Category Archives: Kata Mahasiswa

Kesejahteraan (Mafia) Pertanian Indonesia

Oleh Aufa Taqiya

Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM

Orang bilang tanah kita tanah surga

Tongkat kayu dan batu jadi tanaman…”

 

Tak asing rasanya mendengar lirik lagu yang sering
didendangkan salah satu grup musik cukup terkenal di negeri yang kita cintai
ini. Berbicara tentang potensi sumber daya alam Indonesia memang sudah tidak
diragukan lagi bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan sumber
daya alamnya. Sebagaimana lagu yang didendangkan di atas, bahwa batu dan
tongkat pun dianalogikan dapat menjadi tanaman karena kesuburan tanah yang
dimiliki negara dengan julukan jamrud khatulistiwa. Indonesia tercatat sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia yang berarti potensi perairannya sangat
tinggi, memiliki sumber mineral dan minyak yang begitu banyak terutama di
daerah Sumetera.  Tidak kalah gas, emas
dan banyak kekayaan alam lainnya juga melimpah. Berkah bagi negara yang dilalui
garis khatulistiwa ini membuat segala kekayaan alam yang dimiliki seharusnya
dapat dioptimalkan. Demikian pula dengan potensi pertanian Indonesia yang dalam
penanamannya sebagian besar komoditas dapat dilakukan sepanjang tahun karena
memiliki musim dan cuaca yang relatif stabil. Namun apa yang kita dapatkan hari
ini tampaknya belum mencerminkan sebuah bangsa yang kaya akan sumber daya
alamnya, karena secara menyeluruh kesejahteraan masyarakat tidak kita lihat di
dalam negeri ini jika dibandingkan dengan potensi sumber daya alamnya.

Pertanian Indonesia hari ini dirasa masih jauh dari kata sejahtera. Indikator ketahanan pangan, keamanan pangan, mandiri pangan, d kesejahteraan petani masih belum dapat dikatakan tercapai. Sebagai penunjang kehidupan berjuta-juta masyarakat Indonesia, sektor pertania memerlukan pertumbuhan ekonomi yang kukuh dan pesat. Sektor ini juga perlu menjadi salah satu komponen utama dalam program dan strategi pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Di masa lampau, pertanian Indonesia telah mencapai hasil yang baik dan memberikan kontribusi penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk menciptakan lapangan pekerjaan dan pengurangan kemiskinan secara drastis. Hal ini dicapai dengan memusatkan perhatian pada bahan-bahan pokok seperti beras, jagung, gula, dan kacang
kedelai. Akan tetapi, dengan adanya penurunan tajam dalam hasil produktifitas panen dari hampir seluruh jenis bahan pokok, ditambah mayoritas petani yang bekerja di sawah kurang dari setengah hektar, aktifitas pertanian kehilangan
potensi untuk menciptakan tambahan lapangan pekerjaan dan peningkatan penghasilan

Terlepas dari upaya pemerintah pusat yang mengaku telah bersusah payah berusaha membangun pertanian di negeri yang subur ini, banyak pihak lain yang ternyata merusak sistem yang sudah ada. Perusak sistem yang dikenal mafia sudah merajalela di Indonesia, termasuk dalam bidang pertanian. Contoh mafia yang berkutat di bidang pertanian adalah mafia beras, mafia beras semakin berkuasa dan memegang kendali penuh terhadap Bulog, serta berperan aktif mempengaruhi kebijakan perberasan di negeri ini. Karut-marut kondisi perberasan di Indonesia merupakan dampak dari politisasi beras yang telah diterapkan oleh pemerintah. Dengan berlindung di balik argumentasi menekan angka inflasi dan melindungi kepentingan rakyat agar harga beras dapat dijangkau, pemerintah justru hanya melihat harga dan pemenuhan pasokan beras dari sisi supply dan demand semata.

Hal ini terefleksi dari kebijakan impor beras yang menjadi bukti valid kekalahan negara terhadap mafia beras. Ketika harga beras melambung tinggi penyebabnya disandarkan pada tingkat supply beras lokal yang tidak mampu memenuhi tingkat demand
masyarakat, sehingga untuk mengatasi gejolak harga, solusi yang ditempuh adalah dengan meningkatkan supply. Maka tidaklah aneh jika pemerintah selalu berpikir instan, yakni impor beras. Satu hal yang sangat harus dikritisi adalah pemerintah dalam hal ini Menko Perekonomian dan Menteri Perdagangan terlihat kurang peduli dalam mengatasi persoalan ketahanan pangan, khususnya dalam hal kebijakan perberasan. Dampak yang akan sangat dirasakan adalah para petani yang semakin merasa tertindas dengan kebijakan impor tersebut, meskipun ada dalih bahwa impor ini adalah demi kesejahteraan masyarakat orang banyak yang lainnya. Tetapi akan sangat tidak adil ketika rakyat yang menjadi tulang punggung keberadaan pangan tersebut justru malah dikorbankan. Permainan impor beras yang dirasa terdapat mafia beras ini seharusnya juga sudah dapat segera ditelusuri dan diselesaikan sehingga tak ada lagi kerisauan yang berujung pada kerugian rakyat dan negara.

Mafia-mafia pada komoditas yang lain juga terus merebak, terutama untuk komoditas-komoditas yang dianggap politis. Hingga saat ini belum ada usaha yang sangat serius dari pemerintah untuk dapat mengatasi hal ini, terbukti dengan banyaknya keluhan dari masyarakat petani kepada pihak-pihak yang mereka anggap dapat menyalurkan aspirasi mereka. Merebaknya mafia-mafia pertanian membuat para petani  semakin jauh dari kesejahteraan. Tak dapat ditawar lagi bahwa masalah pertanian menjadi fokus utama pemerintah untuk segera diselesaikan dan menjadi harga mati. Penanganan masalah pertanian bukan hanya menjadi kewajiban Kementrian Pertanian yang membawahi bidang pertanian, namun menjadi tugas seluruh elemen pemerintah di bawah pimpinan Presiden. Fokus penanganan tersebut juga akan menunjukkan komitmen pemerintah dalam pelayanan rakyat “kelas bawah” yang pada umumnya adalah petani, nelayan dan lainnya. Atau pemerintah akan tetap mengedepankan kepentingan rakyat “kelas atas” yang di dalamnya adalah pengusaha-pengusaha yang seringkali keberadaannya menindas rakyat “kelas bawah”.

Mafia di bidang pertanian nampaknya memang masih kalah pamor di bandingkan dengan mafia pajak, mafia hukum atau mafia yang
lainnya. Meski demikian, jika hal ini terus dibiarkan dan tidak menjadi fokus penyelesaian masalah maka bukan hal yang aneh jika melihat pertanian Indonesia semakin mundur dan masyarakat pertanian juga semakin jauh dari kesejahteraan. Sementara itu para mafia tersebut semakin menikmati kemakmurannya di atas penderitaan petani-petani di negara ini.

Sebagai mahasiswa yang memiliki kapasitas intelektual seharusnya juga dapat ikut serta menyelesaikan masalah ini dengan terus mengingatkan pemerintah akan pentingnya hal ini lewat berbagai media. Kontribusi nyata mahasiswa juga dapat dilakukan dengan ikut serta membantu pemerintah dalam pembangunan kesadaran kepada masyarakat petani. Harapannya petani lebih
cerdas dalam menghadapi mafia-mafia pertanian yang ada di lapangan dengan melakuakn penyuluhan atau sejenisnya. Sebagai generas penerus mahasiswa juga harus dapat menjaga idealisme akan pentingnya penyelesaian masalah bangsa ini dan terus menularkan semangat perbaikan di generasi yang akan mendatang tanpa harus mengulangi sejarah yang tidak baik.

Masalah pertanian memang bukanlah masalah yang sederhana karena melibatkan berbagai sektor yang berkaitan dengan dunia pertanian itu sendiri, mulai dari perekonomian, perdagangan, tata lingkungan, dan lainnya. Oleh karena itu semua elemen masyarakat dalam Negara ini
seharusnya dapat turut serta dalam penyelesaian masalah-masalah yang ada, termasuk di dalamnya pemerintah, mahasiswa dan petani itu sendiri. Dengan demikian sebuah kesejahteraan negara yang kita cintai ini bukan hanya harapan
kosong semata. ***

Mafia Pertanian Menambah Syarat Derita Kaum Tani

Galih Andreanto

Mahasiswa Fakultas Pertanian UNPAD Bandung

Pemberlakukan perdagangan bebas yang
disebut ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA)
yang dimulai per 1 Januari 2010 lalu, seolah menjadi momok menakutkan bagi pembangunan beberapa sektor di Indonesia. Tak terkecuali sektor pertanian dalam negeri yang patut waspada menghadapi era perdagangan bebas. Pasalnya penerapan ACFTA dikhawatirkan bakal menghancurkan sektor pertanian karena kalah bersaing dengan kualitas dan kuantitas produk luar, yang lebih berkualitas dan lebih murah dari harga produk pertanian dalam negeri. Harap-harap cemas para pelaku pertanian cukup rasional, dikarenakan kondisi pembangunan pertanian di negeri agraris ini memang masih karut marut. Namun, siap tidak siap sektor pertanian bangsa harus segera berbenah diri agar tidak hancur lebur digilas perdagangan bebas dalam atmosfher globalisasi.

Kondisi perdagangan bebas China dan Asean tentu saja mendorong bebasnya produk-produk pertanian China dan Asean masuk pasar domestik dan berjibaku dengan produk lokal. Kenyataannya sektor pertanian Indonesia masih saja berkutat pada masalah kelangkaan pupuk dikalangan petani pedesaan. Keberesan dalam mencari bentuk rantai distribusi sektor pertanian juga masih belum dirasa efektifitasnya. Maraknya masalah kelangkaan pupuk bersubsidi masih menjadi hal yang sulit diterima oleh akal sehat. Pasalnya pemerintah pada tahun 2011 telah
menganggarkan Rp.16,5 Triliun untuk subsidi pupuk. ketidak jelasan konsep dalam pendistribusian pupuk menyebabkan sulitnya petani mendapatkan akses pupuk. Praktek penimbunan pupuk dan permainan mafia pupuk sebab utama mengapa kemudahan dalam mendapatkan pupuk belum juga bisa dirasakan petani. Dalam hal pengguasaan benih, pupuk, pestisida dan mesin dan penguasaan tanah, tentu petani kecil pedesaanlah yang sangat lemah dalam mengakses berbagai faktor produksi tersebut. Parahnya lagi, lemahnya posisi tawar petani dimanfaatkan oknum mafia pertanian untuk mengambil untung sebesar-besarnya demi kepentingan segelintir orang. Deretan masalah
menambah peliknya nasib sektor pertanian Indonesia. kepemilikan lahan dan penguasaan teknologi adalah fakta tak mengenakan di negeri agraris ini.. Di tengah negara-negara lain sibuk berinovasi dengan tekhnologi dan peningkatan kualitas
produk pangan, Indonesia justru masih belum menemukan jati dirinya sebagai bangsa agraris. Hal ini dapat dilihat dari posisi bidang
pertanian yang seakan menjadi anak tiri di ibu pertiwi.

Keseriusan dalam pelaksanaan konsep pembangunan pertanian masih jauh panggang dari api. Dalam iklim perdagangan bebas yang mulai diterapkan di Indonesia, tentu melahirkan beberapa konsekuensi yang harus segera dikaji. Dengan tarif nol persen tanpa bea pajak, produk-produk pertanian China dan Asean berbondong-bondong masuk pasar lokal, persaingan harga juga akan berpotensi hancurnya produk-produk pertanian dalam negeri. Pasalnya harga produk pertanian luar negeri lebih murah dibanding harga produk pertanian lokal. Hal ini dikarenakan negara maju memiliki konsep dan tata distribusi yang jelas baik dalam pengadaan pupuk, benih sampai hasil panen pertanian. Di bidang teknologi dan mekanisasi, Indonesia sangat jauh tertinggal dibanding negara-negara maju. Ditambah kondisi sumber daya manusia yang fokus pada sektor pertanian masih cukup rendah kualitasnya. Kelemahan-kelemahan tersebut harus segera dibenahi agar Indonesia bisa menjadi
negara besar seperti yang dicita-citakan founding fathers pendiri bangsa ini.

Menariknya adalah, dalam situasi rapuh yang demikian, sektor pertanian masih menjadi gantungan hidup 42% masyarakat Indonesia. Mereka berketerampilan pas-pasan dengan produktivitas rendah. Pertanian akhirnya identik dengan keterbelakangan dan kemiskinan. Saat ini angka kemiskinan 32,5 juta jiwa (14%): 11,87 juta jiwa di kota dan 20,62 juta di desa (63,4%). Angka kemiskinan di sektor pertanian 56,1%, jauh di atas industri (6,77%) (BPS, 2009).

Karut marut pengelolaan potensi pertanian membuahkan pertanyaan, apakah Indonesia telah siap dihadapkan pada iklim perdagangan bebas
terutama globalisasi pertanian? Perdagangan bebas bisa menjadi bumerang bagi sektor pertanian Indonesia. Dimana kekuatan global yang menganut kepada ‘mahzab’ mekanisme pasar, menjadikan Indonesia salah satu negara ‘pengimpor beras’ terbesar di dunia.

Jika pemerintah tidak sigap dan siaga menanggapi masalah-masalah genting itu maka diprediksikan petani akan gulung tikar karena tak kuat menahan tekanan dan terpaan persaingan produk-produk asing. Tentu rakyat tidak menginginkan sektor pertanian kita hancur tinggal
sejarah dan hanya menjadi dongeng generasi berikutnya. Rakyat juga tak menginginkan bangsa agraria ini kelaparan dalam lumbung padi sendiri atau menjadi bangsa peminta-minta dan jajahan ekonomi negara-negara maju.

Perbaikan kondisi sistem agribisnis dan tata niaga harus segera dilakukan agar berpihak pada petani lokal yang berorientasi kesejahteraan dan keadilan. Menurut FAO, kita sebagai bangsa besar memiliki pasar yang besar dan kekayaan hayati nomor dua di dunia setelah Brazil, tetapi selalu tidak berdaya dan terperangkap dalam berbagai kelemahan diri sendiri. Pendiri
bangsa ini telah mengkumandangkan “Bahwa hidup matinya suatu bangsa ada di pertaniannya”, ketika sektor pertaniannya kuat maka kuat pula negara itu. Tak ada salahnya bangsa ini belajar dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, China dan Korea Selatan, walaupun terkenal sebagai negara industri di dunia, tapi sektor pertanian mereka sangat kuat, negara-negara tersebut sangat menyadari bahwa pertanian merupakan sektor yang dapat menyatukan seluruh bangsanya seperti yang diungkapkan oleh Abraham Lincoln (Presiden AS).

Sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah petani. Indonesia sebagai negara berkembang yang berada pada wilayah tropika dan memiliki luas wilayah daratan kurang lebih seluas 192 juta hektar dengan keanekaragaman karakteristik tanah/lahan dan sumber daya hayati yang tinggi. Potensi ini tentu harus dioptimalkan. Sektor pertanian juga berperan penting dalam penyedia dan penyerap tenaga kerja di Indonesia. Ini merupakan kekuatan atau modal dasar untuk menempatkan bidang pertanian sebagai pilar perekonomian nasional atau sebagai leading sector pembangunan yang akhir-akhir ini terbukti cukup tangguh menghadapi terpaan badai krisis global dibandingkan sektor industri.

Pemerintah harus menjamin kemudahan akses petani terhadap pupuk. Pemberantasan praktek mafia pertanian di bidang rantai distribus pupuk adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi demi menekan kelangkaan pupuk dan meningkatkan produktifitas. Sungguh disayangkan apabila kerja keras petani tidak diimbangi olek komitmen pemerintah dalam hal pembangunan sektor pertanian. Kesepakatan transfer teknologi dan transfer ilmu dari negara maju ke negara berkembang seperti Indonesia adalah strategi ampuh dalam menyongsong iklim perdagangan bebas seutuhnya. Peningkatan kualitas sumber daya manusia, jaminan ketersediaan lahan dan segera menghentikan ali fungsi lahan secepat mungkin dapat meminimalisir rendahnya produktifitas pangan di negeri ini. Kebijakan yang berorentasi pada keadilan bagi kesejahteraan petani harus segera di berlakukan.

Dengan keseriusan dalam mengoptimalkan potensi kekayaan alam Indonesia khususnya pertanian, harapannya Indonesia bisa bertahan dan memiliki posisi tawar yang tinggi dalam arus globalisasi. Atmosfher globalisasi hendaknya memacu Indonesia sebagai pejantan tangguh bukan malah menjadikan Indonesia sebagai mangsa predator-predator negara maju bahkan bukan tidak mungkin bisa menjadi gudang pangan dunia. ***

 

Jangan Remehkan Potensi Buah dan Sayur Indonesia

Yogi Yogasara

(Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Lampung)

 

Usaha pertanian hortikultura, khususnya buah dan sayur, dapat menjadi solusi alternatif pendapatan bagi siapa pun yang ingin mengusahakannya. Selain mendukung program pemerintah dalam gerakan mengkonsumsi buah dan sayur di masyarakat, ternyata peluang usaha ini masih sangat besar baik di dalam maupun luar negeri. Kementan Republik Indonesia menyebutkan, bahwa konsumsi buah dan sayur dalam negeri masih rendah dan permintaan buah tropis dan sayur di luar negeri terus meningkat per tahun 2011 (Bisnis Indonesia, 21/06).

Lantas, bukankah ini termasuk peluang yang besar bagi Indonesia untuk mengembangkannya? Terlebih lagi Indonesia dianugerahi iklim yang cocok bagi buah-buah tropis dan sayuran yang digemari oleh penduduk luar negeri; untuk buah seperti manggis, nanas, pisang, mangga, salak, alpukat dll; sedangkan sayuran seperti peleng, tomat, sawi, kol, kentang, dll. Seharusnya dengan kondisi Indonesia yang demikian, dimana permintaan yang besar, baik di dalam negeri dan pasar dunia, Indonesia dapat menjadi penyumbang buah dan sayur terbesar di dunia.

 

Kondisi produksi buah dan sayur di Indonesia saat ini

Jika ditinjau dari potensi Indonesia, sungguh disayangkan jika peningkatan produksi buah dan sayur tidak menjadi perhatian utama Pemerintah dan pelaku usaha. Kendala klasik yang dimiliki seperti masalah infrastruktur jalan, pelabuhan, pembiayaan, kualitas produk yang tidak memenuhi pasar, dan tidak terjamin kontinuitas pasokan tentunya bukan lagi persoalan yang diwariskan.

Sebagai contoh, Tempo Interaktif (20/8) melaporkan bahwa, per Agustus 2011 ini, pasokan buah dan sayur ke Singapura sebesar 43 persen didapat dari Malaysia, dan 31 persen dari Cina; sedangkan Indonesia hanya 6,5 persen. Data tersebut membuktikan bahwa produktivitas buah dan sayur Indonesia masih kalah jauh dengan negara lain seperti Malaysia dan Cina. Selain itu, impor buah dan sayur  pun kini merambah di Indonesia, hal ini menjadi ancaman semangat para pelaku usaha buah dan sayur di Indonesia serta mengurangi kegemaran masyarakat Indonesia terhadap buah dan sayur lokal.

Jika diperhatikan, permasalahan buah dan sayur Indonesia memang terletak pada rendahnya produksi dan keberlangsungan produksi. Selain itu, Indonesia pun masih belum mempunyai daerah utama atau sektor khusus dalam pengembangan buah dan sayur secara intensif dan berskala luas. Sehingga ini menjadi dugaan, bahwa produktivitas buah dan sayur Indonesia masih belum bisa bersaing di tingkat dunia.

 

Peluang

Perdagangan buah tropika di tingkat dunia terus mengalami peningkatan berdasarkan data FAO mengenai perdagangan (Morey, 2007). Pada tahun 2004, jenis buah tropika utama yang diimpor pada tingkat dunia adalah pisang (12,4 juta ton), nenas (1,6 juta ton), mangga (732 ribu ton) dan pepaya (208 ribu ton). Negara terbesar yang mengimpor buah tropika dalam bentuk segar adalah Amerika Serikat diikuti oleh negara-negara Eropa.

Volume ekspor total untuk mangga, manggis dan jambu biji di pasar dunia mencapai 1.178.810 ton dalam tahun 2005. Indonesia berkontribusi sebesar 1.760 ton atau 0,15 persen dari ekspor total dunia. Impor total dunia untuk ketiga komoditas tersebut mencapai 857.530 ton dan untuk Indonesia hanya sebesar 540 ton atau sekitar 0,06 persen (FAO, 2007). Dalam tahun 2006, ekspor total dari komoditas tersebut menjadi 901.520 ton senilai US $ 684,6 juta (NAFED, 2007).

Indonesia memiliki beragam jenis buah-buahan bermutu yang berpotensi untuk mendatangkan devisa bagi negara. Khusus untuk pasar ekspor, beberapa komoditas buah-buahan Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini telah banyak diminati pasar dunia, seperti: manggis, salak, mangga, dan lain sebagainya. Sebagai contoh manggis, buah ini masih diminati dan menjadi tujuan ekspor di beberapa negara, seperti: Jepang, Hongkong, Korea, Taiwan, Cina, Singapura, Malaysia, Vietnam, India, Arab Saudi, Belanda, Swiss, Perancis, Jerman dan Belgia.

Di Singapura misalnya, ada beberapa jenis buah Indonesia yang hingga kini belum pernah masuk di sana, seperti buah pepaya, pisang, avokad dan salak. Bahkan informasi dari Antara News.com (12/8), buah salak merupakan salah satu komoditas baru di Singapura sehingga banyak orang di sana yang belum tahu cara membuka salak. Di samping itu, buah avokad banyak diminati oleh warga Singapura, namun avokad yang masuk ke negara itu jenisnya kecil, tidak seperti avokad dari Indonesia yang buahnya besar dan dagingnya tebal.

Pada perdagangan sayur dan buah, untuk di Singapura, peluang dalam menyuplai permintaan Singapura 1340 ton per harinya masih sangat besar mengingat Indonesia hanya bisa menyuplai 78 ton (6%) saja. Hal ini seharusnya menjadi tantangan bagi para pelaku usaha buah dan sayur serta pemerintah dalam menjawab tantangan tersebut.

 

Upaya Peningkatan Dan Akselerasi Ekspor Buah dan Sayur Indonesia

Langkah awal dalam peningkatan dan akselerasi ekspor buah dan sayur Indonesia dapat dilakukan melalui beberapa upaya yaitu melalui pengembangan kawasan buah dan sayur; standarisasi produk serta promosi dalam dan luar negeri.

Pengembangan kawasan buah dan sayur merupakan suatu bentuk implementasi yang prima dan keseriusan dari fungsi pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam kerangka desentralisasi pemerintahan. Kawasan tersebut dapat diupayakan melalui penetapan kawasan atau daerah mana yang cocok untuk buah tropika dan sayur dengan pendampingan intensif oleh Depertemen Hortikultura. Selain itu, kerjasama dalam pemanfaatan lahan dengan PTPN untuk diintensifikasi lahannya dengan komoditi buah dan sayur adalah hal yang mungkin, karena PTPN dapat menjadi mitra riset dan pengembangan buah dan sayur dalam skala luasan lahan yang besar.

Selanjutnya adalah standarisasi produk. Standarisasi tentunya menjadi hal utama agar buah dan sayur Indonesia dapat diterima oleh negara lain dengan ketentuan yang berlaku. Mengesampingkan masalah ini dapat berakibat fatal karena akan menurunkan nilai jual buah dan sayur di mata dunia. Dengan standarisasi, produk buah dan sayur akan mengakibatkan para pelaku usaha dan pemerintah akan bekerja secara profesional dan disiplin hingga produk tersebut diterima oleh konsumen di luar negeri.

Dalam mencapai keinginan sebagai penyuplai buah topis dan sayuran yang berkualitas, sinergitas antara pelaku usaha, pemerintah dan eksportir pun perlu dibenahi dan dikonsolidasikan. Pengenalan akan buah dan sayur di dalam negeri pun harus diterapkan secara masif kepada masyarakat, agar masyarakat makin gemar dan terbiasa untuk memenuhi kebutuhan buah dan sayur di kehidupan sehari-hari. Selain itu, pengenalan produk buah dan sayur lokal di tingkat dunia pun harus dilakukan, hal ini sebagai upaya dalam menarik minat dunia terhadap buah dan sayur Indonesia.

Melalui langkah awal di atas, tentunya menjadi harapan agar Indonesia lebih tertantang untuk berusaha dalam memenuhi tuntutan dunia atasnya. Sangat yakin bahwa Indonesia akan berhasil mewujudkan hal tersebut selama nasionalisme, profesional dan disiplin Indonesia untuk rakyatnya tidak ternodai dengan perilaku korupsi beserta hal-hal negatif yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan kemajuan Indonesia ke depannya. Semoga Indonesia bisa.

Koperasi vs Kemiskinan di Indonesia

Riza Haryanto – Perbanas Institute

 

Kata koperasi tidak asing lagi di dalam kehidupan masyarakat. Namun sebuah keadaan yang perlu kita cermati adalah bagaimana kondisi koperasi itu sendiri di zaman sekarang ini. Masihkah masyarakat bahkan anggota suatu koperasi memahami makna, prinsip, tujuan, fungsi dan perannya dalam perekonomian. Koperasi memiliki cita-cita yang tinggi akan terwujudnya kesejahteraan rakyat Indonesia, tetapi di era modern ini keberadaannya seakan-akan dipandang sebelah mata. Sesungguhnya apa yang terjadi pada koperasi di Indonesia? Pada pembahasan ini marilah kita terlebih dahulu berusaha kembali memaknai koperasi dan relevansinya di zaman sekarang ini.

Koperasi adalah asosiasi orang-orang yang bergabung dan melakukan usaha bersama atas dasar prinsip-prinsip koperasi, sehingga mendapatkan manfaat yang lebih besar dengan biaya yang rendah melalui usaha yang dikelola dan diawasi secara demokratis oleh anggotanya. Koperasi bertujuan untuk menjadikan kondisi sosial dan ekonomi anggotanya lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Menurut UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian, pengertian koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Setelah kita pahami kembali makna koperasi selanjutnya kita pahami tentang prinsip-prinsip koperasi.

 

Prinsip-prinsip Koperasi

Koperasi bekerja berdasarkan beberapa prinsip yang menjadi pedoman dalam melaksanakan nilai-nilai koperasi.

  1. Keanggotaan sukarela dan terbuka. Koperasi adalah organisasi yang keanggotaannya bersifat sukarela, terbuka bagi semua orang yang bersedia menggunakan jasa-jasanya, dan bersedia menerima tanggung jawab keanggotaan, tanpa membedakan gender, latar belakang sosial, ras, politik, atau agama.
  2. Pengawasan oleh anggota secara demokratis. Koperasi adalah organisasi demokratis yang diawasi oleh anggotanya, yang secara aktif membuat keputusaan dan menetapkan kebijakan.
  3. Partisipasi anggota dalam kegiatan ekonomi. Anggota menyetorkan modal mereka secara adil. Bila ada balas jasa terhadap modal, diberikan secara terbatas. Anggota mengalokasikan SHU untuk beberapa atau semua dari tujuan seperti berikut ini: (1) Mengembangkan koperasi dengan membentuk dana cadangan, yang sebagian dari dana itu tidak dapat dibagikan. (2) Dibagikan kepada anggota seimbang berdasarkan transaksi mereka dengan koperasi. (2) Mendukung keanggotaan lainnya yang disepakati dalam Rapat Anggota.
  4. Otonomi dan kemandirian. Koperasi adalah organisasi otonom dan mandiri yang diawasi oleh anggotanya. Apabila Koperasi membuat perjanjian dengan pihak lain, maka hal itu harus berdasarkan persyaratan yang tetap menjamin adanya upaya pengawasan yang demokratis dari anggotanya dan mempertahankan otonomi koperasi.
  5. Pendidikan, pelatihan dan informasi. Koperasi memberikan pendidikan dan pelatihan bagi pengurus dan anggota. Tujuannya, agar mereka dapat melaksanakan tugas dengan lebih efektif bagi perkembangan koperasi. Koperasi memberikan informasi kepada maasyarakat umum, khususnya pemuda dan tokoh-tokoh masyarakat mengenai hakikat dan manfaat berkoperasi.
  6. Kerjasama antar koperasi. Dengan bekerjasama pada tingkat lokal, regional dan internasional, maka koperasi dapat melayani anggotanya dengan efektif dan dapat memperkuat gerakan koperasi.
  7. Kepedulian terhadap masyarakat. Koperasi melakukan kegiatan untuk pengembangan masyarakat sekitarnya secara berkelanjutan melalui kebijakan yang diputuskan oleh Rapat Anggota.

Sedangkan menurut UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian prinsip-prinsipnya adalah secara singkat berikut ini: (1) Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka, (2) Pengelolaan dilakukan secara demokratis, (3) Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota, (4) Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal, (5) Kemandirian, (6) Pendidikan perkoperasian, dan (7) Kerja sama antar koperasi.

 

Fungsi dan Peran Koperasi

Menurut Undang-undang No. 25 tahun 1992 Pasal 4 dijelaskan bahwa fungsi dan peran koperasi sebagai berikut:

  1. Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya.
  2. Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan masyarakat.
  3. Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai soko gurunya.
  4. Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional, yang merupakan usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
  5. Mengembangkan kreativitas dan membangun jiwa berorganisasi bagi para pelajar bangsa.

Perekonomian Indonesia tumbuh positif dalam beberapa tahun terakhir. Tetapi pertumbuhan ekonomi tersebut serta-merta belum dapat mewujudkan masyarakat sejahtera. Kemiskinan menjadi potret negara kita, sehingga diperlukan pilar-pilar ekonomi yang mampu menjadi solusi atas kondisi tersebut. Bagaimana koperasi berpartisipasi aktif dalam mengikis kemiskinan?

Dalam tataran praktis, koperasi salah satu wadah yang langsung berhubungan dengan masyarakat khususnya yang menjadi anggota dan masyarakat pada umumnya, koperasi dipacu untuk sedikit demi sedikit mengikis kemiskinan yang terjadi di masyarakat.

Koperasi memiliki peran sebagai soko guru perekonomian, untuk memaksimalkan peran tersebut perlu dikembangkan dengan memberdayakan koperasi sebagai lembaga keuangan mikro (LKM) sampai di pedesaan. Sejauh ini peran LKM oleh koperasi masih sebatas di wilayah perkotaan atau daerah yang tumbuh dan berkembang. Sehingga peran koperasi sebagai LKM ini perlu didorong untuk menjangkau wilayah pedesaan dalam rangka mencapai pemerataan distribusi koperasi sebagai lembaga keuangan mikro.

Tidak hanya itu, badan usaha ini perlu memposisikan diri sebagai organisasi yang profesional tidak sekedar mengelola koperasi secara ekslusif tetapi juga mengembangkan kemampuan entrepreneurship yang disalurkan kepada masyarakat. Dengan peran ini diharapkan koperasi menjadi pilihan masyarakat sebagai partner dalam melaksanakan kegiatan usaha demi mencapai kemapanan ekonomi.

Koperasi diharapkan dapat menopang usaha mikro kecil menengah (UMKM) dari segi permodalan, penyediaan berbagai faktor-faktor industri, dan sebagai partner bisnis yang menguntungkan. Selama ini program-program pengentasan kemiskinan belum mencapai hasil yang diharapkan. Dengan koperasi sebagai LKM di tengah-tengah masyarakat pedesaan ini, diharapkan lebih bisa mendeteksi dan memahami langsung apa yang harus dilakukan guna memacu kegiatan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia.

Dibutuhkan peran serta dari berbagai elemen baik pemerintah, koperasi dan masyarakat untuk mencapai kinerja yang maksimal. Memperbaiki image dan meningkatkan eksistensinya bahwa koperasi adalah salah satu pilar ekonomi yang secara langsung menjadi pilihan masyarakat. Sebagai pembelajaran bagi masyarakat bahwa bergabung di koperasi menjadi lebih produktif.

 

Franchise Lokal Kelas Internasional dalam Menunjukkan Eksistensi dan Potensi Bangsa

Ibnu Abdul Aziz, Universitas Indonesia

Berbisnis, bagi sebagian orang menyebutnya sebagai pilihan hidup, keluar dari zona nyaman (comfort zone) dan masuk kedalam dunia tanpa kepastian. ‘High risk high return’, prinsip investasi yang ditemukan juga bagi seorang entrepreneur. Berbisnis tidak luput dari resiko dan pada intinya memang seperti itu. Tidak terlepas dari sebuah entrepreneurial mindset bahwa kenapa seseorang memutuskan untuk berbisnis, pada dasarnya orang tersebut sudah memahami bahwa ketika berbisnis seseorang mungkin harus melepas perangkat-perangkat comfort zone-nya, seperti salary yang diterima tiap bulannya. Bagi sebagian orang hal ini menjadi pertimbangan besar, terlepas dari mindset pegawai ala penjajah yang tertanam di pola pikir masyarakat kita, resiko takut rugi menjadi faktor utama seseorang tidak berani berbeda, not be a follower, menjadi seorang entrepreneur yang berani mengambil resiko.

Resiko tidak dapat dihindari tetapi dapat diminimalisir. Terutama bagi pebisnis pemula, franchise dapat menjadi sebuah pilihan. Menurut John Naishbit dalam bukunya yang berjudul Megatrends, mengatakan bahwa franchise atau waralaba adalah konsep marketing paling sukses dalam sejarah umat manusia. Franchise memang sebuah marketing strategy dalam sebuah bisnis dimana seorang franchisor (perusahaan pewaralaba) menawarkan kepada franchisee (terwaralaba) untuk menjadi investor bagi bisnis yang tidak sekedar business opportunity tetapi bisnis yang settle dalam memberikan keuntungan.

Bagi pebisnis pemula ini sangat membantu, resiko kegagalan usaha dengan membeli waralaba lebih kecil daripada membuka bisnis sendiri. Hal ini dikarenakan jika seseorang memulai bisnis sendiri dengan ‘Trial and Error Method’, kemungkinan gagalnya sangat besar. Apalagi tidak adanya pengalaman dan mentor yang membimbing dalam mengembangkan usaha. Sedangkan melalui franchise, resiko kegagalan diperkecil, karena franchisor sudah menyediakan segala sesuatunya untuk mendukung franchisee dalam hal survei, metode marketing dan promosi, perizinan, bahan baku, manajemen, standar operasional prosedur (SOP), desain interior, dan lain sebagainya. Ekspektasi seorang franchisee juga dapat diperhitungkan dalam franchise bagaimana bisnis yang dimiliki dapat mencapai target penjualan hingga masa Break Even Point (BEP) dan Return on Investment (ROI) alias “balik modal” dapat terlampaui, dan akhirnya bisnis itu ibarat pohon uang, tinggal memetik dari investasi awal.

Franchise selalu menguntungkan? Ternyata tidak. Tingkat kesuksesan waralaba/ franchise di Indonesia hanya 60% akan berbeda jika dibandingkan dengan Amerika yang 90%. Waralaba lokal banyak yang berguguran. Hal ini menyangkut juga sistem franchise di Indonesia, banyak franchisor yang belum terbukti memiliki bisnis yang menguntungkan, atau istilahnya masih dalam tahap business opportunity tetapi sudah di-franchise-kan. Beberapa franchise juga gagal dalam skill sharing, knowledge sharing, dan technical sharing dari franchisor ke franchisee.

Jika kondisi ini dibenturkan dengan tantangan globalisasi yang menurut David M. Smick dalam bukunya yang berjudul Kiamat Ekonomi Global sebagai ideologi di segala bidang termasuk ekonomi, maka akan sangat berbahaya. Franchising telah ada dimana-mana dan bermetamorfosis menjadi fenomena internasional. Semua itu tidak lain dan tidak bukan, berkat makin banyaknya informasi franchise yang dapat dengan mudah diakses, baik melalui internet, buku, pameran, dan seminar di hampir setiap kota di seluruh dunia.

Dalam Asia’s Outlook, dibandingkan dengan US dan Eropa, franchising di Asia Timur dan Asia Tenggara mengalami kemajuan pesat, baik di Jepang, Korea, China, Singapura, Indonesia, Malaysia, dan lainnya. Franchise memang banyak menjadi sorotan, hal ini dibuktikan secara sederhana dengan betapa ‘laris manisnya’ buku yang mengupas masalah franchise dan tingginya minat pengunjung di acara pameran franchise. Akan lebih terkejut lagi karena permintaan di lokal atas waralaba tinggi sekali, terutama untuk waralaba asing.

Tentu saja hal ini selaras dengan pertimbangan/riset investor dalam memilih franchise yaitu merek franchise yang terkenal dan image positif yang dimiliki waralaba asing di pasar yang membawa franchise tersebut diterima konsumen lokal. Kehadiran franchise asing juga tidak lepas dari lunaknya regulasi Indonesia yaitu dengan dikeluarkannya pilpres dalam mendukung iklim investasi dan ekonomi Indonesia. Tentu saja Indonesia yang ingin tetap menjadi “Tuan Rumah di Negeri Sendiri” terutama saat ini dimana franchise menunjukan titik kulminasi “booming” mencoba tidak hanya menggenjot franchise-franchise lokal tumbuh, tetapi juga berkembang untuk go international.

Istilahnya menurut Joewono dalam bukunya yang berjudul “Creative Business Idea” maka go internasionalnya franchise mengikuti The 5 Arrows of New Business Development, yaitu 1) Day Dreaming, 2) Creative Thingking, 3) Push the Pedal, 4) Speeding Up, dan 5) Celebrating, dan tahap itu adalah Speeding Up. Bersaing di kancah internasional menjadi sebuah tantangan, terutama bagi franchise yang secara bisnis telah bekerja dengan baik di negaranya dalam meningkatkan speed-nya menciptakan strategi yang efektif dalam persaingan global.

Eksistensi adalah jawaban atas pertanyaan kenapa sejak 2007 pemerintah mencanangkan program untuk mendorong waralaba go international. Melalui waralaba lokal yang dapat go international, pemerintah berharap dapat menimbulkan ‘eksistensi’ yaitu masyrakat internasional semakin tahu dan mengakui bahwa ada karya-karya anak bangsa juga memiliki keunggulan-keunggulan, seperti yang diungkapkan oleh Ir. Subagyo, MM selaku Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan RI. Komitmen dari sasaran ini adalah pemerintah sesuai Permendag No. 31/M-DAG/PER/8/2008 dan PP No. 47/2007 harus melakukan pembinaan terhadap franchise-franshise lokal untuk mengembangkan inovasi yang mengarah pada peningkatan efisiensi usaha dan nilai tambah aktifitas produksi nasional.

Pembinaan kepada waralaba dalam bentuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan tentang waralaba, fasilitas pemasaran melalui pameran, fasilitas sarana klinik bisnis, fasilitas pemberian kemudahan untuk memperoleh bantuan permodalan, dan pemberian penghargaan kepada waralaba yang memberikan manfaat bagi perekonomian nasional perlu dilakukan pemerintah dalam mengembangkan waralaba lokal. Bagi usaha yang terbukti mapan dalam memberikan keuntungan dan reputasi, tentu bukan franchise yang sembarangan, seperti Kebab Turki Baba Rafi, Es Teler 77, Rice Bowl, dan franchise mapan lainnya treatment-nya tentu berbeda dengan memberikan fasilitas untuk pameran di luar negeri dalam memperkenalkan produk-produk waralaba Indonesia, melakukan kordinasi dengan atase perdagangan dan para Indonesia Trade Promotion Centre dengan memberikan gambaran pasar berupa market intelligence dan kemudahan penyesuaian dalam hal peraturan tentu dengan advokasi-advokasi yang diperlukan.

Eksistensi keberadaan franchise go international karya anak bangsa tidak hanya menunjukan jati diri tetapi sekaligus pengangkat kepercayaan diri, terutama mental berkompetisi. Penghargaan terhadap bangsa yang selama ini dianggap pasar semata bagi produk asing dapat diubah. Franchise dan sendi-sendi ekonomi riil mikro lainnya, baik itu UMKM dan KUBE menjadi pijakan bagi pembangunan nasional harus dikembangkan. Aku cinta produk Indonesia, Jaya Indonesia.

Koperasi Indonesia, Saatnya Menentukan Arah

Novialdi

Serupa tapi tak sejalan, begitulah perumpamaan yang paling tepat untuk menggambarkan tumbuh dan berkembangnya koperasi di negara maju dengan negara berkembang. Di negara maju, koperasi muncul sebagai sebuah gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar. Hal inilah yang membuat koperasi yang ada di negara maju tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar sehingga memiliki posisi tawar dan kedudukan penting dalam tatanan kebijakan ekonomi.

Sebaliknya, di negara berkembang, termasuk salah satunya Indonesia, koperasi lahir untuk menjadi sebuah institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan kepentingan kesejahteraan masyarakat begitu ditonjolkan di negara berkembang.

Di Indonesia, koperasi muncul sejak zaman penjajahan, kemudian setelah merdeka koperasi memiliki suatu posisi khusus sebagai soko guru pembangunan indonesia. Tetapi kenyataan yang ada saat ini, jangankan untuk menjadi soko guru pembangunan, untuk mampu mandiri dan bersaing dengan swasta saja rasanya kemampuan koperasi di Indonesia masih terlalu jauh. Hal ini terjadi karena selama ini koperasi dikembangkan dengan dukungan kuat pemerintah dengan pemfokusan pengembangan koperasi dalam 3 sektor, yakni: program pembangunan secara sektoral, lembaga-lembaga pemerintah, dan perusahaan baik BUMN atau swasta. Dukungan pemerintah terhadap koperasi memang terlihat baik di luar, tetapi implikasi dari tindakan itu membuat keterlibatan masyarakat luas kurang berkembang dan memiskinkan kreatifitas dan kemandirian karena terus disuapi oleh pemerintah.

Kurangnya kemandirian ini memunculkan ketergantungan terhadap dukungan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan koperasi dengan selalu berharap pemerintah meluaskan captive market program. Selain itu, faktor lain yang membuat koperasi Indonesia saat ini belum mampu bersaing dengan swasta atau institusi pendukung ekonomi lainnya ialah tata kelola organisasi yang jauh dari ideal. Tata kelola organisasi dari koperasi saat ini terlihat sangat kompleks, rumit, dan tidak fleksibel. Tentunya hal ini jauh jika dibandingkan dengan sektor swasta yang telah memiliki standar tata kelola perusahaan yang disesuaikan dengan kebutuhan kerja.

Ketidakmampuan untuk bisa mandiri serta mengelola internal koperasi untuk bisa memenuhi tuntutan dunia usaha, berkontribusi untuk menyejahterakan masyarakat, dan para anggotanya, serta memperluas pangsa pasar, memunculkan pertanyaan besar: masih relevankah koperasi dalam era globalisasi saat ini dan di masa yang akan datang? Ditambah lagi, pendekatan pengembangan koperasi yang dianut di Indonesia saat ini yang menjadikan koperasi sebagai instrumen pembangunan terbukti menimbulkan kelemahan dalam menjadikan dirinya sebagai koperasi yang memegang prinsip-prinsip dasar serta sebagai badan usaha yang kompetitif.

Namun, relevan atau tidaknya tentu tidak bisa sembarang kita menjawabnya. Karena koperasi di Indonesia, bagaimanapun kondisinya saat ini, tetap memiliki peranan dan tujuan penting yang harusnya bisa menjadi booster bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Peranan nyata yang jelas membawa sebuah kemanfaatan yakni koperasi memiliki perhatiandan kepedulian terhadap aspek-aspek sosial seperti pendidikan, suasana sosial kemasyarakatan, pelestarian lingkungan hidup, serta pengembangan masyarakat. Tentunya semua hal ini tidak kita dapati dari institusi swasta yang notabene memiliki fokus yang luar biasa untuk menghasilkan keuntungan yang maksimal dalam proses operasi perusahaan.

Dalam perspektif yang lebih makro, perekonomian ibarat sebuah bangunan yang terdiri dari berbagai pelaku yang dikenal dengan kelompok produsen dan kelompok konsumen. Sedangkan di dalam negara berkembang, organisasi ekonomi dari masing-masing pelaku menjadi semakin kompleks. Karena selain pemerintah dan swasta, sebenarnya masih ada dua kelompok lain yakni koperasi dan sektor rumah tangga. Oleh karena itu, secara konseptual dan empiris peran koperasi memang masih tetap diperlukan oleh perekonomian Indonesia saat ini yang masih menganut sistem pasar. Besarnya peranan tersebut tentu sangat bergantung dari tingkat pendapatan masyarakat, tingkat pengetahuan, kesadaran masyarakat serta struktur pasar dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu negara.

Tentu sah-sah saja jika dikatakan jalan untuk reformasi kelembagaan koperasi menuju koperasi dengan jati dirinya akan menjadi agenda panjang yang penuh dengan tantangan. Tetapi semua masalah itu tak menjadi beban jika koperasi yang ada di Indonesia saat ini  segera menentukan arah dalam melangkah menuju persaingan global. Karena jika tidak, maka bersiaplah koperasi yang ada di Indonesia untuk tergilas dalam roda perubahan ekonomi global. Tentunya banyak hal yang harus dipersiapkan dan diubah untuk kembali dalam jalur perkembangan yang baik. Menganalisis permasalahan yang terjadi maka dapat dirumuskan beberapa langkah bagi koperasi untuk bangkit dari stagnansi yang hadir saat ini.

Meningkatkan capacity building

Capacity building di koperasi merupakan sebuah keharusan, terutama dalam pengembangan teknologi, sistem operasi organisasi dan instrument organisasi serta—yang terpenting ialah—bagaimana koperasi bisa mengembangkan sumber daya manusia yang tersedia. Perhatian terhadap ketiga faktor ini harus menjadi fokus utama koperasi untuk mampu bersaing dengan alternatif bentuk institusi ekonomi lain. Ketiga hal ini akan menjadi pilar yang kokoh bagi koperasi untuk bisa terus mengembangkan sayap-sayap bisnis yang bisa dijalankan koperasi dengan tetap berusaha berkontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas serta anggota koperasi itu sendiri.

Langkah konkret tentunya harus dilakukan, bukan semata hanya menyentuh tataran konsep saja untuk bisa melakukan perbaikan. Untuk bisa berakselerasi mengejar ketertinggalan, koperasi di Indonesia idealnya perlu untuk memberikan pelatihan SDM di dalam koperasi. Tentu tidak hanya menyangkut bagaimana menjalankan sebuah koperasi yang baik, tetapi juga memberikan pemahaman mengenai peluang pasar, teknik produksi, pengawasan kualitas (dengan pelatihan bagaimana mendapatkan ISO), meningkatkan efisiensi dan training kewirausahaan untuk membentuk kemampuan serta kreatifitas dalam menjalankan bisnis. Training ini juga akan menghasilkan output peningkatan baik untuk koperasi maupun untuk SDM yang ada di koperasi.

Memiliki database koperasi yang komprehensif

Melihat jauh tertinggalnya koperasi dibandingkan institusi ekonomi lainnya, rasanya sudah waktunya bagi pemerintah, dalam hal ini Kemenkop dan UKM, memiliki database lengkap dengan detail yang dimiliki. Misalnya, jumlah koperasi produsen menurut komoditi, daerah, bentuk, serta orientasi pasar seperti yang dilakukan oleh FAO untuk data pertanian dunia dan perbankan nasional untuk data debitur. Hal ini tentunya jelas sangat berguna karena informasi yang didapatkan jika dimanfaatkan dan diolah dengan baik dapat memberikan manfaat bagi perkembangan koperasi di masa yang akan datang.

Membuat standar manajemen tata kelola dan strategi umum koperasi

Dengan tata kelola yang baik serta strategi umum yang biasa digunakan oleh korporat swasta, maka sedikit banyaknya koperasi dapat mengejar ketertinggalan dalam proses operasi yang dilakukan selama ini. Apalagi jika koperasi dapat menerapkan teknologi jaringan informasi yang banyak dilakukan oleh swasta, hal ini akan sangat mengangkat kinerja dan produktifitas bisnis dari koperasi Indonesia.

Tentunya seluruh hal ini bisa memberikan dampak yang baik jika pihak-pihak yang peduli dan berkecimpung dalam dunia koperasi Indonesia mau bekerja bersama-sama untuk melihat perbaikan dan kemajuan koperasi Indonesia untuk bisa sejajar dan menjadi bagian penting dalam perekonomian Indonesia  serta untuk usaha mensejahterkan masyarakat saat ini dan di waktu yang akan datang.

Koperasi di Persimpangan Zaman

Oleh: Renato Fenady

Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan

Univ. Katholik Parahyangan

Pada awal dibentuknya koperasi oleh Robert Owen pada masa revolusi industri dilatarbelakangi oleh adanya ketidakadilan, dimana saat itu buruh diupah sangat rendah oleh kaum pemilik modal. Melihat fenomena ketidakadilan ini, Robert Owen membuat sebuah solusi koperasi, dimana sistem yang dibangun adalah menjual barang di bawah harga pasar dan kepemilikannya dimiliki oleh anggota. Kritik dia kepada kaum pemilik modal pada saat itu adalah jika buruh diupah sangat rendah lalu siapa yang akan membeli produk mereka.

Poin penting dari perjuangan Robert Owen adalah koperasi yang ia bangun tidak melulu sekedar lembaga usaha, namun utamanya adalah spirit keadilan yang tentunya harus dikelola dengan profesional. Spirit inilah yang coba ditanamkan dalam sistem bernama koperasi. Dilihat dari kepemilikan semua anggota memiliki porsi kepemilikan yang sama berdasarkan sama besarnya modal yang anggota tanamkan di koperasi, kemudian pemilik modal mendapat dividen yang bernama sisa hasil usaha pada akhir tahun.

Jika kita beranjak ke negara lain, di Jerman koperasi didirikan oleh F. W. Raiffeisen dan Hermann Schulze-Delitzsch. Dia mendirikan koperasi untuk mengatasi permasalahan petani yang berpenghasilan rendah. Seperti koperasi versi Robert Owen, poin utama koperasi Jerman adalah spirit untuk meningkatkan kesejahteraan petani miskin melalui pertukaran yang berkeadilan. Kondisi yang dihadapi para petani dan pengusaha kecil adalah kesulitan modal karena terjadinya perubahan struktur perekonomian menjadi free trade. Kesulitan petani pada saat itu bertambah karena gagal panen yang terjadi, sehingga hasil dari pertanian menjadi sedikit.

Bagi para pengusaha kecil masalah utama yang dihadapi oleh mereka adalah kesulitan akses ke lembaga keuangan formal (bank) karena pada saat itu perubahan sistem perekonomian membawa konsekuensi perubahan sistem pada sektor keuangan. Akibat kesulitan mendapat pinjaman dari bank, para pengusaha kecil beralih ke private lender yang mengenakan bunga tinggi. Berdasarkan masalah-masalah tersebut, koperasi di Jerman mencoba menjadi lembaga simpan pinjam yang modalnya dihimpun dari anggota dan yang dapat meminjam hanya anggota koperasi. Sistem ini terbukti sangat membantu petani dan pengusaha di Jerman sehingga koperasi saat itu berkembang dengan pesat.

Swedia merupakan negara lain di Eropa yang sampai saat ini berhasil mengelola koperasi sehingga koperasi dapat menjadi salah satu pilar perekonomian di Swedia. Dimulai pada abad ke-19, koperasi bermetamorfosis sampai pada 1911 berhasil memenangkan persaingan dengan perusahaan swasta. Pada awalnya koperasi dibentuk untuk memerangi sistem monopoli yang saat itu merupakan struktur pasar di Swedia. Akibat monopoli tersebut pembagian benefit yang didapatkan dari perdagangan menjadi tidak berimbang, dimana konsumen yang notabene kaum yang tidak kaya harus mengonsumsi barang dengan harga yang tinggi.

Koperasi yang juga merupakan spirit perjuangan ini menyediakan barang dengan kualitas baik dan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga pasar. Modal yang dikumpulkan juga berasal dari para anggotanya, sama seperti koperasi di negara lain. Pejuang koperasi yang terkenal di Swedia adalah Anders Orne yang dengan gigih berjuang dan membuktikan bahwa koperasi bukan merupakan organisasi yang mengandalkan dari pemerintah.

Sekarang kita kaji koperasi di Indonesia. Koperasi di Indonesia dimulai oleh R. Aria Wiriatmadja pada akhir abad ke-19. Pada saat itu dia membangun koperasi untuk membantu rakyat miskin yang terjerat hutang dengan bunga yang tinggi. Namun menurut beberapa versi, titik awal berdirinya koperasi bersamaan dengan organisasi Boedi Oetomo (BO) pada tahun 1908. Melalui keputusan kongres BO ditetapkanlah salah satu tujuannya yaitu memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan melalui koperasi. Koperasi pertama yang dibentuk adalah koperasi konsumsi yang diberi nama Toko Adil. Sejak saat itu nilai-nilai koperasi dari luar negeri mulai masuk ke Indonesia. Pemerintah Belanda melihat gejala koperasi Indonesia dijadikan alat perjuangan maka Belanda menerapkan beberapa UU pada saat itu yang tujuannya mempersulit atau bahkan mematikan koperasi di Indonesia. Seiring dengan masa penjajahan maka koperasi pun mengalami pasang surut di Indonesia.

Kondisi koperasi di Indonesia terus berkembang, sampai saat ini koperasi masih tumbuh walaupun mungkin koperasi saat ini kurang begitu diminati. Hal ini bisa jadi disebabkan karena jika kita mendengar kata koperasi maka asosiasi yang terbentuk adalah sebuah lembaga usaha kecil, baik ruang lingkup usaha, pangsa pasarnya dan bahkan anggotanya. Asosiasi kecil ini identik dengan orang miskin. Padahal seperti yang sudah saya jabarkan sebelumnya bahwa koperasi tidak melulu organisasi kecil, bahkan seperti contoh di Swedia, koperasi di sana telah menguasai 20% pangsa pasar perekonomian.

Selain asosiasi tadi, ada sebuah ironi besar koperasi di Indonesia. Koperasi di Indonesia dikonotasikan pertama kali sebagai sebuah badan usaha, bukan pada spirit keadilan. Spirit ini yang sering luntur dan bahkan hilang di koperasi Indonesia, koperasi di Indonesia seakan-akan dikempesi oleh kepentingan elit, melalui bantuan sosial yang menurut saya sangat mengkerdilkan koperasi. Koperasi seharusnya organisasi yang memacu enterpreneur anggotanya, namun dengan bantuan sosial ini justru membuat koperasi menjadi manja.

Hal ini sangat bertentangan dengan spirit koperasi seperti di Swedia versi Anders Orne yang gigih menunjukkan bahwa koperasi tidak mengandalkan bantuan. Selain itu jika kita mempelajari koperasi di luar negeri, kita mendapati bahwa koperasi jika dikelola secara profesional dapat menjadi pilar penting perekonomian negara. Tentunya dengan syarat utama bahwa koperasi harus bebas dari kepentingan selain keadilan dan kesejahteraan.

Koperasi Indonesia yang saat ini menghadapi ancaman pengkerdilan harus jeli. Anggota dan pengurus koperasi harus menyadari hal ini, bukan justru terlena dengan “kenikmatan” sesaat yang dirasakan melalui bantuan-bantuan sosial. Melalui koperasi justru seharusnya spirit keadilan bagi semua orang dikembangkan. Spirit ini harus tumbuh secara mandiri dan independen.

 Dengan kata lain, koperasi harus menjadi sebuah organisasi yang membangun mental kemandirian, dimana kesejahteraan harus diusahakan sendiri, bukan menunggu atau mengandalkan bantuan orang lain. Jika koperasi di Indonesia tidak menyadari hal ini makan bukan tidak mungkin koperasi akan berubah menjadi lembaga penerima bantuan yang tidak mendidik bagi anggota-anggotanya dan akan menghilangkan spirit koperasi, yaitu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan bagi anggotanya.

ACFTA dan Daya Saing Produk Pertanian

Oleh: Alfian Helmi

Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia IPB

Pertanian merupakan hal yang sangat esensial dalam sebuah negara. Pasalnya, pertanian akan sangat erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan pangan yang jika tidak terpenuhi maka akan mengancam stabilitas ekonomi, sosial dan politik suatu negara. Akan tetapi, saat ini posisi pertanian dalam negeri dihadapkan pada posisi yang sangat dilemetis. Hal ini mengingat terus menurunnya harga-harga riil produk pertanian di satu pihak, dan kuatnya pertanian negara maju di pihak lain.

 

Belum-belum pertanian dijadikan prioritas pembangunan di dalam negeri. Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004, malah meratifikasi perdagangan bebas ASEAN dan China. Pemerintah mengemukakan bahwa terdapat tiga peluang positif yang akan didapat Indonesia jika perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) dilakukan. Hal ini disampaikan oleh Presiden Megawati di Bandar Sri Begawan, Brunei, pada saat pertama kali kesepakatan itu ditandatangani tanggal 6 Nopember 2001. Pertama, penurunan dan penghapusan tarif serta hambatan non tarif di China membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatan volume dan nilai perdagangan ke negara yang penduduknya terbesar dan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Kedua, penciptaan regim investasi yang kompetitif dan terbuka membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi dari China. Ketiga, peningkatan kerjasama ekonomi dalam lingkup yang lebih luas membantu Indonesia melakukan peningkatan capacity building, transfer technology, dan managerial capability.

 

Sudah hampir 10 tahun perjanjian itu ditandatangani. Akan tetapi, sampai implementasi perjanjian yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2010, hampir tidak ada langkah konkrit dari pemerintah untuk mempersiapkan kondisi dalam negeri agar dapat bersaing dengan negara-negara lain. Ini salah satunya tercermin dari ketidakmampuan pemerintah mendorong peningkatan daya saing yang sebenarnya merupakan prasyarat utama untuk meraih manfaat dari pemberlakuan ACFTA. Amburadulnya infrastruktur, bunga kredit yang relatif tinggi, birokrasi yang kompleks, masih maraknya pungutan liar, dan peraturan yang tidak pro-bisnis adalah beberapa bukti pemerintah tidak mampu menciptakan necessary condition untuk mendorong peningkatan daya saing beragam sektor ekonomi. Alhasil, banyak kalangan bersuara keras memaksa pemerintah meninjau kembali keterlibatan Indonesia didalam ACFTA.

 

Kebijakan untuk mengikutsertakan Indonesia dalam ACFTA bisa berpeluang positif dan negatif. Peningkatan daya saing merupakan langkah konkrit yang harus dilakukan pemerintah saat ini. Tanpa adanya peningkatan daya saing, kebijakan untuk melibatkan Indonesia dalam ACFTA hanya merupakan blunder yang justru bisa berdampak negatif terhadap perekonomian nasional.

 

ACFTA dan Pertanian

Mencermati pola dan struktur perdagangan Indonesia-China yang selama ini terjadi, sektor pertanian tampaknya berpeluang mendapatkan manfaat dari pemberlakuan ACFTA. Ekspor produk pertanian ke China terus mengalami peningkatan, sehingga kontribusi sektor pertanian didalam total penerimaan ekspor meningkat dengan signifikan. Selain itu, neraca perdagangan sektor pertanian Indonesia terhadap China menunjukkan posisi yang selalu surplus.

 

Namun demikian, penting untuk dicermati bahwa didalam sektor pertanian itu sendiri, komoditas perkebunan mendominasi struktur ekspor sektor pertanian Indonesia. Neraca perdagangan komoditas pangan dan hortikultura Indonesia dibandingkan China mengalami defisit. Produk hortikultura, bawang putih, dan buah-buahan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia justru banyak yang harus diimpor dari China. Defisit pertanian tersebut tertutup besarnya nilai ekspor komoditas perkebunan seperti kakao, CPO, karet, dan kopi. Makanya, secara keseluruhan neraca perdagangan sektor pertanian masih surplus.

 

Neraca perdagangan produk perkebunan Indonesia-China pada tahun 2004 hanya surplus 763,63 juta dollar AS, dan naik hampir tiga kali lipat pada tahun 2008 menjadi 2,757 miliar dollar AS. Komoditas perkebunan yang mendominasi ekspor Indonesia adalah minyak sawit, minyak inti sawit, karet SIR 20, karet lembaran, minyak kopra, biji cokelat pecah dan setengah pecah, karet polybutadiene styrene (SBR), margarin bukan kalengan, karet dengan campuran amonia, karet dengan campuran silika, serta kopi dipanggang tidak mengandung kafein.

 

Akan tetapi, ekspor produk perkebunan tersebut  juga masih terkategori sebagai komoditas primer yang hanya memberikan manfaat sangat terbatas. Industri hulu-hilir kita terbengkalai, tidak terbangun dan terintegrasi, sehingga kita kehilangan kesempatan untuk memperoleh nilai tambah dari produk-produk yang kita hasilkan tersebut. Lebih parahnya lagi, jika kita berkaca pada komoditi kelapa sawit dan Crude Palm Oil (CPO), ketergantungan pada pasar dan harga internasional untuk ekspor menyebabkan banyak kerugian pada petani sawit dan produsen CPO. Pada saat harga jatuh dimana petani serta produsen tidak memiliki kontrol sama sekali untuk itu, kita harus rela merugi. Hal ini tentunya mengingatkan kita dengan apa yang terjadi pada era kolonial, ketika Indonesia hanya menjadi daerah pengerukan bahan mentah, kondisi yang terus dibiarkan hingga hari ini.

 

Daya Saing Pertanian

Berbagai kajian menunjukkan bahwa bagi negara berkembang, dalam era liberalisasi perdagangan seperti sekarang, kunci utama untuk memenangkan perdagangan bebas ini adalah peningkatan daya saing produk. Daya saing merefleksikan kemampuan negara mendorong peningkatan nilai tambah produk secara berkelanjutan melalui pengembangan inovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).

 

Sedikitnya ada tiga langkah besar untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian Indonesia. Pertama, meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan petani. Hal ini mutlak dilakukan karena petani sangat rentan terkena dampak dari perdagangan bebas saat ini. Keterbukaan akses informasi, pengembangan inovasi dan IPTEK serta perluasan jaringan pemasaran untuk petani pun masih sangat diperlukan.

 

Kedua, memperbaiki kerangka hukum dan kerangka kebijakan. Singkronisasi kebijakan ini dilakukan agar kementerian yang ada tidak berjalan sendiri-sendiri. Perlu ada sinkronisasi kebijakan pengembangan komoditas unggulan di bidang pertanian. Selain itu, juga perlu menimbang kebijaksanaan dari negara lain. Hal ini dilakukan karena  daya saing itu sendiri tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan resultante dari kebijaksanaan di dalam negeri dan kebijaksanaan dari negara-negara lain. Oleh karena itu, kita tidak dapat melihat persoalan daya saing produk pertanian di dalam negeri tanpa memeriksa secara teliti kebijaksanaan negara lain. Ketiga, perbaikan infrastruktur dan perbaikan rantai pasok (supply chain management). Sebab, hingga kini belum ada rantai pasok yang stabil dan bisa menjamin kepastian ketersediaan barang. Dengan demikian produk-produk pertanian Indonesia diharapkan mampu bersaing dengan produk-produk dari negara lain. Semoga!

Peran dan Sosok Pertanian Indonesia Terkait ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement)

 

oleh : Ahmad Teddy Wijaya Pratama

Mahasiswa Fakultas Pertanian Unila

Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) harus dijadikan persiapan sekaligus pembelajaran untuk meningkatkan daya saing produk pertanian agar mampu memenangkan perdagangan global. Fokus pada komoditas eksotik perkebunan dan hortikultura tropika dan sinergi lintas sektor bersama masyarakat diikuti penghapusan biaya tinggi harus dilakukan. Sinergi mudah diucapkan, tetapi tidak mudah diimplementasikan di lapangan.

 

Paling tidak ada empat filter yang diakui internasional dapat dilakukan Indonesia dalam mereduksi dampak negatifnya: (i) sanitary dan phytosanitary, (ii) codex for alimentation, (iii) komoditas sangat sensitif, dan (iv) pangan segar halal. Ketentuan karantina untuk tak mengizinkan daun bawang merah dan akarnya masuk ke Indonesia karena mengandung penyakit terbukti efektif memfilter masuknya bawang merah impor sekaligus menjaga stabilitas harga bawang merah domestik saat panen raya. Selain biaya potong daun dan akar mahal, aroma bawang juga berkurang dan tidak tahan lama sehingga praktis impor terhenti.

 

Padahal, membanjirnya bawang impor saat panen raya yang memukul produk lokal selalu terjadi. Penerapan codex for alimentation juga dipastikan akan mereduksi produk pertanian impor yang dapat masuk di Indonesia. Komoditas yang masuk daftar high sensitive list, seperti beras, jagung, kedelai, dan gula, tarifnya diturunkan pada 1 Januari 2015.

 

Sementara komoditas sensitive list, yaitu cengkeh dan tembakau, baru diturunkan tarifnya 20 persen, 1 Januari 2012. Artinya, komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak dilindungi. Ketentuan impor buah segar juga akan mengeliminasi buah impor yang selama ini disimpan di gudang dalam waktu lama yang kualitasnya sudah anjlok. Posisi Indonesia makin kuat jika ketentuan halal diterapkan atas produk impor yang mengandung daging. Implikasi lainnya, Indonesia dapat membuka jasa produksi makanan halal dan sertifikasi serta supervisinya.

 

Implikasi jangka panjang yang harus diwaspadai adalah berbaliknya neraca perdagangan sehingga Indonesia jadi pasar produk China dan ASEAN lain. Dengan cadangan devisa 2,13 triliun dollar AS dan dalam 6 bulan pertama 2009 bertambah 185,6 miliar dollar AS, secara apriori China dapat memborong sumber komoditas ekspor sektor pertanian di Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Apalagi hubungan Pemerintah China dengan masyarakat China perantauan di seluruh dunia sangat kuat. Implikasinya, China akan jadi raksasa kelapa sawit, karet, kakao, dan gula dunia. Dengan kekuatan itu, China mampu mengintegrasikan ASEAN dan menjadikannya koloni ekonomi, sosial, dan politik. Apalagi, populasi warga keturunan China di hampir semua negara ASEAN semakin besar pertumbuhannya dibandingkan dengan pribumi.

 

Empat instrumen yang perlu segera diimplementasikan agar produk pertanian memenangkan persaingan: bantuan langsung, subsidi langsung, pemberian insentif langsung, dan fasilitasi langsung pemerintah di hulu, on farm, dan hilir. Wujudnya, bantuan benih, pupuk organik, subsidi pupuk anorganik, insentif harga bagi yang mencapai produktivitas 25 persen di atas produktivitas nasional, fasilitasi infrastruktur pascapanen, pengolahan hasil, dan pemasaran.

 

Melalui subsidi, bantuan, dan fasilitasi langsung, target (petani) menerima manfaat langsung dan terjadinya disparitas harga yang memicu kebocoran barang subsidi akibat disparitas harga (pupuk, misalnya) di luar target subsidi dapat dieliminasi. Dukungan riset dan pengawalan teknologi akan menjadikan pertanian Indonesia bisa memengaruhi pasar (pasokan, harga), seperti yang dilakukan Amerika Serikat, China, dan Eropa di pasar Internasional.

 

Pertanian di Indonesia abad 21 harus dipandang sebagai suatu sektor ekonomi yang sejajar dengan sektor lainnya. Sektor ini tidak boleh lagi hanya berperan sebagai aktor pembantu apalagi figuran bagi pembangunan nasional seperti selama ini diperlakukan, tetapi harus menjadi pemeran utama yang sejajar dengan sektor industri. Karena itu sektor pertanian harus menjadi sektor modern, efisien dan berdaya saing, dan tidak boleh dipandang hanya sebagai katup pengaman untuk menampung tenaga kerja tidak terdidik yang melimpah ataupun penyedia pangan yang murah agar sektor industri mampu bersaing dengan hanya mengandalkan upah rendah.

 

Terpuruknya perekonomian nasional pada tahun 1997 yang dampaknya masih berkepanjangan hingga saat ini membuktikan rapuhnya fundamental ekonomi kita yang kurang bersandar kepada potensi sumberdaya domestik. Pengalaman pahit krisis moneter dan ekonomi tersebut memberikan bukti empiris bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling tangguh menghadapi terpaan yang pada gilirannya memaksa kesadaran publik untuk mengakui bahwa sektor pertanian merupakan pilihan yang tepat untuk dijadikan sektor andalan dan pilar pertahanan dan penggerak ekonomi nasional. Kekeliruan mendasar selama ini karena sektor pertanian hanya diperlakukan sebagai sektor pendukung yang mengemban peran konvensionalnya dengan berbagai misi titipan yang cenderung hanya untuk mengamankan kepentingan makro yaitu dalam kaitan dengan stabilitas ekonomi nasional melalui swasembada beras dalam konteks ketahanan pangan nasional.

 

Secara implisit sebenarnya stabilitas nasional negeri ini di bebankan kepada petani yang sebagian besar masih tetap berada di dalam perangkap keseimbangan lingkaran kemiskinan jangka panjang (the low level equilibrium trap). Pada hakekatnya sosok pertanian yang harus dibangun adalah berwujud pertanian modern yang tangguh, efisien yang dikelola secara profesional dan memiliki keunggulan memenangkan persaingan di pasar global baik untuk tujuan pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun ekspor (sumber devisa). Dengan semakin terintegrasinya perekonomian Indonesia ke dalam perekonomian dunia, menuntut pengembangan produk pertanian harus siap menghadapi persaingan terbuka yang semakin ketat agar tidak tergilas oleh pesaing-pesaing luar negeri. Untuk itu paradigma pembangunan pertanian yang menekankan pada peningkatan produksi semata harus bergeser ke arah peningkatan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani dan aktor pertanian lainnya dengan sektor agroindustri sebagai sektor pemacunya (leverage factor).

Meningkatkan Daya Saing Produk Pertanian Menghadapi ACFTA

oleh : Achmad Iqbal

Univeritas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Indonesia  dengan penduduk  sekitar 230 juta  merupakan pasar yang menggiurkan bagi negara-negara maju. Apalagi regulasi yang melindungi konsumen di pasar nasional dari penetrasi produk asing boleh dikatakan minim. Perdagangan bebas antara Indonesia dengan negara lain tak bisa ditolak, termasuk ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement). ACFTA  merupakan  perjanjian kerjasama ekonomi yang dibuat oleh ASEAN dengan Negara China yang mulai dilaksanakan pada tahun 2010.  Kerjasama ekonomi ini meliputi pembebasan bea masuk barang dari China ke ASEAN dan sebaliknya. Pembebasan bea masuk barang dimaksudkan untuk memperlancar distribusi barang  yang berakibat pada kemajuan perekonomian  kedua belah pihak.

 

Banyak masyarakat yang mengkhawatirkan ACFTA akan merugikan produsen dalam negeri yang akan berdampak banyaknya perusahaan yang akan gulung tikar. Hal ini mengingat harga barang asal China jauh lebih murah dibandingkan dengan produksi  Indonesia, sehingga produk Indoneisia kalah bersaing. Beberapa pihak lain berpendapat bahwa ACFTA ini adalah momentum untuk kebangkitan usaha di Indonesia, karena dengan adanya persaingan dengan barang asal China, maka pengusaha akan semakin kreatif dan inovatif dalam meningkatkan kualitas barang yang mereka perdagangkan agar dapat menyaingi produk dari luar.

 

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menilai perjanjian kerja sama perdagangan bebas ACFTA secara umum lebih menguntungkan Indonesia. Dia menegaskan bahwa China kini menjadi salah satu pasar terbesar di wilayah Asia. Ekspor Indonesia ke China pun terus mengalami peningkatan, bahkan pada tahun 2009, ekspor nonmigas Indonesia ke negara itu telah mencapai 9,1%. Dari segi impor, bahwa impor produk China oleh Indonesia dari 2004 sampai 2009 terbesar berupa golongan barang modal dan bahan  baku penolong, bukan barang konsumsi. Barang dan bahan baku penolong ini selanjutnya dimanfaatkan oleh industri di dalam negeri. Oleh karena itu, menurut Mari, dengan ACFTA justru membantu daya saing kita. Kita dapat mengakses mesin atau barang modal lainnya maupun bahan baku penolong dengan harga yang lebih murah karena adanya fasilitas bea masuk yang lebih rendah, sehingga harganya lebih murah.

 

Bagaimana dengan produk pertanian Indonesia?  Salah satu sektor yang pasarnya akan mengalami serbuan lebih hebat lagi dengan kesepakatan ACFTA adalah sektor pertanian. Masuknya  produk  pertanian dari berbagai negara ke Indonesia disebabkan oleh keunggulan komparatif produk pertaniannya. Jika produk pertanian yang dihasilkan oleh produsen dalam negeri tidak mempunyai keunggulan spesifik, maka akan kalah bersaing  jika berhadapan dengan produk pertanian dari mancanegara.

 

Sebagai contoh masyarakat akan memilih  apel impor, meskipun harganya relatif lebih mahal,  dibandingkan apel Malang.  Hal ini disebabkan oleh keunggulan apel impor dalam  penampilan, dan atribut yang lainnya.  Komoditas seperti buah-buahan ataupun sayuran, jika tidak memperhatikan kualitas dan nilai tambah maka akan kalah bersaing dengan produk impor yang membanjiri pasar dalam negeri. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan pasar dalam negeri dan memperkuat daya saing produk pertanian Indonesia perlu dilakukan langkah-langkah yang sinergis antara pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat dengan orientasi membangun kualitas dan nilai tambah serta peningkatan efisiensi.

 

Pertama, pemerintah harus lebih serius menunjukkan keberpihakan pada sektor pertanian. Keberpihakan pemerintah terhadap sektor pertanian sangat dibutuhkan, karena akan memacu peningkatan daya saing. Pemerintah dianggap kurang berpihak  terhadap sektor pertanian. Keputusan pemerintah pada tahun 1998  untuk meratifikasi penurunan tarif bea masuk 0%-10% untuk 43 komoditas pertanian, sama artinya dengan membiarkan produk pertanian kita bersaing di pasar dalam negeri dengan produk impor yang mendapat subsidi.

 

Di bidang produksi  program “One Vilage One Product” semestinya dikembangkan secara sungguh-sungguh bukan lagi sekedar wacana. Dengan program ini maka setiap daerah akan fokus mengembangan komoditas pertanian yang cocok dengan potensi agroklimat setempat. Program tersebut wajib didukung oleh adanya penyediaan sarana produksi pertanian yang mudah dijangkau petani. Kelangkaan pupuk pada saat petani membutuhkannya, kesulitan petani memperoleh benih unggul, dan permasalahan lainnya yang terkait dengan kebutuhan sarana produksi tidak boleh lagi terjadi. Peranan pemerintah sangat diperlukan terutama dalam melakukan pengawasan sampai lini terbawah.

 

Kedua, perlu diciptakan keunggulan kompetitif bagi produk pertanian kita.  Indonesia sebenarnya memiliki keunggulan komparatif yang sangat potensial untuk dijadikan pemicu peningkatan daya saing. Namun keunggulan komparatif saja tidak cukup, melainkan harus didukung dengan keunggulan kompetitif yang berupa keunikan (uniqueness) produk. Keunikan (uniqueness) produk merupakan kekuatan yang tidak mudah untuk dikalahkan oleh para pelaku usaha lain yang memproduksi produk yang sama. Perlu dilakukan upaya  pengembangan  yang terfokus misalnya pada komoditas eksotik hortikultura tropika dan perkebunan. Dalam kaitan ini dukungan riset dan pengembangan  teknologi mutlak diperlukan untuk  menjadikan produk pertanian Indonesia bisa berperan di  pasar internasional.

 

Ketiga, untuk dapat meningkatkan daya saing produk pertanian perlu dilakukan langkah peningkatan efisiensi baik dalam bidang produksi maupun distribusi produk. Penggunaan teknologi budidaya dan input yang lebih efisien perlu untuk terus dikembangkan. Faktor kelembagaan petani yang menunjang efisiensi produksi kiranya perlu mendapat perhatian yang lebih banyak lagi. Terkait dengan sumberdaya lahan, perlu untuk dipikirkan tentang adanya kebijakan konsolidasi lahan pertanian,  dengan tujuan untuk meningkatkan luas penguasaan lahan pertanian per individu petani, sehingga efisiensi usaha pertanian akan meningkat. Selain itu di dalam negeri perlu diikuti penghapusan ekonomi biaya tinggi dengan menghilangkan inefisiensi dalam bidang pemasaran, menghilangkan pungutan liar, dan perbaikan sarana infrastruktur.

 

Keempat, perilaku masyarakat pun perlu diperkuat dalam  menghadapi perdagangan bebas dengan mengobarkan semangat untuk  mencintai produk dalam negeri. Untuk  produk pertanian seperti  buah dan sayuran,  pola konsumsi masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke atas sangat dipengaruhi oleh gaya hidup (life style) mereka. Oleh karena itu perlu usaha-usaha secara kultural untuk mempengaruhi perilaku konsumsi kelompok masyarakat ini,  dengan menjadikan nilai estetika  produk pertanian dalam negeri menjadi bagian penting dari  gaya hidup (life style) mereka.

 

Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) harus dijadikan pembelajaran untuk meningkatkan daya saing produk pertanian agar mampu memenangkan perdagangan global. Jika  ada kebijakan yang mendorong peningkatan daya saing untuk komoditas pertanian, yang didukung dengan semangat cinta produk dalam negeri oleh masyarakat Indonesia, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi raksasa dalam bisnis produk pertanian di dunia, menggeser Thailand yang selama ini telah berhasil membangun branding sebagai produsen buah tropis berkelas dunia.