Category Archives: Opini

Kenapa Produk Turunan Kelapa Sawit Kita Mandeg?

 ( Dr. Ir. Radian, MS. )

Dosen Fakultas Pertanian Universitas Tanjung Pura

 

Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan penting di dunia yang dapat menghasilkan berbagai produk industri makanan, kimia, kosmetik, bahan dasar industri berat dan ringan, biodiesel, dan lain-lain. Tanaman sawit yang diduga berasal dari Afrika didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli Sumatera Utara pada tahun 1870-an. Berkembangnya perkebunan  sawit di dunia bersamaan meningkatnya permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19.

Di Indonesia pengembangan perkebunan sawit dimulai  di pulau Sumatera yaitu di Deli dan Aceh, bahkan di zaman pendudukan Hindia Belanda sekitar pada 1940 pernah menjadi daerah pemasok utama minyak sawit dunia. Akan tetapi pada masa pendudukan Jepang terjadi berbagai kekacauan yang menyebabkan terbengkalainya pemeliharan kebun sawit dan akhirnya produksi sawit mengalami penurunan yang drastis. Pada saat yang sama di Malaya (Malaysia) perkebunan sawit sudah berkembang dengan baik sehingga pemasok utama minyak sawit dunia diambil alih oleh Malaysia

Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati yang dapat diandalkan karena minyak yang dihasilkan memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan oleh tanaman lain. Salah satu keunggulannya adalah memiliki kadar kolesterol rendah, bahkan tanpa kolesterol. Minyak kelapa sawit mengandung kadar kolesterol yang rendah, yaitu sekitar 3 mg/kg. Sementara, lemak hewani mengandung kadar kolesterol lebih tinggi, 50-100 kali dari minyak kelapa sawit.

Pengolahan kelapa sawit pada dasarnya merupakan suatu proses pengolahan terhadap tandan buah segar (TBS) menjadi minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit (KPO). Minyak nabati yang dihasilkan dari pengolahan buah kelapa sawit berupa minyak sawit mentah (CPO) yang berwarna kuning dan minyak inti sawit (PKO) yang tidak berwarna (jernih). CPO atau PKO banyak digunakan sebagai bahan industri pangan (minyak goreng dan margarin), industry sabun (bahan penghasil busa), industri baja (bahan pelumas), industri tekstil, kosmetik, dan sebagai bahan bakar alternatif (biodisel). Pada dasarnya, CPO dapat diolah menjadi tiga macam bahan kimia, yaitu methyl ester, asam lemak (fatty acid), dan gliserin (glycerine).

Bangkitnya kembali perkebunan sawit di Indonesia dimulai sejak era 1970-an dengan luas  250 ribu hektar, dan pada tahun 2008 telah meningkat menjadi 7,0 juta hektar, tahun 2009 meningkat menjadi 7,3 juta hektar dan pada tahun 2010 luas kebun sawit di Indonesia sudah mencapai 7,9 juta hektar dan menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Menurut data Ditjen Perkebunan, areal perkebunan kelapa sawit tersebar di 17 provinsi meliputi wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Meningkatnya luas perkebunan sawit juga diikuti dengan naiknya produksi CPO, dimana pada tahun 2008 produksinya 19,2 juta ton, pada tahun 2009 produksinya 19,4 juta ton, dan menurut Oil World tahun 2010 produksi CPO Indonesia sebesar 21,8 juta ton, tumbuh sebesar 3,8 persen, sedangkan produksi CPO Malaysia di 2010 mengalami penurunan sebesar 3,3 persen, yaitu dari 17,6 juta ton di 2009 menjadi 17 juta ton. Pada tahun 2011 ini menurut Kementerian Pertanian  Indonesia dapat memproduksi CPO mencapai 22-23 juta ton.

Secara internasional kebangkitan Indonesia sebagai produsen utama dunia cukup lama pulihnya, sejak pendudukan Jepang, maka baru pada tahun 2006 Indonesia sebagai negara produsen kelapa sawit nomor satu di dunia. dimana memberikan kontribusi sebanyak 47 persen dari produksi minyak kelapa sawit yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit di seluruh dunia. Di dalam negeri, industri kelapa sawit nasional berkontribusi sebesar 10% terhadap pendapatan pemerintah dari sektor non migas, dan sebagai menyerap tenaga kerja. Namun sayangnya industri pengolahan produk turunan CPO Indonesia belum berkembang dengan baik, dimana Indonesia masih tetap mengandalkan ekspor minyak sawit mentah ke pasar dunia dan mengandalkan penjualan Tandan Buah Segar (TBS) yang nilainya relatif kecil dibandingkan nilai tambah penjualan produk turunan CPO.

Di sektor produksi CPO sekarang Indonesia adalah rajanya, akan tetapi  Indonesia masih belum mampu mengalahkan Malaysia dalam jumlah ekspor hasil industri turunan produk kelapa sawit tersebut. Pada 2010, dari total produksi sekitar 15,6 juta ton CPO, Indonesia hanya mengekspor sekitar 6,8 juta ton produk turunan. Sementara sisanya, sebesar 8,8 juta ton diekspor dalam bentuk minyak mentah. Produk derivatif CPO diperkirakan tak kurang dari 150 produk turunan baik pangan maupun nonpangan, tetapi industri di Indonesia relatif masih berjalan lambat. Indonesia hanya mampu memproduksi 23 jenis produk turunan CPO.

Perkembangan industri turunan CPO di Indonesia relatif masih berjalan lambat, dimana baru dapat menghasilkan 23 jenis produk. Turunan produk CPO pada industri pangan berupa : minyak goreng, margarin, shortening, CBS, vegetable ghee dan industri non pangan. Sedangkan turunan produk CPO pada industri oleokimia, berupa fatty acids, fatty alcohol dan glycerin, serta biodiesel. Menurut Hasan (2011) sebenarnya industri turunan CPO di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir perkembangan produk turunan CPO di Indonesia semakin membaik, tetapi tidak secepat yang diharapkan, hal inilah kalau tidak dilakukan tindakan yang cepat dan tepat maka Indonesia akan selalu dibawah Malasyia.

Perbandingan ekspor CPO Indonesia dengan produk turunannya masih sekitar 60:40, dimana nilai ekspor CPO dan produk turunan sawit Indonesia mencapai US$ 16,4 miliar, naik 50% lebih dari 2009 yang berjumlah US$ 10 miliar. Namun apabila dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, Indonesia masih jauh ketinggalan. Ekspor CPO dan produk olahan CPO Malaysia 20 persen berbanding 80 persen. Artinya, Malaysia mengekspor CPO lebih didominasi pada produk turunan dari CPO yang memiliki nilai tambah yang lebih besar daripada CPO.

Selama ini, CPO yang berasal dari Indonesia mengalir ke negara Malaysia yang dijual oleh perusahaan perkebunan yang tidak memiliki industri pengolahan ke bagian lebih hilir lagi. Di Malaysia, CPO Indonesia diolah lebih ke hilir dan nilai tambahnya yang cukup besar dinikmati langsung oleh negara serumpun itu. Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Minyak Nabati Indonesia(Gimni) Sahat Sinaga mengatakan, dari total produksi sawit dalam negeri 20,2 juta ton, 14 juta ton di antaranya diekspor dalam bentuk CPO. Akibatnya yang menikmati nilai tambahnya adalah negara-negara pengimpor seperti India, Tiongkok, dan Malaysia. Upaya agar Indonesia dapat mendominasi industri downstream harus terus diupayakan secara serius mengingat pertambahan nilainya cukup besar kalau diolah lebih lanjut, pertambahan nilainya bisa berkisar antara 90 -100 %, bahkan menurut Hadisetyana,  industri manufaktur hilir berbasis kelapa sawit diyakini mampu meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut hingga mencapai 12 kali lipat. Menurut Kementerian Perindustrian, industri manufaktur fatty alcohol memberikan nilai tambah hingga 400 %, fatty acid sampai 300 %, margarin hingga 180 % dan yang tertinggi produksi kosmetik yang mampu meningkatkan nilai produksi hingga 1.200 % dari harga minyak sawit mentah.

Para pengusaha tahu bahwa nilai jual produk turunan CPO ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai jual CPO itu sendiri. Namun, karena infrastruktur sarana dan prasarana yang tidak memadai serta birokrasi yang dianggap belum efisien di Indonesia membuat investor kurang berminat untuk menanamkan modalnya pada industri hilir. Selain itu, para pengusaha CPO menganggap bahwa perdagangan CPO masih prospektif, aman dan nyaman. Para pengusaha CPO menganggap  pemrosesan minyak sawit menjadi CPO tergolong cukup sederhana namun keuntungan yang didapatkan dari penjualan CPO sangat tinggi seiring dengan melonjaknya harga minyak dunia.

Industri hilir minyak kelapa sawit dinilai tidak cepat berkembang akibat belum optimalnya insentif dan keberpihakan pemerintah. Kebijakan dan peraturan daerah yang kurang tepat juga menyebabkan investasi di sektor hilir juga menurun. Beragamnya regulasi di masing-masing daerah akibat otonomi juga dapat menghambat berkembangnya industri hilir tersebut. Para pengusaha dan investor merasa kurang nyaman dalam menghadapi aturan yang dikeluarkan birokrasi, mulai dari perizinan, tata ruang yang tidak jelas, perda yang sering berubah seiring pergantian pejabat.

Kondisi tersebut berbeda dengan iklim usaha dan investasi di Malaysia, industri kelapa sawit di negara tersebut dapat berkembang dengan baik karena adanya sistem pengelolaan industri kelapa sawit yang ditata dengan baik. Jika dibandingkan Indonesia, industri kelapa sawit Malaysia secara umum memiliki keunggulan pada bidang pengembangan pasar, pengembangan teknologi pengolahan produk turunan CPO dan pengembangan teknologi produksi kelapa sawit.

Pembangunan industri turunan (‘downstream’) minyak sawit mentah membutuhkan insentif dan dukungan dari pemerintah, agar para produsen CPO dan investor lainnya bergairah untuk membangun industri hilir tersebut di Indonesia. Oleh karena itu hendaknya pemerintah Indonesia dapat membuat berbagai kebijakan yang mendukung berkembangan industri CPO Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebijakan tersebut hendaknya mencakup berbagai kebijakan seperti : perbaikan infrastruktur, pengembangan pasar, standarisasi mutu, perpajakan, bunga bank, kluster industri dan riset.

Pembangunan infrastruktur yang memadai merupakan prasyarat untuk mencapai kesuksesan program hilirisasi industri sawit tersebut seperti pasokan energi , penyediaan air bersih, sistem transportasi jalan, jembatan dan pelabuhan. Banyak laporan yang menyatakan para investor batal membangun industri hilir pada suatu daerah karena lemahnya infrastruktur. Pembangunan infrastruktur ini mempunyai multiplayer effect pada berbagai industri yang mendorong perbaikan ekonomi masyarakat.

Pengembangan pasar merupakan hal yang penting dilakukan tidak hanya mencari terobosan di pasar luar negeri, akan tetapi peluang pasar dalam negri juga patut mendapat perhatian. Potensi pasar di Indonesia cukup besar. Dari 500 juta orang penduduk di ASEAN, hampir 50 persennya adalah penduduk Indonesia. Kalau kita (industri di dalam negeri) tidak segera mengambil pasar itu, (industri) negara lain akan memanfaatkan potensi yang besar tersebut. Keunggulan pemerintah Malaysia dalam mengembangkan pasar produk kelapa sawit dapat dilihat dari keberhasilan industri kelapa sawit Malaysia tahun 2008 dalam menerobos pasar minyak dan lemak nabati ke 155 negara tujuan ekspor di seluruh dunia dengan 105 macam produk turunan minyak sawit ke berbagai segmen pasar.

Disamping upaya pengembangan pasar yang efesien, hal-hal yang berkenaan dengan tuntutan standar mutu, spesifikasi produk, nilai gizi komposisi kimia produk, kemasan produk, pelayanan informasi serta ketepatan pengiriman, diolah dengan menggunakan teknologi modern agar tuntutan konsumen terpenuhi. Arah pengembangan teknologi industri pengolahan kelapa sawit Malaysia adalah mengupayakan agar minyak sawit dan produk turunannya menjadi produk komersial penuh untuk memenuhi permintaan pasar.

Di bidang perpajakan, pemerintah perlu memberikan insentif bagi investor pengembang industri hilir sawit, misalnya melalui keringanan pajak pagi industri hilir. Disamping itu kebijakan menaikkan pajak ekspor bahan baku seperti CPO dapat mendorong pertumbuhan industri hilir dilandasi pemikiran bahwa kenaikan pajak ekspor CPO akan lebih menjamin ketersediaan bahan baku dengan harga yang lebih rendah.  Kenaikan pajak ekspor bijaksana diharapkan akan menghambat ekspor sehingga ketersediaan bahan baku di dalam negeri akan meningkat dengan harga yang lebih murah. Disamping menaikkan pajak ekspor kebijakan mengurangi tarif impor untuk peralatan/mesin untuk industri hilir dan bahan penolong juga harus dilakukan, mengingat tarif yang relatif tinggi yang diindikasikan oleh koefisien proteksi input nominal (nominal protection coefficient on tradable inputs) yang tinggi.  Perkembangan terbaru dengan keluarnya kebijakan pemerintah mengenai PMK  No. 128/PMK.011/2011, tertanggal 15 Agustus 2011, membuat  ketentuan bahwa BK CPO dan produk turunannya dibedakan antara 6%-7%. Hal ini dapat diartikan bahwa  bea keluar produk turunan CPO lebih rendah antara 6%-7% dibandingkan dengan CPO, sehingga diharapkan industri hilir CPO akan tumbuh dan berkembang di Indonesia. Kita berharap semoga saja dengan adanya PMK baru ini akan memacu pengusaha mengolah CPO menjadi produk hilir karena akan memberikan keuntungan yang lebih besar. Aturan baru ini juga bakal menjadi lebih menarik karena pemerintah juga sudah mengeluarkan insentif berupa pengurangan perpajakan kalau industri dibangun di luar Jawa

Insentif bunga yang rendah bagi pengembangan industri hilir dapat memberikan dorongan bagi pengusaha untuk membangun industri hilir yang padat modal. Seperti di Malaysia, bunga yang rendah dan kebijakan fiskal yang kondusif dari pemerintah, akhirnya Malaysia menjadi raja produk sawit maupun produk turunannya. Mereka membangun pabrik minyak goreng atau pengolahan sawit tidak dengan pipa biasa, tetapi galvanis. Hasilnya, ada nilai tambah pada harga tiga sampai lima kali lipat dari CPO. Kini Malaysia, tak hanya memiliki pabrik yang banyak di industri manufaktur pengolahan turunan CPO, tetapi kebun yang luas. Kini produksinya mampu mencapai 12 juta ton per tahun.

Guna mendukung pengembangan industri turunan CPO, peranan Research dan Development cukup strategis. Lembaga ini harus mampu menemukan berbagai inovasi untuk pengembangan produk turunan. Untuk memperkuat dana Research dan Development pemerintah sebaiknya mengembalikan sebagian dana dari bea keluar CPO untuk mendukung riset, terutama untuk menemukan teknologi yang efisien dan industri turunan dan penemuan derivate baru dari turunan CPO. Insentif ini juga diberikan pada produsen CPO yang melakukan research and development untuk mempercepat pembangunan industri hilir sawit.

Pengembangan klaster industri hilir CPO sangat penting untuk memperkuat rantai industrinya karena industri hilir CPO di dalam negeri masih rapuh, sedangkan negara pesaing kita seperti Malaysia sudah beberapa langkah lebih maju. Manfaat yang diperoleh dari pendekatan klaster industri adalah timbulnya inovasi. Sifat kolektivitas dalam klaster juga dapat mempermudah eksperimentasi dengan ketersediaan sumber daya lokal. Sekelompok industri inti dalam klaster ini harus terkonsentrasi secara regional maupun global dan saling berhubungan atau berinteraksi sosial secara dinamis, baik dengan industri terkait,industri pendukung maupun jasa penunjang, infrastruktur ekonomi dan lembaga terkait dalam meningkatkan efisiensi, menciptakan aset secara kolektif dan mendorong terciptanya inovasi sehingga tercipta keunggulan kompetitif.

Kebijakan untuk mendorong percepatan industri turunan CPO tentu memerlukan komitmen yang kuat dari semua pihak. Lahan yang tersedia untuk perkebunan sawit,iklim yang sangat mendukung, produktivitas hasil yang tinggi, dan kualitas hasil yang baik merupakan modal yang sangat kuat dalam membangun industri turunan CPO yang kuat dengan dukungan bahan mentah yang cukup. ***

 

 

Koperasi di Era Globalisasi dan Liberalisasi Ekonomi: Mau Dikemanakan ?

Dr. Muslich Anshori

 Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga

Apabila kita berbicara tentang koperasi, maka tidak terlepas dari pengertian, nilai-nilai, serta prinsip-prinsip yang digunakan oleh koperasi. Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya bersama melalui perusahaan yang mereka miliki bersama dan mereka kendalikan secara demokratis. Koperasi dibangun berdasarkan nilai-nilai menolong diri sendiri, tanggung jawab sendiri, demokrasi, persamaan, keadilan don kesetiakawanan.

Mengikuti tradisi para pendirinya, anggota koperasi percaya pada nilai-nilai etis dari kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial serta kepedulian terhadap orang-orang lain. Prinsip-prinsip koperasi adalah pedoman yang digunakan oleh koperasi untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam praktek. Ada tujuh prinsip-prinsip koperasi, yakni: (1) keanggotaan secara sukarela dan terbuka, (2) pengendalian oleh anggota-anggota secara demokratis, (3) partisipasi ekonomi anggota, (4) otonomi dan independensi, (5) pendidikan, pelatihan dan informasi, (6) kerjasama diantara koperasi, dan (7) kepedulian terhadap masyarakat (ICA Cooperatives Identity Statement, 1995).

Undang-undang No. 25 Tahun 1992 menyatakan bahwa koperasi disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Oleh karena itu, koperasi perlu lebih membangun dirinya dan dibangun menjadi kuat dan mandiri berdasarkan prinsip koperasi, sehingga mampu berperan sebagai soko guru perekonomian nasional. Koperasi merupakan salah satu dari tiga “soko guru ekonomi”.  Koperasi adalah lembaga ekonomi yang berpotensi besar untuk mengurangi tingkat kebergantungan ekonomi kita terhadap ekonomi dunia.

Koperasi, oleh banyak kalangan, diyakini sangat sesuai dengan budaya dan tata kehidupan bangsa Indonesia. Di dalamnya terkandung muatan menolong diri sendiri, kerjasama untuk kepentingan bersama (gotong royong), dan beberapa esensi moral lainnya. Pembangunan koperasi merupakan tugas dan tanggungjawab pemerintah dan seluruh rakyat sesuai dengan perkembangan dan keadaan.

Di banyak negara maju, koperasi sudah menjadi bagian dari sistem perekonomian. Koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar. Dengan demikian koperasi tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar, dan ternyata koperasi juga bisa bersaing dalam sistem pasar bebas, dengan lebih menerapkan asas kerjasama dari pada persaingan. Di negara maju, kebanyakan koperasi tidak dipengaruhi politik. Kegiatan koperasi di negara maju adalah murni kegiatan ekonomi, sehingga sudah terbiasa menjalankan aktivitas ekonomi dalam kondisi persaingan.

Di banyak negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, koperasi dibentuk dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, peranan pemerintah terkait perkoperasian tampak menonjol, dan unsur politik juga tidak lepas dari perkoperasian. Hal ini mengakibatkan terjadinya kebergantungan yang tinggi kepada pemerintah, sehingga potensi kegagalan koperasi untuk berkembang secara mandiri juga tinggi.

Globalisasi ekonomi bisa dikatakan sebagai arus ekonomi liberal, yang menurut Mubyarto mengandung pembelajaran tentang paham ekonomi Neoklasik Barat yang lebih cocok untuk menumbuhkan ekonomi, tetapi tidak cocok untuk mewujudkan pemerataan. Era globalisasi bertumpu pada tiga pilar, yakni: liberalisasi, perdagangan, dan investasi. Apabila ditelusuri lebih mendalam, proses globalisasi ekonomi didorong oleh dua faktor, yakni: teknologi (yang meliputi teknologi komunikasi, transportasi, informasi, dan sebagainya) dan liberalisme.

Globalisasi dan liberalisasi, kedua-duanya merupakan kekuatan lama yang telah berubah dari latent, menjadi riil dan penuh vitalitas pada saat ini. Pasar bebas dengan segala ketidaksempurnaannya mampu menggulung dan menggusur apa saja yang merintanginya. Pasar-bebas yang diberlakukan di negara-negra berkembang tidak sedikit yang menghasilkan pelumpuhan (disempowerment) bahkan pemiskinan (impoverishment) terhadap rakyat kecil (Swasono, 1994). Dalam kenyataannya, pasar-bebas adalah pasarnya para penguasa pasar, yaitu mereka yang menguasai dana-dana sangat besar, yang akhirnya secara langsung atau tidak langsung mengontrol bekerjanya mekanisme-pasar. Mekanisme pasar tak lain adalah suatu mekanisme lelangan (Thurow, 1987).

Dengan kondisi seperti itu, pemilik dana besarlah yang akan menang dalam lelangan (auction). Sementara yang miskin akan hanya menjadi penonton transaksi ekonomi, menerima nasib sebagai price-taker, atau bahkan akan bisa tergusur peran ekonominya (Swasono, 1994). Dalam persaingan seperti ini, maka yang besar dan kuat secara ekonomi akan keluar sebagai pemenang. Mungkin inilah yang dimaksudkan oleh Thomas Friedman (1999) sebagai “the winner-take-all market” sebagaimana ia telah menyitir ekonom-ekonom yang mencemaskan globalisasi ekonomi sebagai penyebar ketidak-adilan global.

Meskipun lingkungan ekonomi telah didominasi oleh mekanisme pasar kapitalistik, namun gerakan koperasi tetap lebih dekat dengan kolektivisme dan sosialisme, yaitu mengutamakan kepentingan masyarakat (publik), dengan tetap menghormati identitas dan inisiatif individu. Banyak yang menganggap bahwa dalam globalisasi ekonomi saat ini mempertentangkan kapitalisme dan sosialisme telah dianggap kuno, meskipun pembela-pembela dari masing-masing kubu masih terus gigih mempertahankan keyakinan mereka masing-masing secara filsafati.

Bagaimanapun juga, kita perlu mengamati perkembangan keduanya sehingga gerakan koperasi dapat mampu menempatkan dirinya dengan tepat, bahkan dapat ikut berperan membentuk kecenderungan-kecenderungan baru dan sekaligus mengarahkan proses globalisasi ekonomi dalam mencapai wujud finalnya. Wujud final itu diharapkan dapat menjanjikan suatu kemakmuran dan keadilan global (Sri Edi Swasono (2000). Di era seperti itu, pelaku ekonomi yang tidak efisien, kurang cekatan melihat peluang, dan tidak segera mengadakan perubahan untuk menyesuaikan dengan tuntutan zaman akan tergilas oleh waktu. Oleh karena itu, koperasi harus mengubah jati diri dan orientasinya dalam berbisnis. Jika tidak, koperasi akan makin terpuruk dan dominasi pemilik modal terhadap ekonomi nasional makin mencengkeram.

Globalisasi dan liberalisasi ekonomi makin menjauhkan pemerintah dari permainan pasar sehingga koperasi tidak mungkin lagi untuk banyak berharap kepada pemerintah untuk mengatasi kelemahannya. Sikap pemerintah yang makin memberikan keleluasaan kepada liberalisasi ekonomi yang menyebabkan berkurangnya insentif dan fasilitas kepada koperasi hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi koperasi. Koperasi harus bersaing untuk meningkatkan kontribusinya dan mewujudkan perekonomian yang lebih berpihak kepada ekonomi kerakyatan. Profesionalisme harus menjadi roh dari manajemen koperasi. Koperasi jangan diasumsikan sebagai lembaga ekonomi untuk orang-orang miskin sehingga hanya mengelola kebutuhan dasar dan kemampuan pengelolanya pun menjadi apa adanya.

Berkaitan dengan konsep pembangunan ekonomi, koperasi masih dipandang sebagai salah satu elemen ekonomi yang strategis. Namun demikian, keberadaan dan tumbuh kembangnya koperasi ternyata masih menjadi perdebatan dalam era globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Ketika koperasi mendapat kemudahan dan fasilitas dari pemerintah serta derajat globalisasi dan liberalisasi ekonomi belum secepat seperti saat ini, koperasi belum pernah mampu memberikan peran yang signifikan. Koperasi tetap menjadi kelompok marginal. Apa lagi dengan kondisi seperti sekarang, dimana globalisasi dan liberalisasi ekonomi sudah merajalela dan berkembang sangat cepat. Oleh karena itu, seringkali timbul pertanyaan terkait dengan cepatnya proses globalisasi dan liberalisasi ekonomi, yakni tentang kewajaran apabila pemerintah tetap berobsesi menempatkan koperasi sebagai salah satu soko guru ekonomi.

Kita tidak boleh terlalu pesimis tentang perkembangan dan pertumbuhan koperasi. Lembaga koperasi sejak awal diperkenalkan di Indonesia memang sudah diarahkan untuk berpihak kepada kepentingan ekonomi rakyat yang dikenal sebagai golongan ekonomi lemah. Strata ini biasanya berasal dari kelompok masyarakat kelas menengah kebawah. Eksistensi koperasi memang merupakan suatu fenomena tersendiri, sebab tidak satu lembaga sejenis lainnya yang mampu menyamainya, tetapi sekaligus diharapkan menjadi penyeimbang terhadap pilar ekonomi lainnya.

Walaupun banyak kendala dan tantangan terkait dengan globalisasi dan liberalisasi ekonomi, koperasi di Indonesia masih menunjukkan eksistensinya, bahkan masih ada pekembangan. Sebagai gambaran umum saja, perkembangan koperasi di Indonesia tahun 2005 sampai pertengahan 2007, jumlah koperasi meningkat dari 134.963 unit menjadi 144.527 unit. Penyerapan tenaga kerja meningkat dari 288.589 orang menjadi 369.302 orang, sedangkan permodalannya meningkat dari Rp 33.015.403,45 juta menjadi Rp 43.211.059,79 juta.  Selain itu, lembaga koperasi oleh banyak kalangan, diyakini sangat sesuai dengan budaya dan tata kehidupan bangsa Indonesia. Di dalamnya terkandung muatan menolong diri sendiri, kerjasama untuk kepentingan bersama (gotong royong), dan beberapa esensi moral lainnya. Sejak kemerdekaan diraih, organisasi koperasi selalu memperoleh tempat sendiri dalam struktur perekonomian dan mendapatkan perhatian dari pemerintah.

Dalam menghadapi tantangan globalisasi dan liberalisasi ekonomi, koperasi harus mampu memberikan layanan dan manfaat kepada anggota atas dasar persamaan. Dari persamaan tersebut diharapkan dapat timbul rasa kebersamaan dalam hidup berkoperasi, baik dalam pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab maupun npenggunaan haknya. Kebersamaan dalam berkoperasi sebagai modal sosial untuk menciptakan rasa saling percaya, kerukunan, dan toleransi satu sama lain.

Kebersamaan juga merupakan modal yang sangat berharga bagi koperasi dalam menghadapi tantangan globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Menurut Purbayu (2004) agar supaya koperasi dapat tetap eksis dalam era globalisasi perlu menempuh empat langkah: (1) merestrukturisasi hambatan internal dengan mengikis segala konflik yang ada (dalam hal ini mengandung unsur kebersamaan), (2) melakukan pembenahan manajerial, (3) integrasi ke luar dan ke dalam, dan (4) peningkatan efisiensi dalam proses pproduksi dan distribusi.

Dari kajian-kajian yang dilakukan oleh para ahli, antara lain; Soetrisno (2001), Lawless dan Reynolds (2004), Peterson (2005), Keeling (2005), Hendar dan Kusnadi (2005) tentang perkembangan koperasi, penulis menyimpulkan bahwa: koperasi harus memiliki keunggulan-keunggulan kompetitif sebagai suatu kekuatan organisasional yang secara jelas menempatkan suatu organisasi bisnis di posisi terdepan dibandingkan organisasi-organisasi bisnis lain yang menjadi pesaing-pesaingnya di dalam era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini. Faktor utama untuk menciptakan keunggulan kompetitif yang sebenarnya dari koperasi adalah hubungan, kekompakan, dan kerjasama para anggota.

Kriteria-kriteria kunci untuk menjadikan suatu koperasi bisa berhasil adalah: (1) memiliki kepemimpinan yang visioner yang bisa membaca kecenderungan perkembangan pasar, kemajuan teknologi, perubahan pola persaingan; (2) menerapkan struktur organisasi yang merefleksikan dan mempromosikan suatu kultur terbaik yang sesuai dengan bisnisnya dan sepenuhnya didukung oleh anggota; (3) anggota sepenuhnya memahami industri-industri atau sektor-sektor yang mereka geluti dan kekuatan-kekuatan serta kelemahan-kelemahan dari koperasi mereka; (4) kreatif dalam pendanaan (tidak hanya tergantung pada kontribusi anggota, tetapi juga bisa lewat pinjam dari bank); dan (5) mempunyai orientasi bisnis (misi) yang kuat dan didefinisikan secara jelas dan terfokus. Adapun beberapa faktor yang seringkali menyebabkan runtuhnya/tutupnya koperasi adalah: (1) kurangnya pendidikan dan pengawasan dari pengurus; (2) manajemen yang tidak efektif; dan (3) keanggotaan yang pasif.

Jika koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela, maka koperasi merupakan organisasi yang dimiliki oleh para anggota. Oleh karena itu, semua harapan dan perkembangan koperasi sebenarnya juga berada di tangan para anggota, baik yang menjadi pengurus koperasi maupun yang tidak. Seharusnya semua anggota berperan aktif sesuai dengan posisi dan kondisi masing-masing. Para anggota perlu melakukan aktivitas (sesuai dengan kemampuan dan kompetensinya) yang dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai dan bermanfaat. Sehingga nilai dan kemanfaatan tersebut dapat saling dipertukarkan, untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Apabila hal ini bisa terjadi, maka kesejahteraan para anggota koperasi dan masyarakat akan terwujud.

Dilihat dari sudut pandang seperti itu, maka keberadaan dan peranan sumber daya manusia sangat menentukan keberhasilan koperasi. Kompetensi dan semangat sumber daya manusia menjadi titik sentral dalam upaya memperkuat koperasi, oleh karena itu pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan, menjadi kunci utama untuk meningkatkan dan mengembangkan kekuatan koperasi. Selain itu  peningkatan teknologi juga menjadi sangat penting untuk menunjang produktivitas dan efisiensi kerja dalam pengembangan koperasi. Peran, dorongan, dan bantuan dari pemerintah masih sangat diperlukan, namun harus lebih banyak diarahkan kepada peningkatan dan pengembangan konpetensi dan semangat sumber daya manusianya. Bantuan permodalan dan sarana prasarana lain diberikan sesuai dengan kondisi (tidak harus sama rata), dan hanya bersifat sebagai titik awal dalam melakukan kegiatan usaha koperasi.

Pada peringatan Hari Koperasi Nasional 2009, Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyampaikan bahwa: “Dalam era globalisasi bisa saja perusahaan raksasa dunia mendominasi semua kegiatan bisnis. Meskipun keberadaan mereka penting tetapi absennya koperasi dan usaha kecil menengah, maka upaya kita untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengurangi kemiskinan dan pengangguran akan tetap sulit. Solusinya adalah makin kedepan koperasi dan usaha kecil dan menengah mesti dikembangkan di seluruh tanah air agar lebih banyak saudara-saudara kita yang bisa berusaha. Mari kita jalankan dan tingkatkan. ”

Pemerintah sebagai fasilitator dan pembuat kebijakan ekonomi nasional, harus terus mengembangkan iklim kondusif bagi pertumbuhan koperasi secara konsisten. Keberpihakan pemerintah pada kekuatan ekonomi rakyat melalui gerakan koperasi, akan berkembang dan menjadi kenyataan jika didukung oleh konsistensi dan system yang berlaku. Pernyataan dan harapan SBY tentang pengucuran KUR perlu didukung perwujudannya. Akan tetapi yang sebenarnya lebih dibutuhkan adalah membangun dan meningkatkan kompetensi dan semangat sumber daya manusia untuk menjalankan kegiatan/aktivitas yang dapat menghasilkan nilai atau manfaat yang lebih besar. Hal ini harus dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) yang lebih efektif.

Pemerintah perlu membuat program untuk memfasilitasi agar diklat dapat berjalan secara berkesinambungan, antara lain dapat mengadakan kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan baik pendidikan formal maupun pendidikan non-formal yang terkait dengan bidang ekonomi dan bisnis, dengan catatan bahwa program tersebut harus bisa terlaksana dengan baik (sesuai dengan sasaran), tidak hanya sekedar melaksanakan program demi untuk memanfaatkan anggaran yang sudah ditetapkan. Untuk itu juga perlu dilakukan pemantauan dan evaluasi terhadap proses dan hasil yang dicapai dalam pelaksanaan program diklat tersebut.

Dengan demikian, dalam era globalisasi dan liberalisasi ekonomi, koperasi harus tetap dibawa dan diarahkan untuk tetap dapat berperan sebagai salah satu dari soko guru perekonomian nasional, yakni; koperasi, badan usaha milik negara, dan swasta. Untuk itu koperasi perlu lebih membangun dirinya untuk menjadi kuat dan mandiri berdasarkan prinsip koperasi. Pemerintah bersama koperasi dan masyarakat perlu melakukan beberapa hal yang telah penulis sebutkan di muka terkait dengan penguatan koperasi, sehingga ketiga soko guru ekonomi nasional dapat berjalan secara seimbang (seimbang tidak selalu berarti sama rasa sama rata). Masyarakat tidak perlu terlalu pesimis dengan berbagai tantangan dan ancaman globalisasi dan liberalisasi ekonomi, dan harus punya keyakinan bahwa sistem apapun yang terjadi di dunia ini tidak lepas dari kemampuan dan kerjasama serta kebersamaan manusia.

Jika tidak ingin kalah dan tertindas, ya harus mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk melawan tindasan. Namun yang sebenarnya lebih baik adalah apabila manusia itu bisa saling bekerja sama. Hal ini sesuai dengan anjuran bahwa manusia diperintah oleh Allah SWT untuk tolong menolong (bekerja sama) dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan dilarang tolong menolong (bekerja sama) dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Manusia juga dianjurkan dapat melakukan aktivitas yang menghasilkan atau memberikan manfaat bagi yang lain. Manusia yang baik adalah yang mempunyai perilaku baik dan bermanfaat bagi manusia. Amien.

Pengaruh Penerapan Mata Uang Tunggal ASEAN terhadap Dunia Usaha : Sebuah Prediksi

 

 

Oleh: Ernie Tisnawati Sule

Guru Besar dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran

Karakteristik pertumbuhan ekonomi modern sangat berkaitan erat dengan peranan negara-negara maju, dimana timbul kecenderungan dari negara-negara kaya untuk terus melakukan ekspansi ekonomi ke negara-negara lain dalam rangka memperoleh sumber pasokan produk primer dan bahan baku, tenaga kerja yang murah dan lokasi pemasaran yang menguntungkan bagi produk-produk mereka. Ekspansi ekonomi ini tentunya berpengaruh besar terhadap terintegrasinya model-model perekonomian dunia dalam bentuk globalisasi ekonomi, yang berdampak pada peningkatan aktivitas transaksi barang dan modal antar negara, sehingga tidak ada lagi negara yang tidak mempunyai hubungan ekonomi dan keuangan dengan negara lainnya.

 

Globalisasi ekonomi telah merubah struktur perekonomian dunia secara fundamental. Demikian pula halnya dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Dewasa ini ASEAN tumbuh sebagai wadah integrasi ekonomi dengan pasar potensial, yang pengaruhnya berdampak pada peningkatan kerjasama ekonomi yang semakin luas terutama dengan negara-negara di kawasan Asia Timur seperti China, Jepang dan Korea Selatan.

 

Integrasi ekonomi ASEAN menghadapi tantangan besar karena negara-negara ASEAN memiliki sistem ekonomi, pendapatan per kapita, tingkat pembangunan ekonomi dan institusi serta kondisi sosial yang berbeda dan heterogen. Perbedaan dan heterogenitas menyebabkan beberapa negara yang tidak memiliki infrastruktur dan kapasitas institusional yang memadai mengalami kesulitan untuk berintegrasi dengan negara yang lain. Salah satu kondisi yang berbeda dan heterogen adalah mata uang. Implikasi dari hal ini adalah, munculah wacana pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang merupakan visi ASEAN 2020. MEA bertujuan untuk membentuk suatu pasar tunggal, yang diarahkan pada penerapan mata uang tunggal (single currency) yang bertujuan untuk menjaga stabilitas mata uang regional dalam pelaksanaan pasar tunggal di ASEAN, yang rencananya akan dimulai pada 2015.

 

Rencana munculnya mata uang tunggal tersebut tercetus dalam sebuah sebuah ASEAN Community yang sudah disepakati menjadi ASEAN vision 2020. ASEAN Community sendiri yang dimaksudkan akan dibangun berdasarkan tiga pilar, yakni ASEAN Security Community (ASC), ASEAN Economic Community (AEC) dan ASEAN Socio-Cultur Community (ASCC).

 

Integrasi ekonomi di sebuah kawasan pada dasarnya tidak perlu selalu berujung pada penerapan mata uang tunggal di kawasan yang bersangkutan. Harmonisasi kebijakan perdagangan dan koordinasi kebijakan perekonomian dalam sebuah kawasan dapat dilakukan tanpa hadirnya mata uang tunggal. Secara ideal, penerapan mata uang tunggal hanya akan menjadi relevan jika kawasan yang bersangkutan telah memenuhi syarat-syarat yang digariskan oleh teori kawasan mata uang tunggal optimum (optimum currency area/OCA); yang meliputi kecukupan prakondisi politik dan standard kriteria ekonomi tertentu, yang akan dibahas kemudian dalam tulisan ini.

 

Namun karena pentingnya kepastian nilai tukar dalam perekonomian global menyebabkan kebutuhan integrasi ekonomi tidak lagi hanya berupa integrasi perdagangan namun berkembang menjadi integrasi keuangan. Integrasi keuangan secara penuh terjadi pada saat masing-masing negara dalam kawasan tersebut telah menghadapi kebijakan yang sama dalam keuangan (single set of rules), di mana investor dan penerbit aset keuangan mempunyai akses yang sama terhadap pasar keuangan (equal access) dan diperlakukan secara sama (treated equally) ketika beroperasi di sektor keuangan (Baele et al. 2004).

 

Usulan mata uang tunggal ini sesungguhnya sangat menguntungkan para investor di negara kaya, yang cemas terhadap fluktuasi kurs tukar, namun negara berkembang yang tidak punya produk dan jasa unggulan, juga harus waspada tetap waspada dengan penerapan mata uang tunggal. Negara dengan produktivitas lemah akan selalu menjadi negara konsumen tanpa pernah bisa menjual barangnya akibat tingkat harga yang tinggi. Dengan adanya mata uang yang stabil, perekonomian para anggota ASEAN diharapkan akan menjadi lebih mapan, yang berarti dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi anggotanya.

 

Idealnya, penerapan mata uang tunggal hanya akan relevan jika kawasan yang bersangkutan telah memenuhi syarat-syarat yang digariskan oleh teori kawasan mata uang tunggal optimum (optimum currency area/OCA); yang meliputi kecukupan prakondisi politik dan standar kriteria ekonomi tertentu

 

Ada beberapa manfaat yang mungkin dapat diperoleh bagi negara-negara ASEAN, sehubungan dengan penerapan mata uang tunggal (single currency) di ASEAN, yang rencananya akan dimulai pada 2015, yaitu : Melalui penetapan mata uang tunggal, diharapkan agar anggota ASEAN dan SDM di dalamnya dapat lebih efektif dan efisien dalam meningkatan perekonomian anggotanya, yang indikasinya tercermin melalui (i) berkurangnya biaya transaksi perdagangan antar negara anggota melalui hilangnya ongkos transaksi mata uang dan risiko nilai tukar yang umumnya mengikuti proses pembayaran dalam transaksi perdagangan antar negara, (ii) meningkatnya transparansi harga dari sebuah produk yang dihasilkan oleh Negara-negara berbeda yang ada di kawasan mata uang tunggal yang bersangkutan.

 

Keuntungan lain yang juga diperoleh adalah berkurangnya ongkos pengelolaan kebijakan moneter dari negara-negara kawasan mata uang tunggal tersebut. Hal ini terkait dengan terrpusatnya pengelolaan kebijakan moneter untuk setiap negara anggota ASEAN. Di samping itu, penerapan mata uang tunggal juga memberikan kredibilitas dan disiplin pengelolaan kebijakan ekonomi makro bagi negara-negara anggotanya. Diharapkan agar proses penetapan sistem uang tunggal (single currency) tersebut, tidak merujuk pada Uni Eropa sebagai acuan rencana, karena diketahui bahwa struktur ekonomi, politik, dan sosial negara-negara anggota ASEAN tidak sama dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN.

 

Acuan dari sistem ini lebih kepada penguatan pasar bersama bagi ASEAN ataupun menjadikan ASEAN sebagai basis produksi untuk berbagai industri.

 

Terkait dengan pemberlakuan sistem uang tunggal (single currency) di negara-negara ASEAN, maka  terdapat dua syarat berlakunya mata uang tunggal, : Pertama, sistem ekonominya sejenis dan kedua tingkat perkembangan ekonominya tidak boleh terlalu jauh. Untuk kasus ASEAN, Negara Singapore agak sulit bergabung pada satu mata uang tunggal ASEAN, mengingat tingkat perekonomian Negara Singapore sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lainnya di ASEAN. Income per capita Jepang dan Indonesia terlalu berbeda. Demikian juga negara-negara ASEAN dan Singapore (Singapore income per capitanya sudah tinggi).

 

Dari sisi kriteria ekonomi, hambatan utama diterapkannya mata uang tunggal di ASEAN muncul dari tingkat pembangunan ekonomi negara-negara ASEAN yang cenderung tidak seragam. Hambatan yang lebih besar muncul dari sisi pra-kondisi politik yang berkaitan dengan kesiapan negara-negara anggota ASEAN untuk membentuk sebuah institusi trans-nasional yang memiliki kredibilitas cukup untuk mendukung komitmen negara-negara anggota dalam mempertahankan keberadaan mata uang tunggal. Kedua, upaya untuk membentuk kawasan mata uang tunggal di ASEAN juga perlu didukung oleh persyaratan-persyaratan yang mengikat bagi anggotanya untuk bekerja sama secara transparan dalam pertukaran informasi tentang perkembangan ekonominya masing-masing.

 

Apabila ASEAN telah menetapakan sistem mata uang tunggal, hal ini mengindikasikan bahwa ASEAN telah menetapakan sistem moneter tunggal. Yang merupakan bentuk kerjasama regional yang paling tinggi tingkatannya. Hal ini menjelaskan bahwa ASEAN telah berhasil melaksanakan kerjasama-kerjasama lainnya dengan sukses seperti Free Trade Zone, bebas visa dan fiskal untuk perpindahan penduduk antar negara.

 

Semua anggota ASEAN hendaknya memfokuskan pada usaha untuk menjamin stabilitas financial, memperkuat pembangunan infrastruktur regional dan konektivitas, mempromosikan pembangunan berkelanjutan, dan memperkecil kesenjangan pembangunan. Yang tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan solidaritas komunitas antar masyarakat sekarang.

 

Berdasarkan fakta dan data yang diberikan, ASEAN tentunya tidak akan memakai mata uang tunggal dan sistem moneter tunggal untuk beberapa dekade ke depan. Walaupun sebagian pra-kondisi ekonomi untuk pembentukan kawasan mata uang tunggal telah secara berlanjut makin terpenuhi, disparitas tingkat pembangunan ekonomi negara-negara anggota ASEAN sendiri nampaknya masih akan tetap muncul sebagai hambatan. Jika hal ini tetap dipaksakan, maka akan berdampak buruk bagi masing-masing anggotanya, antara lain trafficking akan semakin berkembang pesat antar negara anggota ASEAN.

 

Untuk itulah, sebelum memikirkan bagaimana kita membentuk unifikasi antar anggota ASEAN, maka perlu dilakukan pembenahan ke dalam bagi masing-masing anggota ASEAN. Memperkuat sektor ekonomi domestik, jangan terlalu bergantung kepada pihak luar. Apabila negara-negara ASEAN tersebut sudah cukup mapan, baru kemudian ASEAN dapat membicarakan tentang unifikasi ASEAN, terutama penggunaan mata uang tunggal dan sistem moneter tunggal untuk ASEAN, yang tentunya harus memberikan dampak positif terhadap perkembangan dunia usaha di kawasan Asia Tenggara.

Waralaba: Model Kemitraan Usaha Besar dengan Usaha Kecil Menengah (UKM)

Oleh: Thomas Ola Langoday

PENDAHULUAN

Tidak dapat dipungkiri, bahwa saat ini tidak lebih dari 20 persen usaha besar di Indonesia mampu memberikan kontribusi terhadap pembentukan Produk Domestek Bruto lebih dari 80 persen. Sementara pada sisi lain, tidak kurang dari 80 persen usaha kecil menengah di Indonesia hanya mampu memberikan kontribusi tidak lebih dari 20 persen.  Bila sudut pandang kita diarahkan kepada penyerapan tenaga kerja, maka situasi sebaliknya yang terjadi. Usaha besar dengan jumlah yang relatif sedikit lebih padat modal dan menampung tenaga kerja dalam jumlah yang relatif sedikit dengan produktivitas yang tinggi. Bandingkan dengan usaha kecil menengah yang jumlahnya relatif banyak, lebih padat karya dan menampung tenaga kerja yang relatif banyak dengan produktivitas yang rendah.

Permasalahan usaha kecil menengah senantiasa monoton dari dahulu sampai sekarang. Permasalahan utama tidak pernah keluar dari kualitas manajemen sumber daya manusia yang rendah, baik sebagai pemilik maupun sebagai pekerja. Permasalahan ini secara perlahan tetapi pasti mulai diatasi dengan tindakan perbaikan yang tidak kenal henti peningkatan mutu pendidikan formal dan pendidikan nonformal pada kalangan pemilik usaha maupun tenaga kerja.

Masalah klasik kedua yang sampai saat ini menjadi keluhan sebahagian besar pemilik usaha kecil menengah adalah masalah permodalan. Penelitian Langoday (2008) tentang peranan sektor informal dalam penyerapan tenaga kerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur, menemukan bahwa 80 persen pemilik usaha sector informal di NTT  ingin memperluas usahanya, tetapi kendala utama adalah kelangkaan teknologi dan kekurangan modal usaha.

Persoalan kekuarangan modal usaha mulai dapat teratasi dengan berbagai jenis kemitraan yang dibangun belakangan ini, baik antara usaha kecil menengah dengan pemerintah, maupun antara usaha kecil menengah dengan usaha besar. Usaha besar memiliki sumber daya modal yang besar dan tentu berkeinginan untuk memanfaatkan sumber dananya untuk kegiatan yang lebih produktif, baik pengembangan usaha tidak sejenis maupun perluasan usaha sejenis dan yang sudah ada. Salah satu bentuk kemitraan yang dibahas dalam tulisan ini adalah: Kemitraan Usaha Besar dengan Usaha Kecil Menengah (UKM) melalui Kemitraan Waralaba.

KEMITRAAN WARALABA

Waralaba atau franchise/franchising berasal dari bahasa Prancis yaitu franchir yang artinya kejujuran atau kebebasan. Kejujuran dalam pengertian ini sama dengan credere atau kredit (kepercayaan). Seseorang atau suatu pihak diberikan kepercayaan karena antara lain kejujurannya dalam mengelola usaha yang dipercayakan kepadanya. Dengan demikian kemitraan waralaba melibatkan paling sedikit dua orang atau dua perusahaan atau dua kelompok. Secara umum, yang dimaksud dengan waralaba adalah suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, di mana pemilik barang/jasa (sering disebut franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan (sering disebut franchisee) untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu pada area tertentu.

Dengan demikian, istilah waralaba (franchising) mengharuskan suatu perusahaan untuk menyediakan strategi penjualan atau penyediaan jasa tertentu, memberikan bantuan, dan mungkin juga menyediakan investasi awal waralaba dengan imbalan berkala. Beberapa contoh waralaba yang tidak asing lagi bagi kita, misalnya: McDonald’s, Pizza Hut, Subway Sandwiches, Blockbuster Video, dan Dairy Queen, yang memiliki waralaba yang dikelola oleh pemilik lokal di berbagai negara dan atau daerah. Saat ini, waralaba memungkinkan perusahaan untuk menembus pasar asing tanpa memerlukan investasi besar.

Menurut Kembaren (2009), ada tiga jenis waralaba yang sering dipraktekkan dalam kaitan dengan kemitraan usaha besar dengan usaha kecil menengah, yaitu:

  1. Waralaba produk atau merek dagang. Jenis waralaba ini terjadi bilamana pihak pabrikasi memberikan lisensi kepada pihak lain untuk menjual produknya. Contoh waralaba produk adalah penjualan mobil via dealer.
  2. Waralaba format bisnis. Jenis waralaba ini terjadi bilamana manajer atau pemilik bisnis memberi ijin kepada seseorang untuk memasarkan produk atau jasa dengan menggunakan nama atau merek dagang dengan format bisnis yang dirancang franchisor. Contoh: Bioskop 21 yang tersebar hampir di seluruh Indonesia.
  3. Waralaba konversi. Jenis waralaba ini merupakan waralaba format bisnis yang diadaptasi untuk mengangkat nama pendiri bisnis.

Apapun jenis kemitraan waralaba yang dijalankan harus didasarkan pada beberapa aspek diantaranya adalah :

  1. Kesamaan kepentingan (common interest). Dalam banyak hal, dunia bisnis baik besar maupun kecil, mempunyai kepentingan yang sama, motif yang sama yaitu mendapatkan keuntungan, memperoleh pendapatan, terpenuhinya kebutuhan, baik primer, sekunder maupun tersier. Yang terpenting dalam kesamaan kepentingan dalam kemitraan waralaba adalah kesamaan kepentingan dalam input, teknologi, proses produksi, output dan kepentingan memperoleh keuntungan atau profit.
  2. Saling mempercayai dan saling menghormati. Aspek kemitraan dalam waralaba adalah saling percaya, jujur satu terhadap yang lain, saling menghormati kelebihan dan kekurangan. Jika aspek ini dijaga maka kemitraan waralaba dapat berlanjut dalam jangka panjang.
  3. Tujuan yang jelas dan terukur. Baik franchisor maupun franchisee, masing-masing mempunyai tujuan yang jelas dan terukur. Franchisor dapat mempunyai tujuan pengembangan bisnis sejenis dengan target anak perusahaan tertentu atau output tertentu, demikian pula franchisee mempunyai tujuan mempunyai bisnis yang lebih mapan, sampai dapat mengembangkannya secara mandiri dan berkelanjutan.
  4. Kesediaan untuk berkorban. Pengorbanan waktu, tenaga dan sumber daya yang lain sering kali tidak terukur, tetapi dapat menjaga energi sosial yang merekatkan kemitraan waralaba dalam jangka panjang.

 

Aspek-aspek kemitraan waralaba ini dituangkan lebih lanjut dalam prinsip-prinsip sebagai dasar membangun dan mempertahankan kemitraan waralaba antara usaha besar dengan usaha kecil, diantaranya adalah:

  1. Prinsip persamaan atau equality. Prinsip ini mensyaratkan bahwa antara franchisor dan franchisee keduanya mengembangkan bisnis sejenis yang sama, kesamaan input, kesamaan teknologi, kesamaan proses dan kesamaan produk dan bahkan mungkin citarasanya.
  2. Keterbukaan atau transparency. Prinsip keterbukaan atau transparency mensyaratkan bahwa seluruh proses produksi (input, proses dan output) dilakukan secara terbuka, baik input dan harganya, teknologi, produk dan pasarnya serta keuntungan dan bahkan mungkin kerugian bila ada.
  3. Saling menguntungkan atau mutual benefit. Prinsip bisnis adalah untung. Dengan mendapatkan keuntungan maka bisnis dapat dipertahankan, bahkan dalam jangka panjang. Bahkan, mungkin bisnis tersebut dapat diperluas ke area lain yang mungkin lebih menguntungkan. Prinsip saling menguntungkan setidaknya sesuai kesepakatan atau perjanjian kedua belah pihak secara tertulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

KEMANDIRIAN UKM

Kemandirian usaha kecil menengah adalah tujuan kemitraan waralaba antara usaha besar sebagai franchisor dengan usaha kecil menengah sebagai franchisee. Kemitraan waralaba antara usaha besar dengan usaha kecil menengah menjadi pilihan belakangan ini karena melalui bisnis waralaba, usaha kecil menengah sebagai franchisee mendapatkan beberapa nilai positif dari usaha besar sebagai franchisor antara lain:

  1. Transfer manajemen. Agar bisnis waralaba benar-benar menguntungkan franchisor (usaha besar) dengan franchisee (usaha kecil menengah) maka pihak franchisor mau tidak mau harus mentransfer manajemen, baik perencanaan, pengorganisasian, pengawasan dan evaluasi baik input, proses maupun output. Dengan transfer manajemen ini, diharapkan pada waktunya franchisor menjadi mandiri dalam pengelolaan bisnisnya.
  2. Kepastian pasar. Jika bukan pasar lokal yang menampung produk yang dihasilkan franchisee, tentu saja pasar yang jelas telah disiapkan oleh franchisor. Pasar atau permintaan yang berdaya beli yang mendorong franchisor mempercayakan bisnisnya kepada franchisee pada area tertentu.
  3. Promosi. Pihak franchisee tidak perlu mengeluarkan biaya promosi yang merupakan salah satu komponen biaya terbesar dalam memperkenalkan produk, karena promosi telah dilakukan oleh franchisor.
  4. Pasokan bahan baku. Pihak franchisee tidak repot dengan mencari atau mendatangkan bahan baku karena itu merupakan salah satu bagian sentral dalam kemitraan waralaba.
  5. Pengawasan mutu. Di manapun bisnis waralaba tersebut dijalankan, pengawasan mutu adalah salah satu bahagian penting dari seluruh proses. Pada prinsipnya mutu produk yang sama yang dihasilkan franchisor tidak jauh berbeda bahkan sama dengan mutu yang dihasilkan franchisee. Mutu yang terjamin dengan tidak mengenal tempat dan waktu adalah kunci sukses keberlangsungan hidup bisnis waralaba.
  6. Pengenalan dan pengetahuan tentang lokasi bisnis. Dengan kemitraan waralaba, franchisee dapat mengidentifikasi dan sekaligus mengetahui mana lokasi bisnis yang baik dan benar, tentunya lokasi bisnis yang paling menuntungkan jika tidak dalam jangka pendek maka dalam jangka menengah dan panjang.
  7. Pengembangan kemampuan sumber daya manusia. Rata-rata kemampuan sumber daya manusia pengelola usaha kecil dan menengah masih tergolong rendah. Tetapi dengan kemitraan waralaba, mereka dapat diikutsertakan dalam berbagai pelatihan pengembangan sumber daya manusia sehingga derajat keterampilan dan keahlian mereka dapat diakui.
  8. Resiko dalam bisnis waralaba sangat kecil. Jika dijalankan dengan benar dan penuh kejujuran maka sangat minim atau bahkan hampir tidak ada resiko yang menimpah franchisee. Resiko terbesar berada pada pihak usaha besar yang adalah franchisor.

Dari semua nilai lebih atau keunggulan dalam kemitraan waralaba antara usaha besar dengan usaha kecil, salah satu keunggulan yang membuat waralaba tetap bertahan adalah bahwa bisnis waralaba tidak saja menjual produk, tetapi juga menjual Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Dengan HAKI ini membuat bisnis waralaba tetap bertahan karena tidak mudah ditiru oleh pebisnis lain.

Apapun bisnis yang dilakukan, apapun bentuk kemitraannya, tidak akan terlepas dari cacat celah. Dengan memperhatikan nilai lebih kemitraan waralaba antara usaha besar dengan usaha kecil menengah, tidak berarti di sana tidak ada masalah. Kemitraan waralaba dapat menimbulkan beberapa nilai kurang misalnya:

  1. Franchisee diharuskan untuk membayar royalty fee kepada franchisor untuk penggunaan sistem waralaba. Royalty fee, seyogianya dipandang sebagai balas jasa kepada franchisor dan  sebaiknya dilakukan dengan senang hati sesuai ketentuan yang disepakati.
  2. Adanya kemungkinan ketidakkonsistenan franchisor dalam dukungan kerjasama dan kualitas sesuai kontrak. Jika franchisor dan franchisee secara jujur menjalankan kemitraan waralaba maka kemungkinan tersebut dapat dihindari.
  3. Ketergantungan yang tinggi kepada franchisor sehingga menjadi kurang mandiri. Segala sesuatu di kolong langit ini mesti ada masanya; oleh karena itu perlu disepakati batas waktu yang jelas sehingga franchisee dapat menjadi UKM yang mandiri pada masanya.
  4. Reputasi dan citra bisnis yang diwaralabakan menurun di luarkcontrol franchisor dan franchisee. Di dalam dunia bisnis, ada invisible hand. Tangan yang tidak kelihatan dapat bekerja untuk hal yang positif tetapi mungkin juga negatif. Hal-hal yang terjadi di luar kontrol adalah hukum alam. Business circle mengamanatkan ada ekspansi, ada puncak, ada krisis, ada resesi, ada depresi, tetapi ada pemulihan, recovery. Lingkaran ini adakan berjalan sepanjang bisnis masih tetap berjalan.

MODEL PEMBENTUKAN ENTREPRENEUR

Saat ini Indonesia memiliki banyak usaha kecil dan menengah, tetapi tidak semua pelakunya adalah entrepreneur. Banyak diantara usaha tersebut adalah peninggalan orang tua atau leluhur yang tidak pernah berkembang dan hanya bertahan hidup sebagai usaha subsisten. Dengan demikian tidak heran jika sampai saat ini, berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah entrepreneur Indonesia tidak mencapai dua persen dari jumlah penduduk sesuai teori McCleland untuk memungkinkan perekonomian berkembang dengan baik. Indonesia baru menciptakan 0,87 persen entrepreneur, dan butuh 1,13 persen entrepreneur baru untuk dapat menjamin perkembangan perekonomian Indonesia seperti yang dicita-citakan. Indonesia mesti berjuang untuk dapat menciptakan 2,7 juta entrepreneur baru dalam beberapa tahun ke depan untuk mencapai perkembangan perekonomian yang diharapkan.

Dengan memperhatikan nilai lebih dari bentuk kemitraan waralaba antara usaha besar dengan usaha kecil dan menengah maka diperlukan suatu komitmen bersama, suatu gerakan bersama untuk memanfaatkan model kemitraan usaha besar dengan usaha kecil dan menengah ini sebagai suatu model penciptaan entrepreneur baru di Indonesia. Komitmen atau gerakan bersama ini mesti dipelopori oleh usaha besar dan difasilitasi oleh pemerintah. Kendati peraturan perundang-undangan yang mengatur kemitraan waralaba ini telah ada, tetapi masih dijalankan setengah hati oleh berbagai pihak. Hal ini dikarenakan belum adanya komitmen bersama, gerakan bersama, menjadikan kemitraan waralaba antara usaha besar dengan usaha kecil menengah sebagai model penciptaan entrepreneur di Indonesia.

Jika gagasan ini terlaksana dengan menciptakan kemitraan waralaba setiap tahun pada setiap kabupaten/kota  cukup hanya dengan minimal satu entrepreneur baru, maka dalam setahun telah tercipta tidak kurang dari 500 entrepreneur baru. Dalam 10 tahun ke depan, jika komitmen ini benar-benar terlaksana maka di Indonesia sudah dapat menciptakan 5.000 entrepreneur baru dari bentuk kemitraan waralaba. Ini baru satu bentuk kemitraan. Jika hampir semua bentuk kemitraan dapat berperan secara positif dalam menciptakan entrepreneur baru, maka dalam kurun waktu 20-30 tahun ke depan Indonesia sudah dapat menciptakan lebih dari 2 persen entrepreneur sebagai syarat minimal jaminan perkembangan perekonomian secara layak. Tidak ada yang mustahil. Jika semua komponen bangsa mempunyai komitmen yang kuat untuk membangun perkeonomian bangsa ini terutama dengan menciptakan model kemitraan waralaba antara usaha besar dengan usaha kecil dan menengah maka pada saatnya Indonesia menjadi raksasa ekonomi yang disegani di mata dunia internasional. Semoga.

WACANA PENERAPAN MATA UANG TUNGGAL ASEAN: SEBUAH KOMENTAR

Oleh: Arief Ramayandi dan Ari Tjahjawandita

Ekonom Universitas Padjajaran

Wacana mata uang tunggal ASEAN tidak dapat dipisahkan dari rencana integrasi ekonomi yang dicanangkan dalam visi ASEAN 2020. Walaupun bukan merupakan tujuan utama dari visi tersebut, wacana ini kerap muncul kepermukaan. Hal ini terjadi setidaknya didorong oleh dua hal: (i) Kecenderungan untuk mengacu pada penerapan konsep integrasi ekonomi yang dilakukan oleh Uni-Eropa yang menerapkan mata uang tunggal; dan (ii) penyatuan mata uang merupakan puncak dari konsep integrasi ekonomi.

Integrasi ekonomi di sebuah kawasan pada dasarnya tidak perlu selalu berujung pada penerapan mata uang tunggal di kawasan yang bersangkutan. Harmonisasi kebijakan perdagangan dan koordinasi kebijakan perekonomian dalam sebuah kawasan dapat dilakukan tanpa hadirnya mata uang tunggal. Secara ideal, penerapan mata uang tunggal hanya akan menjadi relevan jika kawasan yang bersangkutan telah memenuhi syarat-syarat yang digariskan oleh teori kawasan mata uang tunggal optimum (optimum currency area/OCA); yang meliputi kecukupan prakondisi politik dan standard kriteria ekonomi tertentu, yang akan dibahas kemudian dalam tulisan ini.

Keuntungan apa yang biasa dinikmati oleh negara-negara anggota sebuah kawasan yang mengadopsi mata uang tunggal? Penetapan mata uang tunggal berpotensi untuk meningkatkan efisiensi kinerja perekonomian anggotanya. Peningkatan efisiensi tersebut muncul lewat beberapa hal, antara lain:

(i) berkurangnya biaya transaksi perdagangan antar negara anggota melalui hilangnya ongkos transaksi mata uang dan resiko nilai tukar yang biasanya mengikuti proses pembayaran dalam transaksi perdagangan antar negara,

 (ii) meningkatnya transparansi harga dari sebuah produk yang dihasilkan oleh Negara-negara berbeda yang ada di kawasan mata uang tunggal yang bersangkutan. Pada kasus Negara-negara uni-Eropa, penurunan ongkos transaksi yang terjadi mencapai 0,25-0,5% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) masing-masing negara anggota Uni-Eropa. Di sisi lain, karena harga-harga produk dinyatakan dalam mata uang yang sama, maka konsumen di kawasan tersebut dapat dengan mudah melakukan perbandingan harga barang sejenis. Oleh karenanya, kemungkinan produsen untuk mengambil keuntungan yang berlebihan menjadi lebih sulit sehingga pada akhirnya konsumen akan diuntungkan. Kedua hal tersebut secara bersamaan akan memiliki efek peningkatan aktivitas perekonomian di negara-negara anggota kawasan mata uang tunggal, yang pada gilirannya akan memiliki efek peningkatan kesejahteraan ekonomi negara-negara tersebut.

Keuntungan lain yang juga mengikuti penerapan sistem mata uang tunggal adalah berkurangnya ongkos pengelolaan kebijakan moneter dari negara-negara kawasan mata uang tunggal tersebut. Hal ini disebabkan oleh terpusatnya pengelolaan kebijakan moneter untuk setiap negara anggota kawasan mata uang tunggal pada sebuah otoritas kebijakan moneter bersama yang diberi mandat oleh seluruh anggota kawasan. Di samping itu, penerapan mata uang tunggal juga memberikan kredibilitas dan disiplin pengelolaan kebijakan ekonomi makro bagi negara-negara anggotanya. Dalam kasus Uni-Eropa, pengelolaan kebijakan moneter ini dilakukan oleh Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) yang diberi mandat oleh seluruh negara anggota Uni-Eropa. Dengan demikian, tugas pengelolaan kebijakan moneter di setiap negara anggota menjadi hilang berikut dengan biaya-biaya yang terkait didalamnya. Bank sentral di setiap negara anggota hanya berfungsi layaknya kantor cabang dari bank sentral pusat yang melaksanakan fungsi sebagai otoritas moneter untuk seluruh kawasan mata uang tunggal tersebut.

Keuntungan terakhir di atas, pada saat yang sama juga merupakan ongkos utama dari penerapan sistem mata uang tunggal. Hilangnya fungsi pengelolaan kebijakan moneter di setiap negara anggota kawasan memiliki implikasi berkurangnya alat/instrumen kebijakan untuk melakukan intervensi dalam pengelolaan ekonomi domestik negara yang bersangkutan. Kemampuan negara tersebut untuk menggunakan kebijakan moneter sebagai alat untuk menstimulasi atau melakukan kontraksi perekonomiannya secara individual menjadi hilang. Posisi kebijakan moneter hanya akan dapat dirubah oleh Bank Sentral kawasan yang memiliki implikasi sama untuk semua negara anggotanya. Dengan demikian, kemampuan masing-masing negara anggota untuk bertindak dalam mengatasi permasalahan ekonomi domestiknya menjadi terbatas pada sisa instrumen pengelolaan kebijakan ekonomi makro yang tinggal padanya saja. Lebih jauh lagi, penerapan kebijakan moneter secara kolektif ini juga menyebabkan restriksi bagi kebebasan pengelolaan kebijakan fiskal oleh masing-masing negara anggota. Keputusan ekspansi atau kontraksi kebijakan fiskal hanya bisa diambil selama hal tersebut tidak mengganggu kestabilan moneter dari negara yang bersangkutan, sehingga tidak memberikan tekanan gangguan bagi kondisi perekonomian negara-negara anggota lainnya.

Diskusi tentang keuntungan dan kerugian dari penerapan kawasan mata uang tunggal di atas membawa kita pada kriteria dari kawasan mata uang tunggal. Kriteria ekonomi yang perlu dipenuhi oleh kawasan optimal bagi penerapan mata uang tunggal setidaknya meliputi aspek aspek sebagai berikut: (i) tingginya intensitas perdagangan antar negara-negara yang terlibat dalam kawasan, (ii) tingginya tingkat kemiripan dari pola siklus ekonomi dan gangguan struktural negara-negara anggota kawasan, baik dari sisi penawaran/produksi, maupun dari sisi permintaan, dan (iii) cenderung konvergennya pola pembangunan ekonomi dari negara-negara yang tergabung dalam kawasan. Konvergensi pola pembangunan ekonomi di sini memiliki arti konvergensi pertumbuhan pendapatan perkapita (PDB perkapita) negara-negara ASEAN, dimana pertumbuhan pendapatan perkapita negara yang relatif sudah maju cenderung tumbuh lebih lambat dari negara yang relatif masih membangun.

Kriteria pertama mutlak diperlukan agar negara-negara anggota kawasan dapat menerima benefit maksimum dari penerapan kawasan mata uang tunggal. Kriteria kedua dibutuhkan untuk meminimumkan terjadinya tekanan pada masing-masing negara anggota untuk melakukan respon kebijakan stabilisasi ekonomi secara individual. Sementara, divergensi tingkat pembangunan ekonomi akan juga cenderung menyebabkan masing-masing anggota untuk melakukan pola kebijakan pengelolaan ekonomi yang cenderung berbeda. Oleh karenanya, untuk menjamin keberlangsungan sebuah kawasan mata uang tunggal, ketiga sarat ekonomi  tersebut haruslah terpenuhi.

Pada kasus negara-negara ASEAN, khususnya untuk kasus Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina; setidaknya dua dari tiga kriteria di atas memberikan indikasi yang cukup baik. Intensitas perdagangan antar negara ASEAN terus menunjukkan kecenderungan yang makin meningkat hingga saat ini. Hal ini didorong oleh komitmen negara-negara ASEAN untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area – AFTA) dan pengalaman buruk pada saat krisis ekonomi Asia di tahun 1997-98. Disamping itu, kecenderungan perkembangan jaringan produksi yang pesat di kawasan ASEAN juga membantu mendorong meningkatnya intensitas perdagangan antar negara-negara anggota ASEAN secara pesat. Kecenderungan pola perdagangan yang terus meningkat dalam hal intensitas ini memberikan peluang besar bagi negara-negara anggota kawasan untuk dapat menerima keuntungan yang relatif tinggi dari proses penyatuan mata uang melalui penurunan biaya transaksi perdagangan dan peningkatan transparansi harga produk yang dihasilkan.

Pola siklus ekonomi dan gangguan struktural terhadap perekonomian di ASEAN juga menunjukkan kecenderungan yang makin hari makin sinkron satu dengan lainnya. Siklus kelesuan dan percepatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN cenderung berkorelasi tinggi dan terjadi pada saat yang cenderung bersamaan. Hal ini juga ditopang oleh signifikannya korelasi positif dari gangguan struktural terhadap ekonomi negara-negara Asia, khususnya setelah periode krisis keuangan Asia di tahun 1997-98. Miripnya pola gangguan struktural yang terjadi di negara-negara anggota ASEAN tersebut menyebabkan reaksi kebijakan yang akan diambil untuk mengatasi gangguan struktural terhadap masing-masing ekonomi tersebut juga menjadi cenderung serupa. Oleh karenanya, negara-negara ASEAN cenderung berpotensi untuk meraup keuntungan dari penerapan mata uang tunggal melalui peningkatan efisiensi yang dihasilkan oleh harmonisasi kebijakan moneter di kawasan tersebut.

Dari sisi kriteria ekonomi, hambatan utama bagi diterapkannya mata uang tunggal di ASEAN muncul dari tingkat pembangunan ekonomi negara-negara ASEAN yang masih cenderung tidak seragam (tidak menunjukkan konvergensi). Walaupun kesenjangan tingkat pembangunan ekonomi ke-5 negara ASEAN tersebut di atas akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan yang makin mengecil, hal ini tetap akan menyebabkan insentif untuk mengejar tingkat pertumbuhan tinggi dengan menstimulasi perekonomian melalui kebijakan moneter ataupun fiskal tetap relatif tinggi. Aspek ini akan menyebabkan sulitnya menjaga komitmen yang solid untuk mempertahankan kesepakatan mata uang tunggal bagi negara-negara anggota. Dengan demikian, jika penetapan mata uang tunggal tetap dipaksakan untuk dilaksanakan tanpa diikuti desain dan komitmen yang mapan, hambatan ekonomi ini akan dapat mengancam keberlangsungan kesepakatan mata uang tunggal tersebut. Sebagai ilustrasi, krisis anggaran yang terjadi di negara-negara Uni-Eropa mengikuti krisis keuangan global yang baru saja terjadi sempat memunculkan wacana yang cukup sengit tentang keberlangsungan kawasan mata uang tunggal di Eropa.

Hambatan yang lebih besar muncul dari sudut pra-kondisi politik untuk mendukung terbentuknya kawasan mata uang tunggal di ASEAN. Pra-kondisi politik ini berkaitan dengan kesiapan negara-negara anggota ASEAN untuk membentuk sebuah institusi trans-nasional yang memiliki kredibilitas cukup untuk mendukung komitmen negara-negara anggota dalam mempertahankan keberadaan mata uang tunggal. Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan tersumbatnya jalur pra-kondisi politik ini untuk mendukung penerapan kawasan mata uang tunggal di ASEAN.

Pertama, penentuan negara atau mata uang jangkar yang dapat secara bersama diterima sebagai acuan bagi penetapan kebijakan moneter komunal bagi seluruh negara anggota. Berbeda dengan kondisi negara-negara Uni-Eropa yang memiliki Jerman, yang dianggap relatif sukses dalam menstabilkan inflasi pada tingkat yang relatif rendah untuk jangka waktu yang panjang, sebagai negara jangkar bagi penetapan kebijakan moneter komunal negara-negara anggotanya pada saat mata uang tunggal Eropa diberlakukan; ASEAN tidak memiliki figur serupa dalam kawasannya. Hal ini akan menyebabkan alotnya proses negosiasi yang akan terjadi jika negara-negara ASEAN berniat untuk mewujudkan kawasan mata uang tunggal dalam waktu dekat. Lebih jauh lagi, proses negosiasi yang alot dan panjang tersebut sangat mungkin berakhir pada ketidaksepakatan negara-negara anggota untuk memberikan dukungan penuh atas penetapan kawasan mata uang tunggal tersebut.

Kedua, upaya untuk membentuk kawasan mata uang tunggal di ASEAN juga perlu didukung oleh persyaratan-persyaratan yang mengikat bagi anggotanya untuk bekerja sama secara transparan dalam pertukaran informasi tentang perkembangan ekonominya masing-masing. Hal ini dapat terjadi secara natural apabila masing-masing negara anggota memang melihat benefit bersih positif yang cukup besar bagi mereka untuk melakukan hal tersebut. Bila kondisi ini tidak terpenuhi, maka perlu dibuat sebuah sistem insentif tertentu yang mengikat setiap anggota untuk melakukan hal tersebut. Masalah-masalah di atas bertambah rumit bila memperhitungkan 5 (lima) negara anggota ASEAN lainnya: Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam; atau memperluasnya lebih jauh menjadi ASEAN+3 berikut: Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Tidak terpenuhinya kondisi ini dapat memberikan komplikasi bagi upaya-upaya pembentukan desain struktur insentif yang bersifat mengikat dalam menunjang proses pembentukan infrastruktur bagi kawasan mata uang tunggal.

Berdasarkan perkembangan di atas, nampaknya masih terlalu dini bagi negara-negara ASEAN untuk secara serius melangkah pada implementasi dari wacana pembantukan kawasan mata uang tunggal. Walaupun sebagian pra-kondisi ekonomi untuk pembentukan kawasan mata uang tunggal telah secara berlanjut makin terpenuhi, disparitas tingkat pembangunan ekonomi negara-negara anggota ASEAN sendiri nampaknya masih akan tetap muncul sebagai hambatan. Lebih jauh lagi, pra-kondisi politik dari proses ini juga nampaknya masih merupakan hambatan besar bagi munculnya capaian konkrit ke arah ini dalam waktu dekat. Oleh karenanya, wacana pembentukan kawasan mata uang tunggal di ASEAN masih cenderung merupakan sebuah target jangka panjang yang belum perlu digarap secara terburu-buru. Bila melihat pengalaman negara-negara Uni-Eropa, mereka memulai integrasi ekonomi berdasarkan Perjanjian Roma tahun 1957, dan mulai menggunakan mata uang Euro secara giral tahun 1999 dan kemudian diikuti secara kartal pada tahun 2002. Artinya, Uni-Eropa membutuhkan waktu paling tidak 1945 tahun sampai pada tahap benar-benar menggunakan sistem mata uang tunggal.

Menimbang hambatan-hambatan penerapan sistem mata uang tunggal ASEAN di atas, mengapa wacana pembentukan kawasan mata uang tunggal di ASEAN masih tetap relevan sebagai sebuah target jangka panjang? Perkembangan terakhir dari kecenderungan pola interaksi perekonomian yang terjadi di ASEAN cenderung menunjukkan bahwa wacana ini, pada saatnya nanti, secara alamiah akan dapat memberikan keuntungan bersih bagi setiap negara anggota ASEAN. Lantas apakah yang dapat dilakukan negara-negara ASEAN sekarang jika tidak perlu terburu-buru melangkah ke arah penetapan mata uang tunggal di kawasan? Langkah utama yang perlu dilakukan adalah peningkatan harmonisasi kebijakan ekonomi makro dan moneter di kawasan ASEAN. Hal ini dapat membantu negara-negara anggota ASEAN untuk meningkatkan manfaat yang bisa diterima dari pola perkembangan ekonomi kawasan yang makin lama makin terintegrasi. Proses integrasi moneter dan keuangan yang didasarkan pada inisiatif Chiang Mai perlu digarap lebih serius secara bersama-sama. Hal ini telah mendapatkan dukungan lebih jauh dari negara-negara anggota ASEAN dalam pertemuannya di Vietnam April lalu. Kesepakatan untuk membentuk embrio dari badan keuangan ASEAN yang tercapai dalam pertemuan tersebut merupakan indikasi kuat atas makin sadarnya para pemimpin negara di kawasan tentang pentingnya harmonisasi kebijakan dalam rangka pengelolaan ekonomi makro.

Sebagai penutup, negara-negara ASEAN perlu meningkatkan intensitas kerjasama dalam hal harmonisasi sektor moneter dan keuangan. Hal ini amat dibutuhkan guna menunjang proses integrasi ekonomi negara-negara tersebut sendiri. Harmonisasi sektor moneter dan keuangan antar negara-negara ASEAN akan dapat membantu meningkatkan benefit bersih dari proses integrasi ekonomi yang tengah berlangsung. Jalan menuju penetapan mata uang tunggal masih panjang. Saat ini, lebih produktif untuk negara-negara ASEAN untuk meningkatkan proses koordinasi kebijakan moneter dan keuangannya, dengan menyimpan kawasan mata uang tunggal sebagai tujuan jangka panjang.

MENGGALI DOKTRIN DASAR EKONOMI DALAM UUD 1945

Oleh: Toto Gunarto

Dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Lampung

Salah satu tujuan membentuk Negara Indonesia termuat dengan jelas dalam alinea keempat Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu seyogyanya pemerintah Indonesia mengelola perekonomian sesuai dengan apa yang diatur dalam konstitusinya. Krisis yang kita alami merupakan momentum bagi pemerintah Indonesia untuk kembali pada sistem ekonomi yang sesuai dengan konstitusi .

Ekonomi Konstitusi

Kajian konstitusi ekonomi menjadi penting saat ini, karena selama ini Indonesia belum menjadikan konstitusi sebagai rujukan perekonomian nasional. Ekonomi konstitusi merupakan  sistem ekonomi yang didasarkan kepada ketentuan yang telah diatur oleh konstitusi suatu negara.

Cabang ilmu ekonomi ini terutama dikembangkan oleh James Buchanan, pemenang Nobel Ilmu Ekonomi tahun 1986. Buchanan mempelajari kendala yang ditimbulkan konstitusi pada sektor ekonomi. Ilmu ekonomi standar tidak mempelajari kendala lain, misalnya terkait dengan pengendalian diri.

 

Ekonomi Indonesia  yang Sesuai Dengan UUD 1945

Konstitusi Indonesia telah  mengatur sejak soal penguasaan dan kepemilikan kekayaan sumber daya alam, hak milik perorangan, hingga peran negara dan dalam kegiatan usaha. Sistem ekonomi tidak saja berdasarkan hanya kepada pasal 33 UUD 1945, baik yang asli maupun setelah perubahan, sebagai paradigma pengelolaan ekonomi seperti yang banyak dipahami oleh masyarakat tetapi juga dalam beberapa pasal lain dalam UUD 1945 yang mengatur tentang paradigma kewajiban sosial Negara kepada masyarakat.

Pengelolaan ekonomi seperti yang diatur dalam pasal 33 UUD 1945 adalah :

  1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
  2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
  3. Bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesart-besarnya untuk kemakmuran rakyat
  4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional

Pasal 33 UUD 1945 menekankan politik perekonomian untuk mencapai kemakmuran rakyat. Yang dimaksudkan dengan kemakmuran tidak lain adalah kemampuan pemenuhan kebutuhan material atau kebutuhan dasar. Ukuran untuk membuktikan berhasil tidaknya politik kemakmuran dan politik perekonomian adalah amanat  UUD 1945, yaitu peningkatan kemakmuran rakyat sebesar-besarnya, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab jika kemakmuran perorangan yang diutamakan, maka tampuk produksi akan jatuh ke tangan perorangan yang berkuasa. Jika ini terjadi maka rakyat yang jumlahnya banyak akan ditindasinya.

Perekonomian harus berdasar demokrasi ekonomi, yaitu kemakmuran bagi semua orang. Bumi dan air dan kekayaan alam adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sehingga harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bung Hatta menggambarkan ukuran dari pencapaian kemakmuran rakyat adalah sebagai berikut:

“Negeri belumlah makmur dan belum menjalankan keadilan sosial, apabila fakir miskin masih berkeliaran di tengah jalan, dan anak-anak yang diharapkan akan menjadi tiang masyarakat di masa datang terlantar hidupnya.”

Pasal 23 UUD 1945 perubahan mengatur tentang APBN yg mengatur penggunaannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tegas dinyatakan  APBN adalah untuk kesejahteraan rakyat. Oleh karenanya kewajiban untuk menjamin kebutuhan dasar, memberikan penghidupan yang layak lewat lapangan kerja, dan sebagainya seharusnya tercermin dalam alokasi APBN. Hingga saat ini APBN tidak  mengalokasikan anggaran untuk memenuhi kewajiban tersebut. Kewajiban negara untuk menciptakan lapangan kerja, misalnya, telah diserahkan kepada swasta dengan kewajiban Negara menciptakan iklim usaha yang baik

Pasal 27 UUD 1945 yang menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi tiap-tiap warga negara Indonesia. Banyak jalan untuk menciptakan lapangan kerja. Indonesia adalah salah satu penghasil beberapa komoditas pertanian dan pertambangan  terbesar dunia. Tetapi pemerintah mengambil  kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat. Contoh, Indonesia penghasil kayu dan rotan yang besar di dunia yang dihasilkan dari Indonesia Timur. Tetapi pemerintah tidak mengambil kebijakan industri pengolahan berbasis kayu dan rotan, yang dapat menciptakan lapangan kerja sekaligus memberikan penghidupan yang lebih layak bagi masyarakat. Dengan demikian juga akan mengurangi kesenjangan pembangunan antara  wilayah Indonesia Timur dengan Indonesia Barat.

Pasal (28) disebutkan bahwa rakyat memiliki hak untuk dipenuhi hak-hak dasarnya oleh negara. Pasal (31) dijelaskan negara bertanggung  jawab atas hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan dan pemerintah menjamin anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Pasal (34) juga ditekankan bahwa fakir miskin dan anak telantar memiliki hak untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar dari negara.

Pasal (23) menegaskan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban tersebut, pengelolaan anggaran dan keuangan harus diprioritaskan untuk kesejahteraan rakyat. Melihat makna pasal-pasal tersebut dalam konstitusi kita semakin jelas bagi kita mengapa pendiri republik ini menegaskan bahwa negara harus menguasai berbagai sumber daya alam (SDA) strategis seperti yang dituangkan dalam pasal 33 UUD 1945. Hal ini karena tugas sosial-ekonomi negara terhadap rakyat sangat berat sehingga akan mengandalkan SDA sebagai sumber pembiayaannya.

Jalan Menuju Ekonomi Konstitusi

Sebelum dilakukan perubahan UUD 1945, undang-undang tidak dapat diuji, karena belum ada lembaga dan mekanisme untuk menguji konstitusionalitas Undang-undang. Akibatnya, undang-undang tidak dapat diganggu gugat kecuali lembaga pembuat undang-undang–Dewan Perwakilan Rakyat—yang merubah. Dalam UUD 1945 perubahan keempat pasal 24 ayat 2, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal 26 c UUD 1945 perubahan ayat 1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.

Kini segala undang-undang yang terkait dengan kebijakan ekonomi jika tidak sesuai dengan konstitusi dapat diajukan pembatalannya melalui Mahkamah Konstitusi. UU Kelistrikan dan beberapa pasal dari UU Migas pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, sebab dianggap bertentangan dengan UUD 1945, terutama pasal 33. Sekarang para perumus kebijakan di bidang ekonomi harus memerhatikan rambu-rambu konstitusi. Masyarakat juga harus memperhatikan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan ekonomi dan kesejahteraan dan mengajukannya ke Mahkamah Konstitusi jika dirasa bertentangan dengan UUD 1945, sehingga perekonomian Negara dikelola sesuai konstitusi .

 

Undang-undang Demokrasi Ekonomi

Demokrasi ekonomi merupakan konsep yang digagas oleh para pendiri negara Indonesia. Mereka telah menggagas konsep demokrasi ekonomi untuk menemukan sebuah bentuk perekonomian yang tepat dan sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Menurut Sritua Arief, demokrasi ekonomi mengandung konsekuensi moral, tetapi secara khusus disoroti sebagai bentuk perpaduan antara politik, ekonomi, dan moral kultural. Sistem politik, ekonomi, dan moral kultural bekerja secara dinamis, seimbang, dan tidak saling mensubordinasikan sehingga masing-masing berinteraksi secara baik.

Dalam pasal 33 UUD 1945 perubahan, secara jelas dikatakan sistem ekonomi Indonesia diselenggarakan berdasarkan  demokrasi  ekonomi.  Dalam rangka mewujudkan demokrasi ekonomi tersebut, DPR RI pernah membahas Rancangan Undang-undang tentang Demokrasi Ekonomi. RUU ini oleh para wakil rakyat dimaksudkan untuk menyelenggarakan Perekonomian Nasional sebagai usaha bersama dengan mengutamakan kepentingan rakyat banyak untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Para wakil rakyat yang membidangi masalah ini telah berkeliling keberbagai Negara dan kampus di berbagai daerah, namun hingga kini tidak lagi terdengar suara anggota dewan yang terhormat yang membicarakan tentang demokrasi ekonomi yang diamanahkan oleh konstitusi kita.

Ekonomi  Konstitusi Menuju Demokrasi Ekonomi

Demokrasi ekonomi yang akan dirumuskan melalui RUU Demokrasi Ekonomi hendaklah tidak menyimpang dari beberapa pasal dalam konstitusi kita yang telah mengatur sistem pengelolaan ekonomi dan kewajiban sosial Negara kepada masyarakat. Momentum krisis ekonomi yang telah kita alami dan keluhan masyarakat tentang sulitnya beban hidup saat ini dengan sulitnya memperoleh pekerjaan karena terbatasnya lapangan kerja dan dalam rangka menyambut kemerdekaan RI yang ke-65 hendaknya  kita semua menyuarakan akan pentingya Negara Indonesia kembali pada ekonomi konstitusi. Perekonomian yang semakin menyimpang dari tujuan pembentukan negara Republik Indonesia terjadi salah satunya karena ekonomi tidak dijalankan sesuai jalan ekonomi konstitusi. Jadi, tidak ada pilihan lain kecuali melakukan koreksi terhadap arah kebijakan ekonomi dan kembali menjadikan UUD 1945 sebagai acuan pokok.

Demikianlah bahwa konstitusi menjadi landasan hidup bersama dalam satu masyarakat besar, multi-etnik, multi-kultur, multi-religi, kehidupan dengan keragaman tinggi. Konstitusi menjamin kemerdekaan setiap individu, tetapi ada batasnya sedemikian sehingga tidak mengurangi kemerdekaan orang lain. Masalah ini banyak dibahas dalam disiplin constitutional politics. Kemerdekaan produksi polutif pasti mengganggu orang lain, sehingga perlu pembatasan melalui peraturan atau UU.

Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Kelistrikan dan beberapa pasal dari UU Migas, sebab dianggap bertentangan dengan UUD 1945, terutama pasal 33. Selain itu disebut bahwa dalam banyak UU, pasal 33 hanya ditafsirkan dengan konsep ekonomi pasar. Dengan menyimak argumen MK sebagaimana dilaporkan oleh koran ibukota medio Desember 2004, dapat disimpulkan beberapa pengertian ekonomi dalam UUD yang perlu dibahas lebih jauh: 1) pasal-pasal ekonomi dalam UUD, 2) ekonomi pasar dan UUD, 3) arti dan tafsir perkataan “negara menguasai”.

POTRET EKONOMI DAN PEMBANGUNAN INDONESIA

Oleh: Sujianto

Dosen FISIP Universitas Riau

A.     Pengantar.

Sebelas tahun sudah perubahan administrasi pemerintahan dan kebijakan desen-tralisasi sudah dijalankan, otonomi daerah pun dilakukan, sebagai bukti kita melakukan reformasi untuk kesejahteraan negeri ini. Tetapi, keadaan ekonomi negeri ini tidak bergeser dari angka 5-6 %, bahkan mengalami penurunan, karena para pimpinan sibuk dengan diskusi politik yang tidak berarti. Bahkan menghabiskan energi. Hal ini karena diskusi hanya untuk popularitas pribadi. Lihat saja diskusi tentang Century, diskusi tentang kenaikkan harga dasar listrik, dan sejenisnya. Semuanya hanya tinggal dalam bentuk dokumen. Pemerintah tidak perduli terhadap seruan dan hasil diskusi anggota dewan yang duduk di gedung DPR yang tinggi. Investor yang diharapkan tidak pernah kunjung datang. Padahal mereka diharapkan menanamkan modalnya di tanah air yang selalu dipuji dan disanjung sebagai negara manik batu manikan terhampar di garis khayal yang namanya katulistiwa.

Sementara Presiden sudah datang di negara-negara lain, untuk merayu agar mereka mau bekerjasama dan menanamkan modalnya di negeri ini. Mereka pun menjawab bagaimana mau menanamkan modal kalau setiap hari elit, buruh, anggota masyarakat bercakap dan bertengkar setiap hari untuk mengeruk harta negara ini, demi keperluan pribadi bukan untuk rakyat yang disayangi.

Sejak reformasi pada tahun 1999 hingga tahun 2010 yang kini sudah memasuki bulan ke tujuh dan akan memasuki bulan ke delapan, tetapi ekonomi rakyat terus terjungkal di tepi jalan kehancuran dan ketidakberdayaan untuk membeli kebutuhan barang pangan. Barang-barang kebutuhan dasar masyarakat naik, sementara pendapatan rakyat tidak naik. Lapangan kerja semakin hari semakin berkurang, tempat usaha kecil diserang oleh polisi yang tidak punyai peraturan yang jelas dan terang. Pengusaha dari negeri luar tidak kunjung datang, pengusaha dalam negeri pun hendak gulung tikar. Kenaikkan harga dasar listrik setiap tahun mengalami peningkatan. Kata Dahlan Iskan (Dirut PT. PLN), kenaikan itu untuk kepentingan rakyat yang ia sayangi, agar subsidi yang dibuat pemerintah tepat mengenai orang yang sewajarnya harus diberi. Bukan keadaan seperti sekarang ini, orang kaya mendapat subsidi, orang kecil mendapat maki. Karena menuntut setiap hari melalui demontrasi yang dibiayai.

 Akibat kenaikan harga dasar listrik semua harga barang naik, karena pengusaha tidak mau rugi, pemerintah pun tidak mampu untuk memberi subsidi. Apatah lagi untuk memberi kaum miskin, yang jumlahnya setiap hari bertambah menjadi-jadi di negeri ini. Sementara itu wakil rakyat di gedung DPR tidak perduli. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran anggota DPR dalam berdiskusi, untuk kepentingan rakyat dan negeri ini, selalu bolos seperti tidak tahu diri, bahwa di pundaknya ada kewajiban yang harus ditaati.

Berdasarkan ungkapan kata dan kenyataan ada, kondisi ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana potret atau keadaan ekonomi dan pembangunan negeri ini di masa yang akan datang? Menjawab pertanyaan ini tidak perlu berteori. Berdasarkan pengalaman selama sepuluh tahun ini, pemerintah hanya dapat berjanji akan melakukan perbaikan di sana-sini. Tetapi kenyataannya tidak pernah terealisasi apa yang menjadi visi dan misi kabinet sekarang ini.

  Setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga dasar listrik untuk kelompok pengguna tenaga listrik di atas 900 W. Reaksi pasar, baik yang berskala kecil, menengah dan besar, cenderung negatif. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan harga-harga keperluan dasar rata-rata naik antara 10 -35 % per satuan. Sementara penghasilan kelompok masyarakat menengah ke bahwa  tidak mengalami kenaikan. Dalan jangka beberapa bulan akan ada tuntutan kelompok pekerja, agar penghasilan mereka dinaikkan supaya dapat menyesuaikan dengan harga pasar. Secara kumulatif akan terjadi inflasi antara 5 – 10 % persen di awal bulan Agustus dan September 2010. Perhitungan ini didasarkan oleh kenaikan harga dan kenaikan permintaan menjelang bulan Ramadhan dan menyambut Lebaran.

Kenaikan harga dasar tarif listrik (HDTL) yang dilakukan oleh pemerintah pada hari ini tidak  memberikan kontribusi kenaikan ekonomi dan pengurangan beban pemerintah untuk mengatasi atau membantu persoalan masyarakat yang berskala kecil. Kenaikan HDTL itu memicu kelumpuhan pengusaha kecil dan menengah, karena menambah beban biaya pokok produksi yang mereka lakukan. Sebagaimana difahamkan bahwa sebagian besar pelaku ekonomi kita hari ini bertumpang pada pelaku ekonomi kecil dan menengah. Kelompok pelaku ekonomi ini selain jumlahnya banyak, mereka juga menggunakan modal padat karya. Jika jumlah ekonomi kecil menengah sekarang ini hampir dua pertiga dari jumlah pelaku ekonomi yang ada sekarang. Ini berarti jumlah penduduk yang bergantung dengan ekonomi kecil dan menengah juga berjumlah dua pertiga dari jumlah penduduk. Tentu kenaikan HDTL yang tadinya bertujuan untuk membantu masyarakat kecil, tidak memberikan manfaat apa-apa. Contoh, apabila subsidi listrik yang diperoleh oleh kelompok masyarakat kecil hanya 5 % dari keperluan hidup mereka, sementara kenaikan harga barang pokok lain mencapai 10 hingga 15 %. Artinya mereka harus menambah biaya hidup dalam satu bulan 5 – 10 %.

Dengan demikian target kenaikan pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah  antara 6 – 7 %, tidak memberikan dampak yang berarti terhadap tingkat keperluan hidup masyarakat, karena beban hidup masyarakat  mengalami kenaikan antara 10 – 15 %. Begitu juga dengan target penurunan pengangguran yang ditetapkan oleh pemerintah 5 – 6 %, tidak akan pernah tercapai. Karena pengusaha kecil dan menengah  dengan kenaikan HDTL yang mencapai 18 % akan menjadi beban harga pokok produksi, dan ini akan mengurangi daya saing pengusaha kecil dan menengah, secara tidak langsung mereka akan mengurangi tenaga kerja atau tutup (gulung tikar) karena tidak mampu untuk biaya produksi. Muara dari semua peristiwa tersebut adalah akan memberikan kontrsibusi kenaikkan prosentasi masyarakat miskin.

 Agar pembangunan ekonomi ke depan tidak mengalami masa suram, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah sebagai berikut; Pertama, menggalakan pasar dalam negeri dan mengoptimalkan pengolahan bahan yang bersumber dari bahan dalam negeri. Kedua, perlu melakukan reinventarisasi sumber-sumber kekayaan alam dan pengelolaannya dilakukan oleh negara. Ketiga, perlu melakukan penataan ulang pengeluaran yang tidak memberikan konstribusi pendapatan negara, seperti  BUMN-BUMN yang menjadi beban negara ditutup saja. Keempat, penggalian potensi ekonomi dalam negeri, dengan mengoptimalkan pelaksanaan kegiatan di daerah-daerah, dan memberikan kewenangan kepada daerah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kelima, mengurangi perjalanan dinas bagi pejabat daerah dan pusat baik dalam maupun luar negeri. Karena selama ini studi banding yang dilakukan oleh pejabat tidak memberikan konstribusi apapun kepada kemajuan ekonomi baik skala nasional maupun regional. Kepala-kepala daerah yang bandel dan selalu melakukan perjalanan dan meninggalkan tempat tugas perlu ditindak tegas. Karena perjalanan yang mereka lakukan menggunakan dana atau uang rakyat yang diakomodir dalam APBN/APBD.

Keenam, perlu mengevaluasi RAPBN/RAPBD yang akan datang, agar tidak memasukkan biaya perjalanan dinas atau studi banding. Pemerintah perlu melakukan inventarisasi semua lahan dan mengklaisifikasikan sesuai dengan peruntukan seperti; lahan milik negara, lahan milik daerah, lahan milik rakyat, lahan milik perusahaan swasta. Jangan mengeluarkan izin pengolahan kayu yang merupakan sumber pengahsilan rakyat. Pembukaan lahan perkebunan di daerah-daerah secara besar-besarkan akan mengakibatkan jurang kemiskinan yang semakin jelas. Karena rakyat kecil yang ada di sekitar kawasan perkebunan hanya menjadi buruh dan penonton. Sementara dana hampir 75 % menguap ke pusat dan pemilik modal.