Category Archives: Wawancara

“Kalau Orientasinya Ekspor Harus Terapkan Manajemen Industri”

Konflik di Timur Tengah tidak berpengaruh pada ekspor produk pertanian Indonesia selama pemerintah tetap mengontrol atau tidak menaikkan harga bahan bakar minyak dalam negeri. Sementara itu, konflik di Pantai Ganding sangat diharapkan dapat mempengaruhi ekspor produk pertanian Indonesia, khususnya cokelat. Penggalan berita di atas menandakan peluang ekspor produk pertanian Indonesia cukup menjanjikan. Dari sumber BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2010, data ekspor beberapa komoditi besar dan rangking di dunia, produk pertanian khususnya perkebunan Indonesia memegang peranan di pasar international, seperti kelapa sawit ekportir nomor wahid di dunia, karet menempati posisi nomor dua, kemudian kopi dan kakao berada di rangking ketiga di dunia.

Untuk lebih jauh bagaimana peran pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian, dalam menyikapi peluang dan persiapan komoditi lainnya masuk pasar international, belum lama ini Redaksi Tabloid INSPIRASI mewawancarai Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP), Kementerian Pertanian, Prof. Dr. Ir. Zaenal Bachruddin, M.Sc., Ph.D.,  di ruang kerjanya. Berikut petikan wawancaranya:

 

Bagaimana pendapat Bapak tentang peluang ekspor produk pertanian kita?

Sebelum kita berbicara ekspor, kita harus merubah paradigma petani yang memang mata pencahariannya adalah pertanian. Visi Kementan bukan tanpa makna: “Kami ingin menciptakan Industri Pertanian”. Industri yang berkesinambungan, nilai tambah, daya saing, beroreintasi pasar, dan juga memperhatikan kesejahteraan petani. Untuk merubah paradigma petani menjadi berorientasi pasar itu tidak mudah, tentu perlu ada sebuah lembaga. Bila melihat pasar itu ada tiga yang harus ditembus, yang pertama, pasar yang memang kebutuhan dasar nasional, yang kedua, subtitusi barang impor, dan yang ketiga adalah ekspor.

 

Tapi mengapa kesannya produk pertanian kita sulit ekspor?

 

Produk pertanian Indonesia sebenarnya tidak terlalu sulit untuk ekspor. Bahkan untuk komoditi perkebunan seperti kopi, kelapa sawit/CPO, karet alam, biji kakao dan kelapa Indonesia merupakan the big five di dunia. Namun untuk ekspor buah, sayuran dan jagung memang jumlahnya kurang signifikan. Hal ini dikarenakan beberapa faktor antara lain:  terbatasnya supply produk yang berkualitas dikarenakan proses budidaya yang masih belum terdisain untuk ekspor sehingga sangat terbatas untuk mendapatkan komoditi yang memenuhi standar ekspor, terutama karena lahan pertanian di Jawa (sebagai sentra komoditi buah dan sayuran) semakin sempit, termarginalisasi oleh kebutuhan lahan untuk industri.

 

Kendala lainnya apa, Pak?

 

Komoditi yang dihasilkan umumnya tidak seragam. Skala usaha umumnya kecil. Akibatnya kontinuitas supply terbatas dan harga jual kurang bersaing. Penggunaan cool chain management system di tingkat petani sangat terbatas akibatnya kualitas produk tidak terjamin, infrastruktur jalan dan pelabuhan di sentra produksi kurang memadai. Selain itu,  masih adanya regulasi yang belum kondusif berpihak untuk pengembangan hotikultura yang berdaya saing, dukungan perbankan dalam hal pengembangan/investasi hortikultura masih sangat terbatas, dan kemudian perlu juga dicatat bahwa konsumsi dalam negeri yang tinggi terhadap komoditi tersebut sangat tinggi mengingat jumlah penduduk yang besar. Khususnya untuk produk pangan seperti beras, gula, kedelai dan daging.

 

Untuk menuju paradigma kebijakan pertanian yang berorientasi ekspor, bagaimana bentuknya?

 

Beberapa kebijakan nasional yang mendukung ekspor seperti, kebijakan nasional terkait enam koridor ekonomi, program Merauke Integrated Food Estate (MIFE) di Merauke Papua, kerjasama pembangunan Multi Industry Complex (MIC) Project untuk pengembangan kawasan komoditi pertanian dari hulu hingga hilir termasuk infrastrukturnya untuk tujuan ekspor ke Korea Selatan. Saat ini masih dalam pembahasan dengan pemerintah Korea Selatan, kerjasama Agribusiness Working Group IndonesiaSingapore untuk mencapai kembali pangsa pasar buah dan sayuran Indonesia di Singapura yang sempat mencapai 30% pada tahun 80-an. Program ini melibatkan Kementerian Pertanian, AVA Singapura, swasta (Asosiasi Eksportir Sayuran dan Buah Indonesia), petani dan stakeholder lainnya, dan pembukaan akses pasar produk pertanian Indonesia melalui kerjasama perdagangan internasional AFTA, ASEAN-China FTA, ASEAN Korea FTA, IJ-EPA, ASEAN—Australia New Zealand, dan lain-lain.

 

Bagaimana kebijakan Kementerian Pertanian bidang holtikultura agar produknya bisa diekspor dengan baik?

 

Di internal,  kami sedang mengembangkan usaha perbenihan hortikultura yang berorientasi ekspor di dalam negeri, percepatan sertifikasi GAP (Good Agriculture Practices) terhadap kelompok tani hortikultura yang berorientasi ekspor, dan pembentukan kawasan hortikultura yang berorientasi ekspor di sentra-sentra hortikultura. Untuk eksternalnya, kami berupaya adanya perbaikan infrastruktur, seperti jalan usaha tani dan jalan umum di  sentra-sentra hortikultura.

 

Untuk pelayanan pengiriman di pelabuhan atau bandara bagaimana?

 

Kami sedang mengupayakan pembangunan “perishable warehouse” di Bandara Soekarno Hatta sebagai tempat penampungan sementara kargo sayuran dan buah untuk ekspor, pembangunan atau perbaikan sarana pelabuhan untuk bongkar muat sehingga proses bongkar muat lebih efektif dan efisien. Perlunya regulasi yang memprioritaskan kargo hortikultura di pelabuhan laut dan udara untuk ekspor, perlunya regulasi pemberian harga khusus/diskon oleh perusahaan penerbangan nasional terhadap kargo udara komoditi hortikultura untuk ekspor, dan adanya insentif khusus bagi pelaku usaha hortikultura yang berorientasi ekspor.

 

Strategi apa untuk memperkuat peluang ekspor produk pertanian kita?

 

Langkah-langkah yang telah, sedang, dan perlu diambil pemerintah adalah seperti kebijakan dan program di atas.

 

Bagaimana dengan peran teknologi dalam peningkatan daya saing produk pertanian? 

 

Jelas teknologi dalam meningkatkan daya saing produk pertanian sangat penting. Teknologi yang diterapkan adalah yang efisien dan applicable di tingkat petani/GAPOKTAN. Diakui bahwa salah satu yang membuat Indonesia sulit mengembangkan ekspor untuk produk-produk tertentu seperti buah dan sayuran adalah antara lain kurangnya teknologi yang mendukung, antara lain: teknologi benih untuk produk yang sesuai permintaan pasar tapi sesuai dengan karakteristik dan persyaratan tumbuh yang baik di Indonesia. Teknologi budidaya dan farm management yang belum optimal, teknologi pasca panen, penyimpanan, transportasi dan cool storage produk pertanian yang belum optimal, dan teknologi grading, packing sorting dan packaging yang belum optimal.

 

Saat ini posisi kita berada dimana untuk pasar produk pertanian?

 

Untuk pasar pertama kita lebih cenderung untuk persediaan domestik, kita mengamankan kebutuhan pangan nasional, seperti: padi, jagung, kedelai. Substitusi impor itu ada daging, susu, itu ada programnya sekian tahun harus swasembada. Kita mengurangi ketergantungan impor. Untuk ekspor beberapa komoditas kita sudah ada yang menjadi lead terutama untuk perkebenunan. Secara volume kita beberapa komoditi memimpin, tapi secara nilai uangnya kita ke sekian. Seperti karet, secara volume kita nomer dua, tapi secara nilai kita nomor enam,  itu karena masalah di hilir. Pertanian dikoreksi positif karena prestasi perkebunan, penyumbang devisa juga. Secara nilai juga positif. Kemudian yang tak kalah penting lagi adalah emerging komoditi yaitu tropical fruit, bunga, dan minyak atsiri. Tapi yang paling berpeluang adalah buah-buahan.

 

Kenapa produk buah-buahan yang berpotensi seperti jeruk Bali itu tidak diberdayakan lagi?

 

Saya serius sekali, dulu pernah diberdayakan. Namun, persiapan kita yang kurang. Ada dua hal yang harus diperhatikan yang pertama internal kita itu pertanian jelas. Yang kedua adalah kewenangan di luar Kementan. Kalau kita bicara perdagangan itu melibatkan berbagai kementerian. Kalau bicara masalah hortikultura itu akan terkait dengan kepemilikan lahan yang terkait dengan efisiensi. Saya berharap Gapoktan mengatur lahan yang dan mengelola komoditi yang berpotensi pasar, dan kerjasama dengan asosiasi ekspor.

 

Apakah sudah ada  ekspor buah-buahan kita, dan kemana saja?

 

Sudah ada, yang sudah masuk ke China ada buah salak. Mangga, potensi juga, bahkan kemarin ke Timur Tengah, Amerika Serikat diekspor mangga juga. Pisang ekspor ke Jepang. Sekali lagi, dalam budidaya kalau orientasinya ekspor itu harus dilakukan dengan manajemen industri.

 

Bagaimana nasib apel Malang, apakah bisa diekspor juga?

 

Itu orientasi kesekian. Apel itu kan bukan buah tropis. Di Eropa apel lebih hebat. Tapi saya setuju untuk dikembangkan dari keunikan taste-nya. Kita harus ingat kalau pertanian ini harus dikelola dari hulu sampai hilir.

 

Kenapa kita tidak bisa membuat image seperti Bangkok. Kendalanya dimana?

 

Ke depan kita berfokus pada peningkatan nilai tambah. Yang berpengaruh dalam daya saing ini adalah infrastruktur, transportasi misalnya. Kebijakan yang kondusif dari kita harus mendukung terhadap peningkatan daya saing. Soal image itu kan strategi pemasaran yang ditunjang dengan daya saing produknya.

 

Apakah  sudah ada studi banding dengan negara lain soal ekspor produk pertanian?

 

Itu sudah kita lakukan, tahun lalu kita punya tim untuk market intelligence, kita kerjasama dengan IPB untuk mengkaji hal itu. Yang kedua kita menempatkan komisi untuk mengkaji keadaan di luar. Dan komisi market intelligence ini sedang dikaji oleh Pak Menteri. Tadinya diajak kerjasama oleh Malaysia, tapi kita ingin melakukan sendiri dulu, agar kita punya pengalaman.

 

Hal apa saja yang telah kita pelajari dari keberhasilan negara lain?

 

Untuk meningkatkan kualitas, standar, kuantitas dan kontinuitas produk pertanian berorientasi ekspor, Kementerian Pertanian terus belajar terutama dari pengalaman negara-negara yang sukses melakukan itu, baik melalui program training, magang maupun market intelligence. Selain di bidang teknologi on farm, Indonesia perlu belajar dari aspek koordinasi di semua lini.

 

Dengan negara mana saja kita bisa belajar?

 

Belajar dari sesama Negara ASEAN seperti Thailand, misalnya, untuk meningkatkan ekspor. Di negara itu tidak hanya instansi pertanian yang bekerja keras, tetapi juga dukungan perbankan, transportasi udara dan laut, asuransi serta unsur pendukung lainnya. Dari Malaysia, kita dapat belajar bagaimana di setiap komoditian dalam ekspornya dibangun suatu “board” yang secara professional mendukung penuh upaya-upaya peningkatan ekspor.  Nah, kita sudah mulai merintis hal tersebut dengan didirikannya beberapa dewan komoditi, walaupun saat ini masih terbatas untuk komoditas perkebunan.

 

Jadi, bagaimana peluang ekspor produk pertanian kita ke depan?

 

Kalau pasar internasional itu peluangnya sangat besar, cuma dari internal kita yang harus diperbaiki. Kita belum bisa menghasilkan produk yang seragam, continue, dan baik yang diminta oleh pasar.

“Ini Seperti Mengadu Kambing dengan Gajah..”

H. Sudir Santoso SH (Ketua Umum Parade Nusantara):

Ini Seperti Mengadu Kambing dengan Gajah..

 

Bicara soal bangsa tidak ada habis-habisnya. Dari bergam persoalan yang dikemukakan,  terkesan pemerintah selalu menjadi biang keroknya. Contoh ketika berdiskusi mengenai mampukah waralaba kita bisa go international?  Ketua Umum Parade Nusantara, H Sudir Santosa SH mengatakan kesalahan pemerintah itu ada tiga “i”, yaitu: regulasi, intervensi dan subsidi. Ketika disambangi Redaksi INSPIRASI di kawasan Cikini, Jakarta belum lama ini, pria kelahiran Pati, 4 Februari 1962 ini mengungkapkan persoalan itu semua dikarenakan kurang seriusnya pemerintah dalam memajukan dunia usaha. Untuk mengetahui lebih gamblang perbincangan itu, berikut petikan wawancaranya:

 

Beberapa usaha lokal sukses diwaralabakan. Bahkan, ada yang bisa memiliki outlet bisa hadir di luar negeri. Bukankah hal itu berarti waralaba kita memang mampu go international?

 

Kalau kita berbicara go international mungkin, kalau menurut saya oke-oke saja. Kita kalah start jauh. Statistik pembisnis orang-orang kita dengan Malaysia saja kita jauh. Sekarang Thailand sudah nyalip, Vietnam dalam beberapa hal saja kita sudah kalah. Kalau menurut saya,  kemungkinan waralaba lokal untuk go internasional, menurut saya jauh dari harapan. Penyebabnya adalah  culture, jadi culture pengusaha Indonesia ini tidak tahan banting. Kita lihat saja di Asia Pacific, jangan lihat Amerika dan sebagainya. Carrefour saja koperasi dari Perancis yang bisa mendunia karena didukung dengan manajemen yang sangat bagus.

 

Bagaimana dengan Rumah Makan Sederhana, Ayam Bakar Wong Solo, Ayam Goreng Kremes, yang berhasil membuka waralaba di luar negeri?

 

Memang sebetulnya ada beberapa item, misalnya kopi, makanan-makanan khas Indonesia, yang sebenarnya bisa go international. Tapi masuknya dia bukan karena kompetisi tapi karena keunikannya. Ada prestasi dari bangsa Indonesia sebelum waralaba marak, yaitu warung makan padang. Warung makan padang sebenarnya sudah go international semenjak tahun 1980-an. Di Amerika ada, di Rusia ada, di Filipina ada. Kalau dibilang tadi culture, pengusaha yang bisa go internasional itu ya orang Padang, karena culture dagangnya sangat kuat. Cuma belum ada image branding, karena mereka dulu belum mengenal sistem itu.

 

Bagaiamana peran pemerintah untuk membantu waralaba lokal go international?

 

Kalau kita berbicara masalah government, itu seharusnya yang dilakukan adalah tiga “I”, yang pertama ketika pemerintah dalam keadaan normal,  itu yang dibuat adalah “regulasi”. Seorang anggota parlemen di Amerika keberhasilannya dalam lima tahun itu diukur dalam seberapa banyak dia melahirkan undang-undang. Bukan dilihat dari fungsi budgetingnya atau legilasinya. Indonesia bisa dilihat, satu tahun paling cuma 10 undang-undang, Lebih parah lagi mayoritas adalah undang-undang yang bersentuhan dengan kepentingan sendiri, selebihnya “orderan”.

 

Wah, jadi menarik nih.. Kemudian, apa lagi Pak?

 

Kemudian “I” yang kedua adalah intervesi ketika negara dalam keadaan tidak stabil. Ketika harga beras tidak stabil misalnya, karena ulah spekulan, yang dilakukan adalah “intervensi” pasar. Karena pemerintah punya kekuasaan itu. Dia punya bank central, dia punya modal, dia punya alat. Lalu “I” yang ketiga adalah “subsidi”, ketika terjadi separasi yang cukup tinggi atau masyarakat tidak mampu menjangkau, pemerintah memberikan subsidi.

 

Bukannya hal itu sering disampaikan?

 

Ya, cuma pelaksanaannya belum tepat. Regulasi kita untuk go internasional waralaba belum ditata. UU ini kan inisiatifnya ada dua, bisa dari pemerintah ataupun DPR, tapi DPR sendiri belum ada inisiatifnya. Undang-undang kita itu kan dibuat berdasarkan kepentingan. Kalau lihat dunia usaha UU-nya kan UU penanaman modal, kita lihat satu pasal saja dari UU itu, negeri ini bisa terjual. Waralaba itu sulit untuk berkembang karena satu, regulasinya kurang care kemudian subsidi jauh tidak dilakukan, subsidi untuk kepentingan rakyat kecil saja nggak jalan.

 

Peran asosiasi sendiri,  apakah bisa mendorong pemerintah?

 

Saya orang asosiasi yang realistis bukan fatalistis. Asosiasi pengusaha yang besar di Indonesia ini kan Kadin. Tapi apa peran Kadin? Hanya dinikmati oleh kalangan elit saja. Banyak asosiasi-asosiasi yang hanya untuk kepentingan kelompoknya saja, tidak bisa mempengaruhi pemerintah.

 

Kalau lihat Petronas Malaysia, pom bensinnya (SPBU) ada di mana-mana, itu kan juga waralaba? Kenapa Pertamina tidak bisa seperti itu?

 

Tahun 1980-an Malaysia itu belajar kepada kita. Tapi sekarang menyodok atau menyalip kita. Itu karena ekonomi mereka berjalan oleh regulasinya. Anak-anak yang pintar dari Malaysia itu disediakan uang negara untuk belajar ke luar negeri sesuai dengan kompetensinya. Ingin belajar hukum, dikirim ke Belanda. Ingin menguasi iptek, dikirim ke Jerman. Ingin mengusai menejemen dan akuntansi, kirim ke Amerika. Bahkan ada yang dikirim ke Indonesia untuk mempelajari budaya Melayu dan sebagainya. Jadi, intinya regulasi. Tanggung jawabnya yaa parlemen. Harus ditekankan kepada parlemen kalau kinerjanya diukur dari regulasi yang dihasilkan, baik kuantitas maupun efektifitas.

 

Jadi, Bapak ingin mengatakan kalau kita tidak punya master plan?

 

Iya dong, Orde Baru yang dibenci-benci itu punya Repelita, dan semuanya dituangkan dalam GBHN. Reformasi ini hanya berbuah eforia kebebasan. APBN yang rata-rata mencapai Rp 1.300 triliyun itu 70% habis untuk belanja rutin, karena tidak ada regulasinya.

 

Waralaba yang ada di dalam negeri itu kan bisa menghancurkan ekonomi kecil. Mereka bangun minimarket atau mall, sementara di sampingnya pasar. Bagaimana menurut Bapak?

 

Pemerintah kurang konsisten dalam masalah ini. Ini seperti mengadu kambing dengan gajah. Kemampuan rakyat kita masih kambing, sementara pesaing dari luar itu gajah. Ini akan debatable, tapi mereka pasti punya alasan-alasan. Parade Nusantara meneliti itu di daerah, sepanjang 4 Km usaha-usaha masyarakat asli mati karena adanya gurita warung waralaba yang sampai ke kecamatan-kecamatan, bahkan desa. Akibatnya, usaha di desa yang sudah kecil disaingi lagi oleh gurita. Akhirnya, solusi jadi buruh migran di kota ataupu jadi TKI dan TKW di luar negeri. Ini karena pemerintah lalai dalam regulasi. Sekitar 70% masyarakat Indonesia itu tinggal di desa. Tapi APBN untuk desa hanya 1,3% saja dari APBN total. Ini karena tidak ada regulasi yang jelas. Jadi, kembali lagi waralaba itu ikut mematikan bisnis rakyat kecil.

 

Kemudian dalam konteks subsidi, BBM sendiri sudah disubsidi oleh pemerintah, pendapat Bapak bagaimana?

 

Menurut saya salah. Lihat mobil-mobil di jalanan, Pemerintah tidak mensubsidi petani kita.bagaimana caranya? Petani kita ini kan sangat sulit mendapat kepercayaan bank. Kenapa pemerintah tidak membuat subsidi atau membuat asuransi yang menjamin kepada mereka. Tahun 1980-an orang kaya di desa itu sangat susah untuk mendapatkan sepeda motor. Tapi di tahun 2000-an cukup dengan KTP dan KK uang muka Rp 500 ribu mereka bisa bawa motor, sangat mudah. Kenapa karena ada leasing yang dijamin oleh asuransi. Ini barang konsumtif yang tiap hari  mengrogoti terus. Petani yang pejuang pangan kita harusnya disubsidi dengan asuransi agar mereka punya akses terhadap pemodalan. Pemerintah ini lebih suka mensubsidi BBM karena ada hitungan keuntungannya.

***

Pria yang sempat menjadi Kepala Desa selama 12 tahun dari 1987-2009 di desa Gedung Winong, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah ini, juga angkat bicara soal pertanian dan nasib petani, karena baginya ia merasa orang desa yang tidak begitu diperhatikan oleh pemerinta baik di tingkat propinsi maupun pusat. Wajar saja dengan Parade Nusantaranya, yang memiliki anggota 680 ribu anggota perangkat desa, tidak bosan-bosan turun ke jalan untuk menyuarakan UU Desa. Ia juga sudah menjalin komunikasi dengan semua fraksi DPR RI. Namun anggota parlemen memenjelaskan tidak bisa berbuat banyak. Karena draft UU Desa masih berada di tangan ekskutif ( pemerintah ). Akibat kejadian itu menjadikan DPR RI tidak bisa melakukan pembahasan dengan Mendagri. saat ditanya soal pertanian, pria yang juga menjabat Ketua I Dewan Tani Indonesia bersemangat dan antusias.

 

Bapak tadi menyinggung masalah asuransi pertaninan. Sepertinya itu wacana yang bagus untuk petaniBisa Bapak jelasnkan lebih jauh?

 

Ini lagi-lagi, masalah goodwill dari pemerintah yang kurang. Kita harus lihat multiplier effect-nya. Misalnya, petani diberi bibit baru untuk intensifikasi pertanian, ya mereka mau karena ada jaminan kalau gagal. Yang kedua, kalau tidak ada pupuk, petani yang teriak akan kurang didengan. Tapi kalau ada asuransi, asuransi bisa ikut turun tangan memastikan ada pupuk. Kan kalau tidak ada pupuk, asuransi yang rugi…

 

Kalau di asuransi kan ada premi yang harus dibayar.. Nah, untuk dapat asuransi apakah petani mau bayar premi?

 

85% petani dan nelayan itu terlibat rentenir/lintah darat. Jadi, petani mampu, sebenaranya. Kalau sudah tidak mampu, kembali lagi pemerintah yang turun tangan melalui regulasinya. Lebih baik subisidi kepada petani. Petani menghasilkan beras, berasnya tidak impor, tercipta lapangan kerja di desa.

 

Tadi kan Bapak berbicara masalah regulasi yang kurang. Menurut Bapak solusinya apa?

 

Solusinya ya harus ada revolusi sistem, jangan malu-malu lagi. Orang pinter kalau berada dalam sisitem yang buruk akan ikut buruk. Orang buruk kalau ada dalam sistem yang baik akan baik.

 

Bagaimana caranya untuk melakukan revolusi sistem di Indonesia ini?

 

Saya kalau berbicara revolusi itu harus dari politik. Indonesia ini kan kalau revolusi anggapannya berdarah-darah, padahal tidak perlu harus begitu. Revolusi dalam kamus bahasa Indonesia itu artinya perubahan total, perubahan siginifikan. Revolusi Meiji (di Jepang, red), revolusi industri, semuanya revolusi, tapi tidak berdarah-darah.

 

Indonesia ini reformasi saja sudah berdarah-darah, bagaimana ini Bapak?

 

Oh, harus tidak.. Indonesia saat ini membutuhkan pemimpin yang visioner, strong man, tapi bukan diktator. Keputusan jelas dan tepat. Juga terarah dan terukur. Presiden punya kewenangan yang sangat besar, kenapa tidak digunakan untuk menyejahterakan rakyatnya?

 

Kalau asuransi pertanian itu disediakan, ketahanan pangan kita bisa terbantu, Pak?

 

Jawaban pasti. Di jaman perubahan iklim ini perang yang akan terjadi bukan untuk memperluas kekuasaaan tapi karena pangan. Amerika negara kaya petaninya itu disubsidi kok.

 

Negara mana saja yang sudah menerapkan asuransi pertanian? 

 

Amerika Serikat, Jerman, Malaysia, Thailand, China dan masih banyak lagi negara-negara yang menerapkan asuransi pertanian.

 

Saat ini asuransi pertanian yang ada di Indonesia bagaimana?

 

Asuransi yang ada di Indonesia itu baru kepada perkebunan sawit, itu semua dikuasai oleh korporasi. Kalau dari sisi pertanian pangan, padi misalnya, itu belum ada.

 

 

 

 

 

 

Bio Data

 

Nama Lengkap                        : H. Sudir Santoso, SH.

Tempat Tanggal Lahir                        : Pati, 4 Februari 2011

Agama                                     : Islam

Pendidikan                              : S1 Fakultas Hukum Univeritas 17 Agustus Semarang

S2 Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus Semarang

S3 Universitas 17 Agustus Semarang (dalam penyelesain)

Pengalaman Kerja                  : 1987-2009: Kepala Desa Kedung Winong, Kecamatan Sukolilo,

Kabupaten Pati, Jawa Tangeh

Saat ini    : Advokat

Organisasi                               : 2002-Sekarang Ketua Umum Parade Nusantara (Persatuan

Rakyat Desa Nusantara)

Ketua I Dewan Tani Indonesia

“Koperasi Kita Semakin Buram”

Sejarah koperasi Indonesia sudah ditorehkan sejak lama. Tidak itu saja, roh koperasi juga selaras dengan spirit dan nilai-nilai budaya bangsa kita yang menjunjung tinggi semangat kesatuan dan kegotong-royongan. Namun, dalam perkembangannya saat ini, koperasi justru tidak cukup berkembang sebagaimana sebutan yang disematkan padanya, sebagai soko guru perekonomian Indonesia. Oleh karena itu bertepatan Hari Koperasi tahun ini, Tim Redaksi INSPIRASI mewawancarai Prof. Dr. H. Rully Indrawan, M.Si. yang kini menjabat Rektor IKOPIN, Bandung, untuk menggali apa sebenarnya yang tengah terjadi dengan koperasi di Indonesia. Berikut petikan wawancaranya:

 

Bagaimana Bapak melihat wajah koperasi kita yang usianya cukup panjang ini?

Jujur saja, semakin buram dan tidak jelas.

 

Seperti apa Pak? 

Masyarakat semakin kurang yakin dengan keberadaan koperasi dan design pengembangan ke depan masih belum menemukan format yang dapat meyakinakan semua pihak terhadap peran koperasi. Tarik-menarik tentang pemahaman dasar koperasi sering menyebabkan kekisruhan pelaku koperasi di lapangan, apakah yang mereka lakukakan masih dalam koridor koperasi atau bukan.

 

Bagaimana pertumbuhannya?

Secara kuantitatif, konon kabarnya mengalami pertumbuhan positif. Secara kualitatif selain koperasi fungsional, umumnya mengalami kemandegan luar biasa.

 

Sektor apa yang masih kuat digeluti koperasi di Indonesia?

Umumnya simpan pinjam, dan sedikit saja pada sektor lain, misalnya perdagangan.

 

Apa yang kurang, yang telah membuat wajah koperasi kita saat ini sebegitu memprihatinkan? 

Banyak faktor, secara internal koperasi kita membutuhkan format baru dalam perangkat instrumentasi strategi. Tidak bisa menggunakan lagi menggunakan mindset lama, sebab lingkungan strategis kita sudah berubah. Kecuali pada beberapa daerah yang memiliki karakteristik tertentu, misalnya di Indonesia Timur khususnya kepulauan, dimana atmosfir persaingan belum begitu kuat, format lama masih bisa digunakan.

 

Kemudian, apa Pak?

Kemudian dari sisi eksternal, keberpihakan pemerintah seyogyanya tidak dipahami dalam kerangka “belas kasihan” atau kebijakan “asesoris” tapi yang mampu menyentuh kebutuhan nyata koperasi. Faktanya koperasi saat ini masih cukup sulit mengakses permodalan akibat masalah struktural. Semestinya, Pemerintah bisa melakukan peran mediasi secara elegan, misal dengan mengaktifkan lembaga penjaminan simpanan maupun pinjaman.

 

Kira-kira format baru koperasi kita seperti apa Pak?

Format baru koperasi, secara ideologis harus dipertahankan sebagai gerakan ekonomi yang bertugas mendukung usaha anggota. Dalam perspektif instrumen, koperasi harus memiliki fleksibilitas dalam menyikapi perubahan yang ada di lingkungan strategisnya. Saat ini fleksibilitas manajemen kerap berhadapan dengan tekanan rapat anggota yang kadang-kadang tidak memahami masalah praktis yang dihadapi dalam bisnis koperasi.

 

Di era yang serba kompetitif seperti sekarang, masihkah koperasi memiliki prospek dan sanggup bersaing?

Faktanya koperasi tumbuh di negara-negara kapitalis. Koperasi besar 22% ada di Amerika, koperasi terbaik dunia ada di Jepang. Koperasi retail Perancis bisa bersaing dengan Carrefour di sana. Singapura, Belanda, Italia, Kanada dan negara-negara lain koperasinya tumbuh dengan baik dan bisa bersaing. Kalau di kita beum seperti itu, koperasinya yang salah, atau penyikapan kita kepada koperasi selama ini yang salah..

 

Dimana salahnya?

Ketidakberjalanan public relation koperasi. Padahal itu penting dalam format masyarakat seperti saat ini. ICA telah mengeluarkan 300 koperasi terbaik dunia, atau 300 koperasi terbaik di negara berkembang. Sudah disajikan dengan tepatkah success story  ini ke tengah masyarakat?

 

Bilamana koperasi kita masih sanggup dan prospektif, pemerintah harus ambil tindakan seperti apa?

Tadi sudah saya jelaskan, peran pemerintah harus seperti apa. Namun tidak akan banyak membantu bila semua diserahkan kepada pemerintah. Sejauh ini pemerintah juga sudah mulai banyak kewalahan memikirkan hal lain. Peran pemerintah dalam pembangunan koperasi setidak-tidaknya ada tiga, pertama sebagai regulator yang bijak, kedua sebagai penyedia infrastruktur usaha yang mendukung tumbuhnya sektor ril yang memadai, dan ketiga, sebagai fasilitasi dan mediasi pembiayaan.

 

Boleh dibilang sejarah koperasi kita sudah dikenal sejak tahun 1896, seharusnya sudah bisa membantu masyarakat. Namun mengapa saat ini koperasi kita nyaris tak terdengar?

Jujur saja sebenarnya koperasi sudah berperan. Bagaimana saat krisis ekonomi koperasi dijadikan penyangga ekonomi, kita yang signifikan. Kalau kurang terdengar, mestinya media massa ikut membantu. Briptu Norman atau Sita dan Jojo dibesarkan media massa. Masak untuk koperasi beritanya hanya seragam, misalnya penyimpangan pengurus, kebangkrutan, atau gedung koperasi yang mau roboh. Apakah sama sekali tidak ada yang bisa diangkat sedikit saja untuk ikon koperasi?

 

Bagaimana peran pemerintah kita dari dekade ke dekade tentang Koperasi?

Setelah Orde Baru tumbang, terasa sekali ada degradasi kehormatan koperasi. Ini seiring juga dengan program-program Orde Baru lainnya seperti KB, Transmigrasi, PKK, Pertanian dan lain sebagainya. Tapi sekarang alhamdulillah mulai dilirik kembali setelah melihat faktanya, program-program itu baik. Tapi recovery kepercayaan masyarakat terhadap koperasi membutuhkan waktu yang lama tampaknya.

 

Bisakah disamakan peran Koperasi dengan UMKM (Usaha Mikro dan Kecil Menengah)?

Itu kekeliruan yang lain, koperasi adalah lembaga ekonomi. UMKM  adalah skala ekonomi. Penyatuan seperti itu membuat koperasi dipersepsikan sebagai kecil yang tidak prospektif.

 

Apa yang sudah dilakukan  Kementerian Koperasi dan UKM untuk mendongkrak image atau citra koperasi di indonesia?

Sudah ada upaya, namun belum cukup. Karena membangun citra koperasi membutuhkan perubahan mindset secara mendasar. Kelompok muda belum sepenuhnya disentuh, potensi Kopsis atau Kopma sebagai bagian dari upaya kaderisasi belum berjalan dengan baik.

 

Apa kendalanya?

Tidak tahu persis, mungkin dana, mungkin juga karena problematika otonomi daerah.

 

Perlukah kita menghidupkan koperasi sebagai gerakan ekonomi  alternatif dalam rangka memberdayakan ekonomi kerakyatan kita?

Jelas, pada era persaingan dengan pasar bebas seperti ini, tidak mungkin usaha rakyat bertanding secara perorangan. Sulit bersaing. Koperasilah sebenarnya bisa digunakan dalam mensiasatinya.

 

Seperti apa caranya Pak?

Membangun sistem clustering

 

Bisa dijelaskan apa itu sistem clustering Pak?

Koperasi ke depan seyogyanya diarahkan pada mono purpose agar fokus.

 

Siapa yang menjadi motor atau inisiator koperasi sebagai gerakan ekonomi alternatif itu?

Asosiasi, Dekopin, dan dukungan pemerintah.

 

Bagaimana pandangan Bapak terhadap  generasi muda/penerus konsen dengan dinamika koperasi di Indonesia?

Cukup pesimis, di sekolah mereka sudah tidak lagi belajar perkoperasian secara khusus, termasuk di SMK. Di perguruan tinggi lebih parah lagi karena keterbatasan liearatur dan penelitian perkoperasian membuat pembelajaran koperasi, bila pun ada, masih memegang cara berfikir lama yang terbukti tidak efektif.

 

Bagaimana cara mengenalkan dan mengembangkan koperasi di kalangan generasi muda?

Koperasi harus memiliki citra baru, bagaimana batik yang lama bisa menjadi trendi di kalangan anak muda. Ini membutuhkan strategi baru dalam memasyarakatkan koperasi di kalangan anak muda.

 

Bagaimana penilaian Bapak melihat geliat koperasi di setiap daerah?

Setiap daerah apalagi dalam kerangka otonomi daerah, memiliki  karakteristik dan potensi yang berbeda. Setiap daerah harus memiliki keunggulan yang teridentifikasi.

Harapan di Harkopnas adalah Koperasi diharapkan harus kembali merebut posisi strategis. Bagaimana pendapat Bapak?

Harapannya tentu begitu, setiap tahun kita diingatkan tentang koperasi dan mudah-mudahan ke depan lebih baik apalagi tahun depan adalah Tahun Koperasi Internasional.

“Persiapan Indonesia memang sangat kurang..”

 

Wawancara Ekslusif

Melihat perkembangan ekonomi dewasa ini, terlebih sejak penerapan ACFTA, tampak terlihat jelas bahwa perlu ada penataan ulang terhadap orientasi kebijakan di bidang pertanian. Membanjirnya sejumlah komoditas pertanian impor di sejumlah pasar modern dan tradisional telah secara signifikan menggeser daya saing komoditas pertanian dalam negeri. Fenomena tersebut merupakan sinyal yang harus diwaspadai terkait masa depan sektor pertanian nasional. Untuk mendalami masalah tersebut, Redaksi Tabloid INSPIRASI melakukan wawancara dengan Dr. Ir. H. Rachmat Pambudy, MS, Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan juga merupakan dosen tetap pada Fakultas Ekonomi dan Manajeman IPB. Berikut petikannya:

Bagaimana pandangan Bapak dengan penerapan ACFTA, terutama pengaruhnya di sektor pertanian (pangan)?

 

Indonesia dan RRC adalah dua negara besar di Asia yang masing-masing memiliki produksi dan pasar yang besar. Sejarah panjang (bersahabat sejak merdeka, persamaan latar belakang sejarah penjajahan,  serta saling membutuhkan). Masing-masing negara memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif karena perbedaan letak geografis. RRC sebagai negara berpenduduk terbesar di dunia mempunyai daerah subtropis, sementara Indonesia yang berpenduduk nomer empat di dunia mempunyai wilayah tropis. Dengan diperlakukannya ACFTA maka China maupun Indonesia mempunyai keunggulan dan kelemahan di sektor pertanian dan pangan yang berbeda namun saling mengisi. Dengan diberlakukannya bebas tarif hingga 0 % maka hanya barang-barang yang terbaik dari sisi kualitas dan termurah dan disukai pasar masing-masing negara yang bisa masuk.

Imbasnya seperti apa bagi sektor pertanian kita?

Di sektor pertanian tropis Indonesia menghasilkan komoditas pertanian dan pangan tropis yang unggul dan bisa masuk ke China dengan mudah, misalnya: CPO, karet, coklat, kopi, rempah-rempah dan bio farmaka, udang, rumput laut, dan lain-lain.  Sementara China  unggul dengan produk hortikultura subtropis seperti apel, anggur, jeruk, pear, serta sayur-sayuran termasuk cabe merah. Produk-produk itu dengan diperlakukannya ACFTA akan semakin mudah keluar dan masuk di kedua negara.

Soal kebijakan pemerintah kita tentang hasil produk  pertanian dengan kebijakan ACFTA itu, pandangan Bapak sebaiknya seperti apa?

 

Pemerintah perlu lebih meningkatkan daya saing produk pertanian tropis dan mendorong supaya produk tersebut lebih banyak masuk ke RRC, melalui kebijakan promosi. Sementara pemerintah juga perlu memberlakukan kebijakan proteksi terhadap produk-produk yang masuk ke Indonesia secara ilegal dan tidak fair, misalnya produk dumping, produk-produk selundupan, produk-produk yang cacat dan tidak layak, kadaluarsa, serta produk-produk yang membahayakan (terkontaminasi hama-penyakit, pestisida, herbisida, dan bahan berbahaya lainnya) jika masuk ke Indonesia.

Kemudian daya saing kita untuk produk hasil pertanian saat ini, bagaimana pandangan Bapak?

Daya saing produk pertanian perkebunan tropis sampai saat ini masih bisa diandalkan, terbukti bahwa Indonesia menjadi eksportir terbesar untuk CPO, karet, coklat, kopi dan bahan baku obat obatan herbal. Indonesia juga sebaiknya tidak hanya mengekspor bahan semi jadi seperti CPO, crumb rubber, biji kopi dan coklat tetapi mengekspor minyak goreng dan turunannya yang bernilai tambah lebih tinggi. Mengekspor ban dan produk lain sepertri sarung tangan karet dan lain-lain. Daya saing itu harus terus dijaga dan ditingkatkan terutama untuk meningkatkan mengekspor bahan pertanian olahan yang bernilai tambah.

Mengapa produk pertanian kita “kedodoran” menghadapi ACFTA ini?

 

Selama ini yang kedodoran adalah produk pertanian subtropis. Kita tidak bisa menghambat atau tidak bisa bersaing untuk produk-produk seperti tanaman-tanaman hortikultura, buah, sayuran, yang segar maupun olahan. Indonesia kalah. Mengapa kedodoran karena pertanian subtropis, hortikultutra memang tidak siap untuk bersaing. Kekalahan juga bukan di sektor pertanian tetapi di ektor lain pendukung pertanian. Kekalahan pada suku bunga kredit/pinjaman termahal di dunia, infrastruktur buruk, transportasi mahal, teknologi ketinggalan. Tetapi untuk produk-produk seperti kelapa sawit, karet dan coklat serta kopi meskipun kurang ditunjang sektor lain (suku bunga, infrastruktur dan transportasi), Indonesia tetap unggul. Terbukti  tidak ada produk kelapa sawit dan karet, kopi dan coklat dari Cina masuk ke Indonesia.

Apa yang salah dengan pemerintah kita dengan adanya ACFTA, sementara produk dari negara China dan Asean sendiri membanjiri pasar domestik kita? 

 

Meskipun ACFTA sudah dipersiapkan dari awal tahun 2000, tetapi persiapan Indonesia memang sangat kurang. Indonesia saat ini dibanjiri semua produk Cina mulai dari mainan anak-anak, tekstil dan produksnya, garmen, barang-barang elektronik, barang-barang kimia, hingga produk otomotif. Namun untuk pertanian tropis, kita masih bisa bertahan. Pemerintah Indonesia kurang persiapan dalam menghadap ACFTA.

Pendapat bapak, bagaimana untuk memperkuat daya saing komoditas pertanian nasional kita?

Pertama, harus ada kebijakan yang terintegrasi dari hulu sampai hilir dalam penangan pertanian. Kemudian yang kedua, peningkatan kualitas SDM pertanian. Ketiga, mengembangkan jaringan infrastruktur di pedesaan ke pelabuhan sampai pengembangan transportasi yang efisien. Keempat, memberikan modal yang efisien kepada petani. Kelima, mengembangkan hasil-hasil penelitian yang langsung bisa dimanfaatkan oleh petani.

Bagaimana problematika petani dalam permodalan?

Petani selalu kesulitan mendapatkan akses modal. Selain itu, suku bunga yang dikenakan pada petani sangat mahal. Petani Indonesia mendapatkan suku bunga termahal di dunia dibandingkan petani-petani negara lain, terkadang lebih dari 20% pertahun.

Apa pandangan Bapak soal karakterisitik permodalan dalam usaha pertanian?

Karakteristik permodalan sulit diperoleh, suku bunganya tinggi, dan sering kali diterima petani tidak tepat waktu dan jumlah.

Bagaimana skema permodalan yang baik untuk petani, agar petani pun tidak terlalu terbebani?

 

Pertama, mudah diakses, kedua, suku bunganya rendah, kemudian waktu perolehan bisa disesuaikan dengan jadwal petani, kemudian ada asuransi gagal panen untuk mengembalikan modal jika terjadi hal-hal di luar kemampuan petani untuk menangani misalnya banjir, kekeringan, gempa bumi.

Pendapat Bapak, apakah pihak perbankan Indonesia masih berpihak kepada petani langsung atau perusahaan pertanian?

Pihak perbankan Indonesia yang terikat kepada undang-undang perbankan lebih mudah membantu perusahaan pertanian dibandingkan pada petani.

Dengan begitu,  dana untuk petani, apakah bisa dinikmati langsung oleh petani?

Tidak

Bagaimana peran lembaga keuangan mikro lainnya dalam permodalan pertanian?

Peran lembaga keuangan mikro sangat penting dalam permodalan pertanian karena usaha tani di Indonesia umumnya skalanya skala mikro dan lembaga keuangan mikro lebih fleksibel di dalam menyalurkan modal.

Bagaimana peran kementerian pertanian terhadap permodalan untuk petani? 

Peran kementerian sangat penting dan strategis terhadap permodalan kepada petani. Kementerian berkewajiban membuat strategi dan kebijakan permodalan untuk petani. Kementerian juga bertangung jawab terhadap penyaluran modal dengan kredit yang murah sesuai yang didapat petani-petani negara lain, mudah didapat, dan tepat waktu pada saat petani membutuhkan. Kementerian juga bertangung jawab untuk mengupayakan adanya asuransi yang menjamim petani yang mengalami musibah tetap dapat mengembalikan kreditnya melalui program asuransi petani.

Sementara bagi petani yang memiliki lahan dari turun temurun nenek moyangnya, tentu tidak memiliki legalitas yang diinginkan pihak perbankan, Nah, ini bagaiamana cara jalan keluarnya?

Setiap lahan harus memiliki sertifikat kepemilikan sehingga setiap petani yang memiliki lahan memiliki legalitas atas lahannya. Supaya petani bisa memperoleh sertifikat maka pemerintah, khususnya BPN wajib membuat program nasional sertifikasi lahan, khususnya bagi para pemilik lahan yang dianggap tidak mampu. Program nasional sertifikasi menjadi tangung jawab pemerintah  melalui badan pertahanan nasional untuk menjamin hak-hak warga negaranya khusunya warga negara yang memiliki tanah tapi tidak mampu untuk mengurus legalitas kepemilikannya.

Bagaimana pendapat Bapak, bagi petani memiliki solusi untuk mendapatkan akses permodalannya?

 

Pertama, petani harus memiliki tanda bukti bahwa dia petani (surat keterangan bahwa dia petani). Kedua, petani tersebut memang petani yang membutuhkan modal. Kemudian petani yang membutuhkan modal tersebut dibantu oleh para penyuluh dan dinas pertanian setempat agar tercatat sebagai pihak yang siap menerima modal. Dengan daftar petani tersebut penyuluh dan dinas menghubungi perbankan atau lembaga keuangan untuk mendapatkan akses untuk memenuhi persarat mendapatkan modal. Penyuluh bersama dinas memberi bantuan kepada petani sampai petani tersebut mendapatkan modal yang dibutuhkannya.

Nama : Dr. Ir. H. Rachmat Pambudy, MS
Tempat/Tgl Lahir : Yogyakarta, 23 Desember 1959
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Anak : 3 (Tiga) Orang
     
Alamat Rumah : 1. Jl. Pondok Hijau VI/28 Pondok Indah Jakarta – 123102. Bogor Baru Blok D VIII No. 11 Bogor
     
Jabatan Struktural :
  • Tenaga Ahli Menteri Pertanian Bidang Pengembangan Agribisnis (2000-2001).
  • Staf Ahli Menteri Pertanian Republik Indonesia Bidang Hubungan Antar Lembaga (2001-2004).
  • Anggota Dewan Pengawas  PERUM  BULOG  (2003-2007)
  • Kepala Bagian Bisnis dan Kewirausahaan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB (2008-skrg)
Jabatan Organisasi :
  • Wakil Ketua Umum Himpunan KErukunan Tani Indonesia 2010-2015
  • Ketua Umum Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LP2NU) Periode 2005 s/d 2010
  • Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Periode 2004-2010
  • Ketua Bidang Kebijakan Dewan Pupuk Indonesia (DPI) 2008-skrg
  • Wakil Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Periode 2010-2015
Jabatan Fungsional :
  • Dosen Tetap pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
  • Asisten Prof.  Kasuiro Takanashi dan dosen tidak tetap Faculty of Economic Keio University Tokyo Japan (2002-2005)
     

Riwayat Pendidikan

 
1999 : Lulus S3 Program Studi Penyuluhan Pembangunan, Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Disertasi : “Perilaku Komunikasi, Perilaku Wirausaha Peternak, dan Penyuluhan dalam Sistem Agribisnis Peternakan Ayam”
1988 : Lulus S2 Program Studi  Komunikasi Pembangunan, Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor
1983 : Lulus S1 (Insinyur)  Fakultas Peternakan,  Institut Pertanian Bogor
1979 : Lulus Dengan Penghargaan Peringkat 1 dari SMAN 29 Jakarta
1975 : Lulus dengan Penghargaan Peringkat ke 3 dari SMP PSKD Jakarta
1972 : Lulus Dengan Penghargaan dari SD Triguna Jakarta 

Riwayat Pekerjaan dan Jabatan

2007-Skrg : Anggota Dewan Redaksi Majalah Tani Merdeka
2003-Skrg2003-2005. :: Anggota Dewan Redaksi Tabloid AGRINAAnggota Dewan Pengawas PERUM BULOG
2002-2005 : Staf Pengajar Mata Ajaran Indonesian Agricultural Economy pada Faculty Of Economics Keio University Japan Bimbingan Profesor Kasuiro Takanashi
2001-Skrg : Tim Ahli, Tabloid Agribisnis Sinar Tani
2001-2004 : Staf Ahli Menteri Pertanian Republik Indonesia Bidang Hubungan Antar Lembaga (catatan: setelah menjabat Staf Ahli Menteri, menghentikan semua ativitas di dunia bisnis)
2001-2002 : Staf Pengajar (pengganti) Agribisnis LEMHANAS pada Kursus singkat dan Kursus Reguler Lembaga Ketahanan nasional (LEMHANAS)
2000-2005 : Wakil Ketua Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LP2NU)
1995-2000 : Direktur Pusat study Pembangunan IPB
1990-1995 : Asisten Direktur pada Pusat Study Pembangunan IPB
1989-2003 : Staf Pengajar Program Diploma, Sarjana, Program Pascasarjana, Ekonomi Pembangunan Mata Ajaran Kebijakan Pembangunan Pertanian dan Magister Management Agribisnis (MMA) di Institut Pertanian Bogor
1988-Skrg : Pendiri Unit for Socio and Economic Study and Evaluation (USESE) Foundation
1980-Skrg : Pendiri dan Komisaris beberapa Perusahaan dan Koperasi yang bergerak di bidang Agribisnis 

Keanggotaan dalam Organisasi

2010- : Wakil Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Periode 2010-2015
2008-Skrg : Ketua Bidang Kebijakan Dewan Pupuk Indonesia (DPI)
2005-20102004-2009 :: Ketua Umum Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LP2NU)Sekretaris Jendral Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI)
2002-Skrg : Pembina, Forum Komunikasi Yayasan Pondok Pesantren Sunan Drajat, Bandjar Anyar, Paciran, Lamongan
2002-Skrg : Anggota Kehormatan Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA)
2002 : Pengurus, Masyarakat Perkelapa Sawitan Indonesia (MAKSI)
2001-Skrg : Tim Ahli, Tabloid Agribisnis Sinar Tani
2001 : Anggota Dewan Pembina, Perhimpunan Penyuluhan Pertanian (PERHIPTANI)
2001 : Ketua, Perhimpunan Ahli Penyuluhan Pembangunan Indonesia (PAPPI)
1998-2000 : Penasehat, Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdatul Ulama (LP2NU)
1995-2000 : Penasehat, Asosiasi Pengusaha Industri Daging Indonesia (ASPIDI)
1990 : Anggota,  Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI)
1988-1990 : Anggota, Indonesia Amateur Radio Organization (ORARI-YCOIPB)
     
Penghargaan
2008 : Sertifikat Dosen Profesional 437/PT02.H14.1/R4/2008
2003 : Tanda Kehormatan Lencana Emas Kelompok KTNA Nasional
2002 : Pegawai Teladan Tingkat Nasional Departemen Pertanian
2001 : Penghargaan Satyalencana Karya Sapta 10 tahun, tanda kehormatan   Presiden Republik Indonesia.
1994 : Penulis Terbaik Lomba Karya tulis Ilmiah Koperasi dengan judul karya tulis “Strategi Pengembangan Pengusaha Kecil dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahun II” .
1993 : Penulis Terbaik lomba karya tulis Ilmiah Dies Natalis ke-30 IPB dengan judul karya tulis “Strategi Mengelola Hutan Indonesia (Upaya mengantisipasi Boikot Kayu Tropis dan Kerusakan Hutan)”
1993 : Penulis terbaik lomba karya tulis ilmiah populer IPB dengan judul karya tulis “Srategi Mengelola Hutan Indonesia”  (Harian Suara Pembaruan Edisi 15 Agustus 1993, Jakarta)
1992 : Penulis Terbaik dalam Lomba karya tulis HUT LAPAN dengan judul karya tulis “Penggunaan Satelit   Untuk Memantau Kekeringan”
1992 : Finalis dalam Pemilihan Peneliti Muda Indonesia LIPI-TVRI dengan judul penelitian  “Memantau Kadar Air Tanah pada Lahan Pertanian Melalui Satelit  (Suatu Penelitian Lapang Pada Perkebunan Tebu di Lampung)”

Pendaftaran/Perolehan Hak Patent

2009 : Seni Logo GB (Gudang Buku). Daftar Ciptaan Nomor : 043225
2001 : Penetas Telur Puyuh, Hak Paten No. ID 0010072, yang dipatenkan diberikan selama 20 tahun sejak 11 Juli 2001
2001 : Kandang Puyuh Fase Produksi, Nomor Permintaan Paten  P00200100541, dalam proses, diajukan sejak 11 Juli 2001
2001 : Kurungan Pengangkat Puyuh, Nomor Permintaan Paten P00200100543, dalam proses, diajukan sejak 11 Juli 2001
2001 : Kandang Puyuh Umur 16 hari – dewasa, Nomor Permintaan Paten P00200100544, dalam proses, diajukan sejak 11 Juli 2001
2001 : Kandang Puyuh Umur 1 – 16 hari, Nomor Permintaan Paten P00200100545, dalam proses, diajukan sejak 11 Juli 2001
1997 : Pengolahan POD Cacao Sebagai Sumber Hijauan dalam Pembuatan Makanan Ternak Hijauan dalam Pembuatan Makanan Ternak Lengkap

“Waralaba itu bisa memajukan usaha kecil..”

Bisnis waralaba sudah tidak asing lagi di Indonesia. Bisnis ini boleh dibilang booming saat  restoran cepat saji yang ada di kawasan jalan Thamrin, Jakarta pada tahun 1990 itu menjadi ikon bagi masyarakat kota metropolitan. Resto yang menjadikan tempat “tongkrongan”  atau gaya hidup anak muda kota besar itu kian kemari semakin maju pesat bahkan gerainya terus bertambah sampai ke kota-kota lain di Indonesia.  Untuk mengetahui lebih gamblang dan detail soal bisnis menggunakan sistem franchise, Redaksi INSPIRASI menjumpai Ketua Dewan Pengarah WALI (Waralaba dan Lisensi Indonesia), Amir Karamoy belum lama ini. Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana pandangan Bapak tentang bisnis sistem franchise yang dikaitkan dengan usaha menengah dan kecil?

UU pertama yang menyebut waralaba itu adalah UU usaha kecil Nomor 9 Tahun 1995, sekarang sudah dicabut dan diganti dengan UU Nomor 20 Tahun 2008, namanya usaha mikro kecil dan menengah. Kalau kita lihat kedua UU itu, waralaba itu memang untuk usaha kecil. Memang ada kesalahpahaman di masyarakat bahwa waralaba itu sesuatu yang modern dan membunuh usaha kecil. Itu tidak waralaba.. dan itu bukan produk tapi sebuah metode yang bisa dipakai oleh usaha keci, mikro, atau pun menengah. Cuma, kalau usaha itu berkembang, disororti seperti Indomart dan Alfamart yang dapat mematikan. Waralaba itu metode yang dapat digunakan untuk siapa saja terlepas itu modern atau kecil.

Jadi, apa rohnya sistem waralaba sebenarnya?

Mitra. Jadi, di UU Nomor 20 Tahun 2008, waralaba itu diartikan sebagai kemitraan antara perusahaan besar ke  menengah, menengah, dan kecil.

Seperti apa contoh konkritnya?

Bantuan yang disebut bantuan manajemen. Waralaba itu ada dua. Yang pertama: merek atau HAKI, yang kedua: sistem atau manajemen. Definisi PP No 42 Tahun 2007 tentang waralaba. Waralaba itu adalah sistem usaha yang telah terbukti berhasil. Jadi, kalau saya punya perusahaan yang sudah besar dan mereknya dikenal, saya punya hak untuk waralaba.

Keuntungan dari waralaba apa, Pak?

Waralaba itu pada hakikatnya adalah perusahaan punya pengalaman dan menjual pengalamannya kepeda orang lain. Supaya orang ini belajar dari dia, bagaimana menjadi sukses, kemudian dia ikut sukses. Apa itu ukuran sukses menguntungkan, ada profit, sistem manajemen sudah tidak amburadul, sistem keuangannya sudah baik, punya SOP, punya panduan kalau ada masalah dipecahkannya seperti apa. Jadi, sesuatu yang sudah distandarisasi. Maka dari itu, waralaba adalah peminjaman merek dan sistem bisnis kepada orang lain dan itu adalah kemitraan. Contohnya banyaklah kemitraan. Kemitraan Pertamina dengan depot-depot penyedia oli, itu kemitraan. Kalau dalam undang-undang waralaba itu adalah kemitraan, kemitraan dalam UU itu ada: waralaba, inti-plasma, keagenan.. Itu semua adalah kemitraan.

Apa kontribusi bisnis franchise terhadap ekonomi menengah?

Waralaba itu dalam prakteknya ada dua sisi koin. Sisi pertama memberi kesempatan kepada orang lain untuk berusaha, itu yang disebut business opportunity. Saya bisa memberikan kesempatan siapa pun, tapi saya harus buktikan dulu kalau itu sukses. Sisi kedua, employment, penciptaan lapangan kerja. Sekarang saja data terakhir waralaba di Indonesia itu 1,1 juta orang bekerja di sektor itu. Jadi, itu adalah bukti kalau franchise itu punya kontribusi. Dan di Indonesia itu waralaba tidak ada perusahaan yang besar yang sahamnya dijual di bursa saham, saya rasa tidak ada.

Jadi kekuatan manajemen waralaba ada dimana? 

Sebenarnya kekuatan waralaba itu adalah kecanggihan dalam manajemen. Karena saya adalah konsultan, tadi ada orang mau buka bengkel motor. Saya tanya, sudah berapa lama? Sudah 20 tahun. Berarti sudah berpengalaman. Menguntungkan, tidak? Ya, itu tapi 2-3 tahun terakhir cukup bagus. OK. Tinggal membenahi di dalamnya. Bagaimana manajemennya kalau orang mau buka juga? Bagaimana bisa ditraining di bengkelnya? Yang punya waralaba itu tugasnya melakukan pembinaan kepada orang yang pantas seperti itu.

Ada beberapa pendapat, dengan adanya franchise bisa mematikan usaha kecil, bagaimana pendapat Bapak? 

Saya tidak sependapat, justru waralaba itu bisa memajukan usaha kecil. Pembinaan usaha kecil yang dilakukan selama ini hanya pembonsaian, 20-30 tahun kemudian tetap saja usaha kecil. Harusnya usaha kecil itu dikembangkan dengan menggunakan sistem waralaba dan menjadi franchisor/pewaralaba. Ketika perusahaan ini menjadi pewaralaba ia memberi KUR kepada perusahaan kecil lainnya menjadi menengah dan besar. Itu yang terjadi di Amerika.

Tidak benar, ya Pak?

Tidak benar kalau waralaba itu mematikan usaha kecil. Masalahnya orang mengasosiasikan waralaba itu dengan Mc Donald yang sudah besar datang ke Indonesia, padahal dulunya usaha kecil di pojok jalan. Waralaba itu sistem, bukan produk. Saya sampai akhir pemerintahan Pak Harto menyarankan agar warteg itu menjadi waralaba. Kalau sudah jadi waralaba kan kebersihaan dan gizinya dijamin. Kalau itu diintervensi, perkembangannya akan luar biasa sekali. Jadi, memang anggapan masyarakat bahwa waralaba itu adalah perusahaan besar, karena memang di Indonesia itu waralaba ditangkap oleh perusahaan-perusahaan besar.

Antara buka cabang dengan franchise lebih menguntungkan yang mana?

 

Kalau saya punya perusahaan yang sudah kuat, daripada saya buka cabang sendiri di suatu tempat, bikin cabang sendiri saya harus punya modal. Tenaga kerja harus saya rekrut, dong.. Tapi, kalau saya franchise-kan, saya tidak keluar modal, saya malah dapat modal. Terus kalau saya bikin cabang sendiri, kegiatannya dari hari ke hari harus saya jalankan, saya harus bayar pegawai. Kalau saya franchise, saya tidak bayar pegawai, yang bayar dia kok. Jadi, sudah ada efisiensi dan pembagian resiko. Jadi resikonya sudah dibagi ke orang lain.

Ada contoh rumah makan khas Indonesia, kalau mau jadi franchise-nya harus merogoh uang Rp. 500 juta dulu dengan hitungan bisnisnya omset per hari Rp. 20 juta. Pendapat Bapak tentang hal itu bagaimana?

Tapi saya tidak setuju kalau itu dikatakan omsetnya bisa Rp20 juta per hari, karena si pembeli franchise harus membonafitisasi pemilik franchise. Dia kan harus sewa tempat, bayar pegawai, itu juga harus diperhitungkan. Di Amerika itu yang membeli franchise dilindungi oleh negara. Di sana selalu dianjurkan untuk telitilah sebelum berinvestasi. Ya, tadi dia punya satu di Tebet, sekarang sudah banyak, menurut saya itu sudah menyalahi hukum. Dia baru punya satu. Harusnya kalau perusahaan itu punya dua tiga dulu, cabang miliknya sendiri yang seolah-olah cabang franchise. Jadi dia punya contoh, kalau ini sukses.

Perusahaan di Indonesia yang sudah di-franchisekan, apa sih yang sudah dibilang sukses?

 

Makanan, rata-rata. Contohnya, ayam tulang lunak. Itu bisa Rp. 15-20 juta per hari kotor.  Jika Anda bilang Rp. 20 juta per hari itu harus dipelajari harga pokok dari makanan. Jad,i kepada siapapun yang mau membeli waralaba itu harus disadari bahwa saya membeli sesuatu yang penuh resiko. Untuk mengeliminir resiko itu harus dipelajari.

 

Bagaimana kebijakan pemerintah terhadap bisnis franchise itu?

Ada PP Nomor 42 Tahun 2007, terus ada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2008. Kalau peraturan ini dilaksanakan dengan konsekuen, itu bagus. Pemerintah ini kan jago bikin UU, tapi masalahnya pengawasannya tidak ada. Misalnya di situ disebutkan kalau bisnis waralaba melanggar aturan didenda Rp. 100 juta, mana ada dari tahun 2007 yang didenda. Kita ini jago bikin UU tapi pada pelaksanaannya tidak ada.

Saat ini di Kementerian Koperasi dan UMKM ada usaha kecil menengah, di Kementerian Perindustrian ada industri kecil menengah, apa itu tidak membingungkan?

Itu karena PP-nya yang diamanahkan UU tidak pernah keluar. Di UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang usaha kecil menengah itu harus ada yang namanya badan koordinasi. Sampai sekarang badan koordinasi itu tidak ada.

Jadi nasibnya franchise ke depan bagaimana Pak, apakah berbenturan dengan Permen-permen itu?

Oh.. tidak, tidak berbenturan. Mereka mati atau kolaps itu karena seleksi alam saja. Misalnya di PP Nomor 42 Tahun 2007 diatur bahwa suatu usaha itu bisa diwaralabakan kalau sudah lima tahun. Nyatanya yang baru 1-3 tahun sudah banyak yang diwaralabakan, tapi mereka tidak memakai nama waralaba, kemitraan, license atau lainnya. Yang salah itu yang baru satu gerai langsung buka waralaba. Nah ini karena penegakkan hukumnya tidak ada. Harusnya peran Badan Koordinasi Waralaba ini yang membina, tapi kemana Badan Koordinasinya?

Di Indonesia ada pemain minimarket yang selalu bersaing ketat padahal di tengahnya ada warung-warung kecil. Bagaimana pandangan Bapak tetang hal itu?

 

Itulah masalahnya di waralaba. Saya pernah meneliti di Surabaya apakah bentuk warung kecil itu terdesak oleh dua minimarket yang bersaing itu, ternyata tidak juga. Tapi yang saya sesalkan adalah persaingan dua minimarket itu yang selalu berdekatan. Mereka itu yang menghancurkan bisnis waralaba. Saya lihat di Surabaya, tiga meter dari minimarket itu ada warung tapi adem ayem. Nah, dengan masuknya dua minimarket itu bersamaan,  itulah yang menghancurkan warung-warung kecil.

Apa peran pemerintah untuk mengatasi dua minimarket waralaba ini?

Nah itulah, waktu Gubernur DKI Fauzi Bowo  akan menertibkan minimarket-minimarket,  saya bilang ke beliau ini yang memberi ijin siapa? Ini oknum Anda kan?  Dia diam. Jadi, selama ijin itu bisa dibeli atau diproyekkan, persoalan ini  tidak akan pernah selesai.

Jadi untuk mentertibkan dua minimarket itu seperti apa, Pak?

Menurut saya, mereka itu harus dipanggil oleh pemerintah, baik itu oleh Kementerian Perdagangan atau Pemda DKI. Dibuat peraturan supaya mereka tidak terlalu berdekatan. Menurut saya mereka adalah pelopor perusak image waralaba di Indonesia.

Bisnis waralaba di negara asalnya kan warung-warung pinggir jalan. Tapi di sini menjadi satu hal yang sangat wah,  menurut Bapak bagaimana?

Satu hal yang perlu diketahui, bisnis waralaba dari luar itu yang dijual bukan hanya produk tapi sebuah gaya hidup yang terkesan modern dan kelas menengah. Yang saya risaukan adalah kenapa kita tidak meniru seperti mereka? Kenapa kita tidak jual restoran padang Sederhana, Gudeg, Warteg ke luar negeri? Bangsa Indonesia itu bersifat pasif,  kita diserbu oleh waralaba asing kita marah. Ini tuntutan globalisasi! Satu-satunya cara untuk melawan luar, yaa… kita serbu ke luar. Lalu siapa yang memfasilitasi? Ya pemerintah, dong..

Bisnis waralaba di Indonesia ini apa kira-kira yang bisa go international?

Oh, banyak.. Pertamina-lah yang paling berpeluang. Di Indonesia sudah ada Petronas, Shell, Total dan mereka bisa berkibar. Kenapa Pertamina tidak bisa ada di luar negeri? Petronas itu belajar dari kita. Kemudian apakah Petronas itu untung? Oh tidak, mereka itu hanya mengambil image building untuk negaranya. Saya ingin Indonesia itu go internasional. Jangan jago kandang saja!

 

Biodata

NAMA   : AMIR KARAMOY

USIA      : 62 THN

 

PENDIDIKAN

–          Sarjana Sosiologi (Drs.) dari Fakultas Ilmu Sosial & Politik Universitas Indonesia (1974)

–          Master of Science (M.Sc.) dari Human Settlements Studies, Fakultas Sains dan Aristektur, Universitas Leuven, Belgia (1982)

 

PROFESI

–          Pengajar Tetap Sosiologi Perkotaan dan Sosiologi Ekonomi, Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial (sekarang FISIP) Universitas Indonesia (1974 – 1985)

–          Wakil Direktur LP3ES – Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (1972 – 1986)

–          Peneliti sosial-ekonomi dan konsultan pada UNICEF, UNDP/UNEP, IDRC, Bank Dunia untuk pengembangan masyarakat miskin di kota-kota besar Asia, Afrika dan Amerika Latin

–          Pendiri AFI – Asosiasi Franchise Indonesia (1990)

–          Ketua I AFI (1990 – 1993)

–          Sebagai top management pada beberapa perusahaan publik (Tbk)

–          Konsultan Senior Waralaba & Lisensi (sejak tahun 1995 hingga saat ini)

–          Mendirikan ARWI – Asosiasi Restoran Waralaba Indonesia (1993)

–          Sekretaris Jenderal ARWI (1993 – 1996)

–          Pendiri Perhimpunan WALI – Waralaba & Lisensi Indonesia (2003)

–          Ketua Dewan Pengurus WALI (2003 – 2007)

–          Ketua Dewan Pengarah WALI (2007 – hingga saat ini)

–          Ketua Komite Tetap Waralaba dan Lisensi KADIN-INDONESIA (2009 – 2014)

–          Bersama Pemerintah, merumuskan PP no. 16/1997 dan PP no. 42/2007 tentang WARALABA

–          Ikut merumuskan RUU Perdagangan (2011), terkait dengan WARALABA

–          Konsultan Senior, Waralaba dan Lisensi (www.akaramoy.blogspot.com)

–          Pengajar Utama, ”Perdagangan Internasional Melalui Waralaba” pada Pendidikan dan Pelatihan Ekspor Indonesia (PPEI), Kementerian Perdagangan RI

 

Wawancara Ekslusif ” “Tidak tergoyahkan oleh gelombang resesi ekonomi..”


Prof. Dr.dr. Idrus A Paturusi, S.Pb, Sp.BO

Rektor Universitas Hasanuddin, Makasar

UKM juga merupakan sektor usaha yang memiliki nuasa kesederhanaan dan dapat dikerjakan oleh masyarakat yang tidak memiliki keterampilan dan kekurangan modal untuk mengelola lapangan usaha yang bersifat formal dan padat modal. Itulah sebabnya UKM dapat dipandang sebagai sektor yang memberikan solusi terhadap permasalahan realitas sosial ekonomi. Namun yang sering menjadi pertanyaan adalah bagaimana daya saing dan kemampuan UKM bertahan di tengah ketatnya persaingan usaha saat ini. Untuk mendapat pemahaman lebih jauh mengenai hal ini, Redaktur Tabloid INSPIRASI melakukan wawancara tertulis dengan Prof. Dr. dr. Idrus Paturussi, Rektor Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar. Berikut petikannya:

 

Dengan karakteristik dan problematik UKM yang seperti itu, masih pentingkah peran UKM dalam pembangunan ekonomi bangsa? Atau, haruskah kita kembali mengandalkan usaha besar dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi?

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) masih penting dalam pembangunan dan perekonomian bangsa. UKM merupakan basis perekonomian bangsa. Pada tahun 1996, ekonomi Indonesia terpuruk, tetapi dua tahun kemudian (1988), ekonomi Indonesia bisa bertahan karena peran UKM sebagai penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia dan bertahan terhadap krisis. Produk UKM berorientasi ekspor. Pada tahun 1997-2006 perusahaan berskala UKM mencapai 99% dari total usaha di Indonesia. Jika kita kembali menggantungkan diri pada usaha besar, ini rentan dengan fluktuasi nilai tukar mata uang. Sebab, perusahaan besar mengandalkan modal besar dan  diperoleh dari pinjaman bank. UKM lebih banyak mengandalkan modal sendiri. Jadi, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru lebih besar karena dukungan UKM, bukan usaha besar. Sumbangan UKM terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai 54-57%. Penyerapan tenaga kerja mencapai 96%. Sebanyak 91% UKM melakukan ekspor melalui pihak ketiga/pedagang antara. Hanya 8% yang melakukan kontak langsung dengan pembeli/importer luar negeri.

Dalam rangka pengembangan UKM, kebijakan apa yang harus menjadi orientasi pemerintah saat ini? Apakah melindungi dan membantu UKM agar dapat berkembang atau lebih ke arah meningkatkan kemandirian UKM?

Orientasi pemerintah dalam pengembangan UKM sebaiknya diarahkan pada hal-hal sebagai berikut: pertama, menciptakan atmosfir supaya lebih memiliki kredibel dan goodbill, kedua, bermitra dengan usaha yang lebih besar sejenis (terintegrasi ke belakang) merupakan suatu keniscayaan, dan ketiga, memberi kesempatan kepada UKM jadi usaha yang lebih mandiri dan bertanggung jawab.

Apa sajakah yang harus dilakukan oleh pelaku UKM agar dapat meningkatkan daya saing usaha mereka?

Yang dapat dilakukan UKM untuk meningkatkan daya saing adalah: meningkatkan kualitas, berinovasi, dan mengembangkan produk-produk berskala kecil dan menengah, tetapi dibutuhkan oleh usaha-usaha yang lebih besar (supporting) dan merupakan salah satu rangkaian pemasok untuk usaha-usaha yang lebih besar (value change).

Apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk menopang daya saing dan kemandirian UKM?

Yang dapat dilakukan pemerintah untuk menopang daya saing dan kemandirian UKM adalah: pertama,      memberikan pendampingan dalam hal pengelolaan bisnis, kedua, memberikan kesempatan kepada UKM menjadi mitra utama usaha-usaha skala besar, ketiga, menghidupkan kembali pola kemitraan strategis yang pernah dilakukan.

Nilai-nilai bisnis apa yang harus ditonjolkan UKM agar mereka mampu bersaing dengan karakteristik yang mereka miliki?

Menurut saya, nilai-nilai bisnis yang harus ditonjolkan UKM di antaranya adalah: quality assurance yang dalam usahanya harus mengembangkan filosofi bahwa kualitas merupakan cara kerja UKM itu. Selain itu, reliable (ketepercayaan dan terjamin). Berikutnya yang tidak kalah penting, membangun budaya yang disebut dengan budaya kualitas yang implementasinya produk-produk itu harus memiliki quality assurance dan quality control.

Apa yang bisa dilakukan agar UKM memiliki akses yang lebih besar terhadap permodalan?

UKM harus memiliki sistem keuangan yang tertata rapi yang berkaitan dengan akuntabilitas dan memiliki goodwill serta meningkatkan usaha yang berkaitan dengan industri-industri (merupakan bagian dari value change).

Bagaimana cara meningkatkan akses UKM terhadap akses dan jaringan pemasaran?

Harus bermitra dengan usaha-usaha berskala besar. Jika perlu menjalankan strategi aliansi dan bermitra dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak dan memiliki strategi forward integration.

Bagaimana potensi UKM dalam pengembangan ekonomi masyarakat, khususnya di daerah?

UKM adalah sokoguru perekonomian Indonesia yang tidak tergoyahkan oleh gelombang resesi ekonomi, karena pada umumnya sektor UKM bergerak pada basis-bisnis kebutuhan dasar.

Terkait karakter dan potensi ekonomi di daerah, misalnya Papua, sektor-sektor usaha apa saja yang dapat dikembangkan oleh UKM di daerah?

Karakter Papua sangat cocok dengan usaha yang dapat dikembangkan oleh masyarakat lokal dan sesuai dengan potensi daerah setempat. Di Papua buah cokelat yang sangat tinggi kualitasnya ternyata telah dikenal oleh rakyat Papua dalam masa penjajahan Belanda. Mereka sudah memanfaatkan koperasi yang berhubungan langsung dengan luar negeri (Belanda dan Australia) untuk memasarkan produk mereka. Di sana ada namanya Koperasi Yawa Datum di Kabupaten Jayapura, yang bekas-bekas usaha penggergajian kayu yang mereka kembangkan pada masa Belanda masih ada. Intinya, usaha itu harus memberikan sumbangsih bagi peningkatan pendapatan penduduk lokal. Pemasaran produksi mereka harus jelas agar anggota memiliki kepercayaan dan yakin bahwa usaha yang mereka lakukan itu berjalan dengan baik.

Apa saja yang menjadi hambatan pengembangan UKM di daerah?

Hambatan UKM di daerah tetap klasik, yakni modal, sumberdaya manusia,  akuntabilitas, yakni belum bisa memisahkan kepentingan bisnis dan keluarga, peraturan daerah yang menghambat pertumbuhan UKM, kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada sektor UKM.

Di antara berbagai hambatan tersebut, mana yang merupakan hambatan yang paling sulit ditangani?

Hambatan yang paling sulit adalah SDM, dan tidak bisa bedakan kepentingan keluarga dan bisnis (tidak manageble).

Selama ini kebanyakan UKM di daerah masih dikelola oleh masyarakat pendatang (bukan masyarakat asli daerah). Bagaimana cara melakukan transfer of knowledge tentang peningkatkan kesejahteraan ekonomi melalui UKM kepada masyarakat asli daerah?

Transfer of knowledge dapat dilihat dari social culture, enterpreneurship, pemanfaatan peluang yang ada. Alih pengetahuan masyarakat pendatang dengan asli adalah harus bermitra dalam kegiatan UKM. Itu sebuah keharusan, bahkan jika perlu dibuatkan Perda yang mensyaratkan kemitraan itu. Perda harus menciptakan enterpreneur-enterpreneur yang memiliki potensi untuk dikembangkan dengan melakukan kebijakan corporate social responsibilty (CSR) kecil-kecilan kapasita UKM terhadap para pengusaha lokal yang memiliki kemampuan dan keinginan berusaha.

Bagaimana peran pemerintah dalam pengembangan UKM di daerah? Apa yang mestinya harus ditonjolkan?

Peran pemerintah dapat dilihat pada jawaban saya di awal tadi. Di samping itu, pemerintah dapat menampung produk UKM bila dianggap perlu.

Apa masukan Bapak terhadap persoalan pengembangan UKM di daerah?

Saya rasa, hal yang perlu dilakukan adalah: pertama, kembangkan kemitraan strategis, misalnya dengan forward   integration, backward integration, dan aliansi strategis. Kedua, memberi kemudahan akses UKM untuk memperoleh modal. Ketiga, akuntabilitas sektor UKM harus dibangun, karena ini yang menjadi masalah utama dalam pengembangan UKM.

“Kita bukan negara dengan sistem ekonomi yang Pancasilais lagi”

Wawancara Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr.

Akhir-akhir ini persoalan kedaulatan ekonomi kembali mengemuka, terkait kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah yang dianggap terlalu pro pasar. Sebagian pihak berpendapat bahwa kebijakan tersebut merupakan konsekuensi dari globalisasi yang tidak bisa dihindari. Sementara pihak lain menilai bahwa kebijakan ekonomi yang terlalu pro pasar tersebut, selain akan mengurangi keberpihakan terhadap rakyat banyak, juga akan melemahkan potensi ekonomi Indonesia yang kaya akan sumberdaya alam. Untuk mengurai masalah tersebut Redaksi Tabloid INSPIRASI melakukan wawancara dengan Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr., seorang pakar sosiologi ekonomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Berikut petikannya:

Adakah definisi baku mengenai globalisasi ekonomi ? 

Pertama, saya menjawab terlebih dulu pengertian sempit dari globalisasi ekonomi. Konsep ini sebenarnya adalah sebuah istilah populer yang menunjuk pada sebuah proses homogenisasi (proses menjadi seragam) sistem ekonomi yang berlaku di se-antero/seluruh pelosok dunia, yang awalnya berlaku di Barat. Proses penyeragaman tersebutlah yang kemudian menyebabkan sekat-sekat antar negara-negara, kini tinggal berupa “batas administratif kewilayahan” semata-mata, sementara batas identitas perekonomian tidak tampak lagi.  Sebagai akibat dari globalisasi ekonomi, semua negara di dunia kini terintegrasi menjadi satu sistem perekonomian yang seragam atau tunggal yaitu sistem ekonomi pasar.  Adalah negara-negara Barat yang berperan aktif pada awalnya, untuk memperkenalkan mekanisme ekonomi pasar ke dalam sistem perekonomian di setiap negara, termasuk Indonesia.

Lalu, apa yang dimaksud dengan mekanisme ekonomi pasar?

Ekonomi pasar adalah sebuah sistem distribusi kesejahteraan yang mengagungkan etika kebebasan bersaing antar individu/private dalam meraihkan “kue” kesejahteraan melalui aktivitas produksi dan konsumsi secara bebas di suatu negara/kawasan atau entitas sosial-ekonomi, dimana pasar yang akan menentukan akankah aktivitas itu berlanjut atau berhenti [karena tak mampu meneruskan usahanya].  Dalam hal ini, konsep yang kemudian kita kenal dengan pasar, sesungguhnya bukanlah seperti pasar layaknya kita kenal sebagai market place seperti secara fisik terlihat sebagai Pasar Senen, Pasar Rebo, atau pasar sayur tradisional, namun ia adalah sebuah lembaga pengaturan distribusi kesejahteraan yang konsep awalnya diajukan oleh Adam Smith di Eropa Barat [Inggris] di abad 17an.

 

Mengapa kemudian konsep ekonomi pasar yang dipilih atau digunakan?

Konsep ini mulanya dimunculkan di Eropa Barat. Sejarah pemikiran ekonomi menjelaskan bahwa lembaga pasar  ditawarkan sebagai ide alternatif untuk melawan krisis dalam sistem pengaturan distribusi kesejahteraan ala feodal yang sentralistik-aristokratik pada masa itu.  Masyarakat yang merasa terbelenggu kebebasannya oleh imperium feodalis, memandang mekanisme pasar yang ditawarkan oleh Adam Smith sebagai “angin segar” yang sangat menjanjikan. Mekanisme produksi dan konsumsi berbasis kelembagaan pasar dianggap lebih manusiawi, lebih adil, dan demokratis. Organisasi ekonominya yang menjanjikan prakarsa individual, alias bukan prakarsa negara/kerajaan, dianggap juga sebagai representasi semangat pembebasan dari feodalisme. Bila demikian, ekonomi pasar sesungguhnya adalah sebuah sistem distribusi kesejahteraan yang berbeda dengan sistem feodalistik karena diatur melalui mekanisme permintaan dan penawaran yang terbebas dari intervensi otoritas kekuasaan negara/kerajaan dan berada dalam pertukaran yang lebih rasional.

Sebagaimana konsep yang lain, bukankah ekonomi pasar memiliki kelemahan?

Perlu untuk sangat dicatat bahwa, dalam suasana yang penuh dengan kerinduan akan kebebasan/pembebasan dari penjajahan feodalisme seperti itu, hampir tidak dilirik samasekali oleh siapapun, tentang peringatan yang mengatakan bahwa ekonomi pasar sesungguhnya juga memiliki sejumlah kelemahan.  Kelemahan tersebut terletak pada, “akan jatuhnya banyak korban” bila kelak mekanisme pasar bekerja secara efektif. Korban itu terutama aktor ekonomi kecil-lemah yang tak kuasa bersaing dan melawan aktor ekonomi kuat dalam persaingan bebas memperebutkan “kue” perekonomian di pasar bebas.

Mengapa kemudian sistem ekonomi pasar menjadi sistem ekonomi yang dominan di dunia?

Dari sekedar etika pembebasan, ekonomi pasar perlahan telah berubah menjadi ”cita-cita agung”, sebuah ideologi, yang diidamkan oleh banyak orang. Sejarah kemudian mencatat, bahwa sistem ekonomi menjadi tunggal di Eropa Barat—juga kemudian juga di Amerika Utara, yang keduanya mengandalkan pasar telah menghempaskan cita-cita feodalisme sebagai rezim ekonomi pengantar kesejahteraan di masa lalu. Janjinya tentang kemakmuran individual oleh mekanisme pasar, telah memesona banyak orang. Singkat kata, tidak terelakkan, bila ekonomi-pasar kemudian menjadi ideologi ekonomi terbesar sepanjang sejarah peradaban manusiayang dianut oleh hampir 6.5 milyar warga dunia saat ini. Kita mencatat bahwa hanya ada dua negara yang saat ini secara terang-terangan menolak sistem ekonomi pasar sebagai mekanisme [rejim] pengaturan kesejahteraan ekonomi bagi negara dan warga mereka, yaitu Myanmar dan Korea Utara. Penolakan itu berupa kebijakan “politik ekonomi isolasi” yang dilakukan dengan amat susah-payah. Kedua negara tersebut, hingga kini tetap mempertahankan sistem ekonomi yang kita kenal sebagai state-controlled economy, sebuah pengaturan ekonomi oleh negara.

Apa keterkaitan ekonomi pasar dengan neoliberalisme?

Perlu dicatat adalah bahwa ekonomi pasar dari hari ke hari bermetamorfosis menjadi bentuknya yang semakin liberal sebagaimana yang kita kenal saat ini sebagai era neoliberalisme.  Ide neoliberalisme sendiri sebenarnya dicetuskan oleh Milton Friedman –seorang peraih nobel ilmu ekonomi—di tahun 1980-an yang menginginkan pasar sebagai solusi bagi pengaturan politik suatu negara menyikapi Chile dan RRC di era itu yang masih sangat sentralistik dengan penguasanya yang sangat diktator/elitis. Neoliberalisasi ditawarkan sebagai bagian untuk mereduksi kekuasaan elit negara yang berlebihan dalam produksi dan distribusi ekonomi di kedua negara tersebut.  Singkat kata, missi tersebut berhasil dengan gemilang dan mengantarkan negara RRC atau China modern-kapitalistik yang kita lihat saat ini.

Bagaimana dengan gagasan kembali ke sistem ekonomi yang bersendi pada nilai-nilai Pancasila?

Hingga titik ini, saya sangat meragukan bahwa kita masih menganut/berpegang teguh dan setia pada ideologi Pancasila sebagai ideologi tunggal pengaturan ekonomi nasional.  Ketidakberdayaan kita untuk menahan derasnya pemikiran dan praktek ekonomi pasar menyebabkan kita tak lagi setia  dan sulit untuk setia pada prinsip-prinsip Pancasila.  Ideologi perekonomian pasar kita yang justru telah menjadi sangat [neo]liberal yang secara harfiah erat-karakteristiknya dengan ciri-ciri penguasaan,  akumulasi dan ekspansi materi/kapital untuk kepentingan produksi serta pencapaian kepuasan individual, makin mengokohkan bahwa kita bukan negara dengan sistem ekonomi yang Pancasilais lagi.  Pada tataran inilah, mengapa kita sering menyebut pula bahwa negara kita tidak saja telah berubah bentuk menjadi negara yang neoliberalistik melainkan juga sangat kapitalistik. Dengan dua bentuk platform ideologi itulah, kita menjadi kompatibel  untuk berintegrasi dengan sistem ekonomi global. Disinilah ditemukan penjelasan atau jawaban tentang mengapa globalisasi ekonomi menjadi bagian yang tak terpisahkan lagi dari totalitas ”ruh perekonomian” nasional.

Lalu, masih adakah kedaulatan ekonomi nasional, di negeri ini?  

Bila pasar yang sangat liberalistik itu kini membentuk imperialisme baru bernama ”penguasaan kapital yang sangat diagungkan oleh semua pihak”, maka sesungguhnya penjajahan yang dialami di masa imperialisme feodal, pada hakikatnya kini telah/hanyalah berubah ”wajah”, menjadi  Imperialisme atau penjajahan oleh kapitalisme. Jadi, cerita atau sejarah peradaban ekonomi yang dilalui oleh dunia ini—termasuk dialami oleh Indonesia—sebenarnya tidaklah banyak berubah, dia hanya berulang dari satu moda penguasaan ke moda penguasaan yang lain.

Apa kerugiannya bila neoliberalisme-kapitalisme merasuk ke Indonesia?  

Sebelumnya, perlu kita mengingat kembali makna neoliberalisme ekonomi pasar, yaitu: sebuah keadaan yang memungkinkan semua pihak tanpa terkecuali bermain, bertanding, bersaing dalam gelanggang perekonomian tanpa kontrol negara sebagai ”wasit” secara memadai (kontrol negara sangat minimal). Dalam kondisi yang demikian, perekonomian yang sehat adalah perekonomian dimana intervensi negara seminimal mungkin. Dalam hal ini, mungkin kita perlu mengingat beberapa jargon politik ekonomi penting dari neoliberalisme yang sejauh ini kita praktekkan di Indonesia seperti liberalisasi, deregulasi dan privatisasi ekonomi di berbagai sektor.  Kebijakan-kebijakan itu sesungguhnya adalah necessary condition bagi bekerjanya neoliberalisme dan kapitalisme agar beroperasi secara mulus di negeri ini.

 

Bagaimanakah perilaku aktor-ekonomi pasar yang sangat neoliberal-kapitalistik tersebut memainkan perannya dalam mengubah struktur perekonomian sebuah negera seperti Indonesia?

Dalam keadaan persaingan tanpa perlindungan dan hampir “tanpa wasit” seperti itulah maka sudah dapat diduga bahwa aktor-aktor ekonomi kuat atau korporasi skala besar dunia yang kemudian dikenal sebagai Trans National Corporation [TNC] yang akan memenangkan ”pertandingan di segala arena”. Sebagai pecundangnya adalah aktor ekonomi kecil, petani kecil, nelayan kecil, usaha ekonomi lemah yang tak mampu bersaing. Mereka tercampak dan termarjinalisasi serta mati perlahan pada akhirnya.  Dengan kemenangannya, TNC-TNC tersebut bergerak, merangsek, berekspansi dan selanjutnya menguasai cabang-cabang perekonomian penting di seluruh pelosok kawasan.

Mengapa perusahaan kuat atau TNC-TNC yang sangat neoliberalistik tersebut kini hadir makin hari makin kukuh?

Ya..itu karena mereka diberi peluang untuk berkembang secara kondusif oleh penguasa yang telah lebih dahulu mengalami brain-washing sehingga berideologikan ekonomi pasar yang sangat neoliberal. Kehadiran TNC makin kuat karena juga di-amini oleh masyarakat yang juga telah menganut ideologi ekonomi pasar neoliberalistik melalui proses pendidikan formal di sekolah-sekolah. Dengan dicapainya necessary conditions itulah, maka para TNC–perusahaan multinasional tersebut dengan sangat mudah dan bebasnya merasuk dan menguasai sendi-sendi perekonomian nasional hampir di semua bidang, sebut saja: dari jaringan bisnis restoran siap, jaringan bisnis produksi makanan dan minuman, jaringan bisnis retail-market (pasar swalayan), jaringan bisnis produksi alat-alat rumah tangga—seperti: TV, VCD, komputer, AC, lemari es, jaringan bisnis automobile (mobil dan sepeda motor), jaringan bisnis jasa perbankan, jaringan bisnis infrastruktur, jaringan bisnis pertambangan—terutama minyak bumi, gas, emas, hingga semen, jaringan bisnis jasa provider telekomunikasi, hingga jaringan bisnis jasa konsultan, dan jaringan bisnis hiburan serta media.

Dampaknya bagi perekonomian rakyat bisa luar biasa ya Pak?

Tidak terelakkan, kini seluruh sendi kehidupan ekonomi nasional Indonesia telah terkoneksi langsung ”dengan baiknya” (well-connected) ke pusat-pusat bisnis kapitalis-neoliberalis yang biasanya terletak di negara adidaya/Barat tersebut tanpa sekat apapun. Oleh karenanya, sedikit saja gangguan terjadi di pusat TNC, akan sampai juga dampaknya ke Indonesia…bahkan hingga ke pedesaan. Perlu saya tambahkan, sebagai harga proses neoliberalisasi ekonomi dan menguatnya semangat ekspansi kapital/modal di negeri ini, maka deformasi perekonomian asli-rakyat yang tadinya menyokong kehidupan ekonomi nasional, terus terjadi.  Deformasi ini mengantarkan keseluruhan struktur perekonomian mengalami peredupan menuju kepada proses sekarat (decaying processes).

Menurut Anda, apakah Indonesia sudah cukup siap menghadapi globalisasi ekonomi?

saya katakan bahwa kita telah menjadi bagian perekonomian global yang neoliberalistik-kapitalistik tersebut. Apakah ini bukti absah dari kesiapan itu? Jika jawabannya “ya”, maka tidak dapat disangkal lagi kita siap menjadi bagian perekonomian global.  Namun, bila ditanyakan: apakah sistem ekonomi asli nasional, yang seringkali disebut-sebut sebagai ekonomi koperasi ala Hatta–yang bersendikan semangat kesetiakawanan sosial, kolegial, egalitarian, dan kekeluargaan, bisa siap bersaing dengan sistem ekonomi global yang penuh perasingan, selfish, materialistik, individualistik, dimana sistemnya sudah tertancap dengan kukuhnya, baik secara ideologis maupun secara praxis didukung oleh penguasa di seluruh pelosok negeri, maka jawabannya: tidak mungkin kita melawan globalisme ekonomi.

Bagaimana dengan konsep koperasi, sebagaimana dianjurkan oleh Bung Hatta?

Sejauh ini ekonomi koperasi akan hanya menjadi sekedar romantisme ekonomi Indonesia semata-mata.  Tanpa ada “krisis neoliberalisme-kapitalisme” yang bisa menghempaskan ideologi dan praktek ekonomi ini secara mencukupi, maka percuma saja Indonesia melawan ekonomi global yang sangat ekspansif, greedy dan eksploitatif itu, melalui introduksi ekonomi koperasi. Ekonomi ini mengalami persoalan inkompatibilitas (ketidakcocokan sistem) dengan ekonomi neoliberalisme-pasar yang sangat kapitalistik-individualistik. Kita perlu mempertanyakan komitmen penyelenggara negara dan seluruh bangsa ini kepada sistem ekonomi koperasi. Sekali lagi sistem ekonominya, bukan badan hukum sebuah enterprise bernama koperasi A atau koperasi B untuk melawan neoliberalisme-kapitalisme. Bila jawabannya, baik penguasa maupun masyarakatnya tidak siap, maka marilah kita relakan diri kita dikooptasi (“dicaplok”) oleh sistem ekonomi pasar yang neoliberalistik-kapitalistik itu.

Jika belum siap, apakah negara berkembang seperti Indonesia akan pernah siap menghadapi globalisasi ekonomi? 

Agar perekonomian skala kecil tidak mati oleh sistem ekonomin neoliberalisme, maka mau tak mau mereka harus disiapkan dalam suasana dan sistem berpikir yang neoliberalistik-kapitalistik melalui pendidikan kewirausahaan dan penyesuaian struktural di berbagai sektor perekonomian. Terdapat persoalan besar dalam hal ini. Budaya asli Indonesia, tidak mengenal prinsip-prinsip atau etika-moral persaingan sempurna, prinsip individualisme, dan kompetisi model ketat sebagaimana disyaratkan oleh sistem ekonomi neoliberalisme dan kapitalisme. Dengan demikian, diperlukan pengorbanan berbentuk penghilangan nilai-nilai atau etika moral ekonomi asli Indonesia dan menggantinya dengan etika moral neoliberalisme-kapitalisme melalui pendidikan agar bangsa Indonesia siap bersaing dalam ekonomi pasar yang neoliberalistik itu.

Bukannya itu malah menjadikan bangsa kita mengalami split culture (keterbelahan budaya)?

Bila persaingan adalah kata kunci memenangkan pertarungan ekonomi dalam suasana yang sangat liberal, maka tidak ada kata lain selain reformasi budaya ekonomi masyarakat Indonesia. Persoalannya, seberapa cepat reformasi ini berlangsung? Akan terjadi korban-korban baru atas upaya reformasi budaya ekonomi tersebut yang harus diantisipasi. Siapkah negeri ini mengantisipasi hal-hal tersebut?

Lalu, apa manfaat globalisasi ekonomi untuk negara kita?

Kalau mau jujur, kita sebenarnya lebih banyak dirugikan oleh globalisme ekonomi, bila dilihat dari sisi kemandirian ekonomi. Kita menjadi negara dengan sistem yang sangat tergantung asing, sangat rentan guncangan global, dan tidak dapat mengekspresikan kepentingan nasional secara maksimal.  Semuanya didikte oleh penguasa kapitalis dari asing melalui TNC-TNC yang beroperasi di Indonesia. Terlalu banyak devisa kita disedot oleh kekuatan ekonomi asing, sementara kita hanya mengandalkan beroleh devisa dari tiga hal: (a) ekspor tenaga kerja tak terdidik/tak terlatih, TKW/TKI yang bekerja sebagai pekerja kelas rendahan di negara asing–sebuah fenomena ekonomi yang menekan harkat dan martabat kebangsaan kita; (b) eksploitasi SDA berupa hasil tambang, hasil hutan, gas dan minyak bumi yang berakibat pada hancurnya ekosistem dan lingkungan hidup nasional; (c) sewa tanah serta upah kerja buruh dari berbagai investasi asing yang hadir di Indonesia.  Jadi, ketiga hal itulah yang “menjadi kebanggan” nasional kita saat ini untuk mengimbangi sedotan devisa oleh TNC asing yang beroperasi di Indonesia.  Benarkah itu sesuatu yang membanggakan?