Category Archives: Mata Mahasiswa

SDM, Permodalan, dan Akses Pasar adalah Kelemahan UKM

Persoalan sukses atau tidaknya suatu usaha tentu tidak terlepas dari sumber daya manusianya. Begitu juga dengan pemberdayaan usaha kecil dan menengah (UKM) kualitas SDM (sumber daya manusia) perlu diperhatikan. Menurut Ir. Agus Muharam, Deputi V Kementerian UKM dan Koperasi   dalam acara Bincang Malam Mata Mahasiswa pada episode 22 Agustus lalu, masalah yang pertama soal kualitas SDM dan pemberdayaan UKM, adalah mental,  attitude, mindset lulusan perguruan tinggi masih job seeker, harusnya dirubah menjadi job creator.  Kedua, yang bergelut di mikro ini umumnya masih lulusan SLTP dan SLTA, yang ketiga lemah dalam skill penguasaan bahasa Inggris ataupun komputer, yang keempat mereka masih lemah dalam jaringan bisnis, yang kelima mereka lemah dalam membaca peluang baik mikro maupun makro.

Pemaparan itu disampaikan dalam acara yang tiap Senin malam, pukul 22.00 WIB ditayangkan di TVRI, narasumber lainnya juga hadir, Muhammad Firmansyah dari Kadin, Ismet Hasan Putro dari Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HPPI). Dari kalangan mahasiswa, hadir Bachtiar Rizky Akbar dari Fakultas Ekonomi Universitas Bakrie, Rudi Gani, Ketua Umum Badko HMI Jabodetabek, dan Lodofitus Dando dari Persatuan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKRI).

Muhammad Firmansyah sepakat apa yang disampaikan Agus Muharam. Menurutnya, Kadin sangat konsen terhadap UMKM, malah Kadin sudah melaksanakan training-training di Jakarta, di daerah, maupun luar negeri. Pemerintah masih perlu keberpihakan pada UMKM karena masih lemah baik permodalan, teknologi, maupun jaringan.

Sementara Ismed Hasan Putro mengungkapkan, dalam dunia usaha itu matahari tidak selalu member warna pelangi yang indah, bisa saja jatuh dan bangkrut saat itu juga. UMKM itu perlu dapat perhatian tapi jangan mendikte. Ada dua hal kelemahan yang perlu  disoroti mengenai kelemahan UKM yaitu permodalan dan akses pasar. Di pasar basah yang dihuni oleh UKM   sulit dapat modal dari perbankan. Ada juga yang bisa membuat produk yang bagus tapi kesulitan mengakses pasar. Di sini  harus bahu membahu baik pemerintah, kadin, HIMPI, HPPI untuk memberi peluang usaha yang seluas-luasnya.

Sedangkan Bachtiar Rizky Akbar mengatakan, harus dilihat dari pendidikan terlebih dahulu.  Dari SD sudah dididik untuk menjadi job seeker bukan job maker. Mental wirausaha itu harus ditanamkan melalui pendidikan. Menurutnya lagi,  peserta didik harus diberi mental, belajar networking, dan juga ada praktek.

Rudi Gani menilai di dalam organisasinya sudah konsen terhadap UKM. Yang dikritisi olehnya soal sistem  ekonomi Indonesia yang neoliberal yang mengedepankan usaha swasta dan menyampingkan usaha kecil (UKM). Keadaan UKM sekarang ini masih jauh dari harapan, belum ada keberpihakan dari pemerintah.  Diakuinya memang ada grand design untuk UKM tapi hanya pada tataran teori pada prakteknya tidak ada.

Sementara, Lodofitus Dando memaparkan, hasil penelitian PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menyebutkan bahwa kemajuan sebuah bangsa 90% ditentukan oleh SDM   dan 10% oleh SDA. Indonesia  memiliki SDA yang melimpah, tapi kalau SDM-nya minim itu tidak berarti. Kedua, bahwa UMKM ini hanya bermodalkan mental saja. Krisis Eknomoni tahun 1997-1998 itu dibangun kembali oleh UMKM, pemerintah seharusnya memperhatikan hal ini.

Dari pandangan para mahasiswa itu, Agus Muharam menyikapi tentang UMKM. Menurutnya, UMKM  itu, pertama adalah pondasi, dindingnya adalah usaha menengah, atapnya adalah usaha besar. Kalau terjadi badai krisis yang kena lebih dulu adalah atapnya. Kalau sudah kena UMKM hancurlah ekonomi karena yang kena adalah pondasinya. Yang kedua adalah kewirausahaan harus diberikan sejak kecil. Terobosan yang sudah dilakukan Kementerian UKM dan Koperasi adalah   melalui pelatihan dan pendidikan, yang kedua melalui injeksi modal, yang ketiga adalah bagaimana membuka pasar, yang keempat bagaimana melakukan input teknologi, yang kelima adalah kemitraan.

Sementara Muhammad Firmansyah mengatakan, di Kadin banyak pengusaha besar yang membantu usaha kecil, seperti menjadi bapak angkat. Hanya saja, ada yang terekspos, ada yang tidak. UMKM ini jumlahnya besar, kontribusinya terhadap PDB di atas 30%,  usaha besar 40%, bedanya sedikit. Ini harus ada bantuan modal, pasar, jaringan, termasuk hal-hal yang non structural seperti pungutan, barang illegal, dan perundangan. “UMKM itu modal saja kecil ditambah pungutan makin repot,” kilahnya lagi.

Ismed Hasan Putro menambahkan, masalahnya ada di pemerintah, karena  yang pertama adalah inkonsistensi, Kementrian UKM dan Koperasi mengatakan kita dukung UKM, tapi di sisi lain pemerintah daerah mengusir usaha kecil dari tempatnya dengan alasan ketertiban dan lainnya. Yang kedua, tidak ada insentif dari pemerintah, sekarang kita baru mendengar dari Dirjen pajak, UKM akan dikenakan pajak. Ada 21 perusahaan migas menunggak pajak sepuluh tahun, jumlahnya triliunan rupiah.   Satu sisi   UKM digenjot supaya bisa bersaing dengan luar, sisi lain pemerintah sangat mudah untuk member ijin barang China masuk. “Jadi dimana konsistensinya? Tadi UMKM diibaratkan lantai karena lantai terus diinjak. Yang pengusaha besar yang diasumsikan atap, malah dikasih pinjaman modal, makanya kredit macet BLBI Rp 600 triliun tidak jelas,” ungkapnya.

“Ke Depan Koperasi Harus Menjadi Kekuatan Daya Saing”

Bulan Juli ini merupakan bulan koperasi karena tanggal 12 Juli 2011 lalu adalah hari lahirnya Koperasi Indonesia ke-64. Berkaitan dengan itu, Menteri Koperasi dan UKM, Dr. Syarif Hasan hadir dalam acara Bincang Malam Mata Mahasiswa yang ditayangkan TVRI pada 11 Juli 2011.

 

Ia mengatakan, Koperasi dan UKM yang ada di kementeriannya merupakan soko guru perkenomian Indonesia. Hampir boleh dibilang Koperasi dan UKM ini berada di sektor grass root ekonomi.  Bisnis-bisnis yang dijalankan oleh rakyat Indoensia itu kebanyakan dari unsur koperasi dan UKM. Kalau dilihat, koperasi di Indonesia selama 2 tahun terakhir mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Sekarang ini sudah mencapai 186.964 unit,  kalau dibandingkan tahun 2009 itu ada 154.900 unit, itu ada peningkatan kurang lebih 31,9%.

 

“Artinya terjadi pergerakan ekonomi di sektor koperasi. Dari pergerakan ekonomi tersebut kurang lebih menghasilkan sekitar Rp 95 triliyun volume usaha. Belum lagi di sektor UKM. Koperasi ini  berbasis anggota, sekitar 30,5 juta anggota terdaftar di koperasi. Semua lini usaha ada di koperasi dari pertanian, perikanan, perkebunan, simpan pinjam juga ada,” ungkapnya lagi.

 

Dalam acara yang ditayangkan tiap Senin malam pukul 22.00 WIB, juga hadiri sebagai nara sumber lain adalah Atep Sugandi (Komisi VI DPR RI), Prof. Dr. Ruli Indrawan (Rektor Institut Koperasi Indonesia-IKOPIN), dari kalangan mahasiswa hadir Gilar Rosandini (Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang), Risnanda (Fakultas Ekonomi Universitas Prof. Mustopo, Jakarta), dan Matingan Sirait (Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Indonesia, Jakarta).

 

Menyikapi hal itu, Atep Sugandi memaparkan koperasi itu berdasarkan UUD 45 pasal 33 bahwa ekonomi itu dibangun bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Ekonomi itu dibangun atas tiga pilar, yakni: badan usaha milik negara, badan usaha milik swasta, dan badan usaha milik koperasi. Badan usaha milik koperasi ada menterinya. BUMN ada menterinya. Badan usaha milik swasta gak ada menterinya, tapi mereka bisa lebih massif. UU No. 25 tahun 1992 tentang perkoperasian oleh DPR telah dibahas dengan pemerintah untuk diperbaharui, karena koperasi itu dinamis. Bayangkan negara Amerika yang liberal koperasinya lebih maju dari kita. Dari data kemiskinan itu menurun dan ini karena peran koperasi.

 

Sementara, Ruli Indrawan mengatakan saat krisis tahun 1997, banyak pengamat asing yang bilang akan banyak bayi mati, banyak pengangguran, akan terjadi krisis yang sangat hebat. Faktanya tidak, karena koperasi sangat berperan penting saat itu. Ke depan, koperasi harus dipandang dalam perspektif yang baru juga. Ke depan yang perlu disikapi secara kolektif oleh bangsa ini adalah pasar bebas. Bahwa tidak mungkin untuk bersaing head to head, tidak mungkin usaha kecil bersaing dengan barang impor. Koperasi menjadi pembangun kekuatan daya saing. Koperasi juga mempunyai peran dalam upaya memberdayakan. Karena bagaimana pun juga dalam membangun masyarakat madani ini membutuhkan sebuah kekuatan real dari masyarakat. Tidak mungkin semuanya diatur oleh negara.

 

Pendapat para mahasiswa, Risnanda balik bertanya kepada Menteri Koperasi dan UKM, kenapa koperasi cenderung berada di menengah ke bawah? Apa program kementerian Koperasi dan UKM untuk meningkatkan peran mahasiswa dalam ekonomi kerakyatan melalui koperasi?

 

Sedangkan Matingan Sirait menjelaskan,  dalam UUD 45 Pasal 33 pada intinya ingin menjadikan rakyat itu adil dan makmur. Tapi pada kenyataannya itu tidak. Koperasi ini belum optimal karena, pertama, kurangnya SDM,  kedua, dalam permodalan masih sulit, ketiga, kejujuran dalam koperasi masih kurang. Dan tambahnya lagi, ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah. Yang pertama, mendorong usaha mikro untuk berkoperasi. Kedua, mengembangkan koperasi untuk menjadi wadah usaha berbasis SDA, seperti pertanian, perikanan, dan yang lainnya.  Ketiga, menjamin pasar dan harga produk-produk  koperasi melaui kemitraan. Keempat, memberikan akses modal koperasi. Dan yang kelima memperingan pajak koperasi.

 

Gilar Rosandini malah menyoroti dari segi UUD 45 Pasal 33 ayat 1 itu jelas koperasi adalah soko guru ekonomi Indonesia. Tapi kenyataannya tidak. Dalam koperasi itu ada dualisme, pertama, sebagai badan usaha yanga harus menghasilkan laba. Di sisi lain, juga harus mensejahterakan anggotanya. Pemerintah melalui kementerian koperasi harus meluruskan pemahaman koperasi kepada masyarakat.

 

Menanggapi kritikan dari mahasiswa itu, Dr. Syarif Hasan mengatakan sosialisasi itu penting. Semenjak tahun lalu Kementerian Koperasi dan UKM mengadakan gerakan masyarakat sadar koperasi, ini berhasil dengan peningkatan angka 31%. Di lingkungan mahasiswa ada sekitar 125 unit koperasi. Ini adalah sebuah upaya agar masyarakat aware terhadap koperasi. Menjawab pertanyaan mengapa koperasi selalu menengah ke bawah, beliau menyatakan bahwa kementeriannya mencanangkan dari 186.000 koperasi tadi di setiap provinsi ada tiga ikon koperasi berskala besar. Sebagai contoh di Jawa Tengah, Pekalongan, ada koperasi yang namanya Kospin Jasa, itu asetnya Rp 1,8 triliun.

 

Kemudian untuk menghadapi pasar bebas, peran koperasi ke depan, menurut Dr. Syarif Hasan, koperasi ini harus disadari koperasi ini adalah pilar ekonomi bangsa. Ke depan koperasi ini harus difasilitasi dalam hal kebijakan yang bepihak. Keberpihakan kepada koperasi ini yang harus konsisten dilaksanakan. Lalu dalam hal menjalankan kebijakan strategi tersebut yaitu pemerintah harus mendampingi dari mulai akses kredit sampai pemasaran. Kalau memang mereka bisa bersaing kita harus dampingi terus. Kemudian pemerintah menciptakan koperasi dengan jiwa enterprenership yang tinggi.  Koperasi itu jangan selalu hanya minta diberi oleh pemerintah. ***

“Sawit Kita Sungguh Menjanjikan”

Jika melihat sawit, apa yang terjadi di tingkat nasional, jelas sawit merupakan sumber penghasilan dan lapangan kerja. Kurang lebih 40 juta KK (Kepala Keluarga) terserap di perkebunan sawit. Yang kedua, dilihat dari devisa, sawit merupakan salah satu penghasil devisa terbesar bagi Indonesia yang menghasilkan  13.5 milyar US$ di tahun 2009. Kemudian sawit juga merupakan bahan penunjang pangan terkait minyak goreng. Sawit juga sumber energi kaitannya dengan biodiesel.

 

Di dunia global sawit merupakan bahan bakar nabati selain jagung, kedelai, dan bunga matahari. Sawit itu lebih efisien. Kalau dilihat dari segi produktifitas kita dan Malaysia mengusai 86 % produksi sawit. Tentunya sawit merupakan komoditi yang dapat bersaing di dunia global sehingga banyak isu yang dilemparkan terhadap sawit, seperti dulu betakarotin yang dapat menimbulkan kolesterol. Ternyata setelah diteliti tidak ada. Sekarang yang ada adalah isu lingkungan. Demikian paparan Direktur Tanaman Tahunan Kementerian RI, Rismansyah pada acara Bincang Malam Mata Mahasiswa episode 4 Juli 2011.

 

Ikut hadir dalam program acara Mata Mahasiswa di TVRI selama 1,5 jam tiap Senin malam pukul 22.00 WIB itu, Firman Subagyo, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Dr. Slamet Budiyanto dari Masyarakat Sawit Indonesia) dan dari wakil mahasiswa datang dari IPB, Wawat Rohdiawati, Amar Ma’ruf dari Universitas Mulawarman Samarinda, Kaltim, dan Yogi Yoga Sara dari Universitas Lampung.

 

Dari kacamata Firman Subagyo, sawit ini merupakan industri strategis, yang perkembangannya sangat pesat selama 20 tahun ini. Yang luar biasa dari sawit ini adalah 50 % dikuasai oleh swasta, 40% merupakan kebun masyarakat, yang 40% yang menyangkut harkat hidup orang banyak, sedangkan negara sendiri hanya 8%. Di persaingan global Amerika dan Eropa Timur tidak lelah-lelahnya memberikan black campaign terhadap industri sawit Indonesia.
“Nah pemerintah harus berupaya melindungi sawit kita, jangan sampai ada black campaign hanya karena persaingan perdagangan. Kalau dilihat dari devisa sawit menghasilkan 13.6 milyar US$, jadi kalau dibandingkan dengan bantuan Norwegia yang hanya 1 juta US$  tidak ada apa-apanya,” tukasnya lagi.

 

Bagi Slamet Budiyanto, kampanye negatif itu tentunya harus disikapi dengan baik. Yang pertama, aspek hulu dan yang kedua, aspek hilir, mulai dari masalah kesehatan. Asam lemak jenuhnya bisa meningkatkan kolesterol. Akhirnya terbukti bahwa asam minyak trans yang dihasilkan dari proses hidrogenisasi dari minyak kedelai itu lebih berbahaya dari sawit. Oleh karena itu FDA (Food and Drug Administration) USA mencoba mengkamuflase labelling minyak trans itu pada minyak jenuh. Lalu ini sedang digencarkan oleh ILCI (International Loss Control Institute) Eropa untuk menyerang sawit kita. Sehingga kita membutuhkan penelitian dasar, ketika kita diserang kita sudah punya senjata. Para pengusaha sawit selain mereka berkompetisi antara pengusaha sawit, musuh mereka juga datang dari Eropa dan Amerika.

 

Bagi para mahasiswa, Yogi Yoga Sara, mengatakan produktifitas dari tanaman sawit ini sangat menjanjikan, dari data yang ada, Indonesia memproduksi CPO terbesar di dunia, namun untuk industri hilirnya masih kalah jauh dengan Malaysia. Kenapa Indonesia tidak memikirkan jauh untuk hal-hal ini. Industri oilkimia itu menghasilkan keuntungan 40% lebih besar dari CPO. Indonesia punya peluang emas untuk mengembangkan sabun, deterjen, dan pembersih lainnya.

 

Wawat Rodiahwati memaparkan, sayang Indonesia hanya menghasilkan CPO yang 60% diekspor ke luar negeri dan 40% untuk dalam negeri yang umumnya untuk minyak goreng.  Dari kebijakan pemerintah tentang fortifikasi atau penambahan vitamin A dan zat-zat gizi ke dalam bahan makanan supaya tidak terjadi kekurangan zat-zat gizi di dalam bahan makanan itu. Pemerintah akan mem-fortifikasi minyak goreng dengan vitamin A, karena 70% penduduk Indonesia mengkomsumsi minyak goreng dan diketahui bahwa 10 juta bayi di Indonesia. Padahal CPO sendiri sudah mengandung vitamin. Dalam 1 kg CPO mengandung 600-1000 mg  vitamin A.

 

Dan Amar Ma’ruf dari Samarinda mengatakan  masalah sawit, itu sangat berpotensi sekali di Indonesia. Di Kalimantan Timur kurang lebih ada 670.000 hektar lahan sawit.  Menyoroti apa yang selalu dikatakan oleh LSM,  kalau sawit itu tanaman yang banyak menyerap air, kemudian banyak tanaman dan hewan yang rusak. Padahal pada land clearing atau pembukaan lahan sawit setelah sawit ditanam itu ada cover crop yaitu menanami bagian-bagian yang kosong dengan tanaman lain sehingga erosi berkurang. Dari segi ekonomi banyak menyerap tenaga kerja sehingga mengurangi angka pengangguran.

 

Kemudian dengan adanya persaingan usaha industri sawit apalagi dengan adanya black campaign dari asing itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Firman Subagyo berpendapat, jiwa nasionalisnya harus ada, dan jangan selalu mendengar kritik tajam dari NGO asing. Yang selalu dikritik oleh NGO itu adalah soal ekologi. Padahal ada 3000 desa di sekitar hutan dan mereka hidup turun temurun saja. Mengapa Amerika dan Eropa gerah,  karena 70% dari 22 juta ton CPO kita itu untuk konsumsi dunia, tentunya itu akan menjadi pesaing Amerika dan Eropa, kedelai hanya 22%.

 

“Pokoknya pemerintah jangan selalu mendengarkan kritik NGO asing itu. Kalau rakyat kelaparan, Amerika tidak akan membantu kita, paling cuma basa-basi saja,” pungkasnya.

 

Sementara bagi Yogi, soal ekologi, kalau sawit ini dianggap sebagai penyumbang emisi gas CO2, kita harus balikkan apakah mereka juga mengurangi emisi karbonnya. Wawat, mengutarakan   data 100 tahun terakhir apakah sawit itu menyebabkan kerusakan lingkungan. Dari data yang ada, ternyata tidak. Sawit itu bisa menyerap CO2 dan menghasilkan oksigen. Dan Amar Ma’ruf berpendapat, setiap tanaman yang bermetabolisme itu menghasilkan karbon. Mungkin kelapa sawit sedikit menekan dari emisi gas rumah kaca.  ***

Kuatkah Peluang Ekonomi Kita di ASEAN?

Selama lebih dari setahun penerapan ACFTA, perkembangan yang terlihat sekarang justru memperkuat kekhawatiran kita selama ini bahwa kita “keteteran” dan tidak siap menghadapi persaingan ketat dalam perdagangan bebas. Tak pelak lagi, situasi ini menimbulkan pertanyaan seputar peluang dan daya saing ekonomi kita di tingkat ASEAN. Topik inilah yang menjadi bahasan dalam acara dialog Mata Mahasiswa yang ditayangkan di TVRI pada tanggal 27 Juni 2011 lalu yang mengambil tema: “Kuatkah Peluang Ekonomi Kita di ASEAN?”

Acara dialog kali ini menghadirkan narasumber mahasiswa: Chintya Permatasari (FE Universitas Jayabaya), Okto Reza (FE Universitas Pancasila), dan Renato Fenady (FE Universitas Parahayangan). Sementara, narasumber pendamping yang hadir adalah: Ferrari Roemawi (Komisi VI DPR RI), Edi Putra Irawadi (Deputi Bid. Industri dan Perdagangan Menko Perekonomian), Tobang Hari (Ketua JCI)

Menjawab pertanyaan seberapa kuat peluang ekonomi Indonesia di ASEAN, Edi Putra Irawadi dari Kemenko Perekonomian menjelaskan bahwa Indonesia punya modal untuk memimpin ekonomi ASEAN, karena kita punya keunggulan dalam SDM dan sumberdaya alam yang beragam. Hanya ada beberapa hal yang perlu dibenahi, bukan hanya dari segi pemasaran, dari produksi dan pariwaisata juga. “Kalau kita lihat dari wisata tiap tahun, kunjungan di negara-negara ASEAN menghasilkan 30,1 trilyun. Kalau kita bisa ambil setengahnya saja, berarti kita bisa mengambil 15 trilyun tiap tahunnya. Rival kita terdekat adalah Malaysia, Thailand dan Vietnam,” katanya.

Sedangkan, Anggota DPR RI, Ferrari Roemawi mengatakan bahwa dengan keunggulan SDM dan SDA yang besar seharusnya kita yang memimpin ekonomi di kawasan ASEAN. “Sebagai negara terbesar di ASEAN, kita tidak serta merta memimpin ASEAN. Dari data yang ada, kita dengan Thailand itu selalu defisit, dengan Vietnam kita surplus tapi dari tahun ke tahun surplusnya berkurang, dengan Filipina dan Kamboja kita surplus. Yang perlu diwaspadai bukan hanya Thailand tapi juga Vietnam,” tambahnya.

Tobang Hari mengungkapkan fakta lain selain yang sudah diungkapkan pembicara sebelumnya. Dia mengatakan bahwa rata-rata penduduk kita adalah berusia 29 tahun, China itu di atas 50-an tahun. “Jadi, kita ini berada di usia produktif. Selain itu kita juga pengguna facebook terbesar setelah Amerika Serikat, dan pengguna Twitter terbesar ketiga di dunia. Jika dilihat angka pertumbuhannya, kita paling besar. Kalau melihat fakta ini saya optimis kita bisa menjadi bangsa yang besar, bisa memimpin ekonomi ASEAN,” ungkapnya.

Chintya dari Univesitas Jayabaya mengomentari bahwa memang Indonesia sudah punya rencana menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN. Tapi faktanya, kita kalah dalam ACFTA. Kendalanya ada di infrastruktur. Coba saja lihat jeruk China bisa lebih murah dibanding jeruk Pontianak karena transportasinya yang mahal. “Kita harus berbenah. Dalam birokrasi, misalnya, birokrasi kita berbelit, memakan waktu, biaya dan tenaga. Masyarakat kita adalah masyarakat yang konsumtif sehingga lebih memikirkan harga daripada kualitas,” katanya.

Sementara, Okto Reza dari Universitas Pancasila merasa bahwa Indonesia harus lebih menggali potensi dalam negeri. “Kita harus lebih banyak ekspor daripada impor. Jangan sampai ada pepaya Bangkok, duruan Monthong, jeruk Mandarin yang banyak di Indonesia. Kita juga bisa mengembangkan ekspor buah ke luar negeri,” ungkapnya.

Renato dari Universitas Parahyangan Bandung berpendapat bahwa ketika berbicara perdagangan tentu harus bicara benefit. Ketika kita berdagang dengan satu pihak tentunya ada keuntungan dari pihak itu. “Tapi Indonesia tidak semenguntungkan itu. Kita sering dianggap sebagai pasar, bukan produsen, seperti China. Yang kedua adalah ketika kita ditantang sebagai ketua ASEAN, kita lihat tahu Sumedang kedelainya masih harus impor. Bagaimana kita bisa menjadi leader kalau kita tidak bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Perlu ada kebijakan menyeluruh dari pemerintah?” gugatnya.

Menanggapi komentar dari mahasiswa, Ferrari mengungkapkan bahwa hal pertama yang perlu kita benahi untuk meningkatkan daya saing adalah infrastruktur. Yang kedua adalah bagaimana kita menjual produk dengan nilai tambah. Artinya, barang tambang atau pun pertanian diolah dulu. Yang ketiga, dalam meningkatkan infrastruktur itu koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah harus baik.

Sedangkan Tobang Hari meminta agar jangan melihat Indonesia saat ini, tapi bagaimana Indonesia  lima, sepuluh, atau lima belas tahun lagi. Apakah akan tetap seperti atau tidak. Ini tergantung kesungguhan kita. Pemerintah punya koridor, pengusaha punya koridor, generasi muda juga punya koridor. Permasalahan kita adalah ekonomi biaya tinggi sehingga harga tidak bisa bersaing dengan barang luar.

Ditanya tentang keyakinan pemerintah dalam menghadapi persaingan di ASEAN, Edi menyatakan keyakinannya. Edi melihat bahwa modal bangsa Indonesia sekarang ada pada generasi muda.  Dia melihat mahasiswa sekarang berbeda. Keterlibatan mereka dalam berbagai masalah, terutama ekonomi, cukup tinggi.

Bisnis Internet, Sudahkah Menyentuh UKM?

Ketika ditanya apa keuntungan yang bisa didapat UKM kalau benar-benar mengoptimalkan fungsi Internet, Adi Trisnanto, Sekjen Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I),  menyatakan bahwa fungsi paling mudah dari internet ini adalah email. Tapi, banyak fungsi internet yang bisa dimanfaatkan oleh UKM dari mulai berinteraksi dengan konsumen, membeli, memesan produk, menerima umpan balik dari konsumen untuk meningkatkan brand produk UKM. “Saya khawatir saat ini penggunanaan internet baru sebatas email itu manfaat tapi manfaat itu belum optimal,” katanya.

Hal itu dipaparkan dalam acara Mata Mahasiswa di TVRI yang ditayangkan pada 20 Juni 2011 pukul 22.00 WIB dengan tema “Bisnis Internet, Sudahkan Menyentuh UKM” bersama narasumber pendamping lainnya, seperti: Ir. Hari Katana, MM (Anggota Komisi VI DPR RI) dan Nedi Rafinaldi Halim (Deputi Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha Kementrian Koperasi dan UKM). Sementara, narasumber dari kalangan mahasiswa adalah: Riki Rahman Permana (Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Paramadina), Bayu Dirgantara (Fakultas Ilmu Komunikasi, IISIP Jakarta), dan Bryan Gunawan (Fakultas Ekonomi, Universitas Bina Nusantara)

Sementara, Nedi Rafinaldi Halim dari Kementerian Koperasi dan UKM berpandangan bahwa  sebenarnya UMKM kita sudah siap untuk mengakses teknologi yang dapat meningkatkan usahanya. Problemnya adalah asset dan modal yang dimiliki. Untuk mengakses teknologi internet yang cenderung mahal Usaha yang asetnya kecil harus menyisihkan sebagian besar dari asetnya tapi ini mustahil. Untuk usaha menengah ke atas gak ada macula, mereka sudah terbedaki oleh yang namanya internet. “Untuk itu kita harus mendorong usaha kecil yang terbesar hampir di seluruh pedesaan untuk bisa mengakses internet dari mulai pendidikan penggunaan internet sampai bantuan fasilitas,” tambahnya.

Hari Katana, Anggota DPR dari Komisi VI menambahkan bahwa para anggota DPR selalu berpikir apakah kita ingin mencapai keadilan dan kemakmuran. Untuk mencapai keadilan dan kemakmuran itu ada pembangunan nasional. Dalam pembangunan ekonomi, faktor yang mendukung salah satunya adalah ICT (Information Communication Technology). “Ini sangat berperan penting. Sekarang internet itu sudah bisa memiliki fungsi transaksi. Kalau transaksi di internet besar ekonomi kita kan maju. Kita cukup berbisnis di rumah, dan semuanya dapat berjalan,” jelasnya.

Dalam pandangan mahasiswa, masalah penguasaan internet juga dianggap sebagai hal penting bagi UKM. Riki Rahman dari Universitas Paramadina mengemukakan bahwa penetrasi Internet di Indonesia diprediksi tahun ini mencapai 18% dan itu akan terus bertambah. UKM dalam rencana pembangunan 2005-2025 ditempatkan sebagai sektor strategis yang akan mengembangkan ekonomi kita. Dengan bertambahnya penetrasi internet dan posisi UKM yang strategis diharapkan bisnis UKM itu berkembang lebih cepat dan efisien.

Pernyataan Riki dikomentari oleh Bayu Dirgantara dari IISIP. Ia berpendapat bila penetrasi internet yang 18% ini adalah peluang bagi usaha pemula yang modalnya masih kecil dan masih modal nekad. Sekarang orang sudah malas nonton TV. Orang lebih merasa praktis dengan ponsel, apalagi sekarang banyak sekali yang sudah memiliki ponsel cerdas (smartphone). Orang bisa mengakses intern melalui ponsel mereka. “Internet itu direct market. Kita tidak perlu punya kantor, tidak perlu punya tempat untuk berdagang,” katanya.

Bryan Gunawan dari Universitas Bina Nusantara pun sependapat dengan pendapat kedua rekannya. “Kita sudah sepakat bahwa internet itu sangat bermanfaat. Pertanyaannya sekarang bisa atau tidak. Kalau dilihat dari permodalan, sebenarnya itu tidak mahal, komputer saja sekarang sudah 1-2 juta. Pasar smartphone lima kali lipat dari tahun sebelumnya. Saya berpikir ketika membuka bisnis online, pemerintah bisa membuat portal pasar online yang setiap orang bisa masuk ke sana. Sekarang apakah pemerintah sudah membuat itu? Itu tidak terlalu mahal. Apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah?” tanyanya menggugat.

Pada sesi berikutnya, Riki mengungkapkan bahwa masalah yang dihadapi UMKM ini ada dua, teknis dan non teknis. Yang pertama, masih banyak daerah yang belum terhubung dengan internet. Yang kedua, masalah SDM dan psikologis. Bisnis internet kebanyakan masih oportunistik, sekedar untung-untungan, coba-coba. Bukan sebagai strategi utama. “Transaksi secara offline pun masih banyak yang ditipu apalagi online yang gak tahu siapa penjual dan pembeli. Pemerintah harus membantu kesiapan psikologis UKM ini,” katanya.

Bayu menambahkan bahwa akan sangat disayangkan bila di satu daerah ada potensi usaha yang bagus, tapi kita tidak tahu. “Masalah di kementerian ada portal saja, kita dari mahasiswa baru tahu sekarang, apalagi orang-orang di daerah..” katanya.

Sedangkan Bryan menyoroti masalah masalah klasik yang masih dihadapi masyarakat di daerah, yaitu pasokan listrik yang tidak cukup, sering terjadi pemadaman bergilir. “Jadi, bagaimana kita optimalkan daerah untuk berkembang?” tanyanya.

Membangun Dunia Usaha di Kalangan Muda

Pembangunan karakter entrepreneurship di kalangan muda sebaiknya dimulai sedini mungkin agar pada saat persaingan global ke depan bangsa kita sudah siap menghadapinya. Dengan pengalaman tiga kali krisis dan dua kali turbulesi ekonomi global yang terkesan negara kita jatuh.

 

Nah, untuk pembahasan hal itu lebih jauh, diskusi “Mata Mahasiswa” yang ditayangkan TVRI pada 2 Mei lalu, mengangkat tema “Pembangunan Karakter Entrepreneurship di Kalangan Mahasiswa Generasi Muda Menghadapi Persaingan Global”.

 

Hadir dalam acara itu,  Edy P. Irawadi (Deputi Menko Bidang Indsustri dan Perdagangan), Ade Sudrajat (Ketua API), Achsanul Qosasi (Wakil Ketua Komisi XI DPR RI). Dan dari kalangan mahasiswa,  M. Ali Afandi (FE Unair), Siska Novianti (FE untar), dan Diah Asri A (FE Unas).

 

Menyikapi pembangunan karakter entrepreneurship itu, Edy P. Irwandi memaparkan, bangsa kita masih tergantung pada perdagangan dengan negera lain. Kita perlu saudagar yang tangguh dan global. Presiden Indonesia pun sudah mencanangkan gerakan kewirausahaan nasional pada tanggal 2 Februari 2011.

 

“Kita fokus pada tiga staging. Staging pertama kita memberikan bibit yang bagus. Dari mulai SD dan mulai empat tahun kita berikan kata ‘Jual..jual…jual” bukan “Beli…beli…beli”. Kedua, Kalau bibitnya sudah bagus kita tempa mau jadi industriawan mau jadi pengusaha, mau jadi profesiaonal. Itu pembinaan. Ketiga, kita berikan akses modal, pembiayaan sama penambahan kapasitas. Kita tidak mau tergantung pada angka. Kita mau ada wirausahawan global yang daya saing bagus, punya daya dobrak,” tambah Edy.

 

“Kita ingin ke depannya  pemuda, mahasiswa bisa menggantikan George Soros atau yang lainnya yang bisa bersaing di dunia global. Karena kalau kita menjadi pengusaha, bukan hanya mengatasi pengangguran tapi juga mengatasi kemiskinan,” tambah Edy.

 

Sedangkan, Achsanul Qosasi mengatakan, dalam hal entrepreneur ini harus ada inovasi apakah akan memprofit sesuatu atau menjadi agen sesuatu itu menjadi pilihan masing-masing.  Setiap orang mempunyai kemampuan entreperner, kemudian bagaimana   mendidik diri  sendiri hingga kemampuan entreperner itu keluar. Semua program pemerintah yang 23 itu mempunyai kandungan entreperner.

 

“Nah, sekarang tinggal anak muda dan mahasiswa yang  mengisi kekosongan 2,5 sampai 3,5 persen itu. Indonesia dari Sabang sampai Merauke sangat kaya, tinggal kita memanfaatkannya,” katanya.

 

Ade Sudrajat juga menyikapi, entrepreneur  itu memang memiliki nilai-nilai yang sangat mulia bagi yang menjalaninya.

 

“Orang tua saya selalu mengatakan entrepreneur itu pintu rejekinya sebanyak 20, dan pintu rejeki pegawai cuman satu. Kunci sukses entreprerneur itu, satu focus artinya tabah untuk menjalani satu bidang, setelah sukses satu bidang Insya Allah bidang-bidang yang lainnya mengikuti,  mudah. Tapi harus menjalani yang satu ini sehingga sukses. Sukses yang satu ini artinya menjaga martabat sebagai manusia. Jadi tidak melakukan hal-hal yang curang, mengurangi timbangan dan sebagainya. Karena nilai seorang entrepreneur adalah kepercayaan, jadi bukan uang,” tambah Ade.

 

Sementara para mahasiswa, Ali Afandi dari FE Unair, Surabaya, mengatakan entrepreneur itu diartikan seseorang yang membeli value added dari globalisasi ini. Bisa memberikan opportunity bagi Indonesia.  Menurut Ali,  saat ini Indonesia  jadi ketua ASEAN dan tentunya  pemerintah banyak menandatangi MoU, itu hanya skala makro ekonomi saja.

 

“Kita selalu diperlihatkan bahwa GDP naik sekian persen. Padahal realitanya yang kaya makin kaya, yang tengah bisa naik bisa turun. Yang miskin makin miskin. jadi kita mahasiswa itu harus ditanamkan nilai-nilai entrepreneur bukan hanya di wilayah dengan keramaian ibu kota, tapi juga di seluruh Indonesia,” Jelasnya.

 

Siska Novianti dari Untar, Jakarta, negara maju itu ditandai dengan banyaknya entrepreneur. Poin seorang entrepreneur adalah tentang berani mengambil peluang.

 

“Banyak dari kita juga yang tidak bisa melihat peluang. Orang awam melihatnya sebagai biasa saja.  Kemudian kita juga tidak bersaing dalam masalah harga. Orang kita kan sukanya yang murah dan kualitasnya ya biasa-biasa saja lah. Kita cenderung bermain di harga pass-pasan dan kualitasnya pun pas-pasan, jadi nanggung.  Diah Asri menyikapi,  kalau wirausaha itu jiwa. Jiwa wirausaha itu  bisa ciptakan sendiri.

 

Diah Asri, Unas, Jakarta menambahkan, entrepreneur itu simple. Bagaimana membuat rongsokan menjadi bernilai bisnis.

“Perbankan Masih Setengah Hati”

Perhatian perbankan terkesan setengah hati terhadap sektor pertanian, apalagi bagi petani kecil, ini terbukti dari sistem yang dibagun perbankan. Ujung-ujungnya bagi petani itu tidak bisa berkutik kalau dihadapkan permodalan.

 

Untuk melihat cerminan itu, dialog “Mata Mahasiswa” episode 25 April lalu di stasiun TVRI mengangkat tema yang cukup menarik, yakni “Komitmen Perbankan di Sektor Ekonomi Pertanian” dengan narasumber    Ir. E. Herman Khaeron, M.Si, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Rafjon Yahya, Excutive Vice Presiden Corporate Banking Agro Based, H. Winarno Tohir, Ketua Umum KTNA, dan peserta dari mahasiswa hadir Nurfajriansyah (HMI), Ton Abdilah (IMM), dan  M. Asrul (Mahasiswa Peduli Pertanian, Ambon).

 

Acara yang berdurasi 1,5 jam ini juga dihadiri beberapa mahasiswa dari pelbagai perguruan tinggi sebagai audience. Rafjon Yahya memaparkan bahwa sektor pertanian ini merupakan satu target bisnis dari perbankan, seperti halnya sektor-sektor ekonomi yang lain. Bank tentu akan masuk bila bank yakin bahwa calon nasabah yang dibiayai ini mampu mengembalikan kredit, visible dan bankable. Artinya kalau diberikan kepada petani, usaha petani akan tumbuh. Tumbuh berkembang. Dia mampu membayar kewajiban kepada bank. Dia menjadi lebih sehat. Untuk mendapatkan bantuan permodalan dari bank, dia harus memenuhi ketentuan dari bank, bankable tentunya. “Perlu kita ketahui, tidak semua petani itu visible, tidak semua bankable. Kalau saya melihatnya ada 3 kelompok. Ada yang visible bankable, ada yang visible tidak bankable, ada yang tidak visible dan tidak bankable,” jelasnya.

 

Jika tidak visible dan tidak bankable, tidak mampu membayar kredit, tidak mampu memenuhi ketentuan bank, sumber biayanya bisa dicarikan dari sumber lain, CSR atau PNMN misalnya. Kemudian ada lagi, itu visible tapi tidak bankable, dia layak mampu mengembalikan kredit. Tapi dia tidak mampu memenuhi ketentuan bank, misalnya perijinan tidak lengkap, jaminan dia kurang. Ada program untuk itu, misalnya Kredit Usaha Rakyat (KUR). Bank juga masuk di sana. Kemudian kelompok ketiga dia visible dan dia juga bankable itu baru komersial namanya, layak mendapatkan kredit dari bank. Sesunguhhnya bank tidak mau mempertentangkan ketiganya, karena ketiganya berhak memperoleh kredit permodalan.

 

Namun bagi Herman Khaeron tetap mengatakan perhatian perbankan masih setengah hati, terutama kepada petani kecil. “Bisa kita lihat dari sistem yang dibangun perbankan. Kami sedang merancang UU perlindungan dan pemberdayaan, ini adalah jawaban untuk itu. Pertama adalah rata-rata penyaluran kredit untuk pertanian itu mencapai 5-6 % per tahun, itu data kita punya rilis dari tahun 2003-2009. Dan tentunya kalau ini dibiarkan tanpa adanya kebijakan yang berorientasi kepada rakyat kecil, kepada petani kecil tentunya ini akan terus berlangsung. Dan kita lihat bahwa kita harus membangun segmen. Dan persoalan pertanian ini sangat penting,” tambahnya.

 

Herman menambahkan kalau perbankan menyatakan bahwa sudah berorientasi ke pertanian, tentunya ini juga harus dilihat komoditas apa yang menjadi perhatian tersebut. Padahal kita tahu persis yang sangat penting di sektor pertanian adalah pangan. Kemudian kita perhatikan bank bahwa ada mekanisme visibility ataupun bankable. Tentunya dengan kepemilikan lahan petani yang kecil, kurang dari satu hektar. Ini pasti tidak visible. Justru itu harus ada perhatian sepenuh hati dari bank. Bahwa ini ada petani kita, ada masyarakat kita. Yang harus disentuh dengan program yang tentunya pemerintah siap bekerja sama dengan bank untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya, untuk memberdayakan petani dan nelayan kecil.

 

Sementara H. Winarno Tohir, Ketua Umum Kerukunan Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) menjelaskan, kucuran dana ke komoditi beras ini sangat kecil sekali. Kalau untuk tebu diakui KKPN-nya bisa sampai 300%, karet, sawit memang lebih mudah untuk mendapatkannya. Tapi, untuk petani padi, untuk petambak ikan, bahkan nelayan lebih susah lagi. Kalau ternak cukup lumayan, ada KUPS. Itu juga belum diserap lebih banyak. Jadi, pada intinya Winarno berharap  petani memerlukan pemodalan apalagi untuk menghadapi teknologi. Untuk menghadapi anomali iklim ini, mau tidak mau memerlukan teknologi. Menghadapi perubahan iklim ini petani mengeluarkan biaya lebih banyak.

 

Nurfajriansyah dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mengatakan  pada umumnya  ekplorasi terhadap pertanian ini hanya sebatas lips service. Dari APBN saja persentasenya sangat kecil. Saat ini adalah saatnya eksekutif maupun legislatif mencanangkan agar negara agraris hidup kembali. Dia tetap masih melihat ada satu bentuk solusi bagus, harus ada sinergitas. Alangkah lebih baiknya yang swastanisasi ini melakukan pemberdayaan. Karena tidak bisa melibatkan Bank BUMN saja, harus ada Bank swasta yang dilibatkan lebih jauh, suapaya ketahanan pangan kita lebih stabil. Harus ada sinergitas. Harus ada kebijakan pemerintah yang pro agrobisnis.

 

Bagi Ton Abdillah, kini saatnya membuka mata untuk serius menggarap sektor pertanian termasuk perbankan. Karena bukan lagi soal nasib petani, tapi nasib bangsa ini. Bank harus ikut bertanggung jawab terhadap ketahanan pangan. Di petani kita yang punya lahan sempit sistem ijon sangat efektif dan petani bisa mengembalikan modal. Kalau pemerintah dan perbankan serius, harus ada blue print mau dibawa kemana pertanian bangsa ini.

 

Sementara M. Asrul Pattimahu mengatakan dari perspektif kebijakan, regulasi yang menyangkut pertanian itu harus didukung. Sehingga tidak hanya bicara kekurangan pangan tapi  bicara kualitas dan produktifitas masyarakat tani yang kemudian berakibat pada konsumsi masyarakat terhadap produksi-produksi itu. Artinya, sektor industri itu harus mendukung terhadap kualitas dan produksi pertanian, itu yang penting.

“Selain Kualitas, Harus Ada Mapping”

Setelah adanya keran perdagangan antar negara-negara ASEAN bahkan China untuk sektor pangan, sepertinya negera kita terlihat hanya jago kandang saja. “Menurut pandangan kami di Komisi IV DPR, kita masih jauh ketinggalan dibanding dengan negara-negara lain di ASEAN. Kita yang mempunyai lahan yang begitu besar, tapi sampai 2010 kita masih termasuk 37 negara yang krisis pangan, di luar Haiti, Mesir, dan sekelas itu lah.. Itulah Indonesia saat ini,” ungkap H. Saefullah Tamliha, dari Komisi IV DPR RI dalam acara Bincang Malam Mata Mahasiswa tanggal 13 Juni 2011.

Dalam acara yang mengangkat tema “Prospek Pertanian Indonesia di Ranah Regional” itu juga menghadirkan narasumber lainnya, seperti: Ir. Agustine Zulkarnaen, M.Si., dari Kementerian Pertanian, dan dari kalangan mahasiswa hadir: Ringkel Riko, mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Nasional, Leo Wibisono Arifin, mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) serta Arvita Oktaviana, mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran, Bandung.

Agustine Zulkarnaen memaparkan kondisi pertanian Indonesia saat ini. Menurut data yang dimiliki Kementerian Pertanian, pemasaran hasil pertanian Indonesia cukup baik. Dari tahun 2000-2010 Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand di ASEAN. Thailand 30 %, sedang Indonesia 25%. Yang paling banyak adalah perkebunan, seperti: minyak sawit, kakao atau coklat, kopi, dan teh.

Namun bagi Ringkel Riko, mahasiswa yang notabene juga mewakili masyarakat Indonesia pada umumnya, mengatakan di regional saja Indonesia sudah kalah dengan Thailand. Karena dari segi kualitas produk pangan Indonesia rendah mungkin ini karena kurangnya tenaga ahli di kita. Ini bukan hanya tanggung jawab Kementerian Pertanian, tapi tanggung jawab kita semua, termasuk juga petani.

Leo Wibisono Arifin dari IPB mengutarakan, di tahun 2050 diprediksi ada 9 milyar orang yang kelaparan dan sekarang masalah krisis pangan menjadi nyata. Konsep feed the world (memberi makan negara lain) adalah konsep yang sangat menguntungkan. Dari segi pemasaran produk pertanian ada dua masalah di Indonesia . Pertama ketidakadaannya sinkronisasi petani terhadap modal. Di sini tidak ada koneksi petani kepada modal dan pasar dimana petani bukanlah yang mengendalikan pasar. Kedua, bisnis kita masih kecil, sehingga sulit didapatkan suatu produk dengan kualitas yang sama. Seperti ibu-ibu kalau membeli buah masih pilih-pilih. Sementara produk ekspor atau impor memiliki kualitas sama. Karena di sini belum ada estate atau perkebunan besar yang memproduksi produk dengan kualitas sama

Sementara, Arvita Oktaviana dari Unpad menganggap masalah pemasaran pertanian Indonesia ini karena tidak adanya kelembagaan petani yang menjembatani antara petani dan pasar. Lembaga itu bertugas untuk mensurvei produk apa yang dibutuhkan oleh pasar internasional, kemudian dikembangkan produk-produk itu di berbagai daerah. Tentu tiap daerah punya komoditi unggulan.

Jadi, bagaimana dengan Kementerian Pertanian melihat kekuatan dan kelemahan pertanian Indonesia untuk bisa menembus pasar internasional? Agustine Zulkarnaen mengatakan, sebenarnya kita tidak kalah bersaing di pasar ASEAN. Data 2010, Thailand 30%, Indonesia 23%, Malaysia 22%, Singapura 15%, Vietnam 9%, Philipina 3 %. Nah, dilihat dari perkembangan nilai ekspor di regional ASEAN dari tahun 2000 ada perkembangan 22% rata-rata pertahun.

Kemudian soal komoditi unggulan di tiap daerah atau dibuatnya mapping komoditas unggulan, Agustien Zulkarnaen mengatakan sekarang sudah menerapkan sistem kluster. Kegiatan atau program yang ada di pertanian harus pertama, terpadu/terintegrasi, lalu harus lebih banyak menyentuh kepentingan petani. Harus mempertimbangkan juga apakah kegiatan itu memberikan multiplier effect atau tidak dan harus direplikasi. Karena data yang diberikan oleh Pak Tamliha ini hanya sebagai trigger atau pemacu jadi harus direplikasi oleh petani.  Karakteristiknya itu harus fokus komoditas.

Pernyataan Agustine langsung diamini Syaefullah Tamliha dari Komisi IV DPR RI. Ia mengungkapkan harus ada mapping tertentu. Kalimantan fokuskan untuk karet dan sawit, Sulawesi fokuskan untuk kakao dan kopi, Jawa untuk teh, Sumatera fokus untuk gula atau tebu. Dengan demikian jelas sasarannya.

“Namun, ada kendala kalau di Kalimantan ingin fokus ke sawit dan karet itu ada masalah dengan alih fungsi hutan yang kewenangannya di Kementerian Kehutanan. Hutan itu kan ada hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi, dan hutan produksi terbatas yang bisa dialih fungsi,” jelas Syaefullah Tamliha.

Bagi Ringkel Riko, pemerintah harus mengembangkan kebijakan pemasaran agar pasar bisa diakses oleh petani dan harus memperbaiki kualitas produk, terutama di pascapanen.  Menurut Leo Wibisono Arifin, pertama harus ada pro-balance ekonomi petani, yaitu harus ada bank khusus pertanian. Yang kedua, riset dan teknologi, risetnya harus terarah. Riset di universitas juga harus dipacu supaya commercial base. Yang terpenting lagi ada kolaborasi.

Sementara Arvita Oktaviana dari Unpad memaparkan, yang pertama adalah masalah diversifikasi pangan. Misalnya di Cimahi,  masyarakatnya sudah mengkonsumsi singkong seperti beras. Kenapa itu tidak dijadikan contoh untuk daerah-daerah lain? Yang kedua, untuk ekspor supaya tidak mengekspor barang mentah, tapi barang jadi. Yang ketiga, pertanian itu harus dibuat sistem agribisnis.

“Kalau Itu Dijalankan, Pemberi Izin yang Disalahkan”

Geliat bisnis waralaba di Indonesia semakin merajalela. Apalagi ada kecenderungan bisnis yang sifatnya franchise ini—oleh pendapat kebanyakan orang—bisa mematikan usaha kecil di sekitarnya. Namun, Ferrari Rumawi, anggota DPR RI dari Komisi VI mengatakan, tidak sependapat, karena franchise bukan minimarket, kursus Bahasa Inggris, bengkel motor, dan lainnya. Franchise itu sistem.

Hal itu dipaparkan dalam acara Mata Mahasiswa di TVRI yang ditayangkan pada 6 Juni 2011 pukul 22.00 WIB dengan tema “Bisnis Waralaba dan Pengembangan Ekonomi Kerakyatan” bersama nara sumber lainnya, seperti: Anang Sukandar dari Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), Untung Tribasuki dari Kementerian Koperasi dan UKM, serta dari kalangan mahasiswa diwakili Parlindungan Simarmata dari Persatuan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI), Noviandri Nurlaili dari Universitas Indonesia, dan Muhammad Sukron dari Ikatan Mahasiswa Muhamadyah.

Anang Sukandar memaparkan, kalau dari manajemen, franchise itu adalah sebuah konsep pemasaran yang pada saat bersamaan merupakan strategi perluasan. Yang jadi masalah adalah zoning. Aturan tidak boleh dekat dengan pasar basah itu harus dijalankan dengan konsekuen. Kalau itu tidak dijalankan, yang salah yang memberikan ijin. Karena franchise itu sebuah konsep yang unggul. Banyak yang mulai dari gerobak dorong sekarang mendunia.

Sedangkan Untung Tribasuki mengatakan, konsep ini sangat efektif dan ini tren abad 21, dari sistem keagenan ke franchise. Yang masalah kan dari franchisor dan franchiseenya. Artinya, pengusaha kecil perlu kita angkat melalu kemitraan pada waralaba. Persoalannya adalah kepastian hukum dan keadilan.

Pendapat mahasiswa tentang bisnis waralaba ini cukup beragam. Parlindungan Simarmata mengatakan bahwa yang menjadi masalah di franchise adalah belum adanya payung hukum yang jelas dari pemerintah, yang ada baru aturan dari lembaga terkait. “Yang saya lihat baru 75% dari usaha franchise ini belum memenuhi aturan yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan,” kilahnya.

Kemudian Noviandri Nurlaili memaparkan, di franchise kan ada franchisor dan franchisee, artinya ada lisensi yang dibeli. Siapa yang bisa memiliki dan membeli lisensi? Orang yang punya modal tentunya. Novi juga setuju  kalau franchise adalah konsep yang unggul dari segi pemasaran dan segi distribusi. Tapi kembali lagi, di Indonesia dengan konsep ekonomi kerakyatan, harusnya franchise itu bisa mengelaborasi kalangan ekonomi bawah. Jadi, ketika franchise itu masih menganut sistem pemodalan,  yaa.. jadinya seperti itu.

Sementara Muhammad Sukron mengatakan, pijakan franchise itu ada di pemodalan dan pola pikir masyarakat dan efektif. Masyarakat berfikir tentang belanja modern, efektif, dan lebih murah. Nah, ini yang tidak ada di pasar-pasar tradisional yang tidak punya brand. Akhirnya mereka kalah dengan brand tertentu yang modern. Pola pikir masyarakat ini yang harus kita bangun bahwa franchise itu lebih efektif.

 

Memang dari sisi bisnisnya, franchise menguntungkan. Namun sering disuarakan bahwa pasar tradisional terpukul dengan adanya hypermarket. Ini seperti raksasa melawan yang kecil.  Menurut Ferrari Rumawi, ada dua hal yang berbeda, yakni kalau di pasar tradisional orang beli barang untuk dijual lagi, itu harus bayar. Kalau di hypermarket, simpan barang pun harus bayar. Jadi, tidak mungkin ada persaingan sehat antara pasar tradisional dengan hypermarket. “Satu-satunya jalan adalah gunakan zoning dan itu harus diundangkan. Kita sangat konsen untuk itu,” ketus Ferrari.

Sedangkan bagi Anang, hanya di kota-kota besarlah supermarket itu unggul, tapi di desa-desa tidak mungkin. “Tapi hypermarket di luar negeri itu adanya di luar kota, tidak di dalam kota. Supermarket harus di luar kota. Dan pasar tradisional masih dibutuhkan di Indonesia. Indonesia itu 17.000 pulau tidak mungkin dikuasai pasar modern,” jelasnya lagi.

Parlindungan Simarmata mengatakan, pemerintah juga harus memperhatikan pasar tradisional, karena pasar tradisional tidak bisa dimatikan. Yang dijual di pasar tradisional bisa dijual di pasar modern, tapi harga harus diatur. Pemerintah harus masuk ke pasar tradisional yang didesain dengan modern. Jangan hanya ke franchise, franchise itu tidak bisa menjamin kalau produknya lokal semua, malah banyak dari luar.

Sedangkan Noviandri Nurlaili, mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, berpendapat franchise itu harus bisa menjamin secara keseluruhan. Selama franchise itu masih berdiri sendiri dan terpisah dari UKM, baginya kurang baik. Karena yang bisa memiliki franchise hanya yang punya modal. Harusnya UKM-UKM juga didorong dalam sebuah koperasi.