tentang topik abadi yang sangat dramatis: soal kemiskinan. Hebohnya lagi, dua halaman pembuka sebelum laporan utama ditampilkan secara provokatif foto anak-anak dengan baju compang-camping sedang tidur di lantai stasiun kereta api (Gambir) Jakarta! Dua kesimpulan segera bisa diterbitkan dari deskripsi tersebut. Pertama, patologi kemiskinan telah menjadi horor paling menakutkan dalam sejarah umat manusia saat ini, melebihi penyakit-penyakit endemik. Selama sekian puluh tahun (bahkan ratusan tahun) pembangunan dijalankan  tanpa henti oleh negara, tapi masalah kemiskinan justru kian mencemaskan. Kedua, Indonesia (diakui ataupun disanggah) telah menjadi tempat paling subur bagi pengembangbiakan kemiskinan. Dengan menggunakan batas yang paling konservatif, angka kemiskinan di Indonesia tidak pernah dapat ditekan di bawah 10%.

Pertanyaannya, apakah luapan kemiskinan itu terjadi di tengah kemunduran ekonomi yang terjadi di seantero dunia? Ternyata tidak. Kemiskinan itu membuncah justru pada saat seluruh negara di planet ini sedang merayakan proyek globalisasi yang menimbulkan percepatan pertumbuhan ekonomi dan pemadatan kegiatan bisnis. Terlepas adanya siklus krisis ekonomi yang mulai kerap terjadi, perekonomian dunia tumbuh mengesankan, demikian pula pendapatan per kapitanya. Nilai ekspor, investasi, harga saham, dan lain-lain silih berganti mencetak rekor baru sebagai petunjuk adanya geliat ekonomi.

Sedihnya, di sisi lain, angka kemiskinan terus melambung dalam kurun waktu yang sama. Pada 2001, jumlah penduduk yang tergolong dalam kategori miskin absolut (pendapatan kurang dari satu dolar AS/hari) di Asia Selatan sekitar 450 juta, Sub-Sahara Afrika 320 juta, Asia Timur 280 juta, Amerika Latin dan Karibia 70 juta, Eropa Timur dan Asia Tengah 30 juta, dan Timur Tengah dan Afrika Utara mencapai 10-20 juta (World Bank; dalam Time, 14/3/2005).

Instrumen ULN dan PMA

                Globalisasi, sebagai sebuah ide, tentu saja tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi melewati proses yang amat panjang. Sekurangnya, gagasan globalisasi yang berporos pada pasar bebas telah direntangkan sejak tahun 1947 ketika GATT dimulai. Dalam aspek sejarah, permulaan periode tersebut ditandai dengan semakin mapannya ekonomi negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat, sehingga mereka mulai berpikir untuk melakukan ekspansi ke negara berkembang. Ekspansi tersebut tentu saja sulit dilakukan apabila setiap negara masih diberi otonomi melakukan proteksi terhadap barang dan jasa yang diproduksinya, khas warisan rejim merkantilisme. Dengan basis pemikiran itulah globalisasi disorongkan sebagai mode perdagangan dunia, dimana kekuasaan regulasi negara atas perekonomian domestik sangat dibatasi. Dengan kata lain, negara hanya mengurus soal-soal non-ekonomi, sedangkan masalah ekonomi (perdagangan internasional) diambil alih oleh lembaga internasional (yang sekarang bernama WTO/World Trade Organization).

Sampai di sini tidak ada yang aneh dari ide tersebut. Tapi bila ditelusuri jauh ke belakang, maka akan kelihatan tipu muslihat dari gagasan globalisasi/liberalisasi. Negara-negara maju yang mendorong proses globalisasi tersebut, selama beberapa abad sebelumnya merupakan peletak rejim ekonomi yang proteksionis. AS dan Inggris, misalnya, dalam periode 1820-1925 rata-rata memberikan tarif bea masuk bagi barang-barang impor sebesar 40% demi melindungi industri mereka. Namun, begitu industri mereka sudah kuat dan mapan, tiba-tiba mereka melarang negara lain mengerjakan proses yang serupa. Inilah kelicikan pertama yang ditampilkan oleh negara penganjur globalisasi. Keculasan berikutnya, ketika perdagangan bebas sudah diratifikasi pada 1994, negara maju hanya mau meneken item produk-produk sektor industri dan jasa yang layak untuk diperdagangkan tanpa ada restriksi. Sebaliknya, sektor pertanian tetap diperbolehkan untuk dilindungi. Sebabnya, jika sektor pertanian dibuka secara bebas, maka produk negara maju tidak mampu berkompetisi dengan komoditas pertanian negara berkembang.  

Pertanyaan berikutnya, mengapa negara berkembang begitu mudahnya mengikuti pemikiran yang ditawarkan negara maju? Proyek utang luar negeri (ULN) merupakan jawaban yang bisa disodorkan. Selepas Perang Dunia II, lewat rencana Marshall (Marshall Plan), AS memberikan bantuan (baca: utang) kepada negara berkembang untuk pemulihan ekonominya. Tapi, tentu saja ULN tersebut tidak gratis (there is no free lunch). Setiap utang disertai dengan persyaratan yang ketat, di antaranya adalah pembukaan pasar domestik negara berkembang bagi masuknya modal asing (PMA). Resolusi ini merupakan pintu masuk PMA dari negara maju secara ekstensif sejak dekade 1960-an. Negara berkembang tidak berkutik dengan syarat tersebut karena ketergantungannya yang tinggi terhadap ULN. Jadi, dari sisi ini, negara berkembang ditikam setidaknya dari dua penjuru: utang yang menumpuk (beserta bunganya) dan kekayaan negara disedot lewat PMA (yang merepatriasi keuntungan usahanya ke negara induk).

Pembangunan Ekonomi Indonesia

Pijakan ekonomi Orde Baru (Orba) sebetulnya tidak lepas dari Pertemuan Paris (Paris Club) yang diselenggarakan pada Desember 1966.  Pokok-pokok terpenting dari pertemuan itu adalah (Muhaimin, 1991:56):  (i) kekuatan-kekuatan pasar akan memainkan peran yang vital dalam stabilisasi ekonomi; (ii) perusahaan-perusahaan negara akan ber­operasi berdasarkan persaingan dengan sektor swasta. Pemberian kredit dan alokasi devisa berdasarkan preferensi akan dihentikan dan di pihak lain perusahaan-perusahaan itu akan dibebaskan dari keharusan menjual hasil produksinya dengan harga yang rendah, yang ditetapkan dengan semaunya; (iii) sektor swasta diberi dorongan dengan jalan menghapuskan pembatasan-pembatasan lisensi impor terhadap bahan baku perleng­kapan; dan (iv) penanaman modal swasta asing akan dirangsang dengan suatu UU penanaman modal yang baru, yang membe­rikan keringanan pajak dan insentif-insentif lainnya.

Itulah falsafah desain ekonomi yang dijalankan oleh Orba dengan mengadopsi unsur-unsur mekanisme pasar, PMA (dan utang luar negeri), BUMN harus bersaing dengan swasta, dan peranan yang lebih besar kepada sektor swasta. Sejak saat itu peran PMA dan swasta (domestik) memang menjadi lebih besar, dengan menggantikan peran pemerintah (APBN) dan BUMN. Sementara itu, pengembangan swasta domestik dilakukan melalui pendekatan “distributive combines” (meminjam istilahnya de Soto), yakni memberikan konsesi dan hak khusus kepada pengusaha-pengusaha yang dekat dengan kekuasaan. Para “pengusaha klien” itu kemudian menjelma menjadi entitas konglomerasi yang menggurita, yang kekuatan asetnya sempat mendekati 75% dari APBN (sebelum krisis ekonomi 1997). Pola itu tentu saja membuat derajat konsentrasi ekonomi menjadi begitu kuat, di samping mengabaikan prinsip-prinsip efisiensi ekonomi. Struktur ekonomi seperti itulah yang dibangun pada zaman Orba.

Dengan deskripsi itu, bisa dikatakan Indonesia adalah anak kandung dari rahim globalisasi. ULN bahkan merupakan fenomena jamak yang sudah bisa ditemui sejak awal kemerdekaan, tepatnya pada 1950 (dari negara-negara Blok Timur).  Utang tersebut menjadi semakin intensif sejak 1966 saat proyek pembangunan ekonomi mulai dikerjakan secara sistematis. Rejim ekonomi Orde Baru yang dikuasai oleh para teknokrat mendesain kebijakan ekonomi nasional lewat tiga pilar: ekonomi pasar, utang luar negeri, dan penanaman modal asing. Pada mulanya strategi tersebut seperti berjalan mulus-mulus saja, sehingga beberapa pencapaian ekonomi berhasil diperoleh, seperti: pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, dan peningkatan investasi. Namun, kurang dari 10 tahun kemudian, perekonomian mulai goyah akibat penguasaan asing yang kian membesar. Akibatnya, meletus peristiwa Malari 1974 yang dipicu oleh sentimen investasi asing (khususnya dari Jepang).

Rejeki minyak (oil boom) yang diperoleh Indonesia pada akhir 1970-an tetap tidak mampu menyelamatkan ekonomi Indonesia. Pendapatan nasional lebih banyak dipakai untuk mengongkosi sektor-sektor ekonomi yang tidak bersinggungan dengan kesejahteraan rakyat, melainkan untuk memfasilitasi industri-industri padat modal milik asing maupun domestik (yang dekat dengan kekuasaan). Otoritas pemerintah untuk mengurus kegiatan ekonomi nasional semakin menyempit ketika pada dekade 1980-an mulai dirancang deregulasi ekonomi pada sektor riil dan finansial demi ekspansi perekonomian. Deregulasi tersebut tidak lain merupakan bahasa lain dari ‘penyesuaian struktural’ yang disodorkan oleh IMF dan World Bank sebagai lembaga donor. Pemerintah lupa, bahwa deregulasi tanpa kendali tersebut mengakibatkan sendi-sendi perekonomian terpenting menjadi dikuasai oleh asing. Puncaknya, pada 1994 pemerintah mengeluarkan UU PMA No. 20/1994 yang nyaris membuat ekonomi Indonesia menjadi ‘telanjang’ (karena asing bisa masuk ke sektor manapun).

Puncak dari kisah gurita liberalisasi yang dikawal oleh para teknokrat adalah penyempurnaan ekonomi pasar melalui privatisasi. Mekanisme privatisasi telah menjelma menjadi ‘mode’ baru ekonomi untuk menguras kantong negara, yang kemudian dimasukkan dalam saku sektor swasta (asing). Implikasinya, kesanggupan negara untuk mengurus kesejahteraan rakyat menjadi kian lemah akibat sumber-sumber pendapatannya disumbat. Logika inilah yang dapat menerangkan adanya pertumbuhan ekonomi tanpa ada efek terhadap pengurangan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi tersebut didulang oleh pelaku-pelaku asing yang kian bebas menerobos masuk dalam kegiatan ekonomi Indonesia, sementara pelaku ekonomi domestik dibiarkan terjun bebas dalam jurang kemiskinan. Celakanya, negara sudah tidak berdaya untuk mengatasinya karena sumber ekonomi dan otoritas regulasi sudah dilucuti oleh globalisasi.

 

Peta Jalan Kedaulatan Ekonomi

Setelah Orba tamat, lahirlah serangkaian kebijakan reformasi ekonomi yang mencoba mengoreksi kesalahan-kesalahan desain ekonomi di masa lalu. Terdapat aneka ragam kebijakan reformasi ekonomi yang didesain dalam paket reformasi ekonomi  tersebut, di antaranya pergeseran kegiatan dan aset ekonomi yang tersentralisasi di Jawa menuju ke luar Pulau Jawa, pengurangan ketimpangan pendapatan dan aset produktif yang hanya dipegang oleh segelintir orang, pergeseran manajemen bank sentral dari semula dipegang oleh pemerintah menjadi independen, desentralisasi kebijakan ekonomi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (otonomi daerah), penanganan sektor pertanian secara lebih serius, promosi usaha kecil dan menengah, penciptaan lapangan kerja baru yang lebih cepat, dan pengurangan jumlah orang miskin. Sayangnya cita-cita reformasi ekonomi tersebut masih jauh dari kenyataan sampai hari ini.

Perubahan dan reformasi ekonomi-politik yang paling radikal tentu saja adalah otonomi daerah. Kebijakan ini membawa perubahan yang besar, khususnya menyangkut hubungan pusat-daerah. Dari kacamata positif, hari-hari ini bisa disaksikan kreativitas ekonomi yang cukup bagus dalam memajukan pembangunan ekonomi di daerah, misalnya: sistem perizinan (investasi) yang sederhana, pendidikan dan kesehatan gratis, sistem on-line dalam pengadaan barang, dan aneka pelayanan publik lainnya. Langkah-langkah semacam itu nyaris mustahil terjadi tanpa stimulus otonomi daerah. Namun, ongkos yang dikeluarkan untuk menjalankan otonomi daerah juga tidak kalah besar. Salah satu yang menonjol adalah sulitnya melakukan koordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah, terlebih jika kepala daerahnya (bupati/walikota) berasal dari partai yang berbeda dengan gubernur/presiden.

Saat ini sebetulnya masih terpantul optimisme untuk menjemput hari depan ekonomi yang lebih cerah. Modal yang dimiliki adalah demokrasi dan stabilitas politik yang kian mapan, penduduk usia produktif yang makin matang, tingkat pendidikan yang terus membaik, kelas menengah yang terus berkembang biak, dan tentu saja sumber daya ekonomi yang melimpah. Modal itu tinggal dipahat dalam desain strategi pembangunan ekonomi yang tepat dan kepemimpinan yang sigap. Pemerintah tidak boleh mengingkari lagi bahwa sumber daya ekonomi yang dimiliki bangsa ini ada di sektor pertanian. Sektor ini harus menjadi lokomotif ekonomi, sedangkan sektor lainnya (industri/jasa) berfungsi memberikan nilai tambah terhadapnya. Kemandirian dan kedaulatan ekonomi mulai dirancang dengan mengurangi utang dan optimalisasi penerimaan domestik. Sementara itu, pasar harus dikendalikan, tidak boleh dibiarkan berjalan tanpa rambu-rambu yang tegas.

Mengenai pembangunan pertanian, para ahli ekonomi pembangunan secara eksplisit menyatakan bahwa pertempuran ekonomi yang sesungguhnya ada di sektor pertanian. Pernyataan itu sekurangnya bisa didukung oleh tiga argumen berikut. Pertama, negara-negara yang saat ini tergolong maju, seperti AS dan Jepang, sampai kini tetap mempertahankan pembangunan pertanian sebagai alas ketahanan pangan. Bahkan, dalam beberapa komoditas, negara tersebut merupakan eksportir besar dunia di sektor pertanian. Kedua, negara maju sampai kini tetap bertahan untuk menolak mengurangi proteksi terhadap sektor pertaniannya karena menyadari bahwa kebijakan itu akan menghancurkan sektor pertanian (dan petani) mereka. Oleh karena itu, dengan segala cara mereka tetap memberikan perlindungan terhadap sektor pertanian. Ketiga, sektor pertanian yang maju bisa menjadi lokomotif yang kencang untuk menghela kemajuan ekonomi di sektor lainnya, seperti industri dan jasa.

Sayangnya, di sektor pertanian Indonesia sedang menuju ke arah sebaliknya. Sudah sejak lama proteksi dikurangi sedikit demi sedikit sehingga kian mempersulit kehidupan petani. Kebijakan pemerintah makin menjauh dari sektor pertanian, antara lain ditunjukkan dari mutasi lahan yang terus berlangsung, infrastruktur pertanian yang rusak, dan kelembagaan ekonomi yang hancur. Hasilnya, tingkat produktivitas dan kompetisi komoditas pertanian Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Sekarang Indonesia merupakan salah satu net importir terbesar untuk komoditas pertanian, semacam kedelai, jagung, gandum, buah-buahan, susu, daging, dan seterusnya. Hal yang sama juga untuk benih yang sebagian besar harus diimpor. Intinya, di sektor pertanian—yang merupakan sumber kedaulatan ekonomi terpenting—Indonesia sudah kalah telak sejak lama.

Terlepas dari soal yang agak teknis di atas, peta jalan (roadmap) kedaulatan ekonomi tidak mungkin lari dari konstitusi (UUD 1945). Konstitusi itu secara terang mengatur tiga hal paling mendasar, yakni setiap orang berhak mendapatkan pekerjaan yang layak, fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara, dan perekonomian disusun berdasarkan asas kekeluargaan (beserta ayat-ayat turunannya). Konstitusi itu dengan jelas mengamanatkan tidak boleh ada rakyat yang menganggur, semua orang dilindungi kebutuhan ekonominya (khususnya fakir miskin), dan perekonomian tidak berbasis modal (melainkan didasarkan atas asas kebersamaan). Di sinilah kemudian negara diberi hak menguasai sumber daya ekonomi yang penting (air, minyak, pertambangan), sektor strategis (misalnya telekomunikasi, perbankan, dan pelabuhan), dan jenis usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak (seperti listrik). Seluruh sumber daya dan sektor ekonomi  tersebut tidak boleh dikuasai oleh swasta (apalagi negara lain), karena hanya di tangan negaralah sumber daya ekonomi tersebut dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

MEMBANGUN SEMANGAT NASIONALISME DAN PATRIOTISME DI ERA GLOBAL

Rasyid Widada

Pergeseran Makna

Menjelang perayaan peringatan 65 tahun Proklamasi Kemerdekaan RI beberapa waktu dekat ini, muncul kembali diskusi tentang nasionalisme, patriotisme, dan semangat kebangsaan. Meskipun tidak sehangat yang terjadi di masa-masa sebelumnya, diskusi mengenai nasionalisme di masa sekarang kembali berada pada pertanyaan-pertanyaan yang lebih subtantif dan mendasar. Hal ini sama sekali berbeda dengan pembahasan nasionalisme yang terjadi di masa awal kemerdekaan dan masa Orde Baru. Pada masa awal kemerdekaan hingga Orde Baru, pembahasan mengenai nasionalisme masih menggunakan konteks sejarah Perang Dunia II. Dengan konteks tersebut pembahasan nasionalisme dan patriotisme bukanlah suatu yang njlimet karena masih menggunakan perspektif yang sederhana.

Kini, ketika globalisasi dan berkembangnya teknologi informasi telah mengakibatkan kaburnya batas-batas antar negara (baik secara politik, ekonomi, maupun sosial), masalah nasionalisme dan patriotisme tidak lagi dapat dilihat sebagai masalah sederhana yang dapat dilihat dari satu perspektif saja. Dalam dunia yang oleh sebagian orang disifatkan sebagai dunia yang semakin borderless, banyak pengamat yang mulai mempertanyakan kembali pengertian negara beserta aspek-aspeknya.

Contoh nyata yang menarik dapat diambil dari kasus berikut: sekitar awal 1999 terjadi unjuk rasa kecil yang dilakukan sekelompok ormas terhadap LSM yang konsen pada masalah HAM. Para pengunjuk rasa menuding para aktifis LSM tersebut tidak memiliki jiwa nasionalisme karena dinilai telah menjadi agen kepentingan asing di Indonesia. Para pengunjuk rasa melihat bahwa sebagian besar atau seluruh aktifitas LSM-LSM tersebut mendapat dukungan dari lembaga donor asing. Sebagai konsekuensinya, LSM-LSM tersebut harus menjalankan agenda yang menjadi “titipan” lembaga asing tersebut. Akibatnya, beberapa persoalan dalam negeri Indonesia kemudian menjadi sorotan internasional. Mereka membeberkan beberapa kasus yang mereka nilai sebagai pelanggaran HAM berat. Citra Indonesia pun menjadi tercemar di pergaulan internasional. Bahkan, lepasnya Timor Timur dari NKRI merupakan andil dari LSM-LSM tersebut.

Dalam unjuk rasa tersebut, salah seorang pimpinan LSM meminta beberapa orang perwakilan pengunjuk rasa untuk masuk ke ruangan untuk diajak berdialog. Selepas berdialog, sang pemimpin LSM didampingi perwakilan pengunjuk rasa kemudian berorasi di depan para pengunjuk rasa. Dengan berapi-api, sang pimpinan LSM menyampaikan bahwa dia dan teman-teman juga memiliki rasa nasionalisme. Namun pengertian nasionalisme yang mereka pahami tidaklah sama dengan yang disampaikan pengunjuk rasa. Kiprah mereka selama ini di LSM justru merupakan perwujudan nasionalisme mereka. Mereka ingin agar Indonesia setaraf dengan negara lain, terutama dalam masalah penghormatan terhadap HAM. Setelah mendengarkan orasi tersebut, para pengunjuk rasa terlihat masygul dan mereka pun pulang tanpa dapat berkata-kata lagi.

Kejadian tersebut merupakan bukti betapa persoalan nasionalisme dan patriotisme telah memiliki logika yang tidak lagi sederhana sebagaimana dipahami di masa-masa sebelumnya. Jika menggunakan perspektif lama, tudingan rendahnya nasionalisme yang diarahkan terhadap para aktifis LSM tersebut sebenarnya cukup masuk akal dan didasari fakta. Namun ketika dilihat dalam perspektif globalisasi, logika tersebut gampang sekali dipatahkan.

Persoalan nasionalisme dan patriotisme di era global sebenarnya bukan hanya masalah yang dialami oleh Indonesia. Amerika Serikat yang merupakan negara adidaya dengan kekuatan politik, ekonomi, budaya, dan hankam yang tak tertandingi pun harus berdaya upaya sekeras-kerasnya dalam membangun semangat nasionalisme dan patriotisme di kalangan warganya. Demikian pula dengan negara-negara lain. Bahkan Malaysia, misalnya, beberapa waktu belakangan ini tengah ramai diskusi dan program tentang pembangunan nasionalisme dan patriotisme di negara tersebut.

Jika kita menuliskan kata-kata: “patriotisme” atau “semangat kebangsaan” di program pencarian situs internet (seperti: Google), maka hampir sebagian besar dipenuhi situs-situs dari negeri jiran tersebut. Situs-situs dari Malaysia ini tidak hanya berasal dari kementerian dalam negeri atau departemen pertahanan di sana, tetapi juga dari departemen pendidikan, organisasi politik, lembaga kajian, dan swasta. Sedangkan situs dari Indonesia hanya sedikit, rata-rata berasal dari situs TNI, Dephan, atau Bappenas. Itupun sebagian merupakan arsip dari GBHN atau Repelita di masa Orde Baru.

Memperhatikan kenyataan di atas dimana masalah pembangunan nasionalisme dan patriotisme saat ini tengah menghadapi tantangan yang berat, maka perlu dimulai upaya-upaya untuk kembali mengangkat tema tentang pembangunan nasionalisme dan patriotisme. Apalagi di sisi lain, pembahasan atau diskusi tentang nasionalisme dan patriotisme di Indonesia justru kurang berkembang (atau mungkin memang kurang dikembangkan).

Beberapa Pandangan tentang Nasionalisme dan Patriotisme

Nasionalisme adalah masalah yang fundamental bagi sebuah negara, terlebih-lebih jika negara tersebut memiliki karakter primordial yang sangat pluralistik. Klaim telah dicapainya bhinneka tunggal ika, apalagi lewat politik homogenisasi, sebetulnya tidak pernah betul-betul menjadi realitas historis, melainkan sebuah agenda nation-building yang sarat beban harapan. Oleh sebab itu, ia kerap terasa hambar.

Dengan penafsiran tersendiri, ini merupakan bentuk imagined society seperti istilah Benedict Anderson. Benedict Anderson (1999) menggunakan istilah imajinasi untuk menggambarkan kemiripan makna tentang fantasi. Penjelasannya lebih condong menggunakan analisis sejarah politik untuk menjelaskan kaitan antara imajinasi kolektif yang mengikat suatu komunitas. Orang disatukan sebagai suatu negara karena persamaan identitas darah, ideologi, dan kepentingan. Kalau mau jujur, gagasan Indonesia sebagai negara adalah produk kolonialisme. Kesatuan teritori dagang di bawah Belanda, Inggris, kemudian diambil alih Jepang dan diwariskan ke pemerintahan bersama warga lokal yang bernama Indonesia.

Indonesia adalah laboratorium sosial yang sangat kaya karena pluralitasnya, baik dari aspek ras dan etnis, bahasa, agama dan lainnya. Itu pun ditambah  status geografis sebagai negara maritim yang terdiri dari setidaknya 13.000 pulau. Bahwa pluralitas di satu pihak adalah aset bangsa jika dikelola secara tepat, di pihak lain ia juga membawa bibit ancaman disintegrasi. Karakter pluralistik itu hanya suatu pressing factor dalam realitas ikatan negara.

Negara itu sendiri pada hakikatnya merupakan social contract, seperti istilah Rousseau, yang secara intrinsik selalu memiliki tantangan disintegrasi. Yang menjadi soal, seberapa besar  derajat ancaman itu dan sebarapa baik manajemen penyelesaiannya. Ada faktor contagion, bahwa langkah yang satu dapat ditiru yang lain, akan memperkuat tekanan itu terlebih-lebih bila masing-masing mengalami pengalaman traumatik yang mirip.

Konsepsi pembentukan Indonesia sendiri memang lebih relevan, seperti istilah David Beetham, sebagai sebuah produk historis, bukan a fact of nature. Ini selaras dengan asumsi bahwa “semua wilayah nusantara bekas jajahan Belanda adalah wilayah Indonesia”. Dengan demikian masalah legalitas wilayah terpecahkan secara lebih mudah dan diterima oleh rakyatnya maupun komunitas internasional. Lewat landasan yang sama, maka rasional untuk memisahkan diri bagi bagian-bagian wilayah yang termasuk bekas jajahan Belanda itu tidak kuat.

Perlu dicatat bahwa cita-cita kolektif melalui pembentukan suatu negara antara lain merupakan itikad mulia untuk bekerja sama senasib sepenanggungan melalui kerangka nasionalisme dalam rangka meningkatkan kualitas hidup rakyat. Nasionalisme itu sendiri sebetulnya adalah pendefenisian identitas kebangsaan dengan siapa kita ingin bekerja bersama dalam mencapai bonum publicum, apakah karena ikatan etnis, agama, wilayah/teritorial atau lainnya atau kombinasi sebagian atau seluruhnya. Seperti kata Ernst Gellner, ada rasional pembangunan sebagai alasan eksistensi negara.

Soekarno dianggap paling mewakili semangat patriotisme dan nasionalisme generasi muda Indonesia di masanya. Baginya, martabat dan identitas diri sebagai bangsa merdeka sangat penting. Proklamator Kemerdekaan Indonesia lainnya, Bung Hatta pernah mengutip pandangan Prof. Kranenburg dalam Het Nederlandsch Staatsrech, “Bangsa merupakan keinsyafan, sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan tujuan bertambah besar karena persamaan nasib, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat, dan oleh karena jasa bersama. Pendeknya, oleh karena ingat kepada riwayat (sejarah) bersama yang tertanam dalam hati dan otak”.

Dalam perspektif yang kurang lebih sama, Jenderal Ryamizard Ryacudu yang saat menjabat sebagai KSAD sangat getol memompakan semangat patriotik kepada berbagai kalangan menyatakan bahwa rasa kebangsaan merupakan kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang tumbuh secara alamiah karena adanya kesamaan budaya, sejarah dan aspirasi perjuangan yang membuahkan semangat untuk maju bersama. Dari semangat kebangsaan akan mengalir rasa kesetiakawanan sosial, semangat rela berkorban dapat menumbuhkan jiwa patriotisme. Dalam perspektif seperti itu, menurut Ryamizard,  kita akan mampu meneriakkan kata-kata: ‘Merdeka atau Mati’ dengan penuh penghayatan yang sebenarnya.

Di sini, kepentingan terhadap nasionalisme dipupuk dengan sikap patriotisme yang tinggi. Nasionalisme tidak harus hidup dalam bayang-bayang—memakai bahasa Benedict Anderson, imagined community—tetapi harus dilaburi dengan sikap jujur dan berani mengambil risiko. Seluruh kelompok intelektual muda Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan ambil peran dalam partai-partai dan organisasi-organisasi pergerakan.

Perspektif yang sedikit berbeda tentang nasionalisme dan patriotisme dikemukakan oleh pakar ilmu sosial Dr. Gandung Ismanto. Dia menyampaikan bahwa semangat kebangsaan atau nasionalisme merupakan hal yang terus berkembang seiring dengan tantangan dan kemajuan zaman. Semangat kebangsaan sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan situasi yang sedang terjadi pada masanya. Di situlah rasa kebangsaan menampakkan relativismenya karena dia digelorakan oleh manusia yang juga relatif. Jadi, menurut Gandung, kita akan gagal dan kecewa bila berharap semangat dan rasa nasionalisme para pelaku sejarah Proklamasi tahun 1945 harus sama persis dengan semangat nasionalisme generasi sekarang.

Meskipun demikian Gandung melihat ada benang merah dari semangat kebangsaan antargenerasi yang hidup di sepanjang zaman yakni pada intinya semangat kebangsaan merupakan upaya kolektif untuk memerdekakan diri, suatu upaya pencarian identitas baru agar bisa maju bersama menuju kehidupan ideal yang dicita-citakan. Kehendak bebas untuk menentukan identitas diri merupakan hak yang tidak dapat dicabut dari diri seseorang maupun dari suatu bangsa oleh pihak mana pun.

 

Strategi Penguatan Nasionalisme dan Patriotisme di Era Global

Berdasarkan berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa semangat nasionalisme dan patriotisme sangat diperlukan dalam pembangunan bangsa agar setiap elemen bangsa bekerja dan berjuang keras mencapai jati diri dan kepercayaan diri sebagai sebuah bangsa yang bermartabat. Jati diri dan kepercayaan diri sebagai sebuah bangsa ini merupakan modal yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan dan hambatan di masa depan. Penguatan semangat nasionalisme dan patriotisme dalam konteks globalisasi saat ini harus lebih dititikberatkan pada elemen-elemen strategis dalam percaturan global. Oleh karena itu, strategi yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Penguatan peran lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan dalam ikut membangun semangat nasionalisme dan patriotisme, terutama di kalangan generasi muda. Sebagai contoh: Gerakan Pramuka. Sebagai catatan, keberhasilan Gerakan Pramuka dalam membangun semangat nasionalisme dan patriotisme di kalangan generasi muda Indonesia tengah menjadi kajian mendalam di Malaysia untuk diterapkan di sana. Generasi muda adalah elemen strategis di masa depan. Mereka sepertinya menyadari bahwa dalam era globalisasi, generasi muda dapat berperan sebagai subjek maupun objek.
  2. Penguatan semangat nasionalisme dan patriotisme pada masyarakat  yang tinggal di wilayah-wilayah yang dalam perspektif kepentingan nasional dinilai strategis, seperti: daerah perbatasan, kawasan industri strategis, daerah pertanian (logistik), serta daerah penghasil bahan tambang dan hasil hutan. Hal ini bisa dilakukan dengan memperkecil kesenjangan ekonomi, sosial, dan budaya di wilayah tersebut melalui berbagai program pendidikan dan pembinaan yang melibatkan peran masyarakat setempat.
  3. Penguatan semangat nasionalisme dan patriotisme pada masyarakat yang hidup di daerah rawan pangan (miskin), rawan konflik, dan rawan bencana alam. Strategi ini dapat dilakukan dengan menyelenggarakan berbagai program yang diorientasikan pada peningkatan kesetiakawanan sosial dan partisipasi masyarakat.
  4. Peningkatan apresiasi terhadap anggota atau kelompok masyarakat yang berusaha melestarikan dan mengembangkan kekayaan budaya bangsa. Demikian pula dengan anggota atau kelompok masyarakat yang berhasil mencapai prestasi yang membanggakan di dunia internasional. Apresiasi ini dapat dilakukan dengan pemberian penghargaan oleh negara dan kemudian prestasinya diangkat oleh media massa.

Peningkatan peran Pemerintah dan masyarakat RI dalam ikut berperan aktif dalam penyelesaian berbagai persoalan regional dan internasional, seperti: penyelesaian konflik, kesehatan, lingkungan hidup, dan lain-lain