“Kita bukan negara dengan sistem ekonomi yang Pancasilais lagi”

Wawancara Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr.

Akhir-akhir ini persoalan kedaulatan ekonomi kembali mengemuka, terkait kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah yang dianggap terlalu pro pasar. Sebagian pihak berpendapat bahwa kebijakan tersebut merupakan konsekuensi dari globalisasi yang tidak bisa dihindari. Sementara pihak lain menilai bahwa kebijakan ekonomi yang terlalu pro pasar tersebut, selain akan mengurangi keberpihakan terhadap rakyat banyak, juga akan melemahkan potensi ekonomi Indonesia yang kaya akan sumberdaya alam. Untuk mengurai masalah tersebut Redaksi Tabloid INSPIRASI melakukan wawancara dengan Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr., seorang pakar sosiologi ekonomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Berikut petikannya:

Adakah definisi baku mengenai globalisasi ekonomi ? 

Pertama, saya menjawab terlebih dulu pengertian sempit dari globalisasi ekonomi. Konsep ini sebenarnya adalah sebuah istilah populer yang menunjuk pada sebuah proses homogenisasi (proses menjadi seragam) sistem ekonomi yang berlaku di se-antero/seluruh pelosok dunia, yang awalnya berlaku di Barat. Proses penyeragaman tersebutlah yang kemudian menyebabkan sekat-sekat antar negara-negara, kini tinggal berupa “batas administratif kewilayahan” semata-mata, sementara batas identitas perekonomian tidak tampak lagi.  Sebagai akibat dari globalisasi ekonomi, semua negara di dunia kini terintegrasi menjadi satu sistem perekonomian yang seragam atau tunggal yaitu sistem ekonomi pasar.  Adalah negara-negara Barat yang berperan aktif pada awalnya, untuk memperkenalkan mekanisme ekonomi pasar ke dalam sistem perekonomian di setiap negara, termasuk Indonesia.

Lalu, apa yang dimaksud dengan mekanisme ekonomi pasar?

Ekonomi pasar adalah sebuah sistem distribusi kesejahteraan yang mengagungkan etika kebebasan bersaing antar individu/private dalam meraihkan “kue” kesejahteraan melalui aktivitas produksi dan konsumsi secara bebas di suatu negara/kawasan atau entitas sosial-ekonomi, dimana pasar yang akan menentukan akankah aktivitas itu berlanjut atau berhenti [karena tak mampu meneruskan usahanya].  Dalam hal ini, konsep yang kemudian kita kenal dengan pasar, sesungguhnya bukanlah seperti pasar layaknya kita kenal sebagai market place seperti secara fisik terlihat sebagai Pasar Senen, Pasar Rebo, atau pasar sayur tradisional, namun ia adalah sebuah lembaga pengaturan distribusi kesejahteraan yang konsep awalnya diajukan oleh Adam Smith di Eropa Barat [Inggris] di abad 17an.

 

Mengapa kemudian konsep ekonomi pasar yang dipilih atau digunakan?

Konsep ini mulanya dimunculkan di Eropa Barat. Sejarah pemikiran ekonomi menjelaskan bahwa lembaga pasar  ditawarkan sebagai ide alternatif untuk melawan krisis dalam sistem pengaturan distribusi kesejahteraan ala feodal yang sentralistik-aristokratik pada masa itu.  Masyarakat yang merasa terbelenggu kebebasannya oleh imperium feodalis, memandang mekanisme pasar yang ditawarkan oleh Adam Smith sebagai “angin segar” yang sangat menjanjikan. Mekanisme produksi dan konsumsi berbasis kelembagaan pasar dianggap lebih manusiawi, lebih adil, dan demokratis. Organisasi ekonominya yang menjanjikan prakarsa individual, alias bukan prakarsa negara/kerajaan, dianggap juga sebagai representasi semangat pembebasan dari feodalisme. Bila demikian, ekonomi pasar sesungguhnya adalah sebuah sistem distribusi kesejahteraan yang berbeda dengan sistem feodalistik karena diatur melalui mekanisme permintaan dan penawaran yang terbebas dari intervensi otoritas kekuasaan negara/kerajaan dan berada dalam pertukaran yang lebih rasional.

Sebagaimana konsep yang lain, bukankah ekonomi pasar memiliki kelemahan?

Perlu untuk sangat dicatat bahwa, dalam suasana yang penuh dengan kerinduan akan kebebasan/pembebasan dari penjajahan feodalisme seperti itu, hampir tidak dilirik samasekali oleh siapapun, tentang peringatan yang mengatakan bahwa ekonomi pasar sesungguhnya juga memiliki sejumlah kelemahan.  Kelemahan tersebut terletak pada, “akan jatuhnya banyak korban” bila kelak mekanisme pasar bekerja secara efektif. Korban itu terutama aktor ekonomi kecil-lemah yang tak kuasa bersaing dan melawan aktor ekonomi kuat dalam persaingan bebas memperebutkan “kue” perekonomian di pasar bebas.

Mengapa kemudian sistem ekonomi pasar menjadi sistem ekonomi yang dominan di dunia?

Dari sekedar etika pembebasan, ekonomi pasar perlahan telah berubah menjadi ”cita-cita agung”, sebuah ideologi, yang diidamkan oleh banyak orang. Sejarah kemudian mencatat, bahwa sistem ekonomi menjadi tunggal di Eropa Barat—juga kemudian juga di Amerika Utara, yang keduanya mengandalkan pasar telah menghempaskan cita-cita feodalisme sebagai rezim ekonomi pengantar kesejahteraan di masa lalu. Janjinya tentang kemakmuran individual oleh mekanisme pasar, telah memesona banyak orang. Singkat kata, tidak terelakkan, bila ekonomi-pasar kemudian menjadi ideologi ekonomi terbesar sepanjang sejarah peradaban manusiayang dianut oleh hampir 6.5 milyar warga dunia saat ini. Kita mencatat bahwa hanya ada dua negara yang saat ini secara terang-terangan menolak sistem ekonomi pasar sebagai mekanisme [rejim] pengaturan kesejahteraan ekonomi bagi negara dan warga mereka, yaitu Myanmar dan Korea Utara. Penolakan itu berupa kebijakan “politik ekonomi isolasi” yang dilakukan dengan amat susah-payah. Kedua negara tersebut, hingga kini tetap mempertahankan sistem ekonomi yang kita kenal sebagai state-controlled economy, sebuah pengaturan ekonomi oleh negara.

Apa keterkaitan ekonomi pasar dengan neoliberalisme?

Perlu dicatat adalah bahwa ekonomi pasar dari hari ke hari bermetamorfosis menjadi bentuknya yang semakin liberal sebagaimana yang kita kenal saat ini sebagai era neoliberalisme.  Ide neoliberalisme sendiri sebenarnya dicetuskan oleh Milton Friedman –seorang peraih nobel ilmu ekonomi—di tahun 1980-an yang menginginkan pasar sebagai solusi bagi pengaturan politik suatu negara menyikapi Chile dan RRC di era itu yang masih sangat sentralistik dengan penguasanya yang sangat diktator/elitis. Neoliberalisasi ditawarkan sebagai bagian untuk mereduksi kekuasaan elit negara yang berlebihan dalam produksi dan distribusi ekonomi di kedua negara tersebut.  Singkat kata, missi tersebut berhasil dengan gemilang dan mengantarkan negara RRC atau China modern-kapitalistik yang kita lihat saat ini.

Bagaimana dengan gagasan kembali ke sistem ekonomi yang bersendi pada nilai-nilai Pancasila?

Hingga titik ini, saya sangat meragukan bahwa kita masih menganut/berpegang teguh dan setia pada ideologi Pancasila sebagai ideologi tunggal pengaturan ekonomi nasional.  Ketidakberdayaan kita untuk menahan derasnya pemikiran dan praktek ekonomi pasar menyebabkan kita tak lagi setia  dan sulit untuk setia pada prinsip-prinsip Pancasila.  Ideologi perekonomian pasar kita yang justru telah menjadi sangat [neo]liberal yang secara harfiah erat-karakteristiknya dengan ciri-ciri penguasaan,  akumulasi dan ekspansi materi/kapital untuk kepentingan produksi serta pencapaian kepuasan individual, makin mengokohkan bahwa kita bukan negara dengan sistem ekonomi yang Pancasilais lagi.  Pada tataran inilah, mengapa kita sering menyebut pula bahwa negara kita tidak saja telah berubah bentuk menjadi negara yang neoliberalistik melainkan juga sangat kapitalistik. Dengan dua bentuk platform ideologi itulah, kita menjadi kompatibel  untuk berintegrasi dengan sistem ekonomi global. Disinilah ditemukan penjelasan atau jawaban tentang mengapa globalisasi ekonomi menjadi bagian yang tak terpisahkan lagi dari totalitas ”ruh perekonomian” nasional.

Lalu, masih adakah kedaulatan ekonomi nasional, di negeri ini?  

Bila pasar yang sangat liberalistik itu kini membentuk imperialisme baru bernama ”penguasaan kapital yang sangat diagungkan oleh semua pihak”, maka sesungguhnya penjajahan yang dialami di masa imperialisme feodal, pada hakikatnya kini telah/hanyalah berubah ”wajah”, menjadi  Imperialisme atau penjajahan oleh kapitalisme. Jadi, cerita atau sejarah peradaban ekonomi yang dilalui oleh dunia ini—termasuk dialami oleh Indonesia—sebenarnya tidaklah banyak berubah, dia hanya berulang dari satu moda penguasaan ke moda penguasaan yang lain.

Apa kerugiannya bila neoliberalisme-kapitalisme merasuk ke Indonesia?  

Sebelumnya, perlu kita mengingat kembali makna neoliberalisme ekonomi pasar, yaitu: sebuah keadaan yang memungkinkan semua pihak tanpa terkecuali bermain, bertanding, bersaing dalam gelanggang perekonomian tanpa kontrol negara sebagai ”wasit” secara memadai (kontrol negara sangat minimal). Dalam kondisi yang demikian, perekonomian yang sehat adalah perekonomian dimana intervensi negara seminimal mungkin. Dalam hal ini, mungkin kita perlu mengingat beberapa jargon politik ekonomi penting dari neoliberalisme yang sejauh ini kita praktekkan di Indonesia seperti liberalisasi, deregulasi dan privatisasi ekonomi di berbagai sektor.  Kebijakan-kebijakan itu sesungguhnya adalah necessary condition bagi bekerjanya neoliberalisme dan kapitalisme agar beroperasi secara mulus di negeri ini.

 

Bagaimanakah perilaku aktor-ekonomi pasar yang sangat neoliberal-kapitalistik tersebut memainkan perannya dalam mengubah struktur perekonomian sebuah negera seperti Indonesia?

Dalam keadaan persaingan tanpa perlindungan dan hampir “tanpa wasit” seperti itulah maka sudah dapat diduga bahwa aktor-aktor ekonomi kuat atau korporasi skala besar dunia yang kemudian dikenal sebagai Trans National Corporation [TNC] yang akan memenangkan ”pertandingan di segala arena”. Sebagai pecundangnya adalah aktor ekonomi kecil, petani kecil, nelayan kecil, usaha ekonomi lemah yang tak mampu bersaing. Mereka tercampak dan termarjinalisasi serta mati perlahan pada akhirnya.  Dengan kemenangannya, TNC-TNC tersebut bergerak, merangsek, berekspansi dan selanjutnya menguasai cabang-cabang perekonomian penting di seluruh pelosok kawasan.

Mengapa perusahaan kuat atau TNC-TNC yang sangat neoliberalistik tersebut kini hadir makin hari makin kukuh?

Ya..itu karena mereka diberi peluang untuk berkembang secara kondusif oleh penguasa yang telah lebih dahulu mengalami brain-washing sehingga berideologikan ekonomi pasar yang sangat neoliberal. Kehadiran TNC makin kuat karena juga di-amini oleh masyarakat yang juga telah menganut ideologi ekonomi pasar neoliberalistik melalui proses pendidikan formal di sekolah-sekolah. Dengan dicapainya necessary conditions itulah, maka para TNC–perusahaan multinasional tersebut dengan sangat mudah dan bebasnya merasuk dan menguasai sendi-sendi perekonomian nasional hampir di semua bidang, sebut saja: dari jaringan bisnis restoran siap, jaringan bisnis produksi makanan dan minuman, jaringan bisnis retail-market (pasar swalayan), jaringan bisnis produksi alat-alat rumah tangga—seperti: TV, VCD, komputer, AC, lemari es, jaringan bisnis automobile (mobil dan sepeda motor), jaringan bisnis jasa perbankan, jaringan bisnis infrastruktur, jaringan bisnis pertambangan—terutama minyak bumi, gas, emas, hingga semen, jaringan bisnis jasa provider telekomunikasi, hingga jaringan bisnis jasa konsultan, dan jaringan bisnis hiburan serta media.

Dampaknya bagi perekonomian rakyat bisa luar biasa ya Pak?

Tidak terelakkan, kini seluruh sendi kehidupan ekonomi nasional Indonesia telah terkoneksi langsung ”dengan baiknya” (well-connected) ke pusat-pusat bisnis kapitalis-neoliberalis yang biasanya terletak di negara adidaya/Barat tersebut tanpa sekat apapun. Oleh karenanya, sedikit saja gangguan terjadi di pusat TNC, akan sampai juga dampaknya ke Indonesia…bahkan hingga ke pedesaan. Perlu saya tambahkan, sebagai harga proses neoliberalisasi ekonomi dan menguatnya semangat ekspansi kapital/modal di negeri ini, maka deformasi perekonomian asli-rakyat yang tadinya menyokong kehidupan ekonomi nasional, terus terjadi.  Deformasi ini mengantarkan keseluruhan struktur perekonomian mengalami peredupan menuju kepada proses sekarat (decaying processes).

Menurut Anda, apakah Indonesia sudah cukup siap menghadapi globalisasi ekonomi?

saya katakan bahwa kita telah menjadi bagian perekonomian global yang neoliberalistik-kapitalistik tersebut. Apakah ini bukti absah dari kesiapan itu? Jika jawabannya “ya”, maka tidak dapat disangkal lagi kita siap menjadi bagian perekonomian global.  Namun, bila ditanyakan: apakah sistem ekonomi asli nasional, yang seringkali disebut-sebut sebagai ekonomi koperasi ala Hatta–yang bersendikan semangat kesetiakawanan sosial, kolegial, egalitarian, dan kekeluargaan, bisa siap bersaing dengan sistem ekonomi global yang penuh perasingan, selfish, materialistik, individualistik, dimana sistemnya sudah tertancap dengan kukuhnya, baik secara ideologis maupun secara praxis didukung oleh penguasa di seluruh pelosok negeri, maka jawabannya: tidak mungkin kita melawan globalisme ekonomi.

Bagaimana dengan konsep koperasi, sebagaimana dianjurkan oleh Bung Hatta?

Sejauh ini ekonomi koperasi akan hanya menjadi sekedar romantisme ekonomi Indonesia semata-mata.  Tanpa ada “krisis neoliberalisme-kapitalisme” yang bisa menghempaskan ideologi dan praktek ekonomi ini secara mencukupi, maka percuma saja Indonesia melawan ekonomi global yang sangat ekspansif, greedy dan eksploitatif itu, melalui introduksi ekonomi koperasi. Ekonomi ini mengalami persoalan inkompatibilitas (ketidakcocokan sistem) dengan ekonomi neoliberalisme-pasar yang sangat kapitalistik-individualistik. Kita perlu mempertanyakan komitmen penyelenggara negara dan seluruh bangsa ini kepada sistem ekonomi koperasi. Sekali lagi sistem ekonominya, bukan badan hukum sebuah enterprise bernama koperasi A atau koperasi B untuk melawan neoliberalisme-kapitalisme. Bila jawabannya, baik penguasa maupun masyarakatnya tidak siap, maka marilah kita relakan diri kita dikooptasi (“dicaplok”) oleh sistem ekonomi pasar yang neoliberalistik-kapitalistik itu.

Jika belum siap, apakah negara berkembang seperti Indonesia akan pernah siap menghadapi globalisasi ekonomi? 

Agar perekonomian skala kecil tidak mati oleh sistem ekonomin neoliberalisme, maka mau tak mau mereka harus disiapkan dalam suasana dan sistem berpikir yang neoliberalistik-kapitalistik melalui pendidikan kewirausahaan dan penyesuaian struktural di berbagai sektor perekonomian. Terdapat persoalan besar dalam hal ini. Budaya asli Indonesia, tidak mengenal prinsip-prinsip atau etika-moral persaingan sempurna, prinsip individualisme, dan kompetisi model ketat sebagaimana disyaratkan oleh sistem ekonomi neoliberalisme dan kapitalisme. Dengan demikian, diperlukan pengorbanan berbentuk penghilangan nilai-nilai atau etika moral ekonomi asli Indonesia dan menggantinya dengan etika moral neoliberalisme-kapitalisme melalui pendidikan agar bangsa Indonesia siap bersaing dalam ekonomi pasar yang neoliberalistik itu.

Bukannya itu malah menjadikan bangsa kita mengalami split culture (keterbelahan budaya)?

Bila persaingan adalah kata kunci memenangkan pertarungan ekonomi dalam suasana yang sangat liberal, maka tidak ada kata lain selain reformasi budaya ekonomi masyarakat Indonesia. Persoalannya, seberapa cepat reformasi ini berlangsung? Akan terjadi korban-korban baru atas upaya reformasi budaya ekonomi tersebut yang harus diantisipasi. Siapkah negeri ini mengantisipasi hal-hal tersebut?

Lalu, apa manfaat globalisasi ekonomi untuk negara kita?

Kalau mau jujur, kita sebenarnya lebih banyak dirugikan oleh globalisme ekonomi, bila dilihat dari sisi kemandirian ekonomi. Kita menjadi negara dengan sistem yang sangat tergantung asing, sangat rentan guncangan global, dan tidak dapat mengekspresikan kepentingan nasional secara maksimal.  Semuanya didikte oleh penguasa kapitalis dari asing melalui TNC-TNC yang beroperasi di Indonesia. Terlalu banyak devisa kita disedot oleh kekuatan ekonomi asing, sementara kita hanya mengandalkan beroleh devisa dari tiga hal: (a) ekspor tenaga kerja tak terdidik/tak terlatih, TKW/TKI yang bekerja sebagai pekerja kelas rendahan di negara asing–sebuah fenomena ekonomi yang menekan harkat dan martabat kebangsaan kita; (b) eksploitasi SDA berupa hasil tambang, hasil hutan, gas dan minyak bumi yang berakibat pada hancurnya ekosistem dan lingkungan hidup nasional; (c) sewa tanah serta upah kerja buruh dari berbagai investasi asing yang hadir di Indonesia.  Jadi, ketiga hal itulah yang “menjadi kebanggan” nasional kita saat ini untuk mengimbangi sedotan devisa oleh TNC asing yang beroperasi di Indonesia.  Benarkah itu sesuatu yang membanggakan?

About Inspirasi

Tabloid Inspirasi adalah tabloid dwimingguan yang berisi artikel dan opini dari para inteletual Indonesia yang ditujukan untuk membantu meningkatkan kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam mendukung good governance. Selain itu, Inspirasi juga menerbitkan biografi para tokoh yang memiliki karya besar dalam bidangnya.

Posted on 30 Agustus 2010, in Wawancara. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar