Perjalanan Kebijakan Desentralisasi di Indonesia

oleh : Dr. Kausar AS, M.Si

Tenaga Profesional Lemhanas RI

  1. A.     Pendahuluan

 Berdasarkan pandangan historis, politis, konstitusional, struktural maupun teknis operasional, kebijakan desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia merupakan pilihan tepat. Jauh sebelum Republik ini lahir, pola pendelegasian wewenang (desentralisasi) sudah dipraktekan. Pun juga pada jaman penjajahan Belanda dulu, kebijakan desentralisasi diberlakukan melalui undang-undang densentralisasi (desentralisatie wet) tahun 1903. Begitu pula pada jaman penjajahan Jepang, kebijakan desentralisasi Belanda tetap diteruskan.

Dalam naskah penyusunan Undang-Undang Dasar terlihat pertimbangan-pertimbangan yang diajukan para pendiri Republik bahwa mereka sepakat melaksanakan kebijakan desentralisasi. Dari mulai Indonesia merdeka hingga kini, diberlakukan kebijakan desentralisasi dalam semua undang-undang tentang pemerintahan daerah yaitu UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999 dan terakhir dengan UU No. 32 Tahun 2004.

 

Sejalan dengan itu, maka secara filosofis, tujuan utama yang ingin dicapai melalui penerapan kebijakan desentralisasi yaitu tujuan demokrasi dan tujuan kesejahteraan. Tujuan demokrasi akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat lokal yang secara agregat akan menyumbang terhadap pendidikan politik secara nasional sebagai landasan utama dalam menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa dan negara serta mempercepat terwujudnya masyarakat madani. Tujuan kesejahteraan mengisyaratkan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis.

 

  1. B.      Sistem Pemerintahan Daerah Sebelum Kemerdekaan

 

Pemerintah Daerah yang relatif otonom pertama kali didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda melalui Desentralisatie Wet Tahun 1903. Undang-undang ini hanya mencakup wilayah Jawa dan Madura saja. Sebelum Tahun 1903, seluruh wilayah Hindia Belanda diperintah secara sentral di bawah Gubernur Jenderal sebagai Wakil Raja Belanda di tanah jajahan. Disamping itu, terdapat juga daerah-daerah yang disebut ‘Swapraja’ yang diperintah oleh raja-raja pribumi setempat. Raja-raja tersebut memerintah berdasarkan kontrak politik yang ditandatangani dengan wakil Pemerintah Belanda dan diberikan tugas untuk menjalankan beberapa tugas atas nama pemerintah kolonial, di antara kerajaan tersebut adalah Yogyakarta, Surakarta, Deli dan Bone.

 

Perbedaan sistem pemerintahan daerah sebelum dan sesudah UU Tahun 1903 terletak pada eksistensi Dewan Daerah. Sebelum itu,  tidak terdapat sama sekali otonomi pemerintahan daerah. Semua unit pemerintah bersifat administratif atas dasar prinsip dekonsentrasi. Setelah UU Tahun 1903 diterbitkan, didirikanlah Dewan Daerah pada unit-unit pemerintahan tertentu, di mana mereka diberikan kewenangan menggali pendapatan daerah guna membiayai pemerintahan daerah. Anggota Dewan Daerah diangkat dari tokoh setempat, namun Gubernur, Residen, atau Bupati tetap diangkat  Pemerintah Pusat.

 

  1. C.      Sistem Pemerintahan Daerah Paska Kemerdekaan

Sistem pemerintahan daerah di Indonesia paska proklamasi ditandai dengan diberlakukannya berbagai peraturan perudang-undangan tentang pemerintahan daerah. Setiap undang-undang yang diberlakukan pada suatu kurun waktu tertentu menandai terjadinya perubahan dalam sistem pemerintahan daerah, yang mana hal ini sangat erat kaitannya dengan situasi politik nasional.

 

  1. 1.      Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945

Diterbitkan 23 Nopember 1945 dan merupakan undang-undang Pemerintahan Daerah yang pertama setelah kemerdekaan. Undang-undang tersebut didasarkan pasal 18 UUD 1945. Sistem pemerintahan daerah berdasarkan undang-undang tersebut adalah dibentuknya Komite Nasional Daerah pada setiap tingkatan daerah otonom terkecuali di tingkat provinsi. Komite tersebut bertindak selaku badan legislatif dan anggota-anggota diangkat oleh Pemerintah Pusat. Untuk menjalankan roda pemerintahan daerah, Komite memilih lima orang dari anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutif yang dipimpin Kepala Daerah. Kepala Daerah menjalankan dua fungsi utama; Sebagai Kepala Daerah Otonom dan sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah tersebut. Sistem ini mencerminkan kehendak Pemerintah untuk menerapkan desentralisasi dan dekonsentrasi dalam sistem pemerintahan daerah, namun penekanannya lebih pada prinsip dekonsentrasi.

 

  1. 2.      Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948

UU No. 22 Tahun 1948 dikeluarkan 10 Juli 1948, dimaksudkan sebagai pengganti UU Nomor 1 Tahun 1945 yang dianggap tidak sesuai dengan semangat kebebasan. UU 22 Tahun 1948 hanya mengatur tentang daerah otonom dan sama sekali tidak menyinggung daerah administratif. Undang-undang tersebut hanya mengakui 3 tingkatan daerah otonom, yaitu provinsi, kabupaten atau kotamadya dan desa atau kota kecil. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Dewan Pemerintahan Daerah (DPD). Kepala Daerah bertindak selaku Ketua DPD. Kepala Daerah diangkat oleh Pemerintah dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD. Walau demikian, terdapat klausul dalam Pasal 46 UU No. 22 Tahun 1948 yang memungkinkan Pemerintah untuk mengangkat orang-orang pilihan Pemerintah Pusat, yang umumnya diambil dari Pamong Praja untuk menjadi Kepala Daerah. Melalui klausul tersebut Pemerintah sering menempatkan calon yang dikehendaki tanpa harus mendapatkan persetujuan DPRD.

 

  1. 3.      Undang-undang Nomor 1 tahun 1957

UU 1 Tahun 1957 ditandai dengan penekanan lebih jauh lagi ke arah desentralisasi. UU No. 1 Tahun 1957 adalah produk sistem parlementer liberal hasil Pemilihan Umum pertama tahun 1955, di mana partai-partai politik menuntut adanya Pemerintah Daerah yang demokratik.

 

  1. 4.      Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959

Tanggal 16 Nopember 1959, sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden, Pemerintah mengeluarkan Penpres 6 tahun 1959 untuk mengatur Pemerintah Daerah agar sejalan dengan UUD 1945. Dalam Penpres tersebut diatur bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Kepala daerah mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutif daerah dan wakil Pusat di daerah. Kepala Daerah juga bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai eksekutif daerah, dia bertanggungjawab kepada DPRD, namun tidak bisa dipecat oleh DPRD. Sedangkan sebagai wakil Pusat dia bertanggungjawab kepada Pemerintah Pusat.

 

  1. 5.      Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965

Kebijakan pada UU No. 18 Tahun 1965 merupakan arus balik dari kecenderungan sentralisasi menuju desentralisasi. Hal ini nampak dari kebebasan yang diberikan kepada Kepala daerah dan BPH untuk menjadi anggota partai politik tertentu. Dengan demikian, kesetiaan atau loyalitas eksekutif daerah tidak lagi hanya kepada Pemerintah Pusat. Pada masa ini terjadi tuntutan yang kuat untuk memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dan tuntutan pendirian daerah otonomi tingkat III yang berbasis pada Kecamatan. Kondisi tersebut akan memungkinkan Parpol untuk mendapatkan dukungan politis dari grass-roots.

 

  1. 6.      Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974

Era demokratisasi terpimpin telah berakhir dan diganti oleh era pemerintahan Orde Baru. Dalam pengaturan pemerintahan daerah, UU 18 Tahun 1965 diganti dengan UU No. 5 Tahun 1974. Ada tiga prinsip dasar yang dianut  oleh UU No. 5 Tahun 1974, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Prakteknya, prinsip dekonsentrasi lebih dominan. Struktur pemerintahan daerah terdiri dari kepala Daerah Otonom dan sebagai Kepala Wilayah (yaitu Wakil Pemerintah di Daerah). DPRD mempunyai kewenangan melakukan pemilihan calon Kepala Daerah, namun keputusan akhir ada di tangan Pusat. Bangunan Pemerintah Daerah yang demikian, kondusif untuk menciptakan landasan yang kuat untuk pembangunan ekonomi. Sistem tersebut pada satu sisi telah menciptakan stabilitas, kondusif untuk menjalankan program-program nasional yang dilaksanakan di daerah. Namun pada sisi lain, kondisi telah menciptakan ketergantungan yang tinggi dalam melaksanakan otonominya, seperti ketergantungan dalam aspek keuangan, kewenangan, kelembagaan, personil, perwakilan termasuk pelayanan yang dihasilkan oleh Pemerintah Daerah.

 

  1. 7.      Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimaksudkan untuk mengoreksi UU 5 Tahun 1974 yang dirasa  sentralistik menjadi desentralistik dan mendekatkan pelayanan masyarakat menjadi pelayanan local, serta meningkatkan pendidikan politik masyarakat. Prinsif otonomi seluas-luasnya menjiwai hampir di semua pasal. Bahkan manajemen kepegawaian dan keuangan yang di UU pendahulunya diatur dengan ketat oleh Pusat didelegasikan secara penuh kepada Daerah. Sebagian besar istilah yang dipakai di UU ini mengadopsi dari UU No. 5 Tahun 1974, namun istilah “subsidi”, “ganjaran” dan “sumbangan” dihapus sama sekali, diganti dengan dana perimbangan. Menurut UU ini, Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat Daerah; DPRD berada di luar Pemerintah Daerah berfungsi sebagai Badan legislatif Daerah yang mengawasi jalannya pemerintahan. Otonomi daerah tetap dititik beratkan di Kabupaten/Kota, namun Bupati/Walikota tidak lagi bertindak selaku Wakil Pemerintah di Daerah. Fungsi ini dipegang hanya oleh Gubernur sebagai bagian dari Integrated Prefectoral System, Secara eksplisit, UU ini juga menyebutkan tidak ada hubungan hierarkhis antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam penyelenggaraannya, ternyata otonomi daerah yang diselenggarakan berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 menghadapi berbagai potensi permasalahan,  antara lain (1) terjadinya konflik kewenangan seperti di Pelabuhan, Kehutanan, Investasi, Otorita Batam, dan banyak lagi lainnya; (2) Lembaga Daerah membengkak, pengelompokan tugas tidak tepat, biaya organisasi tinggi, biaya operasi dan infrastruktur terabaikan; (3) rekruitmen, pembinaan dan mutasi personil tidak berdasar kompetensi dan profesionalisme, pendekatan kedaerahan didahulukan; (4) sarana dan prasarana organisasi terabaikan, teknologi informasi belum terpakai optimal; (5) manajemen pembangunan dan pelayanan belum mengalami reformasi (perubahan) mendasar; (6) dalam menggali sumber penerimaan daerah telah terjadi pula berbagai ekses antara lain: peningkatan PAD yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi, ketergantungan daerah dari DAU yang mematikan kreatifitas daerah dan penerimaan sah lainnya yang belum dioptimalkan; (7) standar pelayanan minimum yang belum terumuskan dengan baik; dan (8) DPRD dalam system perwakilan (baru) menjadi sangat powerfull, Kepala Daerah (eksekutif) tersandera oleh Laporan Pertanggungjawaban.

 

  1. 8.      Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

 

Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai amanat UUD 1945 yang telah di amandemen, maka UU No. 22 Tahun 1999 telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ini  merupakan penyempurnaan dalam rangka menyesuaikan dengan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah.

Secara garis besar penyempurnaan terhadap UU No. 22 Tahun 1999 didasarkan untuk penyesuaian ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 dengan UUD 1945, Ketetapan dan Keputusan MPR serta penyerasian dan penyelarasan dengan undang­-undang bidang politik dan undang-undang lainnya. Di samping itu juga melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang menimbulkan permasalahan, menyebabkan penafsiran ganda dan belum lengkap.

Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia memasuki babak baru dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004. Undang-undang tersebut secara substansial mengubah  beberapa paradigma penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam UU No. 22 Tahun 1999. Salah satunya adalah desentralisasi dan dekonsentrasi dipandang sebagai sesuatu yang bersifat kontinum bukan bersifat dikotomis. Secara filosofi, keberadaan Pemerintahan Daerah disebabkan karena adanya masyarakat pada daerah otonomi. Pemerintahan Daerah dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, sehingga keberadaan Pemerintahan Daerah dalam rangka pemberian pelayanan merupakan inti dari penyelenggaraan otonomi daerah. Orientasi pemberian pelayanan kepada masyarakat ini dapat dilihat antara lain dalam hal pembentukan daerah yang dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik, mempercepat kesejahteraan masyarakat, serta sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal. Untuk itu maka pembentukan daerah mempertimbangkan berbagai faktor seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, luas wilayah, kependudukan dan pertimbangan dari aspek politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan serta pertimbangan dan syarat lain yang memungkinkan daerah itu menyelenggarakan dan mewujudkan tujuan dibentuknya otonomi daerah. Dalam pembentukan daerah, UU No. 32 Tahun 2004 juga mengatur persyaratan administrasi, teknis dan fisik kewilayahan.  Hal ini dimaksudkan agar pembentukan daerah dapat menjamin terselenggaranya pelayanan secara optimal

Akar masalah yang muncul adalah kesalahan dalam mempersepsikan otonomi daerah. Otonomi seringkali diukur dengan kemampuan keuangan daerah. Akibatnya konsep “urusan” lebih dikaitkan dengan “keuangan”, yaitu hak daerah untuk menggali sumber keuangan dan bukan untuk memberikan pelayanan. Akibatnya,  terjadi perebutan urusan antar tingkatan pemerintahan dengan justifikasinya masing-masing yang bermuara pada terlantarnya pelayanan masyarakat.

Orientasi pelayanan masyarakat di dalam UU No. 32 Tahun 2004, dicerminkan dalam pembagian urusan antar tingkat pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan dalam konteks desentralisasi merupakan penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah kepada daerah otonom. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah hanyalah urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah saja (eksekutif), tidak termasuk urusan yang menjadi kewenangan legislatif (pembuatan UU) dan urusan yang menjadi kewenangan yudikatif (peradilan), Pembagian urusan pemerintahan berangkat dari adanya diktum tidak mungkin urusan diselenggarakan semuanya oleh Pemerintah atau semuanya diserahkan kepada daerah.

Berkenaan dengan pembagian urusan pemerintahan terdapat pembagian urusan yang spesifik. Pertama, urusan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah Pusat, meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi, dan agama. Kedua, urusan yang bersifat concurrent atau urusan yang dapat dikelola bersama antara Pusat, provinsi, atau pun kabupaten/Kota. Pembagian urusan ini  diatur dalam pasal 11 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, dengan menggunakan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dalam rangka mewujudkan proporsionalitas pembagian urusan pemerintahan, sehingga ada kejelasan siapa melakukan apa. Dalam urusan bersama yang menjadi kewenangan daerah terbagi dua, yakni urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar dan sebagainya. Sedangkan yang bersifat pilihan adalah hal yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan.

Adanya pengaturan yang bersifat wajib, sangat terkait dengan kebutuhan mendasar masyarakat, sehingga menjadi kewajiban bagi Pemerintah Daerah untuk menyediakan pelayanan yang prima. Adanya pengaturan tersebut dimaksudkan untuk menghindarkan daerah melakukan urusan yang kurang relevan dengan kebutuhan warganya dan tidak terperangkap untuk melakukan urusan atas pertimbangan pendapatan semata. Selanjutnya agar penyediaan pelayanan kepada masyarakat mampu memenuhi ukuran kelayakan minimal, pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat oleh Pemerintah Daerah harus berpedoman kepada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan oleh Pemerintah. Selain melaksanakan urusan yang bersifat wajib, dalam menyelenggarakan otonomi, daerah juga mempunyai kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2004, sebagai penegasan bahwa Pemerintahan Daerah merupakan sub-sistem dari sistem pemerintahan Nasional dalam perspektif pemberian pelayanan umum. Sebagai implikasi dari penataan urusan perlu dilakukan penataan kelembagaan yang pada prinsipnya merupakan pewadahan dari urusan yang diserahkan kepada daerah yaitu lembaga Pemerintahan Daerah (Pemerintah Daerah dan DPRD), serta ditetapkan organisasi dan tata kerja Perangkat Daerah melalui Peraturan Daerah.

Aspek penting lainnya adalah aspek demokratisasi yang diukur dari unsur keterlibatan masyarakat dalam menentukan pejabat publik di daerah. Berdasarkan konsep ini, pemerintahan dapat dikatakan demokratis apabila para pejabat yang memimpin Pemerintahan Daerah itu dipilih secara langsung dan bebas oleh masyarakat dengan cara yang terbuka dan jujur. Oleh sebab itu, maka berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah akan dipilih secara langsung oleh rakyat yang selambat-lambatnya akan dilaksanakan pada bulan Juni Tahun 2005. Melalui Pemilihan yang demokratis ini diharapkan akan memperkuat posisi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam mewujudkan Hubungan Kemitraan antara Pemerintah Daerah dan DPRD. Hubungan antara Pemerintah Daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa di antara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan Otonomi Daerah sesuai fungsi masing-masing, sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung, bukan merupakan lawan ataupun pesaing dalam melaksanakan fungsi masing-masing. Keberadaan DPRD yang merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah haruslah mampu menciptakan check and balances disamping melalui fungsi anggaran yaitu dalam menyusun APBD juga melalui fungsi legislasi dan pengawasan terhadap Pemerintah Daerah, untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari praktek KKN.

About Inspirasi

Tabloid Inspirasi adalah tabloid dwimingguan yang berisi artikel dan opini dari para inteletual Indonesia yang ditujukan untuk membantu meningkatkan kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam mendukung good governance. Selain itu, Inspirasi juga menerbitkan biografi para tokoh yang memiliki karya besar dalam bidangnya.

Posted on 19 Maret 2010, in Uncategorized. Bookmark the permalink. 2 Komentar.

  1. Bang, saya izin copas sedikit buat laporan PKL saya yah…
    atas izinnya, terima kasih

  2. MAKASIH BANYAK GAN KEREN BANGET

Tinggalkan komentar