Category Archives: Pertanian

Belajar Dari Negara Lain; Kualitas Ekspor Pertanian Kita

Dr. Ir. Saputera, M.Si.

Lektor / Dosen Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya

I.      Pendahuluan

Sebagaimana kita ketahui bahwa pertanian merupakan hal yang sangat esensial dalam sebuah negara. Kehidupan pertanian yang kuat di negara-negara maju bukan merupakan hasil usaha dalam setahun dua tahun seperti membalik telapak tangan. Perkembangan dan proses tersebut berlangsung lama sejalan dengan waktu dalam sejarah pembangunan di negara-negara tersebut.

Ada slogan yang mengatakan negara akan kuat apabila pertaniannya kuat. Mengingat, pertanian akan sangat erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan pangan yang jika tidak terpenuhi maka akan mengancam stabilitas ekonomi, sosial dan politik suatu negara. Bahkan di Amerika Serikat sendiri semasa Presiden Abraham Lincoln mengatakan bahwa Amerika Serikat akan menjadi negara besar dan kuat apabila warg negara menjadi pemilik negara itu. Ini sebagai salah satu gambaran perhatian pemerintah terhadap petani agar mempunyai lahan yang cukup untuk bertani dan dapat menghidupkan keluarganya.

Memang kita maklumi petani dan pertanian merupakan saudara kembar yang tidak terpisahkan. Dimana petani merupakan subjek, sedangkan pertanian merupakan aktivitas dimana subjek itu memainkan perannya. Dengan demikian pertanian di negara-negara maju basisnya adalah petani, bukan perusahaan besar. Akan tetapi, saat ini posisi pertanian dalam negeri dihadapkan pada posisi yang sangat dilematis. Hal ini
mengingat terus berfluktuasinya harga-harga riil produk pertanian di satu pihak, dan kuatnya pertanian negara maju di pihak lain. Dengan tanah yang subur dan luas seharusnya negara kita swasembada pangan, bahkan sebagai pengekspor hasil pertanian terdepan.

Di sisi lain kualitas ekspor pertanian kita tidak terlepas antara lain dari petaninya sendiri sebagai produsen, eksportir dan dukungan pemerintah. Walaupun kualitas ekspor pertanian yang berhubungan dengan daya saing produk itu sendiri tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan resultante dari kebijakan di dalam negeri dan kebijakan dari negara-negara lain.

Selain itu, permintaan konsumen terhadap produk pertanian tidak sama dengan produk industri non pertanian lainnya. Katakan saja bila ada permintaan akan buah semangka seperti buah pisang dengan rasa yang kecut, rasanya tidak mungkin hal ini bisa dipenuhi dalam waktu yang ditentukan. Lain halnya bila permintaan terhadap pakaian dengan motif dan bahan yang sesuai permintaan
konsumen dalam hal ini negara tujuan, maka akan segera dapat dipenuhi oleh industri yang bergerak di bidang tersebut.

Disamping itu dapat kita maklumi bahwa produk hasil pertanian sebagian besar tidak tahan lama, artinya bila tidak dipasarkan dalam waktu dekat, maka produk pertanian tersebut berangsur-angsur akan rusak atau busuk. Dengan demikian bila boleh kita katakan untuk menjadi seorang eksportir hasil pertanian, biasanya berpikir dua kali bila dibandingkan menjadi eksportir non produk pertanian. Karena
resikonya lebih tinggi, katakanlah bila perhitungan dari segi waktu meleset maka kerugianlah yang menanti. Sehingga tidak heran bila kita mendengar atau membaca lewat mass media bahwa eksportir hasil pertanian X tutup dan guling tikar karena faktor Y. Kepada siapa mereka harus menyerahkan kerugian ini? Sederhananya kita katakan, ini sudah menjadi resiko sebagai seorang eksportir.

Sebetulnya bukan itu yang menjadi jawaban yang jitu. Paling tidak, ini menjadi hikmah sebagai bahan kajian dan introspeksi bagi semua pemangku kepentingan yang terkait. Mengingat bukan saja kerugian hanya dialami oleh eksportir, tetapi dampak kerugian ini
juga berimbas kepada petani. Dapat kita maklumi untuk sampai menghasilkan produk pertanian harus melewati proses yang panjang yang harus dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama dengan cost yang tidak sedikit sesuai dengan komoditi yang dikembangkan. Padahal sebagian besar pelaksana, pengelola, dan pemanfaat pertanian itu sendiri adalah jutaan petani kecil yang memiliki modal, kualitas SDM, dan luas lahan yang sangat terbatas.

Dari kegiatan agribisnis terpadu misalnya, para petani diharapkan dapat memperoleh nilai tambah atau keuntungan sebanyak mungkin dari setiap tahap kegiatan agribisnis, termasuk kegiatan pasca panen. Di sisi lain, petani dituntut   selalu meningkatkan dan mempertahankan kuantitas dan kualitas produk yang  mereka hasilkan dan dipasarkan agar memiliki daya saing tinggi. Petani juga  harus dapat menjamin kualitas pasokan produk ke pasar sesuai dengan permintaan konsumen.

Di samping diperlukan kuantitas dan kontinuitas, tanpa jaminan kualitas produk, petani  Indonesia tidak akan mampu menembus pasar global. Fakta menunjukkan bahwa sampai saat ini devisa negara yang diperoleh dari ekspor produk pertanian masih terbatas. Lagi-lagi penyebabnya produk-produk pertanian kita belum mampu bersaing dengan produk-produk pertanian dari negara-negara lain, terutama dari negara-negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia. Justru yang terjadi sebaliknya, pasar domestik kita mulai dikuasai oleh produk-produk
pertanian luar negeri yang memiliki  kualitas lebih baik dan harga yang bersaing.

Bila kita lihat data nilai ekspor pertanian selama dua bulan pertama tahun 2008 misalnya hanya mencapai nilai 682,2 juta dolar AS atau sekitar 3,16% dari nilai total ekspor Indonesia yang mencapai 21.617,5 juta dolar. Walaupun dari segi nilai, kontribusi sektor pertanian memang masih di bawah sektor lain, tetapi dari segi angka pertumbuhan ekspor pertanian telah melebihi pertumbuhan ekspor sektor
lainnya.

Dengan demikian menurut Yuril Tetanel (2008) setidaknya ada tiga pilar yang perlu dibangun guna mendukung sektor pertanian sebagaimana yang diungkapkan oleh Prowse dan Chimhowu (2007) dalam studinya yang bertajuk “Making Agriculture Work for The Poor” yakni : pertama, pentingnya pembangunan infrastruktur yang mendukung perekonomian masyarakat. Infrastruktur merupakan faktor kunci
dalam mendukung program pengentasan kemiskinan yang dalam hal ini petani di pedesaan.

Di Vietnam, pesatnya penurunan angka kemiskinan tak lepas dari tingginya investasi untuk pembangunan irigasi dan jalan yang mencapai 60 persen dari total anggaran sektor pertanian mereka pada akhir dekade 1990-an. Hal yang sama juga dilakukan di India yang membangun infrastruktur pedesaan. Bahkan di Ethiopia yang pernah mengalami krisis pangan dan kelaparan pada pertengahan dekade 1980-an,
perbaikan jalan di pedesaan dan peningkatan akses pasar bagi para petaninya mampu mengangkat tingkat kesejahteraan para petaninya.

Kedua, perluasan akses pendidikan. Pendidikan memainkan peranan yang penting dalam mengentaskan kemiskinan di pedesaan melalui tiga saluran yakni dimana tingkat pendidikan berkaitan erat dengan peningkatan produktivitas di sektor pertanian itu sendiri. Kemudian, pendidikan juga berhubungan dengan semakin luasnya pilihan bagi petani untuk bisa bergerak di bidang usaha di samping sektor pertanian itu sendiri yang pada gilirannya juga akan dapat meningkatkan investasi di sektor pertanian. Terakhir, pendidikan juga berkontribusi terhadap migrasi pedesaan-perkotaan. Namun demikian di India, Uganda, dan Ethiopia migrasi terjadi antar desa. Buruh tani yang berpendidikan di
Bolivia dan Uganda lebih memiliki posisi tawar yang tinggi dalam hal upah yang lebih baik (Mosley, 2004).

Ketiga, penyediaan informasi baik melalui kearifan lokal setempat maupun fasilitasi dari pemerintah. Pilar yang ketiga inilah yang sangat penting dalam hubungannya dengan kualitas produk ekspor hasil pertanian kita. Pada umumnya petani kita memiliki kualitas modal sosial
yang rendah yang berakibat terhadap minimnya akses terhadap informasi seperti informasi kualitas hasil pertanian yang dibutuhkan. Ditambah lagi dengan kurangnya informasi yang diberikan oleh pengusaha/eksportir terhadap komoditi yang mereka tanam, sehingga berdampak pula pada produk hasil pertanian yang dihasilkan.

II. Kualitas Produk Ekspor Kita

Produk-produk pertanian yang beredar di pasar global dan internasional sangat hati-hati dalam menetapkan kriteria produk ekspor hasil pertanian seperti Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) telah menerima persyaratan SPS (Sanitary and Phytosanitary) sebagai salah satu bentuk hambatan non tarip dalam perdagangan internasional. Banyak peryaratan teknis yang harus dipenuhi oleh negara kita apabila ingin memasarkan produk pertanian kita di pasar internasional, termasuk persyaratan bebas hama dan sisa-sisa kerusakan hama.

Di samping persyaratan SPS, produk pertanian ekspor juga harus memenuhi persyaratan teknis WHO mengenai kandungan bahan berbahaya di pangan, terutama residu pestisida. Kandungan residu bahan-bahan berbahaya, seperti pestisida dan alfatoksin harus tidak melebihi batas maksimum residu yang ditetapkan oleh WHO atau negara tujuan ekspor. Banyak persyaratan
teknis produk ekspor pertanian yang  berhubungan dengan kualitas ekspor pertanian kita yang perlu dicermati.

Hasil produk pertanian kita terutama yang dihasilkan petani jarang untuk mampu memenuhi persyaratan internasional tersebut. Hal ini dapat kita maklumi karena banyak produk ekspor pertanian kita berkualitas jelek dan sulit menembus pasar global. Padahal apabila kita mengekspor produk dengan kualitas yang jelek, kita akan menghadapi risiko mendapatkan hukuman dan penolakan dari negara tujuan ekspor. Penolakan  tersebut antara lain dalam bentuk embargo atau larangan impor, automatic detention penahanan sementara, mandatory treatment
atau perlakuan khusus, dan pengenaan  denda dalam bentuk pengurangan harga. Menurut Ketua Asosiasi Eksportir Buah dan Sayuran Indonesia, Hasan Djhonny Widjaja mengatakan persoalan yang membelit ekspor hortikultura tidak hanya terletak pada infrastruktur transportasi. Tetapi, persoalan juga timbul dari standar kualitas hortikultura yang belum memenuhi pasar global, sehingga banyak buah-buahan dalam negeri yang ditolak sejumlah importir.

Selain itu berbagai kasus penolakan pasar terhadap produk Indonesia sering terjadi. Sebagai contoh adalah produk kakao rakyat yang perna ditolak oleh suatu negara industri karena mengandung residu pestisida yang melebihi batas maksimum residu, yang berlaku di negara tersebut.
Pada bulan Oktober 2001, pemerintah Taiwan telah menyampaikan notifikasi pada pemerintah Indonesia mengenai larangan pemasukan produk-produk hortikultura Indonesia karena dianggap mengandung jenis hama tertentu yang mereka anggap berbahaya. Ini merupakan cerminan bahwa sebagian besar produk pertanian kita kurang memenuhi standar yang telah ditetapkan.

 

III. Belajar dari Negara Lain

Dari sekian banyak produk primer hasil pertanian yang kita hasilkan, ternyata baru sedikit
saja yang kita olah. Dari data yang ada, kita dapat menyaksikan bahwa sebagian
besar produk hasil pertanian kita masih diekspor dalam bentuk produk primer,
seperti misalnya ubi kayu dalam bentuk gaplek, udang dan ikan segar, kopi biji,
kakao biji, karet remah (crumb rubber), minyak sawit kasar (crude
palm oil
), mete glondong dan sebagainya. Padahal kita tahu bahwa kita dapat
memperoleh nilai tambah dari produk tersebut bila kita olah menjadi produk
hilir.

Di samping itu, sebagaimana telah diungkapkan, harga riil produk olahan relatif lebih stabil
dan bahkan cenderung meningkat. Oleh karena itu, product development
adalah hal yang sangat penting guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pertanian. Upaya pengembangan pasar ekspor untuk produk
pertanian dan olahannya dengan adanya globalisasi yang membawa persaingan yang
semakin ketat karena akan semakin banyak new
players
 (pemain baru) yang muncul sebagai akibat dari meningkatnya peluang
pasar dan akses pasar.

Dengan demikian pada era globalisasi ini suatu bangsa yang maju dan berkembang tampaknya
merupakan suatu bangsa yang memiliki daya adaptasi yang kuat terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi melalui suatu proses pembelajaran (learning),
yaitu proses perubahan perilaku yang permanen, yang dilandasi oleh adopsi atau
asimilasi pengetahuan baru yang terus berkembang dalam masyarakat dari waktu ke
waktu. Menurut Boulding bahwa kemajuan peradaban umat manusia sebagaimana kita
saksikan hari ini adalah hasil dari revolusi noogenelik, yaitu replikasi
informasi dan pengetahuan yang sangat cepat sebagai landasan proses
pembelajaran individu atau kelompok dalam masyarakat.

Apabila replikasi informasi dan proses learning itu sebagai landasan kemajuan suatu
bangsa, yang tentunya juga menimpakan landasan kemajuan pertanian, maka yang
menjadi pertanyaan utama adalah institusi pertanian seperti apa yang akan
menciptakan iklim yang kondusif untuk berlangsungnya proses kreativitas dan
inovasi serta proses pembelajaran yang kuat di bidang pertanian, sehingga
kualitas produk yang dihasilkan dapat bersaing dengan negara lainnya.

Menurut Elfian Hilmi sedikitnya ada tiga langkah besar untuk meningkatkan nilai tambah dan
kualiatas daya saing produk ekspor pertanian Indonesia. Pertama, meningkatkan
kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan petani. Hal ini mutlak dilakukan
karena petani sangat rentan terkena dampak dari perdagangan bebas saat ini.
Keterbukaan akses informasi, pengembangan inovasi dan IPTEK serta perluasan
jaringan pemasaran untuk petani pun masih sangat diperlukan. 

Kedua, memperbaiki kerangka hukum dan kerangka kebijakan. Sinkronisasi kebijakan ini dilakukan agar kementerian yang
ada tidak berjalan sendiri-sendiri. Perlu ada sinkronisasi kebijakan
pengembangan komoditas unggulan di bidang pertanian. Selain itu, juga perlu belajar
dan menimbang kebijaksanaan dari negara lain. Ketiga, perbaikan
infrastruktur dan perbaikan rantai pasok (supply chain management).
Sebab, hingga kini belum ada rantai pasok yang stabil dan bisa menjamin
kepastian ketersediaan barang. Dengan demikian produk-produk pertanian
Indonesia diharapkan mampu bersaing dengan produk-produk dari negara lain.

Dengan demikian kita harus belajar dari negara lain agar kualitas ekspor kita bisa bersaing di pasar
internasional. Apa lagi negara kita memiliki produk-produk hortikultura dan
perkebunan dalam negeri tenyata memiliki potensi yang sangat besar, dan butuh
penanganan yang serius dari segi kualitas mutu sehingga mampu bersaing di pasar
dunia. Sudah banyak produk komoditi olahan pertanian yang beredar dari luar.

Kita tidak perlu berkecil hati, dengan memanfaatkan produk hasil pertanian kita yang berlimpah
menjadikannya sebagai product development, baik untuk konsumsi lokal
maupun untuk pasar internasional. Bukan hal yang aneh dan baru jika saat ini
kita belajar dari negara lain membuat apel, salak, pepaya atau nenas yang bisa
diolah menjadi keripik. Bukan sesuatu yang mustahil jika kita belajar dari
negara lain menjadikan mangga gedong, manggis mampu diekspor ke China. Dan
bukan hal yang luar biasa, jika kopi Indonesia Gayo Arabica sangat fenomenal di
pasar kopi dunia, bila semuanya dikemas dalam kemasan yang baik dan sesuai. Di sinilah
peran semua pemangku kepentingan untuk menciptakan produk pertanian yang berkualitas
ekspor dan daya saing tinggi.

Mengapa Produk Pertanian Kita Sulit Diekspor?

Prof. Ir. Triwibowo Yuwono, PhD

Dekan Fakultas Pertanian UGM

Saat ini nampaknya lebih mudah menemukan apel merah dari Washington, jeruk dan pear dari
Cina, atau durian Bangkok di pasar tradisional atau supermarket dibanding sawo
atau duku, produk buah eksotis dari Indonesia. Contoh-contoh komoditas
pertanian impor lainnya masih cukup banyak, termasuk bahan pangan utama seperti
beras. Sesuatu yang keliru nampaknya telah terjadi di negara kita terkait
dengan cara kita memperlakukan pertanian.

Semestinya pertanian dapat menjadi tulang punggung perekonomian bangsa mengingat banyak
produk pertanian yang potensial untuk diekspor. Selama ini pembangunan
pertanian di Indonesia masih bertumpu kuat penyediaan pangan utama, khususnya
beras, sementara produk-produk lain, misalnya buah tropis yang khas Indonesia
masih menjadi prioritas kedua setelah beras. Kebijakan ini memang tidak
sepenuhnya keliru, namun potensi produk lokal yang seharusnya dapat menjadi
komoditas perdagangan internasional menjadi terabaikan.

Beberapa faktor penting yang menentukan keberhasilan pembangunan pertanian, dalam
konteks yang luas, termasuk meningkatkan potensi ekspor, antara lain adalah:
(1) ketersediaan lahan yang sesuai untuk budidaya pertanian, (2) ketersediaan
benih dan sarana produksi dalam jumlah yang optimal, (3) kesiapan teknis
budidaya termasuk penanganan pasca panen, (4) dukungan pembiayaan usaha tani,
(5) faktor lingkungan, (6) kebijakan perdagangan komoditas pertanian, (7)
kebijakan umum pembangunan pertanian, (8) penyiapan sumber daya manusia yang
dapat diandalkan, dan (8) edukasi masyarakat terhadap produk pertanian.

Pembangunan pertanian tidak hanya berhenti sampai proses produksi, pemasaran produk
pertanian menjadi pekerjaan dan tugas berikutnya yang tidak mudah. Produk
pangan utama, misalnya beras, mungkin relatif mudah untuk menemukan pasar
karena pasti akan diperlukan, setidak-tidaknya di dalam negeri. Persoalan
muncul ketika kita berhadapan dengan pemasaran produk-produk bukan pangan
utama, khususnya hortikultura, terlebih lagi di pasaran internasional. Tekanan
persaingan dengan negara-negara produsen lain, termasuk di dalamnya tekanan
akibat regulasi perdagangan dunia yang diterapkan di zona-zona ekonomi
tertentu, menambah kesulitan di dalam menemukan pasar bagi produk pertanian
Indonesia.

Untuk dapat menembus pasar dunia maka komoditas pertanian Indonesia harus memenuhi
persyaratan-persyaratan khusus, yang bersifat non-tarif, yang seringkali
diterapkan oleh negara pengimpor. Sebagai contoh, di Amerika Serikat ada
standar khusus untuk produk-produk pertanian yang ditetapkan oleh USDA (United States Department of Agriculture).
Dalam konteks perdagangan dunia yang sudah sangat terbuka, persaingan antara
negara produsen menjadi sangat ketat karena setiap negara akan berusaha
melindungi produknya masing-masing.

Beberapa hal yang dapat menghambat perdagangan produk pertanian Indonesia ke pasar
internasional antara lain adalah: (1) hambatan non-tarif, misalnya Sanitary and Phytosanitary Measures, (2)
ketidaksiapan petani di dalam menjamin kualitas produk pertanian, (3) kurangnya
pemahaman mengenai pentingnya aspek pasca panen,  (4) kebijakan harga yang kurang mendukung,
dan (5) lobi-lobi perdagangan yang kurang gencar. Dari sisi hambatan non-tarif,
misalnya Sanitary and Phytosanitary
Measures
, petani atau eksportir kita harus memahami benar peraturan yang
diterapkan di negara pengimpor.

Kualitas produk pertanian menjadi salah satu parameter keberhasilan produk pertanian
dalam menembus pasar internasional. Oleh karena itu untuk memenuhi
persyaratan-persyaratan seperti dicontohkan di atas, harus ada perhatian ekstra
dari petani atau eksportir untuk menjaga agar komoditas yang diekspor dapat
memenuhi kriteria yang ditetatpkan. Penjaminan kualitas produk harus dimulai
sejak masa tanam. Bahkan, untuk produk organik, persyaratan dapat lebih ketat karena
tidak setiap lahan dapat digunakan untuk budidaya produk tertentu.

Kualitas produk pertanian juga ditentukan oleh perlakuan panen dan pasca panen. Sebagai
contoh, kerusakan fisik seperti yang didefinisikan sebagai bruising, skin breaks, sangat mungkin terjadi pada saat dilakukan
pemanenan, external discoloration
dapat terjadi pada saat pengangkutan dari lahan produksi ke gudang, dan
sebagainya. Perhatian terhadap hal-hal teknis semacam ini menjadi suatu
keharusan agar produk pertanian Indonesia dapat diterima oleh pasar
internasional.

Persoalan lain yang juga dapat menjadi penghambat ekspor produk pertanian adalah
kebijakan harga. Hal ini sangat terkait dengan kebijakan pemerintah dalam
perdagangan dan pembangunan pertanian secara keseluruhan, misalnya apakah ada
kebijakan subsidi, insentif pajak, dan lain-lain sehingga harga komoditas
pertanian dapat lebih kompetitif di pasar internasional. Sudah menjadi rahasia
umum bahwa beberapa negara pengekspor komoditas pertanian melakukan kebijakan
subsidi kepada petani sehingga harga komoditas pertanian negara tersebut dapat
dijual lebih murah di pasar internasional.

Perdagangan komoditas pertanian juga sangat dipengaruhi oleh proses lobi perdagangan. Lobi
perdagangan seringkali tidak terbatas antar pelaku bisnis langsung, namun
seringkali harus melibatkan birokrat pemerintah, misalnya atase pertanian. Oleh
karena itu memperkuat proses lobi perdagangan juga menjadi suatu faktor
menentukan di dalam menembus pasar internasional.

 

Apa yang harus dilakukan ?

Mengingat semakin ketat persaingan perdagangan internasional, maka harus dilakukan upaya
yang lebih nyata dan terkoordinasi di dalam mendorong produk pertanian untuk
mampu menembus pasar internasional. Beberapa hal mendasar yang harus dilakukan
antara lain adalah: (1) edukasi terhadap petani tentang persyaratan kualitas
produk pertanian yang lebih tinggi, (2) pelatihan teknis penjaminan mutu
budidaya, pemanenan, dan pasca panen dengan orientasi ekspor baik bagi petani
maupun eksportir, (3) membuat kebijakan pembangunan pertanian yang lebih
kondusif bagi petani untuk dapat bersaing di pasar internasional, misalnya
dengan memberikan insentif pajak atau subsidi harga, (4) meningkatkan dan
mengefektifkan lobi perdagangan internasional, (5) memperluas pasar internasional
dengan produk-produk pertanian yang khas Indonesia sehingga mempunyai
keuntungan komparatif.

Lobi perdagangan dapat dilakukan dengan lebih mengefektifkan peranan atase (attache) perdagangan dan atase pertanian
di luar negeri, atau dengan mendirikan kantor khusus yang menangani perdagangan
produk pertanian di negara yang potensial sebagai pengimpor produk Indonesia. Selain itu, juga perlu dipikirkan kebijakan membuka pintu impor produk pertanian ke Indonesia  secara tak
terkendali yang justru merugikan posisi petani di dalam negeri. Membanjirnya
produk pertanian impor, yang bersaing secara langsung dengan produk dalam
negeri dan dengan harga yang murah dapat menumbuhkan perasaan frustrasi petani
untuk melakukan usaha tani.

Perluasan pasar internasional dengan komoditas pertanian yang khas Indonesia nampaknya
juga perlu dipikirkan sehingga komoditas pertanian Indonesia tidak harus
bersaing head to head dengan produk
sejenis di luar negeri. Upaya ini tentunya akan terkait dengan kebijakan
pertanian yang lebih komprehensif, misalnya dengan mempertahankan sumber plasma
nutfah komoditas-komoditas yang khas Indonesia, meningkatkan usaha-usaha
pemuliaan tanaman untuk memperoleh varietas yang lebih kompetitif dari sisi
kualitas maupun penyediaan (supply)
komoditas pertanian untuk pasar ekspor.

 

Dapatkah Teknologi Berkembang di Sektor Pertanian Indonesia?

Sam Herodian

Dekan Fakultas Teknologi Pertanian IPB

Sebelum kita bicarakan lebih lanjut tentang peluang pengembangan teknologi untuk pengembangan pertanian kita, saya ingin membatasi pertanian di sini terutama pada tanaman pangan khususnya padi, walaupun akan disinggung sedikit untuk komoditas lain.  Sedangkan teknologi akan saya batasi pada penggunaan alat mesin pertanian, sedangkan teknologi lain seperti perbenihan, budidaya dan lain-lainnya tidak saya perdalam.

Pada usianya yang telah mencapai 66 tahun ternyata pertanian kita masih belum beranjak dari praktek-prakter pertanian gurem yang sudah kita lakukan sejak sebelum jaman kemerdekaan. Marilah kita potret sedikit wajah pertanian kita dari segi proses produksi beras yang dimulai dari pengolahan lahan.

 

Praktek di lahan

Pengolahan lahan kita sebagian memang sudah menggunakan traktor tangan, namun kalau kita lihat populasi traktor tangan dibandingkan dengan jumlah petani satu tarktor tangan harus melayani lebih dari 400 petani atau lebih dari 100 ha lahan sawah permusim tanam.  Artinya, masih banyak lahan yang digarap dengan menggunakan tenaga hewan atau bahkan manusia. Bandingkan dengan negara-negara tetangga kita bahkan Vietnam yang baru bergeliat, angkanya jauh lebih baik dari kita.

Untuk penanaman malah lebih menyedihkan lagi angkanya, hampir 100% sawah kita penanamannya dilakukan secara manual. Apakah tidak ada teknologi untuk penanaman? Jawabannya tentu saja ada. Di Jepang mesin ini sudah lama digunakan, demikian juga di Korea, China bahkan Thailand. Beberapa tahun lalu bahkan kita sudah pula memperkenalkan teknologi ini kepada masyarakat, mulai yang bermesin sampai yang semi mekanis.  Akan tetapi sayang hasilnya dapat dikatakan gagal total.

Sampai saat ini para petani masih menggunakan tangannya untuk menanam bibit padi ke sawahnya. Untuk pemeliharaan tanaman, agak sedikit berkembang dengan digunakannya sprayer untuk pemberantasan hama penyakit. Namun demikian sebagian lainnya seperti penebaran pupuk masih dilakukan secara manual.

Penanaman pun menghadapi problematika yang sama. Masalahnya bukan kepada ketiadaan teknologi untuk keperluan ini.  Namun ketidakmampuan kita mengadopsinyalah penyebabnya.  Penyiangan juga setali tiga uang, sebagian besar masih menggunakan tenaga manusia, baik secara manual dengan mencabut gulma satu persatu ataupun dengan alat penyiang sederhana yang juga harus digerakkan oleh tenaga petani sendiri.

Pemanenan juga masih sangat memprihatinkan, kita masih mengandalkan sabit.  Sayangnya pemerintahpun secara sadar tidak mendorong ke arah kemajuan dengan lebih cepat. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih memberikan bantuan berupa sabit bergerigi untuk pemanenan, bukan mesin panen.

Apakah tidak ada sama sekali petani yang sudah menggunakan mesin panen? Jawabannya, ada. Di Sulawesi Selatan sudah banyak berkembang mesin panen yang biasa disebut sebagai stripper.  Mesin ini dikembangkan oleh IRRI dan disosialisasikan sekitar 20 tahun yang lalu dan seorang pengusaha bengkel di sana, mengembangkannya dan diterima oleh masyarakat dengan baik.

Tahap berikutnya adalah perontokan gabah dari malainya. Pada tahap ini agak berkembang dengan banyaknya thresher atau perontok padi yang beredar di masyarakat petani. Namun demikian jumlahnya masih kurang dibandingkan dengan kebutuhannya.  Sebagian besar masih menggunakan tenaga manusia dengan membantingnya pada landasah perontok. Pemerintah pun, lagi-lagi, sayangnya belum berhasil mengubah dengan baik kebiasaan ini.  Alih-alih mendrong menggunakan teknologi malah membagikan terpal untuk mempertahankan teknologi yang ada agar digunakan terus.

Kalau membaca hal-hal yang disebutkan di atas tentu sangat mengherankan bukan? Kebutuhan ada, teknologi tersedia, namun kenyataan di lapangan masih sangat memprihatinkan.

 

Pascapanen

Selanjutnya di pengeringan gabah. Pada musim panen kita selalu disuguhi pemandangan petani menjemur gabahnya di pinggir jalan dan di manapun tempat lapang yang tersedia.  Di beberapa tempat memang sudah ada lamporan yang dibuat khusus untuk menjemur gabah, namun jumlahnya masih kurang memadai. Sering kita dengar keluhan petani gabahnya rusak ketika mereka memanen gabahnya, terutama pada saat musim hujan.  Lalu bagaimana dengan mesin pengering apakah tidak ada? Jawabannya tentu saja sudah ada, namun belum diadopsi dengan baik.

Hal yang sama juga kita dapati untuk penggilingan padi.  Memang pada saat ini kita sudah tidak menjumpai lagi petani yang mengupas gabahnya dengan alu, semuanya sudah menggunakan penggilingan padi yang sering disebut sebagai Rice Milling Unit (RMU).  Tahap inilah, tahap yang paling tinggi level adopsi teknologinya dibandingkan tahap lainnya.  Namun demikian sebagian besar mesin yang digunakan sudah ketinggalan zaman dan tentu saja kualitas beras yang dihasilkan tidak sebagus yang diharapkan.

 

Status teknologi di negara lain

Sebagai ilustrasi saya ceritakan sedikit tentang penggunaan teknologi yang sudah dilakukan oleh teman-teman kita di Jepang dan Korea. Untuk pengerjaan di lahan semuanya sudah menggunakan mesin, mulai pengolahan lahan, pemupukan, penyiangan, sampai penyemprotan hama. Bahkan traktor yang digunakan tidak lagi traktor tangan yang operatornya harus jalan, akan tetapi sudah menggunakan traktor empat roda.

Untuk pemanenan dan perontokan dilakukan sekaligus dengan menggunakan Combine Rice Harvester yang juga tipe yang dikendarai (riding type). Untuk pengeringan langsung masuk kedalam mesin pengering, dan biasanya hasilnya dimasukkan silo untuk disimpan dalam waktu yang cukup lama.  Gabah digiling dengan menggunakan penggilingan yang sangat canggih yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Apakah di dua negara tersebut saja yang sudah maju? Tentu saja tidak. Negara-negara penghasil beras lainnya seperti Thailand dan bahkan Vietnam pun sudah menggunakan teknologi ini.  Belum lagi China dan Amerika yang tentu saja jauh lebih maju lagi.

Lho, jika di negara-negara tersebut sudah ada sejak lama dan juga berkembang di tempat-tempat lain, lalu mengapa di Indonesia belum bisa berkembang? Lalu dapatkah semua itu dikembangkan di Indonesia? Terus terang secara ekstrim saya sering mengatakan, jika tidak ada perubahan yang mendasar maka sampai kiamatpun pertanian kita akan tetap seperti sekarang ini.  Tentu saja kita masih ada peluang untuk mengubahnya, namun apakah kita cukup berani untuk menuju kesana?

Marilah kita lihat permasalahannya dari empat faktor yang harus diperhatikan dalam mengadopsi teknologi khususnya di bidang pertanian. Faktor-faktor tersebut adalah; faktor teknis, faktor ekonomis, faktor sosial-budaya dan faktor kebijakan pemerintah.

 

Faktor Teknis

Seperti sudah saya singgung di atas bahwa secara teknologi hampir seluruh proses produksi beras teknologinya sudah tersedia. Namun demikian dalam adopsi suatu teknologi diperlukan pengaturan untuk menyesuaikan dengan prasyarat agar teknologi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.

Untuk aplikasi teknologi pada budidaya padi misalnya, agar traktor dapat bekerja dengan optimal diperlukan prasyarat seperti bentuk lahan yang teratur dengan minimal luasan tertentu, di Jepang misalnya, untuk pengolahan dengan traktor tangan ukuran lahannya adalah 100 x 30 m, lapisan kedapnya (hard pan) sudah terbentuk dengan baik dan pada kedalaman yang optimal. Ditambah syarat-syarat yang lain seperti tersedianya air irigasi yang memadai, saluran draenase, dan jalan lahan untuk setiap petak sawah.

Sayangnya di kita, dari semua faktor tersebut hanya irigasi yang tersedia, itupun masih sangat sederhana dan terkadang masih harus melalui petakan sawah yang lain.  Lapisan kedap memang sudah tersedia secara alamiah, namun karena kedalamannya tidak merata, beberapa alat mekanis mengalami kesulitan untuk bekerja di atasnya.

Aplikasi mesin yang lain juga mengalami kesulitan yang kurang lebih sama.  Beberapa tahun yang lalu saya berkesempatan mengantar industri mesin pemanen padi (combine rice harvester) terkemuka dari Jerman untuk melihat peluang mengembangkan pabriknya di Indonesia. Kami antar mereka ke beberapa sentra produksi beras di Jawa dan Sumatera, mereka sangat terkejut karena melihat petakan yang kecil-kecil dan tidak beraturan, ditambah lagi tidak ada akses jalan untuk menuju petak sawah yang di tengah.  Tidak menunggu waktu lama merekapun langsung pulang dan tidak pernah kembali lagi.  Padahal mesin yang sama sudah operasional di Thailand.

Untuk pascapanen juga masih mengalami hambatan yang hampir sama.  Walaupun kita tahu bahwa jika pemanenan dilakukan pada musim hujan akan mengalami masalah dalam mengeringkan gabah, tapi anehnya mesin pengering masih juga belum berkembang.  Pemerintah bukannya tidak berusaha, pada beberapa waktu yang lalu sudah pernah memberikan bantuan mesin pengering ke beberapa daerah namun nampaknya masih kurang berhasil.

Ada faktor fundamental yang tidak pernah mau disentuh oleh pemerintah, yang mengakibatkan usaha yang dilakukan hampir selalu kurang berhasil. Faktor utama yang sangat berpengaruh dalam hal ini adalah skala usaha yang tidak memadai.  Dampaknya juga terasa pada proses yang lain seperti penggilingan padi dan penyimpanannya.

Beberapa waktu yang lalu beberapa pemerintah daerah membangun Rice Processing Complex yang modern dengan kapasitas besar, sayangnya dilakukan tanpa perencanaan yang matang. Mereka kebingungan, ternyata walaupun secara hitungan matematis ketersediaan gabah mencukupi, setelah operasional, gabah yang akan diproses ternyata tidak mencukupi.  Akibatnya fasilitas tersebut hanya menjadi besi tua.

 

Faktor Ekonomi

Salah satu hal penting lain yang sampai saat ini tidak disentuh oleh pemerintah adalah skala usaha.  Dengan penguasaan lahan yang hanya 0.3 ha per keluarga petani, maka sudah dapat dipastikan bahwa usaha produksi beras sangatlah tidak menguntungkan.  Untuk itu harus ada perombakan secara cukup radikal agar syarat skala luasan minimal dapat dipenuhi.

Sesungguhnya kebijakan tersebut sudah ada di benak pemerintah yaitu melalui apa yang disebut sebagai rice estate, sayangnya pengertian tersebut hanya untuk lahan baru yang saat itu terfikir di Marauke. Saya sudah sampaikan ke berbagai pihak di Kementerian Pertanian agar konsep tersebut tidak hanya untuk lahan baru yang pengelolaannya seperti lazimnya perkebunan pada umumnya.

Konsep tersebut dengan sedikit modifikasi justru akan lebih murah jika dilakukan di sentra padi yang ada saat ini, baik yang di Jawa, Sumatera maupun Sulawesi. Dengan melakukan hal ini maka ongkos untuk membuat infrastruktur akan jauh lebih ringan dibandingkan membuat yang baru. Menyatukan manajemen pengelolaan dalam satu organisasi akan memecahkan banyak hal termasuk penggunaan mesin, pengelolaan proses sampai pada pemasaran.

Hal lain yang sangat menguntungkan adalah kita dapat menghasilkan produk dari limbahnya, bahkan jauh lebih menguntungkan. Produk-produk seperti listrik dari sekam, rice bran oil, dan lain-lain hanya dapat dihasilkan jika pengelolaan produknya menjadi satu.  Memaksakan asupan teknologi pada skala ekonomi yang jelas-jelas tidak mungkin ekonomis adalah usaha sia-sia yang tidak pernah akan menyelesaikan masalah.

 

Faktor Sosial-Budaya

Adopsi teknologi juga kerap sangat dipengaruhi oleh masalah sosial-budaya.  Mengubah suatu kebiasaan Selalu membutuhkan waktu dan tenaga khusus untuk melakukannya.  Sebagai contoh sampai saat ini pemerintah belum berhasil untuk mengubah budaya panen di pantura Jawa Barat.  Budaya ini sangat kuat mengakar di masyarakat dan sangat terkait dengan sistem ekonomi yang berlaku di masyarakat setempat. Budaya ini sangat berakibat pada lambannya adopsi power thresher di daerah ini.  Jika power thresher saja sulit untuk masuk maka dapat dipastikan bahwa combine rice harvester akan sangat sulit untuk diaplikasikan di daerah ini.

Namun demikian apakah kita harus menyerah? Menurut saya justru hal ini harus kita jadikan tantangan para ahli sosial budaya agar dapat merekayasanya menjadi budaya yang adaptif terhadap teknologi. Untuk mempermudah melaksanakan pemikiran ini sebenarnya  kita dapat memulainya dari beberapa daerah yang lebih memungkinkan, seperti beberapa daerah di Sumatera Selatan bahkan petaninya sudah mengatakan bersedia. Belum lagi di Sulawesi Selatan yang petaninya sangat responsif terhadap perkembangan teknologi dan jumlah petaninya relatif lebih sedikit.  Jika sudah dimulai dan memberikan hasil yang baik, saya berkeyakinan daerah lainpun pasti ingin melakukannya.

 

Faktor Kebijakan Pemerintah

Jika kita amati seluruh faktor di atas, maka sesungguhnya seluruh permasalahan dapat ditangani jika pemerintah dapat membuat kebijakan yang tepat. Memang pada umumnya memerlukan waktu dan usaha yang tidak mudah, namun hasilnya akan sangat luar biasa.  Pembentukan estate baru di tempat baru hanya membuktikan bahwa pemerintah kurang mau menghadapi tantangan, semuanya diserahkan ke pihak swasta sehingga tanpa usaha keras dapat menghasilkan produk secara nasional secara mudah.  Tapi tidak pernah peduli dengan nasib para petani yang seharusnya menjadi target utama pemerintah untuk menaikan taraf hidup mereka.

Secara politis mungkin akan terlihat berhasil, karena dapat meningkatkan produksi nasional.  Namun secara riil di lapangan tidak mengubah nasib petani bahkan mungkin akan lebih menyengsarakan karena harga berasnya menurun?  Oleh karena itu saya menyarankan agar pemerintah mulai benar-benar secara serius memikirkan untuk memecahkan masalah yang mendasar agar kita segera lepas landas menuju pertanian yang modern dan menguntungkan dengan sasaran untuk meningkatkan kesejahteraan petani kita.

 

Bagaimana dengan komoditas lainnya?

Beberapa komoditas andalan kita ternyata juga masih belum secara optimal dikembangkan. Contoh paling mudah adalah minyak kelapa sawit.  Kita sudah sangat bangga menjadi eksportir terbesar CPO, sementara negara tetangga kita sudah sibuk dengan berbagai produk turunannya.

Sebagai contoh, ada satu program pemerintah yang aneh dan menggemaskan yaitu rencana fortivikasi vitamin A pada minyak goreng. Sepintas memang terlihat sangat baik, namun jika kita telusur lebih jauh, sesungguhnya dalam CPO kita kaya akan pro-vitamin A yang pada prosesnya kita buang begitu saja. Lucunya, setelah kita buang kemudian kita akan menambahkannya lagi dengan vitamin A sintetis yang diimpor. Sungguh kebijakan yang sangat tidak memihak kepada produk bangsa sendiri.

Oleh karena itu program hilirisasi dari Kementerian Perindustrian hendaknya dapat kita dukung dan optimalkan. Program ini tentu saja harus syarat teknologi, karena tanpa teknologi nilai tambah akan sulit didapatkan. Produk yang memilki nasib yang sama juga cukup banyak, seperti kopi, coklat, jambu mete dan lain-lain yang secara sengaja kita biarkan orang lain menikmati nilai tambahnya. Terlalu…. (kata Bang Haji).

Produk lain yang juga perlu perhatian adalah komoditas hortikultura. Berbeda dengan produk yang saya sebutkan di atas. Produk ini punya potensi namun belum digarap secara serius, bahkan yang sudah ada seperti apel Malang kita dengar sedang menghadapi masalah serius dengan keberlangsungannya.  Kita memiliki varietas mangga yang luar biasa, namun mengapa kita sulit untuk dapat mengekspornya? Begitu pula dengan buah-buahan yang lain.

Permasalahannya sangat sederhana, karena kita tidak mampu menyediakan kualitas yang sama dengan kuantitas tertentu dalam waktu yang diinginkan. Contoh sepele kita harus sibuk mencium mangga satu-persatu jika kita akan membelinya, atau menekan jeruk untuk memastikan bahwa produk tersebut manis. Hal tersebut menunjukkan bahwa kita tidak dapat menghasilkan produk yang seragam. Bagaimana tidak, biasanya pedagang pengumpul hanya mengumpulkan dari berbagai pohon yang ada di berbagai tempat kemudian menjualnya.

Apakah kita dapat menghasilkan buah dengan kualitas yang dimaksud? Jawabannya dapat, asalkan dilakukan dengan cara-cara yang tepat. Teman-teman di beberapa daerah sudah melakukannya.  Namun lagi-lagi belum dilakukan secara sistematis oleh pemerintah.  One Vilage One Product (OVOP) misalnya, masih menjadi wacana, belum terlaksana dengan baik.

Peluang Ekspor Pertanian Semakin Tinggi di Indonesia

Oleh : Diera

 

Dengan semakin majunya teknologi serta kemajuan dari zaman, semakin maju pula pemikiran-pemikiran dari orang-orang untuk tetap bertahan hidup dan menghadapi persaingan yang semakin ketat. Oleh karena itu pula kita harus bisa memanfaatkan peluang-peluang yang ada agar kita tetap bisa bertahan dan dapat bersaing dengan orang lain. Selain skill yang kita miliki kita harus juga dapat melihat peluang serta dapat ber inovasi dan mengeluarkan ide-ide yang baru.

Saat ini peluang untuk berwirausaha sangat tinggi, oleh karena itu pula kita dapat memanfaatkan hal tersebut. Kita dapat melihat peluang apa saja yang ada di Indonesia dalam hal ini. Sektor apa saja yang dapat kita pilih untuk dapat kita manfaatkan dalam berwirausaha. Untuk hal itu awal mula yang harus kita pilih yaitu mencari sektor apa yang ingin kita pilih kemudian apa produk yang ingin kita fokuskan.

Saat ini peluang yang paling tinggi yang dapat kita manfaatkan adalah pada sektor pertanian. Dimana sektor pertanian di Indonesia saat ini sudah hampir kalah bersaing dengan produk-produk pertanian impor dari negara lain. Saat ini kita dapat melihat buah-buahan impor mulai merajai Indonesia. Kita mulai hampir kehilangan citra bangsa kita yaitu bangsa yang kaya dengan buah-buahan.

Oleh karena itulah kita harus dapat menciptakan kualitas yang baik untuk produk-produk dalam negeri agar kita tidak kalah bersaing dengan produk luar negeri yang mulai merambah dan mulai menurunkan integritas produk-produk dalam negeri. Kita juga harus manfaatkan sumber daya yang ada untuk memaksimalkan produk-produk dalam negeri dan kita melakukan inovasi-inovasi untuk perubahan serta mengembangkan produk-produk dalam negeri khususnya untuk sektor pertanian.

Peluang untuk sektor pertanian Indonesia sangat tinggi dimana Indonesia untuk sektor pertanian mengalami peningkatan terus setiap bulan nya. Dari hal inilah kita dapat memanfaatkan peluang tersebut. Kita dapat mengambil ataupun memfokuskan untuk produk ataupun barang tertentu.

Saat ini untuk sektor pertanian, peluang ekspor coklat sangat tinggi. Hal ini dikarenakan coklat sangat diperluakan oleh banyak orang dan coklat semua orang pun menyukainya. Selain itu Pantai Gading (Afrika) sebagai pengekspor tertinggi untuk coklat sedang mengalami konflik sehingga negara tersebut tidak mengekspor sama sekali coklatnya. Dengan demikian kita dapat memanfaatkan peluang ini. Saat ini Indonesia telah ratifikasi Internasional Cocoa Agreement/ICA 2010 yang tinggal selangkah lagi Indonesia bisa bergabung dengan ICCO ( International Cocoa Organization ). Di tingkat dunia Indonesia merupakan negara produsen kakao ketiga terbesar menurut ICCO.

Selain ekspor coklat/kokoa kita tetap dapat memanfaat kan peluang pada kelapa sawit yang masih mendominasi untuk pertanian. Kelapa sawit mengalami perkembangannya yaitu Indonesia menjadi negara produsen kedua saat ini. untuk menjadi produsen pertama kita harus dapat memanfaatkan peluang yang ada serta merencanakan ide-ide untuk mengembangkan ekspor kelapa sawit ke dunia Internasional. Banyak lagi hasil-hasil pertanian yang dapat kita jadikan sebagai peluang untuk kita manfaatkan serta kita dapat jadikan usaha yang dapat membuahkan hasil ataupun menguntungkan. Kita harus dapat melihat pangsa pasar yang ada serta dapat melihat bagaimana segmentasi,targeting serta positioning untuk produk atau barang yang kita fokuskan atau pilih.

Saat ini kita dapat manfaatkan peluang untuk sayur-sayuran serta buah-buahan dari organik. Hal ini dapat dicari banyak oleh orang-orang. Bahan organik sangat dibutuhkan untuk kesehatan, selain itu lebih awet dibandingkan dengan sayur-sayuran ataupun buah-buahan non organik. Oleh karena itu hal ini dapat dijadikan sebagai peluang ekspor pertanian untuk buah-buahan serta sayur-sayuran organik. Indonesia sangat berpeluang untuk menghasilkan sayur-sayuran serta buah-buahan organik, karena Indonesia masih memiliki sumber daya alam yang sangat banyak. Selain itu Indonesia masih memiliki lahan untuk dapat membudidayakan buah-buahan serta sayur-sayuran organik. Di daerah Puncak (Bogor) misalnya kita dapat membudidayakan produk-produk organik karena selain lahan masih ada udara di sana masih sangat sejuk dan sedikit polusinya.

Sayur mayur serta buah-buahan Indonesia sangat berpeluang untuk masuk ke pasar Singapura karena saat ini pangsa pasar Indonesia hanya 10 persen untuk sayur-sayuran serta buah-buahan ke negara tersebut. Indonesia menargetkan 2014 pangsa pasar Indonesia bisa mencapai 25 persen untuk ekspor sayur-sayuran serta buah-buahan ke negara tersebut. Indonesia masih membutuhkan eksportir karena Indonesia masih kekurangan eksportir sayur-sayuran dan buah-buahan baik yang bentuknya perusahaan maupun koperasi. Hal ini sangat penting karena Singapura menginginkan partner dagang yang dapat memberikan pasokan dalam volume tertentu secara berkelanjutan.

Dengan demikian ekspor sayur-sayuran serta buah-buahan organik sangat dibutuhkan. Karena pastinya hal ini sangat diperlukan khususnya untuk negara-negara yang tidak memiliki lahan pertanian serta untuk negara-negara maju yang kebanyakan sangat kurang sumber daya alam nya. Dalam hal ini kita dapat memanfaatkan sumber daya alam Indonesia yang sangat kaya ini dengan menciptakan peluang serta lapangan kerja baru untuk para petani serta menciptakan inovasi-inovasi dan ide-ide untuk mengembangkan ekspor sektor pertanian Indonesia.

Keyakinan untuk menciptakan peluang baru serta pasar baru di sektor pertanian Indonesia ini sangat tinggi. Karena dapat dilihat sendiri Indonesia memiliki SDA serta SDM yang tinggi, serta ekspor tertinggi Indonesia masih mendominasi di sektor pertanian. Karena masih banyaknya peluang inilah diharapkan kita dapat memanfaatkannya dan dapat mengambil keuntungan serta dapat mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia. Dari hal ini maka indikator-indikator ekonomi semuanya akan berpengaruh. Dimana apabila tingkat ekspor meningkat, pendapatan meningkat, pengangguran berkurang, inflasi turun serta cadangan devisa untuk negara pun bertambah. Dengan ini maka Pendapatan Nasional Indonesia pun dapat meningkat.

Mencari peluang yang ada mungkin sangat sulit akan tetapi jika kita tidak pernah mencoba peluang yang ada maka kita akan menjadi orang yang selalu gagal dan tidak pernah berhasil dalam apapun.

Jangan Remehkan Potensi Buah dan Sayur Indonesia

Yogi Yogasara

(Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Lampung)

 

Usaha pertanian hortikultura, khususnya buah dan sayur, dapat menjadi solusi alternatif pendapatan bagi siapa pun yang ingin mengusahakannya. Selain mendukung program pemerintah dalam gerakan mengkonsumsi buah dan sayur di masyarakat, ternyata peluang usaha ini masih sangat besar baik di dalam maupun luar negeri. Kementan Republik Indonesia menyebutkan, bahwa konsumsi buah dan sayur dalam negeri masih rendah dan permintaan buah tropis dan sayur di luar negeri terus meningkat per tahun 2011 (Bisnis Indonesia, 21/06).

Lantas, bukankah ini termasuk peluang yang besar bagi Indonesia untuk mengembangkannya? Terlebih lagi Indonesia dianugerahi iklim yang cocok bagi buah-buah tropis dan sayuran yang digemari oleh penduduk luar negeri; untuk buah seperti manggis, nanas, pisang, mangga, salak, alpukat dll; sedangkan sayuran seperti peleng, tomat, sawi, kol, kentang, dll. Seharusnya dengan kondisi Indonesia yang demikian, dimana permintaan yang besar, baik di dalam negeri dan pasar dunia, Indonesia dapat menjadi penyumbang buah dan sayur terbesar di dunia.

 

Kondisi produksi buah dan sayur di Indonesia saat ini

Jika ditinjau dari potensi Indonesia, sungguh disayangkan jika peningkatan produksi buah dan sayur tidak menjadi perhatian utama Pemerintah dan pelaku usaha. Kendala klasik yang dimiliki seperti masalah infrastruktur jalan, pelabuhan, pembiayaan, kualitas produk yang tidak memenuhi pasar, dan tidak terjamin kontinuitas pasokan tentunya bukan lagi persoalan yang diwariskan.

Sebagai contoh, Tempo Interaktif (20/8) melaporkan bahwa, per Agustus 2011 ini, pasokan buah dan sayur ke Singapura sebesar 43 persen didapat dari Malaysia, dan 31 persen dari Cina; sedangkan Indonesia hanya 6,5 persen. Data tersebut membuktikan bahwa produktivitas buah dan sayur Indonesia masih kalah jauh dengan negara lain seperti Malaysia dan Cina. Selain itu, impor buah dan sayur  pun kini merambah di Indonesia, hal ini menjadi ancaman semangat para pelaku usaha buah dan sayur di Indonesia serta mengurangi kegemaran masyarakat Indonesia terhadap buah dan sayur lokal.

Jika diperhatikan, permasalahan buah dan sayur Indonesia memang terletak pada rendahnya produksi dan keberlangsungan produksi. Selain itu, Indonesia pun masih belum mempunyai daerah utama atau sektor khusus dalam pengembangan buah dan sayur secara intensif dan berskala luas. Sehingga ini menjadi dugaan, bahwa produktivitas buah dan sayur Indonesia masih belum bisa bersaing di tingkat dunia.

 

Peluang

Perdagangan buah tropika di tingkat dunia terus mengalami peningkatan berdasarkan data FAO mengenai perdagangan (Morey, 2007). Pada tahun 2004, jenis buah tropika utama yang diimpor pada tingkat dunia adalah pisang (12,4 juta ton), nenas (1,6 juta ton), mangga (732 ribu ton) dan pepaya (208 ribu ton). Negara terbesar yang mengimpor buah tropika dalam bentuk segar adalah Amerika Serikat diikuti oleh negara-negara Eropa.

Volume ekspor total untuk mangga, manggis dan jambu biji di pasar dunia mencapai 1.178.810 ton dalam tahun 2005. Indonesia berkontribusi sebesar 1.760 ton atau 0,15 persen dari ekspor total dunia. Impor total dunia untuk ketiga komoditas tersebut mencapai 857.530 ton dan untuk Indonesia hanya sebesar 540 ton atau sekitar 0,06 persen (FAO, 2007). Dalam tahun 2006, ekspor total dari komoditas tersebut menjadi 901.520 ton senilai US $ 684,6 juta (NAFED, 2007).

Indonesia memiliki beragam jenis buah-buahan bermutu yang berpotensi untuk mendatangkan devisa bagi negara. Khusus untuk pasar ekspor, beberapa komoditas buah-buahan Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini telah banyak diminati pasar dunia, seperti: manggis, salak, mangga, dan lain sebagainya. Sebagai contoh manggis, buah ini masih diminati dan menjadi tujuan ekspor di beberapa negara, seperti: Jepang, Hongkong, Korea, Taiwan, Cina, Singapura, Malaysia, Vietnam, India, Arab Saudi, Belanda, Swiss, Perancis, Jerman dan Belgia.

Di Singapura misalnya, ada beberapa jenis buah Indonesia yang hingga kini belum pernah masuk di sana, seperti buah pepaya, pisang, avokad dan salak. Bahkan informasi dari Antara News.com (12/8), buah salak merupakan salah satu komoditas baru di Singapura sehingga banyak orang di sana yang belum tahu cara membuka salak. Di samping itu, buah avokad banyak diminati oleh warga Singapura, namun avokad yang masuk ke negara itu jenisnya kecil, tidak seperti avokad dari Indonesia yang buahnya besar dan dagingnya tebal.

Pada perdagangan sayur dan buah, untuk di Singapura, peluang dalam menyuplai permintaan Singapura 1340 ton per harinya masih sangat besar mengingat Indonesia hanya bisa menyuplai 78 ton (6%) saja. Hal ini seharusnya menjadi tantangan bagi para pelaku usaha buah dan sayur serta pemerintah dalam menjawab tantangan tersebut.

 

Upaya Peningkatan Dan Akselerasi Ekspor Buah dan Sayur Indonesia

Langkah awal dalam peningkatan dan akselerasi ekspor buah dan sayur Indonesia dapat dilakukan melalui beberapa upaya yaitu melalui pengembangan kawasan buah dan sayur; standarisasi produk serta promosi dalam dan luar negeri.

Pengembangan kawasan buah dan sayur merupakan suatu bentuk implementasi yang prima dan keseriusan dari fungsi pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam kerangka desentralisasi pemerintahan. Kawasan tersebut dapat diupayakan melalui penetapan kawasan atau daerah mana yang cocok untuk buah tropika dan sayur dengan pendampingan intensif oleh Depertemen Hortikultura. Selain itu, kerjasama dalam pemanfaatan lahan dengan PTPN untuk diintensifikasi lahannya dengan komoditi buah dan sayur adalah hal yang mungkin, karena PTPN dapat menjadi mitra riset dan pengembangan buah dan sayur dalam skala luasan lahan yang besar.

Selanjutnya adalah standarisasi produk. Standarisasi tentunya menjadi hal utama agar buah dan sayur Indonesia dapat diterima oleh negara lain dengan ketentuan yang berlaku. Mengesampingkan masalah ini dapat berakibat fatal karena akan menurunkan nilai jual buah dan sayur di mata dunia. Dengan standarisasi, produk buah dan sayur akan mengakibatkan para pelaku usaha dan pemerintah akan bekerja secara profesional dan disiplin hingga produk tersebut diterima oleh konsumen di luar negeri.

Dalam mencapai keinginan sebagai penyuplai buah topis dan sayuran yang berkualitas, sinergitas antara pelaku usaha, pemerintah dan eksportir pun perlu dibenahi dan dikonsolidasikan. Pengenalan akan buah dan sayur di dalam negeri pun harus diterapkan secara masif kepada masyarakat, agar masyarakat makin gemar dan terbiasa untuk memenuhi kebutuhan buah dan sayur di kehidupan sehari-hari. Selain itu, pengenalan produk buah dan sayur lokal di tingkat dunia pun harus dilakukan, hal ini sebagai upaya dalam menarik minat dunia terhadap buah dan sayur Indonesia.

Melalui langkah awal di atas, tentunya menjadi harapan agar Indonesia lebih tertantang untuk berusaha dalam memenuhi tuntutan dunia atasnya. Sangat yakin bahwa Indonesia akan berhasil mewujudkan hal tersebut selama nasionalisme, profesional dan disiplin Indonesia untuk rakyatnya tidak ternodai dengan perilaku korupsi beserta hal-hal negatif yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan kemajuan Indonesia ke depannya. Semoga Indonesia bisa.

Industri Hilir Kelapa Sawit

Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2010, data ekspor Indonesia di beberapa komoditi besar dan rangking dunia, produktivitas kelapa sawit mencapai 20,4 juta ton dan menempati ranking satu dunia, dengan share di dunia sebesar 74%. Data itu menunjukan prestasi yang luar biasa dalam perkebunan kelapa sawit kita, namun masih sangat disayangkan, apa yang diekspor itu merupakan masih produk hulu alias masih berbentuk CPO (Crude Palm Oil) saja.

Menurut Ketua Masyarakat Kelapa Sawit, Prof. Tien R. Muchtadi, dalam acara Bincang Malam Mata Mahasiswa di stasiun TVRI pada 15 Agustus 2011 lalu,  perlu ada top down policy untuk memaksa para pengusaha sawit ini lari ke industry hilir supaya   tidak hanya ekspor CPO. Kalau kita ekspor gliserinya, surfaktanya, atau produk hilir yang lainnya itu uangnya bisa berpuluh-puluh kali lipat. Melalui MP3EI ini diharapkan ada percepatan indsutri hilir sawit. Yang terjadi sekarang jual CPO keluar diolah dan dibeli lagi produk hilirnya.

Dalam acara yang ditayangkan tiap Senin, pukul 22.00 WIB mengangkat tema “Prospek Industri Hilir Kelapa Sawit” yang hadir sebagai nara sumber lain adalah M. Romahurmuzy, Ketua Komisi IV DPR-RI, Arian Wargadalam dari Kementerian Perindustrian serta kalangan mahasiswa diwakili oleh Adin Jauharudin, Ketua Umum PB PMII, Twedy Noviandi, Ketua GMNI, dan Jhony Rahmat, Ketua GMKI.

Menyikapi prospek industri hilir kelapa sawit, M. Romahurmuzy mengatakan prinsipnya   bagaiamana added value itu terjadi dalam negeri. Namun, di luar masalah added value itu ada masalah ownership. Secara basis negara kita memang produsen terbesar sawit dunia, tetapi sebenarnya siapa yang memiliki lahan-lahan sawit ini. Itu mayoritas dimiliki asing, termasuk tetangga kita Malaysia. Banyak dari produk keseharian kita sabun, pasta gigi, dan sebagainya diproduksi dalam negeri tapi dimiliki oleh asing. Untuk itu melalui undang-undang holtikultura kepimilikan asing dibatasi hanya 30%. UU ini mendapat perlawanan yang dilakukan oleh Ornop yang tentunya dibiayai oleh asing. Ada upaya untuk membatalaknnya itu bertentangan dengan UU untuk memberikan keleluasaan usaha kepada setiap warga yang ada, dan UU penanaman modal.

Sementara Arian Wargadalam menandaskan, dari Kementerian Perindustrian diberi tugas untuk mempercepat industri di MP3EI ini, kebijakan yang sedang digodok sekarang adalah pemberian insentif dan juga disinsentif untuk tidak mengekspor bahan baku. Kita juga mendukung infrastruktur karena itu adalah kunci untuk percepatan industri.

Sedangkan bagi para mahasiswa menyikapi, menurut Adin Jauharudin dalam kelapa sawit ini belum ada kebijakan yang menyeluruh. Ada tiga hal yang disorotinya,  pertama,  adalah dukungan pemerintah. Belum ada kebijakan yang terintegrasi dalam kepala sawit ini. Kedua,   kemampuan kita dalam mengolah kelapa sawit ini belum baik. Ketiga adalah masalah black campaign asing. Jadi intinya, disini ada DPR, pemerintah, dan peneliti  harus bahu membahu mendorong industri kelapa sawit ini.

Twedy Noviadi, justru menyoroti pernyataan M. Romahurmuzy soal kepemilikan asing di ibu pertiwi ini yang dianggapnya sudah dalam bentuk kolonialisme baru. Ia pun mempertanyakan untuk indsutri hilir adalah pelaku industry hulu ini tidak maksimal dan akan terjadi monopoli. Kenapa pemerintah tidak mendorong pelaku-pelaku ekonomi baru agar massif. Kemudian,  masalah pasar,  pemerintah harus mempersiapkan infrastruktur yang baik untuk pemasarannya.

Bagi Jhony Rahmat mengatakan sawit ini ada bukan hari ini, tapi sudah sejak lama. Harusnya pemerintah melakukan evaluasi dimana kelemahannya dimana kekuatannya. Dan produknya ada regulasi, karena semua bermuara ke sana.  Banyak kebijakan yang tumpang tindih misalnya antara pertanian dan kehutanan. Pemerintah juga belum siap bagaimana membuat regulasi agar masyarakat di sekitar sawit itu merasakan manfaat dari keberadaan sawit. Sekarang sebagian besar kebijakan itu tidak prorakyat tapi pro bisnis.

Kalau dilihat prospek industri hilir dari kelapa sawit, Prof. Tien memaparkan begitu banyak turunan dari kelapa sawit, dari buah sawit, dari sabutnya kita dapat CPO (Crude Palm Oil). Dari intinya yang disebut kernel kita dapat minyak kernel atau Crude Cernel Oil (CCO). Dari sabutnya aja, setelah dipress kemudian disaring, yang tidak ke saring itu ada sludge. Sludge-nya bisa dibikin pakan ternak, pupuk, pulp, papan partikel dan lain-lain. Dari minyaknya bisa dibuat minyak goreng, gilserin, BBM, pelumas, provitamin A dari minyak yang masih merah, Vitamin E dan banyak lagi. Dari kernel bisa dibuat minyak goreng, pupuk, dan sebagainya. Jadi begitu banyak sekali produk hilir sawit.

Ditambahkan oleh M. Romahurmuzy,  sawit itu bisa untuk 4 F yang pertama itu Food (Pangan), Feed (Pakan), Fuel (energy), dan Fiber (serat). Yang diperlukan  pemerintah adalah pertama adalah struktur atau konsistensi bea masuk terhadap produk hilir, yang kedua adalah strukutur bea ekspor untuk bahan baku. Yang ketiga adalah pemberian insentif bagi pengusaha yang bergerak di Industri hilir.

Sedangkan Arian Wargadalam, memaparkan industri hilir kelapa sawit itu merupakan investasi terbuka, siapa saja boleh masuk tidak harus yang sudah punya di hulu. Pemain di kelapa sawit ini juga banyak sampai ratusan. Sekarang baru tiga wilayah yang ditetapkan sebagai pusat industri hilir kelapa sawit karena di daerah itu sudah banyak menghasilkan kelapa sawit. Pemerintah juga mendukung untuk penyediaan infrastruktur. Pelabuhan diperlukan untuk konektifitas antar pulau. Juga jalan raya untuk mengangkut minyak sawit ke pabrik.

“Kalau Orientasinya Ekspor Harus Terapkan Manajemen Industri”

Konflik di Timur Tengah tidak berpengaruh pada ekspor produk pertanian Indonesia selama pemerintah tetap mengontrol atau tidak menaikkan harga bahan bakar minyak dalam negeri. Sementara itu, konflik di Pantai Ganding sangat diharapkan dapat mempengaruhi ekspor produk pertanian Indonesia, khususnya cokelat. Penggalan berita di atas menandakan peluang ekspor produk pertanian Indonesia cukup menjanjikan. Dari sumber BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2010, data ekspor beberapa komoditi besar dan rangking di dunia, produk pertanian khususnya perkebunan Indonesia memegang peranan di pasar international, seperti kelapa sawit ekportir nomor wahid di dunia, karet menempati posisi nomor dua, kemudian kopi dan kakao berada di rangking ketiga di dunia.

Untuk lebih jauh bagaimana peran pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian, dalam menyikapi peluang dan persiapan komoditi lainnya masuk pasar international, belum lama ini Redaksi Tabloid INSPIRASI mewawancarai Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP), Kementerian Pertanian, Prof. Dr. Ir. Zaenal Bachruddin, M.Sc., Ph.D.,  di ruang kerjanya. Berikut petikan wawancaranya:

 

Bagaimana pendapat Bapak tentang peluang ekspor produk pertanian kita?

Sebelum kita berbicara ekspor, kita harus merubah paradigma petani yang memang mata pencahariannya adalah pertanian. Visi Kementan bukan tanpa makna: “Kami ingin menciptakan Industri Pertanian”. Industri yang berkesinambungan, nilai tambah, daya saing, beroreintasi pasar, dan juga memperhatikan kesejahteraan petani. Untuk merubah paradigma petani menjadi berorientasi pasar itu tidak mudah, tentu perlu ada sebuah lembaga. Bila melihat pasar itu ada tiga yang harus ditembus, yang pertama, pasar yang memang kebutuhan dasar nasional, yang kedua, subtitusi barang impor, dan yang ketiga adalah ekspor.

 

Tapi mengapa kesannya produk pertanian kita sulit ekspor?

 

Produk pertanian Indonesia sebenarnya tidak terlalu sulit untuk ekspor. Bahkan untuk komoditi perkebunan seperti kopi, kelapa sawit/CPO, karet alam, biji kakao dan kelapa Indonesia merupakan the big five di dunia. Namun untuk ekspor buah, sayuran dan jagung memang jumlahnya kurang signifikan. Hal ini dikarenakan beberapa faktor antara lain:  terbatasnya supply produk yang berkualitas dikarenakan proses budidaya yang masih belum terdisain untuk ekspor sehingga sangat terbatas untuk mendapatkan komoditi yang memenuhi standar ekspor, terutama karena lahan pertanian di Jawa (sebagai sentra komoditi buah dan sayuran) semakin sempit, termarginalisasi oleh kebutuhan lahan untuk industri.

 

Kendala lainnya apa, Pak?

 

Komoditi yang dihasilkan umumnya tidak seragam. Skala usaha umumnya kecil. Akibatnya kontinuitas supply terbatas dan harga jual kurang bersaing. Penggunaan cool chain management system di tingkat petani sangat terbatas akibatnya kualitas produk tidak terjamin, infrastruktur jalan dan pelabuhan di sentra produksi kurang memadai. Selain itu,  masih adanya regulasi yang belum kondusif berpihak untuk pengembangan hotikultura yang berdaya saing, dukungan perbankan dalam hal pengembangan/investasi hortikultura masih sangat terbatas, dan kemudian perlu juga dicatat bahwa konsumsi dalam negeri yang tinggi terhadap komoditi tersebut sangat tinggi mengingat jumlah penduduk yang besar. Khususnya untuk produk pangan seperti beras, gula, kedelai dan daging.

 

Untuk menuju paradigma kebijakan pertanian yang berorientasi ekspor, bagaimana bentuknya?

 

Beberapa kebijakan nasional yang mendukung ekspor seperti, kebijakan nasional terkait enam koridor ekonomi, program Merauke Integrated Food Estate (MIFE) di Merauke Papua, kerjasama pembangunan Multi Industry Complex (MIC) Project untuk pengembangan kawasan komoditi pertanian dari hulu hingga hilir termasuk infrastrukturnya untuk tujuan ekspor ke Korea Selatan. Saat ini masih dalam pembahasan dengan pemerintah Korea Selatan, kerjasama Agribusiness Working Group IndonesiaSingapore untuk mencapai kembali pangsa pasar buah dan sayuran Indonesia di Singapura yang sempat mencapai 30% pada tahun 80-an. Program ini melibatkan Kementerian Pertanian, AVA Singapura, swasta (Asosiasi Eksportir Sayuran dan Buah Indonesia), petani dan stakeholder lainnya, dan pembukaan akses pasar produk pertanian Indonesia melalui kerjasama perdagangan internasional AFTA, ASEAN-China FTA, ASEAN Korea FTA, IJ-EPA, ASEAN—Australia New Zealand, dan lain-lain.

 

Bagaimana kebijakan Kementerian Pertanian bidang holtikultura agar produknya bisa diekspor dengan baik?

 

Di internal,  kami sedang mengembangkan usaha perbenihan hortikultura yang berorientasi ekspor di dalam negeri, percepatan sertifikasi GAP (Good Agriculture Practices) terhadap kelompok tani hortikultura yang berorientasi ekspor, dan pembentukan kawasan hortikultura yang berorientasi ekspor di sentra-sentra hortikultura. Untuk eksternalnya, kami berupaya adanya perbaikan infrastruktur, seperti jalan usaha tani dan jalan umum di  sentra-sentra hortikultura.

 

Untuk pelayanan pengiriman di pelabuhan atau bandara bagaimana?

 

Kami sedang mengupayakan pembangunan “perishable warehouse” di Bandara Soekarno Hatta sebagai tempat penampungan sementara kargo sayuran dan buah untuk ekspor, pembangunan atau perbaikan sarana pelabuhan untuk bongkar muat sehingga proses bongkar muat lebih efektif dan efisien. Perlunya regulasi yang memprioritaskan kargo hortikultura di pelabuhan laut dan udara untuk ekspor, perlunya regulasi pemberian harga khusus/diskon oleh perusahaan penerbangan nasional terhadap kargo udara komoditi hortikultura untuk ekspor, dan adanya insentif khusus bagi pelaku usaha hortikultura yang berorientasi ekspor.

 

Strategi apa untuk memperkuat peluang ekspor produk pertanian kita?

 

Langkah-langkah yang telah, sedang, dan perlu diambil pemerintah adalah seperti kebijakan dan program di atas.

 

Bagaimana dengan peran teknologi dalam peningkatan daya saing produk pertanian? 

 

Jelas teknologi dalam meningkatkan daya saing produk pertanian sangat penting. Teknologi yang diterapkan adalah yang efisien dan applicable di tingkat petani/GAPOKTAN. Diakui bahwa salah satu yang membuat Indonesia sulit mengembangkan ekspor untuk produk-produk tertentu seperti buah dan sayuran adalah antara lain kurangnya teknologi yang mendukung, antara lain: teknologi benih untuk produk yang sesuai permintaan pasar tapi sesuai dengan karakteristik dan persyaratan tumbuh yang baik di Indonesia. Teknologi budidaya dan farm management yang belum optimal, teknologi pasca panen, penyimpanan, transportasi dan cool storage produk pertanian yang belum optimal, dan teknologi grading, packing sorting dan packaging yang belum optimal.

 

Saat ini posisi kita berada dimana untuk pasar produk pertanian?

 

Untuk pasar pertama kita lebih cenderung untuk persediaan domestik, kita mengamankan kebutuhan pangan nasional, seperti: padi, jagung, kedelai. Substitusi impor itu ada daging, susu, itu ada programnya sekian tahun harus swasembada. Kita mengurangi ketergantungan impor. Untuk ekspor beberapa komoditas kita sudah ada yang menjadi lead terutama untuk perkebenunan. Secara volume kita beberapa komoditi memimpin, tapi secara nilai uangnya kita ke sekian. Seperti karet, secara volume kita nomer dua, tapi secara nilai kita nomor enam,  itu karena masalah di hilir. Pertanian dikoreksi positif karena prestasi perkebunan, penyumbang devisa juga. Secara nilai juga positif. Kemudian yang tak kalah penting lagi adalah emerging komoditi yaitu tropical fruit, bunga, dan minyak atsiri. Tapi yang paling berpeluang adalah buah-buahan.

 

Kenapa produk buah-buahan yang berpotensi seperti jeruk Bali itu tidak diberdayakan lagi?

 

Saya serius sekali, dulu pernah diberdayakan. Namun, persiapan kita yang kurang. Ada dua hal yang harus diperhatikan yang pertama internal kita itu pertanian jelas. Yang kedua adalah kewenangan di luar Kementan. Kalau kita bicara perdagangan itu melibatkan berbagai kementerian. Kalau bicara masalah hortikultura itu akan terkait dengan kepemilikan lahan yang terkait dengan efisiensi. Saya berharap Gapoktan mengatur lahan yang dan mengelola komoditi yang berpotensi pasar, dan kerjasama dengan asosiasi ekspor.

 

Apakah sudah ada  ekspor buah-buahan kita, dan kemana saja?

 

Sudah ada, yang sudah masuk ke China ada buah salak. Mangga, potensi juga, bahkan kemarin ke Timur Tengah, Amerika Serikat diekspor mangga juga. Pisang ekspor ke Jepang. Sekali lagi, dalam budidaya kalau orientasinya ekspor itu harus dilakukan dengan manajemen industri.

 

Bagaimana nasib apel Malang, apakah bisa diekspor juga?

 

Itu orientasi kesekian. Apel itu kan bukan buah tropis. Di Eropa apel lebih hebat. Tapi saya setuju untuk dikembangkan dari keunikan taste-nya. Kita harus ingat kalau pertanian ini harus dikelola dari hulu sampai hilir.

 

Kenapa kita tidak bisa membuat image seperti Bangkok. Kendalanya dimana?

 

Ke depan kita berfokus pada peningkatan nilai tambah. Yang berpengaruh dalam daya saing ini adalah infrastruktur, transportasi misalnya. Kebijakan yang kondusif dari kita harus mendukung terhadap peningkatan daya saing. Soal image itu kan strategi pemasaran yang ditunjang dengan daya saing produknya.

 

Apakah  sudah ada studi banding dengan negara lain soal ekspor produk pertanian?

 

Itu sudah kita lakukan, tahun lalu kita punya tim untuk market intelligence, kita kerjasama dengan IPB untuk mengkaji hal itu. Yang kedua kita menempatkan komisi untuk mengkaji keadaan di luar. Dan komisi market intelligence ini sedang dikaji oleh Pak Menteri. Tadinya diajak kerjasama oleh Malaysia, tapi kita ingin melakukan sendiri dulu, agar kita punya pengalaman.

 

Hal apa saja yang telah kita pelajari dari keberhasilan negara lain?

 

Untuk meningkatkan kualitas, standar, kuantitas dan kontinuitas produk pertanian berorientasi ekspor, Kementerian Pertanian terus belajar terutama dari pengalaman negara-negara yang sukses melakukan itu, baik melalui program training, magang maupun market intelligence. Selain di bidang teknologi on farm, Indonesia perlu belajar dari aspek koordinasi di semua lini.

 

Dengan negara mana saja kita bisa belajar?

 

Belajar dari sesama Negara ASEAN seperti Thailand, misalnya, untuk meningkatkan ekspor. Di negara itu tidak hanya instansi pertanian yang bekerja keras, tetapi juga dukungan perbankan, transportasi udara dan laut, asuransi serta unsur pendukung lainnya. Dari Malaysia, kita dapat belajar bagaimana di setiap komoditian dalam ekspornya dibangun suatu “board” yang secara professional mendukung penuh upaya-upaya peningkatan ekspor.  Nah, kita sudah mulai merintis hal tersebut dengan didirikannya beberapa dewan komoditi, walaupun saat ini masih terbatas untuk komoditas perkebunan.

 

Jadi, bagaimana peluang ekspor produk pertanian kita ke depan?

 

Kalau pasar internasional itu peluangnya sangat besar, cuma dari internal kita yang harus diperbaiki. Kita belum bisa menghasilkan produk yang seragam, continue, dan baik yang diminta oleh pasar.

“Sawit Kita Sungguh Menjanjikan”

Jika melihat sawit, apa yang terjadi di tingkat nasional, jelas sawit merupakan sumber penghasilan dan lapangan kerja. Kurang lebih 40 juta KK (Kepala Keluarga) terserap di perkebunan sawit. Yang kedua, dilihat dari devisa, sawit merupakan salah satu penghasil devisa terbesar bagi Indonesia yang menghasilkan  13.5 milyar US$ di tahun 2009. Kemudian sawit juga merupakan bahan penunjang pangan terkait minyak goreng. Sawit juga sumber energi kaitannya dengan biodiesel.

 

Di dunia global sawit merupakan bahan bakar nabati selain jagung, kedelai, dan bunga matahari. Sawit itu lebih efisien. Kalau dilihat dari segi produktifitas kita dan Malaysia mengusai 86 % produksi sawit. Tentunya sawit merupakan komoditi yang dapat bersaing di dunia global sehingga banyak isu yang dilemparkan terhadap sawit, seperti dulu betakarotin yang dapat menimbulkan kolesterol. Ternyata setelah diteliti tidak ada. Sekarang yang ada adalah isu lingkungan. Demikian paparan Direktur Tanaman Tahunan Kementerian RI, Rismansyah pada acara Bincang Malam Mata Mahasiswa episode 4 Juli 2011.

 

Ikut hadir dalam program acara Mata Mahasiswa di TVRI selama 1,5 jam tiap Senin malam pukul 22.00 WIB itu, Firman Subagyo, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Dr. Slamet Budiyanto dari Masyarakat Sawit Indonesia) dan dari wakil mahasiswa datang dari IPB, Wawat Rohdiawati, Amar Ma’ruf dari Universitas Mulawarman Samarinda, Kaltim, dan Yogi Yoga Sara dari Universitas Lampung.

 

Dari kacamata Firman Subagyo, sawit ini merupakan industri strategis, yang perkembangannya sangat pesat selama 20 tahun ini. Yang luar biasa dari sawit ini adalah 50 % dikuasai oleh swasta, 40% merupakan kebun masyarakat, yang 40% yang menyangkut harkat hidup orang banyak, sedangkan negara sendiri hanya 8%. Di persaingan global Amerika dan Eropa Timur tidak lelah-lelahnya memberikan black campaign terhadap industri sawit Indonesia.
“Nah pemerintah harus berupaya melindungi sawit kita, jangan sampai ada black campaign hanya karena persaingan perdagangan. Kalau dilihat dari devisa sawit menghasilkan 13.6 milyar US$, jadi kalau dibandingkan dengan bantuan Norwegia yang hanya 1 juta US$  tidak ada apa-apanya,” tukasnya lagi.

 

Bagi Slamet Budiyanto, kampanye negatif itu tentunya harus disikapi dengan baik. Yang pertama, aspek hulu dan yang kedua, aspek hilir, mulai dari masalah kesehatan. Asam lemak jenuhnya bisa meningkatkan kolesterol. Akhirnya terbukti bahwa asam minyak trans yang dihasilkan dari proses hidrogenisasi dari minyak kedelai itu lebih berbahaya dari sawit. Oleh karena itu FDA (Food and Drug Administration) USA mencoba mengkamuflase labelling minyak trans itu pada minyak jenuh. Lalu ini sedang digencarkan oleh ILCI (International Loss Control Institute) Eropa untuk menyerang sawit kita. Sehingga kita membutuhkan penelitian dasar, ketika kita diserang kita sudah punya senjata. Para pengusaha sawit selain mereka berkompetisi antara pengusaha sawit, musuh mereka juga datang dari Eropa dan Amerika.

 

Bagi para mahasiswa, Yogi Yoga Sara, mengatakan produktifitas dari tanaman sawit ini sangat menjanjikan, dari data yang ada, Indonesia memproduksi CPO terbesar di dunia, namun untuk industri hilirnya masih kalah jauh dengan Malaysia. Kenapa Indonesia tidak memikirkan jauh untuk hal-hal ini. Industri oilkimia itu menghasilkan keuntungan 40% lebih besar dari CPO. Indonesia punya peluang emas untuk mengembangkan sabun, deterjen, dan pembersih lainnya.

 

Wawat Rodiahwati memaparkan, sayang Indonesia hanya menghasilkan CPO yang 60% diekspor ke luar negeri dan 40% untuk dalam negeri yang umumnya untuk minyak goreng.  Dari kebijakan pemerintah tentang fortifikasi atau penambahan vitamin A dan zat-zat gizi ke dalam bahan makanan supaya tidak terjadi kekurangan zat-zat gizi di dalam bahan makanan itu. Pemerintah akan mem-fortifikasi minyak goreng dengan vitamin A, karena 70% penduduk Indonesia mengkomsumsi minyak goreng dan diketahui bahwa 10 juta bayi di Indonesia. Padahal CPO sendiri sudah mengandung vitamin. Dalam 1 kg CPO mengandung 600-1000 mg  vitamin A.

 

Dan Amar Ma’ruf dari Samarinda mengatakan  masalah sawit, itu sangat berpotensi sekali di Indonesia. Di Kalimantan Timur kurang lebih ada 670.000 hektar lahan sawit.  Menyoroti apa yang selalu dikatakan oleh LSM,  kalau sawit itu tanaman yang banyak menyerap air, kemudian banyak tanaman dan hewan yang rusak. Padahal pada land clearing atau pembukaan lahan sawit setelah sawit ditanam itu ada cover crop yaitu menanami bagian-bagian yang kosong dengan tanaman lain sehingga erosi berkurang. Dari segi ekonomi banyak menyerap tenaga kerja sehingga mengurangi angka pengangguran.

 

Kemudian dengan adanya persaingan usaha industri sawit apalagi dengan adanya black campaign dari asing itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Firman Subagyo berpendapat, jiwa nasionalisnya harus ada, dan jangan selalu mendengar kritik tajam dari NGO asing. Yang selalu dikritik oleh NGO itu adalah soal ekologi. Padahal ada 3000 desa di sekitar hutan dan mereka hidup turun temurun saja. Mengapa Amerika dan Eropa gerah,  karena 70% dari 22 juta ton CPO kita itu untuk konsumsi dunia, tentunya itu akan menjadi pesaing Amerika dan Eropa, kedelai hanya 22%.

 

“Pokoknya pemerintah jangan selalu mendengarkan kritik NGO asing itu. Kalau rakyat kelaparan, Amerika tidak akan membantu kita, paling cuma basa-basi saja,” pungkasnya.

 

Sementara bagi Yogi, soal ekologi, kalau sawit ini dianggap sebagai penyumbang emisi gas CO2, kita harus balikkan apakah mereka juga mengurangi emisi karbonnya. Wawat, mengutarakan   data 100 tahun terakhir apakah sawit itu menyebabkan kerusakan lingkungan. Dari data yang ada, ternyata tidak. Sawit itu bisa menyerap CO2 dan menghasilkan oksigen. Dan Amar Ma’ruf berpendapat, setiap tanaman yang bermetabolisme itu menghasilkan karbon. Mungkin kelapa sawit sedikit menekan dari emisi gas rumah kaca.  ***

ACFTA dan Daya Saing Produk Pertanian

Oleh: Alfian Helmi

Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia IPB

Pertanian merupakan hal yang sangat esensial dalam sebuah negara. Pasalnya, pertanian akan sangat erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan pangan yang jika tidak terpenuhi maka akan mengancam stabilitas ekonomi, sosial dan politik suatu negara. Akan tetapi, saat ini posisi pertanian dalam negeri dihadapkan pada posisi yang sangat dilemetis. Hal ini mengingat terus menurunnya harga-harga riil produk pertanian di satu pihak, dan kuatnya pertanian negara maju di pihak lain.

 

Belum-belum pertanian dijadikan prioritas pembangunan di dalam negeri. Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004, malah meratifikasi perdagangan bebas ASEAN dan China. Pemerintah mengemukakan bahwa terdapat tiga peluang positif yang akan didapat Indonesia jika perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) dilakukan. Hal ini disampaikan oleh Presiden Megawati di Bandar Sri Begawan, Brunei, pada saat pertama kali kesepakatan itu ditandatangani tanggal 6 Nopember 2001. Pertama, penurunan dan penghapusan tarif serta hambatan non tarif di China membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatan volume dan nilai perdagangan ke negara yang penduduknya terbesar dan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Kedua, penciptaan regim investasi yang kompetitif dan terbuka membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi dari China. Ketiga, peningkatan kerjasama ekonomi dalam lingkup yang lebih luas membantu Indonesia melakukan peningkatan capacity building, transfer technology, dan managerial capability.

 

Sudah hampir 10 tahun perjanjian itu ditandatangani. Akan tetapi, sampai implementasi perjanjian yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2010, hampir tidak ada langkah konkrit dari pemerintah untuk mempersiapkan kondisi dalam negeri agar dapat bersaing dengan negara-negara lain. Ini salah satunya tercermin dari ketidakmampuan pemerintah mendorong peningkatan daya saing yang sebenarnya merupakan prasyarat utama untuk meraih manfaat dari pemberlakuan ACFTA. Amburadulnya infrastruktur, bunga kredit yang relatif tinggi, birokrasi yang kompleks, masih maraknya pungutan liar, dan peraturan yang tidak pro-bisnis adalah beberapa bukti pemerintah tidak mampu menciptakan necessary condition untuk mendorong peningkatan daya saing beragam sektor ekonomi. Alhasil, banyak kalangan bersuara keras memaksa pemerintah meninjau kembali keterlibatan Indonesia didalam ACFTA.

 

Kebijakan untuk mengikutsertakan Indonesia dalam ACFTA bisa berpeluang positif dan negatif. Peningkatan daya saing merupakan langkah konkrit yang harus dilakukan pemerintah saat ini. Tanpa adanya peningkatan daya saing, kebijakan untuk melibatkan Indonesia dalam ACFTA hanya merupakan blunder yang justru bisa berdampak negatif terhadap perekonomian nasional.

 

ACFTA dan Pertanian

Mencermati pola dan struktur perdagangan Indonesia-China yang selama ini terjadi, sektor pertanian tampaknya berpeluang mendapatkan manfaat dari pemberlakuan ACFTA. Ekspor produk pertanian ke China terus mengalami peningkatan, sehingga kontribusi sektor pertanian didalam total penerimaan ekspor meningkat dengan signifikan. Selain itu, neraca perdagangan sektor pertanian Indonesia terhadap China menunjukkan posisi yang selalu surplus.

 

Namun demikian, penting untuk dicermati bahwa didalam sektor pertanian itu sendiri, komoditas perkebunan mendominasi struktur ekspor sektor pertanian Indonesia. Neraca perdagangan komoditas pangan dan hortikultura Indonesia dibandingkan China mengalami defisit. Produk hortikultura, bawang putih, dan buah-buahan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia justru banyak yang harus diimpor dari China. Defisit pertanian tersebut tertutup besarnya nilai ekspor komoditas perkebunan seperti kakao, CPO, karet, dan kopi. Makanya, secara keseluruhan neraca perdagangan sektor pertanian masih surplus.

 

Neraca perdagangan produk perkebunan Indonesia-China pada tahun 2004 hanya surplus 763,63 juta dollar AS, dan naik hampir tiga kali lipat pada tahun 2008 menjadi 2,757 miliar dollar AS. Komoditas perkebunan yang mendominasi ekspor Indonesia adalah minyak sawit, minyak inti sawit, karet SIR 20, karet lembaran, minyak kopra, biji cokelat pecah dan setengah pecah, karet polybutadiene styrene (SBR), margarin bukan kalengan, karet dengan campuran amonia, karet dengan campuran silika, serta kopi dipanggang tidak mengandung kafein.

 

Akan tetapi, ekspor produk perkebunan tersebut  juga masih terkategori sebagai komoditas primer yang hanya memberikan manfaat sangat terbatas. Industri hulu-hilir kita terbengkalai, tidak terbangun dan terintegrasi, sehingga kita kehilangan kesempatan untuk memperoleh nilai tambah dari produk-produk yang kita hasilkan tersebut. Lebih parahnya lagi, jika kita berkaca pada komoditi kelapa sawit dan Crude Palm Oil (CPO), ketergantungan pada pasar dan harga internasional untuk ekspor menyebabkan banyak kerugian pada petani sawit dan produsen CPO. Pada saat harga jatuh dimana petani serta produsen tidak memiliki kontrol sama sekali untuk itu, kita harus rela merugi. Hal ini tentunya mengingatkan kita dengan apa yang terjadi pada era kolonial, ketika Indonesia hanya menjadi daerah pengerukan bahan mentah, kondisi yang terus dibiarkan hingga hari ini.

 

Daya Saing Pertanian

Berbagai kajian menunjukkan bahwa bagi negara berkembang, dalam era liberalisasi perdagangan seperti sekarang, kunci utama untuk memenangkan perdagangan bebas ini adalah peningkatan daya saing produk. Daya saing merefleksikan kemampuan negara mendorong peningkatan nilai tambah produk secara berkelanjutan melalui pengembangan inovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).

 

Sedikitnya ada tiga langkah besar untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian Indonesia. Pertama, meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan petani. Hal ini mutlak dilakukan karena petani sangat rentan terkena dampak dari perdagangan bebas saat ini. Keterbukaan akses informasi, pengembangan inovasi dan IPTEK serta perluasan jaringan pemasaran untuk petani pun masih sangat diperlukan.

 

Kedua, memperbaiki kerangka hukum dan kerangka kebijakan. Singkronisasi kebijakan ini dilakukan agar kementerian yang ada tidak berjalan sendiri-sendiri. Perlu ada sinkronisasi kebijakan pengembangan komoditas unggulan di bidang pertanian. Selain itu, juga perlu menimbang kebijaksanaan dari negara lain. Hal ini dilakukan karena  daya saing itu sendiri tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan resultante dari kebijaksanaan di dalam negeri dan kebijaksanaan dari negara-negara lain. Oleh karena itu, kita tidak dapat melihat persoalan daya saing produk pertanian di dalam negeri tanpa memeriksa secara teliti kebijaksanaan negara lain. Ketiga, perbaikan infrastruktur dan perbaikan rantai pasok (supply chain management). Sebab, hingga kini belum ada rantai pasok yang stabil dan bisa menjamin kepastian ketersediaan barang. Dengan demikian produk-produk pertanian Indonesia diharapkan mampu bersaing dengan produk-produk dari negara lain. Semoga!

Peran dan Sosok Pertanian Indonesia Terkait ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement)

 

oleh : Ahmad Teddy Wijaya Pratama

Mahasiswa Fakultas Pertanian Unila

Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) harus dijadikan persiapan sekaligus pembelajaran untuk meningkatkan daya saing produk pertanian agar mampu memenangkan perdagangan global. Fokus pada komoditas eksotik perkebunan dan hortikultura tropika dan sinergi lintas sektor bersama masyarakat diikuti penghapusan biaya tinggi harus dilakukan. Sinergi mudah diucapkan, tetapi tidak mudah diimplementasikan di lapangan.

 

Paling tidak ada empat filter yang diakui internasional dapat dilakukan Indonesia dalam mereduksi dampak negatifnya: (i) sanitary dan phytosanitary, (ii) codex for alimentation, (iii) komoditas sangat sensitif, dan (iv) pangan segar halal. Ketentuan karantina untuk tak mengizinkan daun bawang merah dan akarnya masuk ke Indonesia karena mengandung penyakit terbukti efektif memfilter masuknya bawang merah impor sekaligus menjaga stabilitas harga bawang merah domestik saat panen raya. Selain biaya potong daun dan akar mahal, aroma bawang juga berkurang dan tidak tahan lama sehingga praktis impor terhenti.

 

Padahal, membanjirnya bawang impor saat panen raya yang memukul produk lokal selalu terjadi. Penerapan codex for alimentation juga dipastikan akan mereduksi produk pertanian impor yang dapat masuk di Indonesia. Komoditas yang masuk daftar high sensitive list, seperti beras, jagung, kedelai, dan gula, tarifnya diturunkan pada 1 Januari 2015.

 

Sementara komoditas sensitive list, yaitu cengkeh dan tembakau, baru diturunkan tarifnya 20 persen, 1 Januari 2012. Artinya, komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak dilindungi. Ketentuan impor buah segar juga akan mengeliminasi buah impor yang selama ini disimpan di gudang dalam waktu lama yang kualitasnya sudah anjlok. Posisi Indonesia makin kuat jika ketentuan halal diterapkan atas produk impor yang mengandung daging. Implikasi lainnya, Indonesia dapat membuka jasa produksi makanan halal dan sertifikasi serta supervisinya.

 

Implikasi jangka panjang yang harus diwaspadai adalah berbaliknya neraca perdagangan sehingga Indonesia jadi pasar produk China dan ASEAN lain. Dengan cadangan devisa 2,13 triliun dollar AS dan dalam 6 bulan pertama 2009 bertambah 185,6 miliar dollar AS, secara apriori China dapat memborong sumber komoditas ekspor sektor pertanian di Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Apalagi hubungan Pemerintah China dengan masyarakat China perantauan di seluruh dunia sangat kuat. Implikasinya, China akan jadi raksasa kelapa sawit, karet, kakao, dan gula dunia. Dengan kekuatan itu, China mampu mengintegrasikan ASEAN dan menjadikannya koloni ekonomi, sosial, dan politik. Apalagi, populasi warga keturunan China di hampir semua negara ASEAN semakin besar pertumbuhannya dibandingkan dengan pribumi.

 

Empat instrumen yang perlu segera diimplementasikan agar produk pertanian memenangkan persaingan: bantuan langsung, subsidi langsung, pemberian insentif langsung, dan fasilitasi langsung pemerintah di hulu, on farm, dan hilir. Wujudnya, bantuan benih, pupuk organik, subsidi pupuk anorganik, insentif harga bagi yang mencapai produktivitas 25 persen di atas produktivitas nasional, fasilitasi infrastruktur pascapanen, pengolahan hasil, dan pemasaran.

 

Melalui subsidi, bantuan, dan fasilitasi langsung, target (petani) menerima manfaat langsung dan terjadinya disparitas harga yang memicu kebocoran barang subsidi akibat disparitas harga (pupuk, misalnya) di luar target subsidi dapat dieliminasi. Dukungan riset dan pengawalan teknologi akan menjadikan pertanian Indonesia bisa memengaruhi pasar (pasokan, harga), seperti yang dilakukan Amerika Serikat, China, dan Eropa di pasar Internasional.

 

Pertanian di Indonesia abad 21 harus dipandang sebagai suatu sektor ekonomi yang sejajar dengan sektor lainnya. Sektor ini tidak boleh lagi hanya berperan sebagai aktor pembantu apalagi figuran bagi pembangunan nasional seperti selama ini diperlakukan, tetapi harus menjadi pemeran utama yang sejajar dengan sektor industri. Karena itu sektor pertanian harus menjadi sektor modern, efisien dan berdaya saing, dan tidak boleh dipandang hanya sebagai katup pengaman untuk menampung tenaga kerja tidak terdidik yang melimpah ataupun penyedia pangan yang murah agar sektor industri mampu bersaing dengan hanya mengandalkan upah rendah.

 

Terpuruknya perekonomian nasional pada tahun 1997 yang dampaknya masih berkepanjangan hingga saat ini membuktikan rapuhnya fundamental ekonomi kita yang kurang bersandar kepada potensi sumberdaya domestik. Pengalaman pahit krisis moneter dan ekonomi tersebut memberikan bukti empiris bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling tangguh menghadapi terpaan yang pada gilirannya memaksa kesadaran publik untuk mengakui bahwa sektor pertanian merupakan pilihan yang tepat untuk dijadikan sektor andalan dan pilar pertahanan dan penggerak ekonomi nasional. Kekeliruan mendasar selama ini karena sektor pertanian hanya diperlakukan sebagai sektor pendukung yang mengemban peran konvensionalnya dengan berbagai misi titipan yang cenderung hanya untuk mengamankan kepentingan makro yaitu dalam kaitan dengan stabilitas ekonomi nasional melalui swasembada beras dalam konteks ketahanan pangan nasional.

 

Secara implisit sebenarnya stabilitas nasional negeri ini di bebankan kepada petani yang sebagian besar masih tetap berada di dalam perangkap keseimbangan lingkaran kemiskinan jangka panjang (the low level equilibrium trap). Pada hakekatnya sosok pertanian yang harus dibangun adalah berwujud pertanian modern yang tangguh, efisien yang dikelola secara profesional dan memiliki keunggulan memenangkan persaingan di pasar global baik untuk tujuan pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun ekspor (sumber devisa). Dengan semakin terintegrasinya perekonomian Indonesia ke dalam perekonomian dunia, menuntut pengembangan produk pertanian harus siap menghadapi persaingan terbuka yang semakin ketat agar tidak tergilas oleh pesaing-pesaing luar negeri. Untuk itu paradigma pembangunan pertanian yang menekankan pada peningkatan produksi semata harus bergeser ke arah peningkatan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani dan aktor pertanian lainnya dengan sektor agroindustri sebagai sektor pemacunya (leverage factor).