Kenapa Produk Turunan Kelapa Sawit Kita Mandeg?

 ( Dr. Ir. Radian, MS. )

Dosen Fakultas Pertanian Universitas Tanjung Pura

 

Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan penting di dunia yang dapat menghasilkan berbagai produk industri makanan, kimia, kosmetik, bahan dasar industri berat dan ringan, biodiesel, dan lain-lain. Tanaman sawit yang diduga berasal dari Afrika didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli Sumatera Utara pada tahun 1870-an. Berkembangnya perkebunan  sawit di dunia bersamaan meningkatnya permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19.

Di Indonesia pengembangan perkebunan sawit dimulai  di pulau Sumatera yaitu di Deli dan Aceh, bahkan di zaman pendudukan Hindia Belanda sekitar pada 1940 pernah menjadi daerah pemasok utama minyak sawit dunia. Akan tetapi pada masa pendudukan Jepang terjadi berbagai kekacauan yang menyebabkan terbengkalainya pemeliharan kebun sawit dan akhirnya produksi sawit mengalami penurunan yang drastis. Pada saat yang sama di Malaya (Malaysia) perkebunan sawit sudah berkembang dengan baik sehingga pemasok utama minyak sawit dunia diambil alih oleh Malaysia

Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati yang dapat diandalkan karena minyak yang dihasilkan memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan oleh tanaman lain. Salah satu keunggulannya adalah memiliki kadar kolesterol rendah, bahkan tanpa kolesterol. Minyak kelapa sawit mengandung kadar kolesterol yang rendah, yaitu sekitar 3 mg/kg. Sementara, lemak hewani mengandung kadar kolesterol lebih tinggi, 50-100 kali dari minyak kelapa sawit.

Pengolahan kelapa sawit pada dasarnya merupakan suatu proses pengolahan terhadap tandan buah segar (TBS) menjadi minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit (KPO). Minyak nabati yang dihasilkan dari pengolahan buah kelapa sawit berupa minyak sawit mentah (CPO) yang berwarna kuning dan minyak inti sawit (PKO) yang tidak berwarna (jernih). CPO atau PKO banyak digunakan sebagai bahan industri pangan (minyak goreng dan margarin), industry sabun (bahan penghasil busa), industri baja (bahan pelumas), industri tekstil, kosmetik, dan sebagai bahan bakar alternatif (biodisel). Pada dasarnya, CPO dapat diolah menjadi tiga macam bahan kimia, yaitu methyl ester, asam lemak (fatty acid), dan gliserin (glycerine).

Bangkitnya kembali perkebunan sawit di Indonesia dimulai sejak era 1970-an dengan luas  250 ribu hektar, dan pada tahun 2008 telah meningkat menjadi 7,0 juta hektar, tahun 2009 meningkat menjadi 7,3 juta hektar dan pada tahun 2010 luas kebun sawit di Indonesia sudah mencapai 7,9 juta hektar dan menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Menurut data Ditjen Perkebunan, areal perkebunan kelapa sawit tersebar di 17 provinsi meliputi wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Meningkatnya luas perkebunan sawit juga diikuti dengan naiknya produksi CPO, dimana pada tahun 2008 produksinya 19,2 juta ton, pada tahun 2009 produksinya 19,4 juta ton, dan menurut Oil World tahun 2010 produksi CPO Indonesia sebesar 21,8 juta ton, tumbuh sebesar 3,8 persen, sedangkan produksi CPO Malaysia di 2010 mengalami penurunan sebesar 3,3 persen, yaitu dari 17,6 juta ton di 2009 menjadi 17 juta ton. Pada tahun 2011 ini menurut Kementerian Pertanian  Indonesia dapat memproduksi CPO mencapai 22-23 juta ton.

Secara internasional kebangkitan Indonesia sebagai produsen utama dunia cukup lama pulihnya, sejak pendudukan Jepang, maka baru pada tahun 2006 Indonesia sebagai negara produsen kelapa sawit nomor satu di dunia. dimana memberikan kontribusi sebanyak 47 persen dari produksi minyak kelapa sawit yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit di seluruh dunia. Di dalam negeri, industri kelapa sawit nasional berkontribusi sebesar 10% terhadap pendapatan pemerintah dari sektor non migas, dan sebagai menyerap tenaga kerja. Namun sayangnya industri pengolahan produk turunan CPO Indonesia belum berkembang dengan baik, dimana Indonesia masih tetap mengandalkan ekspor minyak sawit mentah ke pasar dunia dan mengandalkan penjualan Tandan Buah Segar (TBS) yang nilainya relatif kecil dibandingkan nilai tambah penjualan produk turunan CPO.

Di sektor produksi CPO sekarang Indonesia adalah rajanya, akan tetapi  Indonesia masih belum mampu mengalahkan Malaysia dalam jumlah ekspor hasil industri turunan produk kelapa sawit tersebut. Pada 2010, dari total produksi sekitar 15,6 juta ton CPO, Indonesia hanya mengekspor sekitar 6,8 juta ton produk turunan. Sementara sisanya, sebesar 8,8 juta ton diekspor dalam bentuk minyak mentah. Produk derivatif CPO diperkirakan tak kurang dari 150 produk turunan baik pangan maupun nonpangan, tetapi industri di Indonesia relatif masih berjalan lambat. Indonesia hanya mampu memproduksi 23 jenis produk turunan CPO.

Perkembangan industri turunan CPO di Indonesia relatif masih berjalan lambat, dimana baru dapat menghasilkan 23 jenis produk. Turunan produk CPO pada industri pangan berupa : minyak goreng, margarin, shortening, CBS, vegetable ghee dan industri non pangan. Sedangkan turunan produk CPO pada industri oleokimia, berupa fatty acids, fatty alcohol dan glycerin, serta biodiesel. Menurut Hasan (2011) sebenarnya industri turunan CPO di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir perkembangan produk turunan CPO di Indonesia semakin membaik, tetapi tidak secepat yang diharapkan, hal inilah kalau tidak dilakukan tindakan yang cepat dan tepat maka Indonesia akan selalu dibawah Malasyia.

Perbandingan ekspor CPO Indonesia dengan produk turunannya masih sekitar 60:40, dimana nilai ekspor CPO dan produk turunan sawit Indonesia mencapai US$ 16,4 miliar, naik 50% lebih dari 2009 yang berjumlah US$ 10 miliar. Namun apabila dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, Indonesia masih jauh ketinggalan. Ekspor CPO dan produk olahan CPO Malaysia 20 persen berbanding 80 persen. Artinya, Malaysia mengekspor CPO lebih didominasi pada produk turunan dari CPO yang memiliki nilai tambah yang lebih besar daripada CPO.

Selama ini, CPO yang berasal dari Indonesia mengalir ke negara Malaysia yang dijual oleh perusahaan perkebunan yang tidak memiliki industri pengolahan ke bagian lebih hilir lagi. Di Malaysia, CPO Indonesia diolah lebih ke hilir dan nilai tambahnya yang cukup besar dinikmati langsung oleh negara serumpun itu. Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Minyak Nabati Indonesia(Gimni) Sahat Sinaga mengatakan, dari total produksi sawit dalam negeri 20,2 juta ton, 14 juta ton di antaranya diekspor dalam bentuk CPO. Akibatnya yang menikmati nilai tambahnya adalah negara-negara pengimpor seperti India, Tiongkok, dan Malaysia. Upaya agar Indonesia dapat mendominasi industri downstream harus terus diupayakan secara serius mengingat pertambahan nilainya cukup besar kalau diolah lebih lanjut, pertambahan nilainya bisa berkisar antara 90 -100 %, bahkan menurut Hadisetyana,  industri manufaktur hilir berbasis kelapa sawit diyakini mampu meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut hingga mencapai 12 kali lipat. Menurut Kementerian Perindustrian, industri manufaktur fatty alcohol memberikan nilai tambah hingga 400 %, fatty acid sampai 300 %, margarin hingga 180 % dan yang tertinggi produksi kosmetik yang mampu meningkatkan nilai produksi hingga 1.200 % dari harga minyak sawit mentah.

Para pengusaha tahu bahwa nilai jual produk turunan CPO ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai jual CPO itu sendiri. Namun, karena infrastruktur sarana dan prasarana yang tidak memadai serta birokrasi yang dianggap belum efisien di Indonesia membuat investor kurang berminat untuk menanamkan modalnya pada industri hilir. Selain itu, para pengusaha CPO menganggap bahwa perdagangan CPO masih prospektif, aman dan nyaman. Para pengusaha CPO menganggap  pemrosesan minyak sawit menjadi CPO tergolong cukup sederhana namun keuntungan yang didapatkan dari penjualan CPO sangat tinggi seiring dengan melonjaknya harga minyak dunia.

Industri hilir minyak kelapa sawit dinilai tidak cepat berkembang akibat belum optimalnya insentif dan keberpihakan pemerintah. Kebijakan dan peraturan daerah yang kurang tepat juga menyebabkan investasi di sektor hilir juga menurun. Beragamnya regulasi di masing-masing daerah akibat otonomi juga dapat menghambat berkembangnya industri hilir tersebut. Para pengusaha dan investor merasa kurang nyaman dalam menghadapi aturan yang dikeluarkan birokrasi, mulai dari perizinan, tata ruang yang tidak jelas, perda yang sering berubah seiring pergantian pejabat.

Kondisi tersebut berbeda dengan iklim usaha dan investasi di Malaysia, industri kelapa sawit di negara tersebut dapat berkembang dengan baik karena adanya sistem pengelolaan industri kelapa sawit yang ditata dengan baik. Jika dibandingkan Indonesia, industri kelapa sawit Malaysia secara umum memiliki keunggulan pada bidang pengembangan pasar, pengembangan teknologi pengolahan produk turunan CPO dan pengembangan teknologi produksi kelapa sawit.

Pembangunan industri turunan (‘downstream’) minyak sawit mentah membutuhkan insentif dan dukungan dari pemerintah, agar para produsen CPO dan investor lainnya bergairah untuk membangun industri hilir tersebut di Indonesia. Oleh karena itu hendaknya pemerintah Indonesia dapat membuat berbagai kebijakan yang mendukung berkembangan industri CPO Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebijakan tersebut hendaknya mencakup berbagai kebijakan seperti : perbaikan infrastruktur, pengembangan pasar, standarisasi mutu, perpajakan, bunga bank, kluster industri dan riset.

Pembangunan infrastruktur yang memadai merupakan prasyarat untuk mencapai kesuksesan program hilirisasi industri sawit tersebut seperti pasokan energi , penyediaan air bersih, sistem transportasi jalan, jembatan dan pelabuhan. Banyak laporan yang menyatakan para investor batal membangun industri hilir pada suatu daerah karena lemahnya infrastruktur. Pembangunan infrastruktur ini mempunyai multiplayer effect pada berbagai industri yang mendorong perbaikan ekonomi masyarakat.

Pengembangan pasar merupakan hal yang penting dilakukan tidak hanya mencari terobosan di pasar luar negeri, akan tetapi peluang pasar dalam negri juga patut mendapat perhatian. Potensi pasar di Indonesia cukup besar. Dari 500 juta orang penduduk di ASEAN, hampir 50 persennya adalah penduduk Indonesia. Kalau kita (industri di dalam negeri) tidak segera mengambil pasar itu, (industri) negara lain akan memanfaatkan potensi yang besar tersebut. Keunggulan pemerintah Malaysia dalam mengembangkan pasar produk kelapa sawit dapat dilihat dari keberhasilan industri kelapa sawit Malaysia tahun 2008 dalam menerobos pasar minyak dan lemak nabati ke 155 negara tujuan ekspor di seluruh dunia dengan 105 macam produk turunan minyak sawit ke berbagai segmen pasar.

Disamping upaya pengembangan pasar yang efesien, hal-hal yang berkenaan dengan tuntutan standar mutu, spesifikasi produk, nilai gizi komposisi kimia produk, kemasan produk, pelayanan informasi serta ketepatan pengiriman, diolah dengan menggunakan teknologi modern agar tuntutan konsumen terpenuhi. Arah pengembangan teknologi industri pengolahan kelapa sawit Malaysia adalah mengupayakan agar minyak sawit dan produk turunannya menjadi produk komersial penuh untuk memenuhi permintaan pasar.

Di bidang perpajakan, pemerintah perlu memberikan insentif bagi investor pengembang industri hilir sawit, misalnya melalui keringanan pajak pagi industri hilir. Disamping itu kebijakan menaikkan pajak ekspor bahan baku seperti CPO dapat mendorong pertumbuhan industri hilir dilandasi pemikiran bahwa kenaikan pajak ekspor CPO akan lebih menjamin ketersediaan bahan baku dengan harga yang lebih rendah.  Kenaikan pajak ekspor bijaksana diharapkan akan menghambat ekspor sehingga ketersediaan bahan baku di dalam negeri akan meningkat dengan harga yang lebih murah. Disamping menaikkan pajak ekspor kebijakan mengurangi tarif impor untuk peralatan/mesin untuk industri hilir dan bahan penolong juga harus dilakukan, mengingat tarif yang relatif tinggi yang diindikasikan oleh koefisien proteksi input nominal (nominal protection coefficient on tradable inputs) yang tinggi.  Perkembangan terbaru dengan keluarnya kebijakan pemerintah mengenai PMK  No. 128/PMK.011/2011, tertanggal 15 Agustus 2011, membuat  ketentuan bahwa BK CPO dan produk turunannya dibedakan antara 6%-7%. Hal ini dapat diartikan bahwa  bea keluar produk turunan CPO lebih rendah antara 6%-7% dibandingkan dengan CPO, sehingga diharapkan industri hilir CPO akan tumbuh dan berkembang di Indonesia. Kita berharap semoga saja dengan adanya PMK baru ini akan memacu pengusaha mengolah CPO menjadi produk hilir karena akan memberikan keuntungan yang lebih besar. Aturan baru ini juga bakal menjadi lebih menarik karena pemerintah juga sudah mengeluarkan insentif berupa pengurangan perpajakan kalau industri dibangun di luar Jawa

Insentif bunga yang rendah bagi pengembangan industri hilir dapat memberikan dorongan bagi pengusaha untuk membangun industri hilir yang padat modal. Seperti di Malaysia, bunga yang rendah dan kebijakan fiskal yang kondusif dari pemerintah, akhirnya Malaysia menjadi raja produk sawit maupun produk turunannya. Mereka membangun pabrik minyak goreng atau pengolahan sawit tidak dengan pipa biasa, tetapi galvanis. Hasilnya, ada nilai tambah pada harga tiga sampai lima kali lipat dari CPO. Kini Malaysia, tak hanya memiliki pabrik yang banyak di industri manufaktur pengolahan turunan CPO, tetapi kebun yang luas. Kini produksinya mampu mencapai 12 juta ton per tahun.

Guna mendukung pengembangan industri turunan CPO, peranan Research dan Development cukup strategis. Lembaga ini harus mampu menemukan berbagai inovasi untuk pengembangan produk turunan. Untuk memperkuat dana Research dan Development pemerintah sebaiknya mengembalikan sebagian dana dari bea keluar CPO untuk mendukung riset, terutama untuk menemukan teknologi yang efisien dan industri turunan dan penemuan derivate baru dari turunan CPO. Insentif ini juga diberikan pada produsen CPO yang melakukan research and development untuk mempercepat pembangunan industri hilir sawit.

Pengembangan klaster industri hilir CPO sangat penting untuk memperkuat rantai industrinya karena industri hilir CPO di dalam negeri masih rapuh, sedangkan negara pesaing kita seperti Malaysia sudah beberapa langkah lebih maju. Manfaat yang diperoleh dari pendekatan klaster industri adalah timbulnya inovasi. Sifat kolektivitas dalam klaster juga dapat mempermudah eksperimentasi dengan ketersediaan sumber daya lokal. Sekelompok industri inti dalam klaster ini harus terkonsentrasi secara regional maupun global dan saling berhubungan atau berinteraksi sosial secara dinamis, baik dengan industri terkait,industri pendukung maupun jasa penunjang, infrastruktur ekonomi dan lembaga terkait dalam meningkatkan efisiensi, menciptakan aset secara kolektif dan mendorong terciptanya inovasi sehingga tercipta keunggulan kompetitif.

Kebijakan untuk mendorong percepatan industri turunan CPO tentu memerlukan komitmen yang kuat dari semua pihak. Lahan yang tersedia untuk perkebunan sawit,iklim yang sangat mendukung, produktivitas hasil yang tinggi, dan kualitas hasil yang baik merupakan modal yang sangat kuat dalam membangun industri turunan CPO yang kuat dengan dukungan bahan mentah yang cukup. ***

 

 

Belajar Dari Negara Lain; Kualitas Ekspor Pertanian Kita

Dr. Ir. Saputera, M.Si.

Lektor / Dosen Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya

I.      Pendahuluan

Sebagaimana kita ketahui bahwa pertanian merupakan hal yang sangat esensial dalam sebuah negara. Kehidupan pertanian yang kuat di negara-negara maju bukan merupakan hasil usaha dalam setahun dua tahun seperti membalik telapak tangan. Perkembangan dan proses tersebut berlangsung lama sejalan dengan waktu dalam sejarah pembangunan di negara-negara tersebut.

Ada slogan yang mengatakan negara akan kuat apabila pertaniannya kuat. Mengingat, pertanian akan sangat erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan pangan yang jika tidak terpenuhi maka akan mengancam stabilitas ekonomi, sosial dan politik suatu negara. Bahkan di Amerika Serikat sendiri semasa Presiden Abraham Lincoln mengatakan bahwa Amerika Serikat akan menjadi negara besar dan kuat apabila warg negara menjadi pemilik negara itu. Ini sebagai salah satu gambaran perhatian pemerintah terhadap petani agar mempunyai lahan yang cukup untuk bertani dan dapat menghidupkan keluarganya.

Memang kita maklumi petani dan pertanian merupakan saudara kembar yang tidak terpisahkan. Dimana petani merupakan subjek, sedangkan pertanian merupakan aktivitas dimana subjek itu memainkan perannya. Dengan demikian pertanian di negara-negara maju basisnya adalah petani, bukan perusahaan besar. Akan tetapi, saat ini posisi pertanian dalam negeri dihadapkan pada posisi yang sangat dilematis. Hal ini
mengingat terus berfluktuasinya harga-harga riil produk pertanian di satu pihak, dan kuatnya pertanian negara maju di pihak lain. Dengan tanah yang subur dan luas seharusnya negara kita swasembada pangan, bahkan sebagai pengekspor hasil pertanian terdepan.

Di sisi lain kualitas ekspor pertanian kita tidak terlepas antara lain dari petaninya sendiri sebagai produsen, eksportir dan dukungan pemerintah. Walaupun kualitas ekspor pertanian yang berhubungan dengan daya saing produk itu sendiri tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan resultante dari kebijakan di dalam negeri dan kebijakan dari negara-negara lain.

Selain itu, permintaan konsumen terhadap produk pertanian tidak sama dengan produk industri non pertanian lainnya. Katakan saja bila ada permintaan akan buah semangka seperti buah pisang dengan rasa yang kecut, rasanya tidak mungkin hal ini bisa dipenuhi dalam waktu yang ditentukan. Lain halnya bila permintaan terhadap pakaian dengan motif dan bahan yang sesuai permintaan
konsumen dalam hal ini negara tujuan, maka akan segera dapat dipenuhi oleh industri yang bergerak di bidang tersebut.

Disamping itu dapat kita maklumi bahwa produk hasil pertanian sebagian besar tidak tahan lama, artinya bila tidak dipasarkan dalam waktu dekat, maka produk pertanian tersebut berangsur-angsur akan rusak atau busuk. Dengan demikian bila boleh kita katakan untuk menjadi seorang eksportir hasil pertanian, biasanya berpikir dua kali bila dibandingkan menjadi eksportir non produk pertanian. Karena
resikonya lebih tinggi, katakanlah bila perhitungan dari segi waktu meleset maka kerugianlah yang menanti. Sehingga tidak heran bila kita mendengar atau membaca lewat mass media bahwa eksportir hasil pertanian X tutup dan guling tikar karena faktor Y. Kepada siapa mereka harus menyerahkan kerugian ini? Sederhananya kita katakan, ini sudah menjadi resiko sebagai seorang eksportir.

Sebetulnya bukan itu yang menjadi jawaban yang jitu. Paling tidak, ini menjadi hikmah sebagai bahan kajian dan introspeksi bagi semua pemangku kepentingan yang terkait. Mengingat bukan saja kerugian hanya dialami oleh eksportir, tetapi dampak kerugian ini
juga berimbas kepada petani. Dapat kita maklumi untuk sampai menghasilkan produk pertanian harus melewati proses yang panjang yang harus dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama dengan cost yang tidak sedikit sesuai dengan komoditi yang dikembangkan. Padahal sebagian besar pelaksana, pengelola, dan pemanfaat pertanian itu sendiri adalah jutaan petani kecil yang memiliki modal, kualitas SDM, dan luas lahan yang sangat terbatas.

Dari kegiatan agribisnis terpadu misalnya, para petani diharapkan dapat memperoleh nilai tambah atau keuntungan sebanyak mungkin dari setiap tahap kegiatan agribisnis, termasuk kegiatan pasca panen. Di sisi lain, petani dituntut   selalu meningkatkan dan mempertahankan kuantitas dan kualitas produk yang  mereka hasilkan dan dipasarkan agar memiliki daya saing tinggi. Petani juga  harus dapat menjamin kualitas pasokan produk ke pasar sesuai dengan permintaan konsumen.

Di samping diperlukan kuantitas dan kontinuitas, tanpa jaminan kualitas produk, petani  Indonesia tidak akan mampu menembus pasar global. Fakta menunjukkan bahwa sampai saat ini devisa negara yang diperoleh dari ekspor produk pertanian masih terbatas. Lagi-lagi penyebabnya produk-produk pertanian kita belum mampu bersaing dengan produk-produk pertanian dari negara-negara lain, terutama dari negara-negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia. Justru yang terjadi sebaliknya, pasar domestik kita mulai dikuasai oleh produk-produk
pertanian luar negeri yang memiliki  kualitas lebih baik dan harga yang bersaing.

Bila kita lihat data nilai ekspor pertanian selama dua bulan pertama tahun 2008 misalnya hanya mencapai nilai 682,2 juta dolar AS atau sekitar 3,16% dari nilai total ekspor Indonesia yang mencapai 21.617,5 juta dolar. Walaupun dari segi nilai, kontribusi sektor pertanian memang masih di bawah sektor lain, tetapi dari segi angka pertumbuhan ekspor pertanian telah melebihi pertumbuhan ekspor sektor
lainnya.

Dengan demikian menurut Yuril Tetanel (2008) setidaknya ada tiga pilar yang perlu dibangun guna mendukung sektor pertanian sebagaimana yang diungkapkan oleh Prowse dan Chimhowu (2007) dalam studinya yang bertajuk “Making Agriculture Work for The Poor” yakni : pertama, pentingnya pembangunan infrastruktur yang mendukung perekonomian masyarakat. Infrastruktur merupakan faktor kunci
dalam mendukung program pengentasan kemiskinan yang dalam hal ini petani di pedesaan.

Di Vietnam, pesatnya penurunan angka kemiskinan tak lepas dari tingginya investasi untuk pembangunan irigasi dan jalan yang mencapai 60 persen dari total anggaran sektor pertanian mereka pada akhir dekade 1990-an. Hal yang sama juga dilakukan di India yang membangun infrastruktur pedesaan. Bahkan di Ethiopia yang pernah mengalami krisis pangan dan kelaparan pada pertengahan dekade 1980-an,
perbaikan jalan di pedesaan dan peningkatan akses pasar bagi para petaninya mampu mengangkat tingkat kesejahteraan para petaninya.

Kedua, perluasan akses pendidikan. Pendidikan memainkan peranan yang penting dalam mengentaskan kemiskinan di pedesaan melalui tiga saluran yakni dimana tingkat pendidikan berkaitan erat dengan peningkatan produktivitas di sektor pertanian itu sendiri. Kemudian, pendidikan juga berhubungan dengan semakin luasnya pilihan bagi petani untuk bisa bergerak di bidang usaha di samping sektor pertanian itu sendiri yang pada gilirannya juga akan dapat meningkatkan investasi di sektor pertanian. Terakhir, pendidikan juga berkontribusi terhadap migrasi pedesaan-perkotaan. Namun demikian di India, Uganda, dan Ethiopia migrasi terjadi antar desa. Buruh tani yang berpendidikan di
Bolivia dan Uganda lebih memiliki posisi tawar yang tinggi dalam hal upah yang lebih baik (Mosley, 2004).

Ketiga, penyediaan informasi baik melalui kearifan lokal setempat maupun fasilitasi dari pemerintah. Pilar yang ketiga inilah yang sangat penting dalam hubungannya dengan kualitas produk ekspor hasil pertanian kita. Pada umumnya petani kita memiliki kualitas modal sosial
yang rendah yang berakibat terhadap minimnya akses terhadap informasi seperti informasi kualitas hasil pertanian yang dibutuhkan. Ditambah lagi dengan kurangnya informasi yang diberikan oleh pengusaha/eksportir terhadap komoditi yang mereka tanam, sehingga berdampak pula pada produk hasil pertanian yang dihasilkan.

II. Kualitas Produk Ekspor Kita

Produk-produk pertanian yang beredar di pasar global dan internasional sangat hati-hati dalam menetapkan kriteria produk ekspor hasil pertanian seperti Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) telah menerima persyaratan SPS (Sanitary and Phytosanitary) sebagai salah satu bentuk hambatan non tarip dalam perdagangan internasional. Banyak peryaratan teknis yang harus dipenuhi oleh negara kita apabila ingin memasarkan produk pertanian kita di pasar internasional, termasuk persyaratan bebas hama dan sisa-sisa kerusakan hama.

Di samping persyaratan SPS, produk pertanian ekspor juga harus memenuhi persyaratan teknis WHO mengenai kandungan bahan berbahaya di pangan, terutama residu pestisida. Kandungan residu bahan-bahan berbahaya, seperti pestisida dan alfatoksin harus tidak melebihi batas maksimum residu yang ditetapkan oleh WHO atau negara tujuan ekspor. Banyak persyaratan
teknis produk ekspor pertanian yang  berhubungan dengan kualitas ekspor pertanian kita yang perlu dicermati.

Hasil produk pertanian kita terutama yang dihasilkan petani jarang untuk mampu memenuhi persyaratan internasional tersebut. Hal ini dapat kita maklumi karena banyak produk ekspor pertanian kita berkualitas jelek dan sulit menembus pasar global. Padahal apabila kita mengekspor produk dengan kualitas yang jelek, kita akan menghadapi risiko mendapatkan hukuman dan penolakan dari negara tujuan ekspor. Penolakan  tersebut antara lain dalam bentuk embargo atau larangan impor, automatic detention penahanan sementara, mandatory treatment
atau perlakuan khusus, dan pengenaan  denda dalam bentuk pengurangan harga. Menurut Ketua Asosiasi Eksportir Buah dan Sayuran Indonesia, Hasan Djhonny Widjaja mengatakan persoalan yang membelit ekspor hortikultura tidak hanya terletak pada infrastruktur transportasi. Tetapi, persoalan juga timbul dari standar kualitas hortikultura yang belum memenuhi pasar global, sehingga banyak buah-buahan dalam negeri yang ditolak sejumlah importir.

Selain itu berbagai kasus penolakan pasar terhadap produk Indonesia sering terjadi. Sebagai contoh adalah produk kakao rakyat yang perna ditolak oleh suatu negara industri karena mengandung residu pestisida yang melebihi batas maksimum residu, yang berlaku di negara tersebut.
Pada bulan Oktober 2001, pemerintah Taiwan telah menyampaikan notifikasi pada pemerintah Indonesia mengenai larangan pemasukan produk-produk hortikultura Indonesia karena dianggap mengandung jenis hama tertentu yang mereka anggap berbahaya. Ini merupakan cerminan bahwa sebagian besar produk pertanian kita kurang memenuhi standar yang telah ditetapkan.

 

III. Belajar dari Negara Lain

Dari sekian banyak produk primer hasil pertanian yang kita hasilkan, ternyata baru sedikit
saja yang kita olah. Dari data yang ada, kita dapat menyaksikan bahwa sebagian
besar produk hasil pertanian kita masih diekspor dalam bentuk produk primer,
seperti misalnya ubi kayu dalam bentuk gaplek, udang dan ikan segar, kopi biji,
kakao biji, karet remah (crumb rubber), minyak sawit kasar (crude
palm oil
), mete glondong dan sebagainya. Padahal kita tahu bahwa kita dapat
memperoleh nilai tambah dari produk tersebut bila kita olah menjadi produk
hilir.

Di samping itu, sebagaimana telah diungkapkan, harga riil produk olahan relatif lebih stabil
dan bahkan cenderung meningkat. Oleh karena itu, product development
adalah hal yang sangat penting guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pertanian. Upaya pengembangan pasar ekspor untuk produk
pertanian dan olahannya dengan adanya globalisasi yang membawa persaingan yang
semakin ketat karena akan semakin banyak new
players
 (pemain baru) yang muncul sebagai akibat dari meningkatnya peluang
pasar dan akses pasar.

Dengan demikian pada era globalisasi ini suatu bangsa yang maju dan berkembang tampaknya
merupakan suatu bangsa yang memiliki daya adaptasi yang kuat terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi melalui suatu proses pembelajaran (learning),
yaitu proses perubahan perilaku yang permanen, yang dilandasi oleh adopsi atau
asimilasi pengetahuan baru yang terus berkembang dalam masyarakat dari waktu ke
waktu. Menurut Boulding bahwa kemajuan peradaban umat manusia sebagaimana kita
saksikan hari ini adalah hasil dari revolusi noogenelik, yaitu replikasi
informasi dan pengetahuan yang sangat cepat sebagai landasan proses
pembelajaran individu atau kelompok dalam masyarakat.

Apabila replikasi informasi dan proses learning itu sebagai landasan kemajuan suatu
bangsa, yang tentunya juga menimpakan landasan kemajuan pertanian, maka yang
menjadi pertanyaan utama adalah institusi pertanian seperti apa yang akan
menciptakan iklim yang kondusif untuk berlangsungnya proses kreativitas dan
inovasi serta proses pembelajaran yang kuat di bidang pertanian, sehingga
kualitas produk yang dihasilkan dapat bersaing dengan negara lainnya.

Menurut Elfian Hilmi sedikitnya ada tiga langkah besar untuk meningkatkan nilai tambah dan
kualiatas daya saing produk ekspor pertanian Indonesia. Pertama, meningkatkan
kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan petani. Hal ini mutlak dilakukan
karena petani sangat rentan terkena dampak dari perdagangan bebas saat ini.
Keterbukaan akses informasi, pengembangan inovasi dan IPTEK serta perluasan
jaringan pemasaran untuk petani pun masih sangat diperlukan. 

Kedua, memperbaiki kerangka hukum dan kerangka kebijakan. Sinkronisasi kebijakan ini dilakukan agar kementerian yang
ada tidak berjalan sendiri-sendiri. Perlu ada sinkronisasi kebijakan
pengembangan komoditas unggulan di bidang pertanian. Selain itu, juga perlu belajar
dan menimbang kebijaksanaan dari negara lain. Ketiga, perbaikan
infrastruktur dan perbaikan rantai pasok (supply chain management).
Sebab, hingga kini belum ada rantai pasok yang stabil dan bisa menjamin
kepastian ketersediaan barang. Dengan demikian produk-produk pertanian
Indonesia diharapkan mampu bersaing dengan produk-produk dari negara lain.

Dengan demikian kita harus belajar dari negara lain agar kualitas ekspor kita bisa bersaing di pasar
internasional. Apa lagi negara kita memiliki produk-produk hortikultura dan
perkebunan dalam negeri tenyata memiliki potensi yang sangat besar, dan butuh
penanganan yang serius dari segi kualitas mutu sehingga mampu bersaing di pasar
dunia. Sudah banyak produk komoditi olahan pertanian yang beredar dari luar.

Kita tidak perlu berkecil hati, dengan memanfaatkan produk hasil pertanian kita yang berlimpah
menjadikannya sebagai product development, baik untuk konsumsi lokal
maupun untuk pasar internasional. Bukan hal yang aneh dan baru jika saat ini
kita belajar dari negara lain membuat apel, salak, pepaya atau nenas yang bisa
diolah menjadi keripik. Bukan sesuatu yang mustahil jika kita belajar dari
negara lain menjadikan mangga gedong, manggis mampu diekspor ke China. Dan
bukan hal yang luar biasa, jika kopi Indonesia Gayo Arabica sangat fenomenal di
pasar kopi dunia, bila semuanya dikemas dalam kemasan yang baik dan sesuai. Di sinilah
peran semua pemangku kepentingan untuk menciptakan produk pertanian yang berkualitas
ekspor dan daya saing tinggi.

Mengapa Produk Pertanian Kita Sulit Diekspor?

Prof. Ir. Triwibowo Yuwono, PhD

Dekan Fakultas Pertanian UGM

Saat ini nampaknya lebih mudah menemukan apel merah dari Washington, jeruk dan pear dari
Cina, atau durian Bangkok di pasar tradisional atau supermarket dibanding sawo
atau duku, produk buah eksotis dari Indonesia. Contoh-contoh komoditas
pertanian impor lainnya masih cukup banyak, termasuk bahan pangan utama seperti
beras. Sesuatu yang keliru nampaknya telah terjadi di negara kita terkait
dengan cara kita memperlakukan pertanian.

Semestinya pertanian dapat menjadi tulang punggung perekonomian bangsa mengingat banyak
produk pertanian yang potensial untuk diekspor. Selama ini pembangunan
pertanian di Indonesia masih bertumpu kuat penyediaan pangan utama, khususnya
beras, sementara produk-produk lain, misalnya buah tropis yang khas Indonesia
masih menjadi prioritas kedua setelah beras. Kebijakan ini memang tidak
sepenuhnya keliru, namun potensi produk lokal yang seharusnya dapat menjadi
komoditas perdagangan internasional menjadi terabaikan.

Beberapa faktor penting yang menentukan keberhasilan pembangunan pertanian, dalam
konteks yang luas, termasuk meningkatkan potensi ekspor, antara lain adalah:
(1) ketersediaan lahan yang sesuai untuk budidaya pertanian, (2) ketersediaan
benih dan sarana produksi dalam jumlah yang optimal, (3) kesiapan teknis
budidaya termasuk penanganan pasca panen, (4) dukungan pembiayaan usaha tani,
(5) faktor lingkungan, (6) kebijakan perdagangan komoditas pertanian, (7)
kebijakan umum pembangunan pertanian, (8) penyiapan sumber daya manusia yang
dapat diandalkan, dan (8) edukasi masyarakat terhadap produk pertanian.

Pembangunan pertanian tidak hanya berhenti sampai proses produksi, pemasaran produk
pertanian menjadi pekerjaan dan tugas berikutnya yang tidak mudah. Produk
pangan utama, misalnya beras, mungkin relatif mudah untuk menemukan pasar
karena pasti akan diperlukan, setidak-tidaknya di dalam negeri. Persoalan
muncul ketika kita berhadapan dengan pemasaran produk-produk bukan pangan
utama, khususnya hortikultura, terlebih lagi di pasaran internasional. Tekanan
persaingan dengan negara-negara produsen lain, termasuk di dalamnya tekanan
akibat regulasi perdagangan dunia yang diterapkan di zona-zona ekonomi
tertentu, menambah kesulitan di dalam menemukan pasar bagi produk pertanian
Indonesia.

Untuk dapat menembus pasar dunia maka komoditas pertanian Indonesia harus memenuhi
persyaratan-persyaratan khusus, yang bersifat non-tarif, yang seringkali
diterapkan oleh negara pengimpor. Sebagai contoh, di Amerika Serikat ada
standar khusus untuk produk-produk pertanian yang ditetapkan oleh USDA (United States Department of Agriculture).
Dalam konteks perdagangan dunia yang sudah sangat terbuka, persaingan antara
negara produsen menjadi sangat ketat karena setiap negara akan berusaha
melindungi produknya masing-masing.

Beberapa hal yang dapat menghambat perdagangan produk pertanian Indonesia ke pasar
internasional antara lain adalah: (1) hambatan non-tarif, misalnya Sanitary and Phytosanitary Measures, (2)
ketidaksiapan petani di dalam menjamin kualitas produk pertanian, (3) kurangnya
pemahaman mengenai pentingnya aspek pasca panen,  (4) kebijakan harga yang kurang mendukung,
dan (5) lobi-lobi perdagangan yang kurang gencar. Dari sisi hambatan non-tarif,
misalnya Sanitary and Phytosanitary
Measures
, petani atau eksportir kita harus memahami benar peraturan yang
diterapkan di negara pengimpor.

Kualitas produk pertanian menjadi salah satu parameter keberhasilan produk pertanian
dalam menembus pasar internasional. Oleh karena itu untuk memenuhi
persyaratan-persyaratan seperti dicontohkan di atas, harus ada perhatian ekstra
dari petani atau eksportir untuk menjaga agar komoditas yang diekspor dapat
memenuhi kriteria yang ditetatpkan. Penjaminan kualitas produk harus dimulai
sejak masa tanam. Bahkan, untuk produk organik, persyaratan dapat lebih ketat karena
tidak setiap lahan dapat digunakan untuk budidaya produk tertentu.

Kualitas produk pertanian juga ditentukan oleh perlakuan panen dan pasca panen. Sebagai
contoh, kerusakan fisik seperti yang didefinisikan sebagai bruising, skin breaks, sangat mungkin terjadi pada saat dilakukan
pemanenan, external discoloration
dapat terjadi pada saat pengangkutan dari lahan produksi ke gudang, dan
sebagainya. Perhatian terhadap hal-hal teknis semacam ini menjadi suatu
keharusan agar produk pertanian Indonesia dapat diterima oleh pasar
internasional.

Persoalan lain yang juga dapat menjadi penghambat ekspor produk pertanian adalah
kebijakan harga. Hal ini sangat terkait dengan kebijakan pemerintah dalam
perdagangan dan pembangunan pertanian secara keseluruhan, misalnya apakah ada
kebijakan subsidi, insentif pajak, dan lain-lain sehingga harga komoditas
pertanian dapat lebih kompetitif di pasar internasional. Sudah menjadi rahasia
umum bahwa beberapa negara pengekspor komoditas pertanian melakukan kebijakan
subsidi kepada petani sehingga harga komoditas pertanian negara tersebut dapat
dijual lebih murah di pasar internasional.

Perdagangan komoditas pertanian juga sangat dipengaruhi oleh proses lobi perdagangan. Lobi
perdagangan seringkali tidak terbatas antar pelaku bisnis langsung, namun
seringkali harus melibatkan birokrat pemerintah, misalnya atase pertanian. Oleh
karena itu memperkuat proses lobi perdagangan juga menjadi suatu faktor
menentukan di dalam menembus pasar internasional.

 

Apa yang harus dilakukan ?

Mengingat semakin ketat persaingan perdagangan internasional, maka harus dilakukan upaya
yang lebih nyata dan terkoordinasi di dalam mendorong produk pertanian untuk
mampu menembus pasar internasional. Beberapa hal mendasar yang harus dilakukan
antara lain adalah: (1) edukasi terhadap petani tentang persyaratan kualitas
produk pertanian yang lebih tinggi, (2) pelatihan teknis penjaminan mutu
budidaya, pemanenan, dan pasca panen dengan orientasi ekspor baik bagi petani
maupun eksportir, (3) membuat kebijakan pembangunan pertanian yang lebih
kondusif bagi petani untuk dapat bersaing di pasar internasional, misalnya
dengan memberikan insentif pajak atau subsidi harga, (4) meningkatkan dan
mengefektifkan lobi perdagangan internasional, (5) memperluas pasar internasional
dengan produk-produk pertanian yang khas Indonesia sehingga mempunyai
keuntungan komparatif.

Lobi perdagangan dapat dilakukan dengan lebih mengefektifkan peranan atase (attache) perdagangan dan atase pertanian
di luar negeri, atau dengan mendirikan kantor khusus yang menangani perdagangan
produk pertanian di negara yang potensial sebagai pengimpor produk Indonesia. Selain itu, juga perlu dipikirkan kebijakan membuka pintu impor produk pertanian ke Indonesia  secara tak
terkendali yang justru merugikan posisi petani di dalam negeri. Membanjirnya
produk pertanian impor, yang bersaing secara langsung dengan produk dalam
negeri dan dengan harga yang murah dapat menumbuhkan perasaan frustrasi petani
untuk melakukan usaha tani.

Perluasan pasar internasional dengan komoditas pertanian yang khas Indonesia nampaknya
juga perlu dipikirkan sehingga komoditas pertanian Indonesia tidak harus
bersaing head to head dengan produk
sejenis di luar negeri. Upaya ini tentunya akan terkait dengan kebijakan
pertanian yang lebih komprehensif, misalnya dengan mempertahankan sumber plasma
nutfah komoditas-komoditas yang khas Indonesia, meningkatkan usaha-usaha
pemuliaan tanaman untuk memperoleh varietas yang lebih kompetitif dari sisi
kualitas maupun penyediaan (supply)
komoditas pertanian untuk pasar ekspor.

 

Ironi Negeri Agraris

Dengan karunia alam yang subur dan tradisi agraris yang sudah
sedemikian mengakar di masyarakat, Indonesia seharusnya bisa menjadi kawasan
yang mampu mengekspor berbagai produk pertanian. Namun yang terjadi justru
sebaliknya. Beberapa tahun belakangan ini, Indonesia malah menjadi salah satu
negara pengimpor yang cukup besar pada beberapa produk pertanian yang
seharusnya bisa dibudidayakan sendiri. Situasi ini tentu saja cukup ironis dan
harus dibalikkan.

Tengok saja produk hortikultura (terutama sayuran dan
buah-buahan) yang dijual di pasar-pasar modern maupun pasar-pasar tradisional.
Tidak sulit untuk menjumpai sayuran dan buah-buahan impor dengan harga dan
kualitas yang kompetitif. Dengan kemasan yang lebih bagus dan kualitas produk
yang terstandarisasi, keberadaan sayuran dan buah-buahan impor sedemikian mencolok
dan bahkan sudah mulai menggeser produk pertanian lokal.

Di sisi lain, pemerintah cenderung mengambil cara gampang
ketika dihadapkan pada situasi kekurangan stok beberapa produk pertanian yang mengancam
kenaikan harga komoditas tersebut. Ketika stok beras, jagung, atau kedelai
menipis, misalnya, pemerintah terkesan tergesa-gesa dan tidak mau repot dengan
mengimpor tanpa mempertimbangkan situasi yang tengah dihadapi para petani.
Entah sudah berapa kali terjadi, pemerintah membuka kran impor suatu komoditas
justru di saat petani kita akan menghadapi panen pada komoditas yang sama.
Akibatnya, ketika panen tiba, petani lokal mengalami kerugian karena jatuhnya
harga akibat kelebihan supply.

Mengamati perkembangan tersebut, cukup wajar jika sebagian
kalangan menilai bahwa pemerintah tidak memiliki visi dan political will
yang kuat dalam membangun kekuatan pertanian kita. Jangankan bicara ekspor,
untuk memenuhi keperluan sendiri (swasembada) saja kita masih kesulitan.
Padahal kita memiliki semua persyaratan untuk menjadi sebuah negara agraris
yang menjadi lumbung pangan utama dunia. Oleh karena itu, visi pertanian yang
berorientasi ekspor harus mulai diperkuat dan dikembangkan dengan serius agar
kita mampu menjadi salah satu pemain utama dalam produsen komoditas pertanian
di pasar internasional.

Sebagaimana jamak diketahui, salah satu faktor utama yang
menyebabkan produk pertanian kita tidak mampu berorientasi ekspor adalah tidak
adanya kebijakan yang kuat dan sinkron antar instansi terkait dalam mendukung
ekspor produk pertanian. Di samping itu, kita juga masih dihadapkan pada
lemahnya strategi dan upaya peningkatan hasil produk pertanian. Berbagai strategi
masih bersifat parsial dan ad hoc, belum mencerminkan sebuah desain
pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Penerapan teknologi canggih juga
masih cukup minim dalam sistem pertanian kita.

Di samping itu, ada beberapa faktor lain yang ikut menyebabkan produk pertanian Indonesia
kalah bersaing dengan produk pertanian dari negara lain. Dari faktor geologis
dan geografis, kita sering terlena dengan kesuburan tanah di Pulau Jawa.
Akibatnya, kita sering mengabaikan perhatian pada pembangunan pertanian di luar
Pulau Jawa. Padahal, di saat yang bersamaan, proses konversi lahan pertanian
menjadi kawasan industri juga tengah marak terjadi di Jawa. Tentu hal ini
membuat kemampuan produksi pertanian kita semakin tergerus.

Di samping itu, kita juga melihat bahwa sektor pertanian belum menjadi sebuah sektor
ekonomi yang mampu memberi peningkatan kesejahteraan bagi para petani. Hal ini
terkait dengan masih banyaknya petani di Indonesia yang hanya memiliki lahan
sempit yang tidak cukup memenuhi skala ekonomis usaha pertanian. Bahkan, banyak
pula petani yang hanya berposisi sebagai petani penggarap, alias tidak memiliki
lahan pertanian sama sekali. Kondisi ini pula yang menyebabkan makin banyaknya
generasi muda di sentra-sentra pertanian (pedesaan) yang memilih bekerja di
sektor-sektor lain yang dianggap lebih menjanjikan. Akibatnya, sektor pertanian
pun semakin ditinggalkan sebagai sumber mata pencaharian.

Hal lain yang tidak kalah menentukan adalah lemahnya
infrastruktur, dukungan permodalan, dan kontribusi teknologi pertanian yang
tepat guna. Ketiga hal tersebut sebenarnya merupakan tanggung jawab pemerintah
untuk menyelesaikan dan mengelolanya sedemikian rupa. Hanya saja, karena sudah
sedemikan kompleksnya persoalan pertanian kita, sehingga cukup menyulitkan bagi
pemerintah untuk mengurai dan mengambil kebijakan yang tepat dan cepat.

 

Mafia Perberasan

Oleh: Entang Sastraatmadja

Konsultan Agribisnis

Makna Mafia

Kata “mafia” sendiri cenderung berkonotasi negatif. Kata ini selalu dikaitkan dengan perilaku orang-orang yang bersekongkol untuk memanfaatkan kesempatan demi memuaskan hasrat pribadi atau kelompoknya. Mafia adalah kata yang sudah mendunia dan memiliki “trade
mark”
tersendiri dalam kehidupan umat manusia. Tidak terkecuali juga di tanah merdeka ini.

Suka atau pun tidak, praktek mafia di negeri ini, rupanya sudah merambah ke berbagai bidang kehidupan. Mulai dari yang kelas kakap hingga berkaliber teri. Mulai dari yang berkaitan dengan aspek hukum hingga ke soal-soal yang berhubungan dengan kebutuhan bahan makanan pokok. Kita pernah diramaikan dengan adanya mafia yang dikenal dengan istilah mafia peradilan. Disini, kongkalikong antara Hakim, Jaksa dan Pengacara, sungguh terkelola dengan rapih. Kalau saja mereka tidak lalai, maka mafioso semacam ini, sulit untuk dikenali.

 

Begitu pula dengan apa yang dilakukan oleh Gayus Tambunan, yang dikenal dengan kasus mafia pajak itu. Walau kasusnya hingga kini masih di pengadilan, publik tidak bakal pernah tahu bahwa di balik seriusnya Presiden SBY memerangi korupsi, ternyata di tubuh pemerintah sendiri, seorang pegawai negeri sipil non eselon yang mampu menggerogoti uang rakyat, sehingga negara dirugikan hingga ratusan milyar. Ini baru satu orang Gayus. Tentu masih bersuliweran Gayus-Gayus lain. Seorang sahabat malah pernah nyeletuk,  “Yang tidak punya eselon saja sudah seperti itu, apalagi mereka yang punya eselon”.

Di negeri ini, mafia sudah bukan lagi sekedar fenomena, namun telah tumbuh dan berkembang  menjadi sebuah fakta kehidupan. Kehadiran mafia memang bukan mithos, tapi lebih pas disebut sebagai tata nilai. Keberadaannya yang abstrak, mafia seringkali sulit disentuh. Mafia ibarat ada dan tiada. Dengan pola sindikasi yang khas, mafia telah menjerat kehidupan kita sehari-hari. Langkah dan gerakannya sangat sistematik. Mereka kerdilkan semua potensi kemandirian dan keprofesionalan yang dimiliki seseorang, kemudian mengganti  dengan perilaku ketergantungan. Mereka siapkan jerat-jerat sindikasi, yang menyebabkan orang menyerah tanpa syarat.

Kita adalah bangsa yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal dan budaya yang dimiliki. Mafia yang ujung-ujungnya merugikan rakyat banyak, tentu harus kita tendang jauh-jauh dari kehidupan kita sehari-hari. Kita tidak butuh sindikat yang mengedepankan premanisme, koncoisme, dan yang serupa dengan itu. Justru yang kita inginkan adalah tumbuhnya sebuah semangat bahwa sindikasi yang ditunggu adalah ada kiprah anak bangsa yang senantiasa mengutamakan kepentingan bangsa, ketimbang pribadi, keluarga atau kelompok semata.

Citra Perberasan 
Hampir 90 % konsumen beras di dunia berada di Asia dan sebagian kecil bangsa-bangsa di Afrika. Beras adalah makanan utama bangsa-bangsa yang tinggal di Asia. Oleh sebab itu, bila kita bicara soal perdagangan beras dunia, sebetulnya kita bicara tentang sistem perdagangan beras yang ada di Asia. Bangsa-bangsa Amerika dan Eropa, umumnya mereka mengkonsumsi gandum sebagai bahan makanan pokok. Itu sebabnya bila kita sedang kepepet dan butuh beras demi cadangan maka kita tidak pernah berhubungan dengan negara Amerika atau Eropa, namun kita pasti akan bertransaksi dengan gudang-gudang beras di Asia. Kalau tidak Thailand,   Vietnam atau bahkan Pakistan, India dan China.

Di negara kita sendiri, beras adalah bahan pangan utama bagi kehidupan warga masyarakat. Lebih dari 90 % penduduk kita sangat tergantung terhadap beras. Tanpa beras, seolah-olah tanpa kehidupan. Akibatnya wajar jika pemerintah sendiri, sejak jauh-jauh hari telah menetapkan beras sebagai komoditas politis dan strategis. Lebih jauh lagi ternyata berkat kerja keras dan keseriusan Pemerintah Orde Baru, maka bangsa
Indonesia pun mampu merubah citra, yang semula dikenali sebagai importir beras terbesar di dunia, maka sejak tahun 1984 mampu menjadi negara yang berswasembada beras. Sayang, citra yang demikian tidak mampu dilestarikan, karena sudah dua tahun belakangan ini, kembali pemerintah membuka kembali kran impor berasnya.

Di negeri ini, citra beras sebagai komoditas politis dan strategis, tentu saja tidak mungkin akan dapat kita tolak. Beras adalah komoditas yang sangat berpengaruh terhadap perhitungan inflasi. Oleh karena itu, sangatlah wajar jika pemerintah terlihat sangat hati-hati dalam melakukan pengendalian terhadap komoditas beras ini. Melalui kebijakan Inprers Perberasan yang dikeluarkan, pemerintah berharap agar beras tetap dapat terkelola secara baik dengan mendaya-gunakan secara optimal keberadaan Bulog sebagai Lembaga Regulator Pangan.

Sebagai lembaga yang berperan selaku regulator pangan, mestinya Bulog tetap menjadi “alat negara” yang secara penuh melakukan fungsi perlindungan dan pemberdayaan terhadap petani selaku produsen dan masyarakat selaku konsumen. Semangat ini akan dapat dicapai jika Bulog tetap berstatus sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementrian (LPNK) dan langsung berada di bawah Presiden. Namun, jika kita tengok status Bulog saat ini, ternyata sejak bergulirnya reformasi, Bulog tidak lagi memainkan peran sebagai “alat negara” tapi berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) dan harus menjalankan tugas dan fungsinya, baik sebagai “public service obligation” (PSO) maupun selaku lembaga bisnis.

Pada saat Bulog menjadi BUMN inilah banyak kalangan yang meragukan “posisioning” Bulog sebagai lembaga pemerintah yang benar-benar bakal mampu menjadi pelindung para petani. Malah ada juga yang berpandangan bahwa Bulog itu sudah tidak mungkin akan berperan selaku Badan Urusan Logistik, khususnya untuk komoditas beras, namun sebagai Perum dan BUMN, maka Bulog pun dituntut untuk tumbuh dan berkembang menjadi lembaga bisnis yang handal dan mumpuni. Padahal kita sangat faham, betapa sulit nya sebuah kelembagaan bisnis yang didalamnya dibebani fungsi-fungsi pelayanan publik (PSO). Lebih banyak yang rugi ketimbang yang untung nya.

Citra beras dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di Indonesia, memang berbeda dengan apa yang terjadi di negara-negara lain. Bagi bangsa kita, beras adalah komoditas yang harus tersedia setiap saat dan jangan sampai sedetik pun kita tercatat tidak memiliki cadangan beras. Hal ini penting disadari, karena kalau saja kita amati fenomena yang terjadi di berbagai bangsa, ternyata ada negara yang pemerintahannya menjadi “berantakan” karena ketidak mampuan dalam memenuhi kebutuhan beras bagi warga bangsanya. Tapi, kalau bangsa dan negeri tersebut kelebihan beras, maka biasanya pemerintahan pun berlangsung aman-aman saja.

 

Produksi Beras

Salah satu paradoks pembangunan pertanian yang harus kita carikan solusinya adalah bagaimana kita dapat keluar dari jebakan “produksi padi meningkat, namun kesejahteraan petani padinya melorot”. Kejadian semacam ini mestinya tidak perlu terjadi, sekiranya kita mampu “mengelola” pembangunan pertanian secara cerdas. Lebih jauh dari itu, ternyata kita pun ditantang untuk berani membedakan mana “pembangunan pertanian” dan mana yang dimaksud dengan “pembangunan petani”. Selama persepsi yang terbangun pembangunan
pertanian sama dengan pembangunan petani, jangan harap kita akan mampu memecahkan masalah secara signifikan.

 

Secara tegas, pemerintah telah mencanangkan perlunya meningkatkan produksi padi nasional sebesar 10 juta ton. Pemerintah rupanya merasa terpanggil untuk mulai waspada atas “kekuatan beras” yang harus dimiliki oleh bangsa kita. Pengalaman yang memilukan di masa lalu, tentu diharapkan tidak bakal terulang kembali. Sungguh memalukan, sebuah negeri agraris dan telah memproklamirkan diri selaku bangsa yang sudah mampu berswasembada beras, tiba-tiba harus melakukan impor beras, dikarenakan lemahnya cadangan beras yang dimiliki pemerintah.

Soal kemauan politik pemerintah untuk membangun kekuatan cadangan beras secara nasional, tentu saja harus kita dukung sepenuh hati. Hanya penting juga diingatkan apalah artinya produksi yang meningkat jika tidak dibarengi dengan membaiknya tingkat kesejahteraan petani padi  sendiri. Pemerintah mesti  mampu merajut ke duanya sehingga tercipta suatu hubungan yang timbal balik dan saling menguntungkan antara hasrat untuk meningkatkan produksi padi dengan keseriusan guna meningkatkan kesejahteraan petani itu sendiri. Pertanyaannya adalah apakah Pemerintah sudah menyadari dan memikirkan langkah-langkahnya?

 

Bukti mempertontonkan kepada kita bahwa antara peningkatan produksi padi dengan kesejahteraan petani padi sendiri, ternyata belumlah seperti yang diharapkan. Nilai Tukar Petani (NTP) padi, kerap kali memperlihatkan adanya hasil yang “tojai’ah” antara produksi yang meningkat dengan derajat kesejahteraan petani padi. Malah di beberapa daerah sentra produksi padi terekam ada penurunan tingkat kesejahteraan. Akibatnya sering muncul pertanyaan mengapa hal yang demikian harus terjadi ? Apakah dikarenakan ketidak-mampuan kita dalam merancang skenario yang dibangun; ataukah ada faktor lain yang menyebabkan kondisi ini
perlu terjadi ?

 

Pertanyaan ini memang menarik dan penting untuk dicarikan solusinya. Peningkatan produksi padi, sudah seharusnya selalu terkait dengan perbaikan kualitas hidup para petani padi  sendiri. Pemerintah sudah  memposisikan petani sebagai aktor utama dalam upaya peningkatan produksi ini. Petani jangan dipandang hanya sebagai “alat produksi” yang keseharian diberi beban untuk bekerja di sawah demi
terwujud target yang ditetapkan. Disinilah perlu adanya sebuah terobosan yang dapat menghapus kelemahan yang kita hadapi. Salah satunya, kita ditantang untuk berkenan melakulkan “revitalisasi pembangunan pertanian” sekaligus “merancang-bangun lagi sistem perberasan” yang ada.

 

Sisi penting yang segera harus ditempuh adalah perlu dibangun jejaring-jejaring yang menopang terjelmanya hasrat di atas. Paling tidak, ada tiga jejaring yang mutlak hukum  guna dilakukan, yakni jejaring berpikir, jejaring kelembagaan dan jejaring keuangan. Dengan tiga jejaring di atas dan berbasis kewilayahan dan sektor, kita berharap agar sinergitas dapat diwujudkan, sehingga  keserempakan dalam membangun tentu akan dapat dijelmakan. Yang tak kalah penting juga adalah perlu ada konsistensi kebijakan yang sifatnya terpola dan terukur serta terstruktur. Termasuk di dalam  soal pendampingan, pengawalan, pengawasan dan pengamanan di lapangan.

 

Kalau saja hal-hal di atas dapat dirumuskan dan dijadikan gerakan nyata di lapangan, tentu kita optimis bahwa semangat untuk meningkatkan produksi padi, akan juga diikuti oleh perbaikan kualitas hidup para petani padi  secara signifikan.

 

Pasar Beras

Berita tentang sulitnya Bulog mendapatkan gabah atau beras dalam rangka pengadaan stock nasional, sebetulnya bukan hal yang perlu dipertanyakan. Sudah sejak lama organisasi petani mengusulkan agar Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras dinaikan secara proporsional. Sayang, usulan ini tidak ditanggapi dengan serius. Pemerintah, rupanya lebih memilih bahwa untuk tahun 2011 ini, pilihan
kebijakannya adalah dengan tidak menaikkan HPP. Pertimbangannya bisa dikarenakan terlalu takut  pemerintah terhadap meningkatnya angka inflasi, tapi bisa juga disebabkan oleh ketidak siapan pemerintah dalam merubah kebijakan harga beras murah menjadi kebijakan
harga beras yang kompetitif.

 

Salah satu masalah yang dihadapi oleh para petani padi adalah masih diberlakukannya kebijakan harga pangan murah, khususnya untuk komoditas gabah dan beras. Pemerintah rupanya masih terobsesi oleh fenomena masa lalu bahwa gabah atau beras itu adalah komoditas
politik yang perlu ditangani secara serius dan khusus. Di mata pemerintah, gabah atau beras, kelihatannya tetap harus dikendalikan. Komoditas ini tidak boleh dibiarkan tampil bebas sebagaimana komoditas-komoditas pangan lainnya. Perlakuan khusus terhadap gabah atau beras, wajar terjadi, karena sekalinya kita salah menerapkan kebijakan maka beras pun dapat berubah menjadi senjata yang mematikan (food is weapons).

 

Kondisi harga gabah atau beras yang terjadi beberapa bulan belakangan ini, benar-benar sangat menguntungkan petani. Harga gabah di beberapa sentra produksi yang selalu di atas harga HPP, menunjukkan bahwa nilai tambah ekonomi yang diperoleh petani akan semakin baik. Justru yang menjadi soal berikutnya adalah pemerintah (dalam hal ini Bulog) tampak kesulitan  melakukan pengadaan dalam negeri, baik untuk program Raskin ataupun untuk cadangan pemerintah. Berbasis pada fakta di lapangan, Bulog masih belum mampu bersaing secara sehat dan profesional dengan kalangan swasta, yang tentu saja lebih memahami seluk beluk “berdagang”
gabah atau beras.

 

Bulog sebagai BUMN, tampak masih kebingungan memainkan peran PSO dan bisnisnya. Apalagi jika ujung-ujungnya harus berhadapan dengan aparat pengawasan atau pun aparat penegak hukum, dikarenakan ada hal-hal yang dilanggarnya. Hukum memang tidak bisa dikompromikan. Walau dasar pertimbangannya melakukan pembelaan terhadap nasib dan kehidupan petani, namun dalam pelaksanaan ternyata tidak sesuaidengan peruntukannya, maka siap-siap saja dirinya menjadi penghuni hotel Prodeo.Akibatnya wajar, jika banyak petugas Bulog yang bekerja seadanya dan tetap mengacu kepada tupoksi. Hasilnya memang terbukti, dari target yang ditetapkan selama 2011, ternyata menjelang selesai semester pertama, Bulog secara nasional baru mampu melakukan pengadaan gabah dan beras sekitar 20 % saja.

 

Dihadapkan pada kondisi yang demikian, tentunya perlu dipikirkan apa dan bagaimana langkah yang harus ditempuh agar pengadaan gabah dan beras di dalam negeri seperti yang dikelola Perum Bulog tetap mencapai sasaran dan sesuai dengan target yang sudah ditentukan, sekaligus juga harga gabah dan beras di tingkat petani tetap mengikuti mekanisme pasar yang ada. Dengan kata lain dapat juga disebutkan: Pemerintah dapat meningkatkan posisi cadangan gabah dan beras secara nasional, sedangkan petani padi sendiri memperoleh harga jual yang menguntungkan. Jika demikian, apa gunanya lagi pemerintah menetapkan kebijakan HPP, seandainya harga yang terjadi di pasar, jauh di atas angka HPP ?

 

HPP gabah dan beras, pada hakekatnya merupakan “jaminan” pemerintah dalam melakukan pengendalian harga di lapangan. Selain itu, HPP juga dimaksudkan untuk menunjukkan kepada publik bahwa gabah atau beras tetap dijadikan sebagai komoditas politis dan strategis. Pertanyaannya adalah apakah dengan tidak dinaikkan HPP gabah dan beras untuk tahun 2011, pemerintah masih memandang perlu untuk melindungi para petani ? Jawaban atas pertanyaan ini menjadi sangat penting untuk dicermati, karena siapa tahu saja kita akan dapat memberi solusi yang lebih nyata lagi.

 

Mafia Perberasan

Kini rangkaian ceritanya sudah mulai tergambarkan. Secara fenomenologi, praktek mafia, rupanya bukan hanya terjadi di tataran elit bangsa, namun dalam alam kehidupan “grass root” pun kita akan temukan hal yang sejenis. Sebut saja soal mafia perberasan. Persekongkolan tengkulak maupun bandar dengan petugas pemerintah, khususnya tatkala musim pengadaan pangan tiba, kerap kali diwarnai oleh permainan mereka dalam menekan harga jual petani.

 

Mereka terlihat cukup cakap dan profesional. Dengan jaringannya mereka mampu membuat petani menjadi tidak berdaya sekaligus tidak ada pilihan lain yang harus diambil nya, selain mesti tunduk pada kondisi yang ada. Dikarenakan tumbuhnya mafia beras inilah, maka petani padi kita menjadi teramat lemah “bargaining posision”-nya.

Di tingkatan yang lebih tinggi kita juga dapat menyaksikan adanya persekongkolan yang sistemik antara para pedagang dalam mempermainkan harga beras di pasaran. Pengalaman yang kita rasakan beberapa waktu yang lalu, jelas menunjukkan ketidak-berdayaan Pemerintah dalam mengendalikan tingkat harga beras ini. Sekali pun Pemerintah telah menggelar operasi pasar, ternyata harga beras tetap bertengger pada tingkat harga yang tinggi, dan tidak mau turun ke tingkat harga yang wajar.  ***

 

 

Kesejahteraan (Mafia) Pertanian Indonesia

Oleh Aufa Taqiya

Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM

Orang bilang tanah kita tanah surga

Tongkat kayu dan batu jadi tanaman…”

 

Tak asing rasanya mendengar lirik lagu yang sering
didendangkan salah satu grup musik cukup terkenal di negeri yang kita cintai
ini. Berbicara tentang potensi sumber daya alam Indonesia memang sudah tidak
diragukan lagi bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan sumber
daya alamnya. Sebagaimana lagu yang didendangkan di atas, bahwa batu dan
tongkat pun dianalogikan dapat menjadi tanaman karena kesuburan tanah yang
dimiliki negara dengan julukan jamrud khatulistiwa. Indonesia tercatat sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia yang berarti potensi perairannya sangat
tinggi, memiliki sumber mineral dan minyak yang begitu banyak terutama di
daerah Sumetera.  Tidak kalah gas, emas
dan banyak kekayaan alam lainnya juga melimpah. Berkah bagi negara yang dilalui
garis khatulistiwa ini membuat segala kekayaan alam yang dimiliki seharusnya
dapat dioptimalkan. Demikian pula dengan potensi pertanian Indonesia yang dalam
penanamannya sebagian besar komoditas dapat dilakukan sepanjang tahun karena
memiliki musim dan cuaca yang relatif stabil. Namun apa yang kita dapatkan hari
ini tampaknya belum mencerminkan sebuah bangsa yang kaya akan sumber daya
alamnya, karena secara menyeluruh kesejahteraan masyarakat tidak kita lihat di
dalam negeri ini jika dibandingkan dengan potensi sumber daya alamnya.

Pertanian Indonesia hari ini dirasa masih jauh dari kata sejahtera. Indikator ketahanan pangan, keamanan pangan, mandiri pangan, d kesejahteraan petani masih belum dapat dikatakan tercapai. Sebagai penunjang kehidupan berjuta-juta masyarakat Indonesia, sektor pertania memerlukan pertumbuhan ekonomi yang kukuh dan pesat. Sektor ini juga perlu menjadi salah satu komponen utama dalam program dan strategi pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Di masa lampau, pertanian Indonesia telah mencapai hasil yang baik dan memberikan kontribusi penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk menciptakan lapangan pekerjaan dan pengurangan kemiskinan secara drastis. Hal ini dicapai dengan memusatkan perhatian pada bahan-bahan pokok seperti beras, jagung, gula, dan kacang
kedelai. Akan tetapi, dengan adanya penurunan tajam dalam hasil produktifitas panen dari hampir seluruh jenis bahan pokok, ditambah mayoritas petani yang bekerja di sawah kurang dari setengah hektar, aktifitas pertanian kehilangan
potensi untuk menciptakan tambahan lapangan pekerjaan dan peningkatan penghasilan

Terlepas dari upaya pemerintah pusat yang mengaku telah bersusah payah berusaha membangun pertanian di negeri yang subur ini, banyak pihak lain yang ternyata merusak sistem yang sudah ada. Perusak sistem yang dikenal mafia sudah merajalela di Indonesia, termasuk dalam bidang pertanian. Contoh mafia yang berkutat di bidang pertanian adalah mafia beras, mafia beras semakin berkuasa dan memegang kendali penuh terhadap Bulog, serta berperan aktif mempengaruhi kebijakan perberasan di negeri ini. Karut-marut kondisi perberasan di Indonesia merupakan dampak dari politisasi beras yang telah diterapkan oleh pemerintah. Dengan berlindung di balik argumentasi menekan angka inflasi dan melindungi kepentingan rakyat agar harga beras dapat dijangkau, pemerintah justru hanya melihat harga dan pemenuhan pasokan beras dari sisi supply dan demand semata.

Hal ini terefleksi dari kebijakan impor beras yang menjadi bukti valid kekalahan negara terhadap mafia beras. Ketika harga beras melambung tinggi penyebabnya disandarkan pada tingkat supply beras lokal yang tidak mampu memenuhi tingkat demand
masyarakat, sehingga untuk mengatasi gejolak harga, solusi yang ditempuh adalah dengan meningkatkan supply. Maka tidaklah aneh jika pemerintah selalu berpikir instan, yakni impor beras. Satu hal yang sangat harus dikritisi adalah pemerintah dalam hal ini Menko Perekonomian dan Menteri Perdagangan terlihat kurang peduli dalam mengatasi persoalan ketahanan pangan, khususnya dalam hal kebijakan perberasan. Dampak yang akan sangat dirasakan adalah para petani yang semakin merasa tertindas dengan kebijakan impor tersebut, meskipun ada dalih bahwa impor ini adalah demi kesejahteraan masyarakat orang banyak yang lainnya. Tetapi akan sangat tidak adil ketika rakyat yang menjadi tulang punggung keberadaan pangan tersebut justru malah dikorbankan. Permainan impor beras yang dirasa terdapat mafia beras ini seharusnya juga sudah dapat segera ditelusuri dan diselesaikan sehingga tak ada lagi kerisauan yang berujung pada kerugian rakyat dan negara.

Mafia-mafia pada komoditas yang lain juga terus merebak, terutama untuk komoditas-komoditas yang dianggap politis. Hingga saat ini belum ada usaha yang sangat serius dari pemerintah untuk dapat mengatasi hal ini, terbukti dengan banyaknya keluhan dari masyarakat petani kepada pihak-pihak yang mereka anggap dapat menyalurkan aspirasi mereka. Merebaknya mafia-mafia pertanian membuat para petani  semakin jauh dari kesejahteraan. Tak dapat ditawar lagi bahwa masalah pertanian menjadi fokus utama pemerintah untuk segera diselesaikan dan menjadi harga mati. Penanganan masalah pertanian bukan hanya menjadi kewajiban Kementrian Pertanian yang membawahi bidang pertanian, namun menjadi tugas seluruh elemen pemerintah di bawah pimpinan Presiden. Fokus penanganan tersebut juga akan menunjukkan komitmen pemerintah dalam pelayanan rakyat “kelas bawah” yang pada umumnya adalah petani, nelayan dan lainnya. Atau pemerintah akan tetap mengedepankan kepentingan rakyat “kelas atas” yang di dalamnya adalah pengusaha-pengusaha yang seringkali keberadaannya menindas rakyat “kelas bawah”.

Mafia di bidang pertanian nampaknya memang masih kalah pamor di bandingkan dengan mafia pajak, mafia hukum atau mafia yang
lainnya. Meski demikian, jika hal ini terus dibiarkan dan tidak menjadi fokus penyelesaian masalah maka bukan hal yang aneh jika melihat pertanian Indonesia semakin mundur dan masyarakat pertanian juga semakin jauh dari kesejahteraan. Sementara itu para mafia tersebut semakin menikmati kemakmurannya di atas penderitaan petani-petani di negara ini.

Sebagai mahasiswa yang memiliki kapasitas intelektual seharusnya juga dapat ikut serta menyelesaikan masalah ini dengan terus mengingatkan pemerintah akan pentingnya hal ini lewat berbagai media. Kontribusi nyata mahasiswa juga dapat dilakukan dengan ikut serta membantu pemerintah dalam pembangunan kesadaran kepada masyarakat petani. Harapannya petani lebih
cerdas dalam menghadapi mafia-mafia pertanian yang ada di lapangan dengan melakuakn penyuluhan atau sejenisnya. Sebagai generas penerus mahasiswa juga harus dapat menjaga idealisme akan pentingnya penyelesaian masalah bangsa ini dan terus menularkan semangat perbaikan di generasi yang akan mendatang tanpa harus mengulangi sejarah yang tidak baik.

Masalah pertanian memang bukanlah masalah yang sederhana karena melibatkan berbagai sektor yang berkaitan dengan dunia pertanian itu sendiri, mulai dari perekonomian, perdagangan, tata lingkungan, dan lainnya. Oleh karena itu semua elemen masyarakat dalam Negara ini
seharusnya dapat turut serta dalam penyelesaian masalah-masalah yang ada, termasuk di dalamnya pemerintah, mahasiswa dan petani itu sendiri. Dengan demikian sebuah kesejahteraan negara yang kita cintai ini bukan hanya harapan
kosong semata. ***

Mafia Pertanian Menambah Syarat Derita Kaum Tani

Galih Andreanto

Mahasiswa Fakultas Pertanian UNPAD Bandung

Pemberlakukan perdagangan bebas yang
disebut ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA)
yang dimulai per 1 Januari 2010 lalu, seolah menjadi momok menakutkan bagi pembangunan beberapa sektor di Indonesia. Tak terkecuali sektor pertanian dalam negeri yang patut waspada menghadapi era perdagangan bebas. Pasalnya penerapan ACFTA dikhawatirkan bakal menghancurkan sektor pertanian karena kalah bersaing dengan kualitas dan kuantitas produk luar, yang lebih berkualitas dan lebih murah dari harga produk pertanian dalam negeri. Harap-harap cemas para pelaku pertanian cukup rasional, dikarenakan kondisi pembangunan pertanian di negeri agraris ini memang masih karut marut. Namun, siap tidak siap sektor pertanian bangsa harus segera berbenah diri agar tidak hancur lebur digilas perdagangan bebas dalam atmosfher globalisasi.

Kondisi perdagangan bebas China dan Asean tentu saja mendorong bebasnya produk-produk pertanian China dan Asean masuk pasar domestik dan berjibaku dengan produk lokal. Kenyataannya sektor pertanian Indonesia masih saja berkutat pada masalah kelangkaan pupuk dikalangan petani pedesaan. Keberesan dalam mencari bentuk rantai distribusi sektor pertanian juga masih belum dirasa efektifitasnya. Maraknya masalah kelangkaan pupuk bersubsidi masih menjadi hal yang sulit diterima oleh akal sehat. Pasalnya pemerintah pada tahun 2011 telah
menganggarkan Rp.16,5 Triliun untuk subsidi pupuk. ketidak jelasan konsep dalam pendistribusian pupuk menyebabkan sulitnya petani mendapatkan akses pupuk. Praktek penimbunan pupuk dan permainan mafia pupuk sebab utama mengapa kemudahan dalam mendapatkan pupuk belum juga bisa dirasakan petani. Dalam hal pengguasaan benih, pupuk, pestisida dan mesin dan penguasaan tanah, tentu petani kecil pedesaanlah yang sangat lemah dalam mengakses berbagai faktor produksi tersebut. Parahnya lagi, lemahnya posisi tawar petani dimanfaatkan oknum mafia pertanian untuk mengambil untung sebesar-besarnya demi kepentingan segelintir orang. Deretan masalah
menambah peliknya nasib sektor pertanian Indonesia. kepemilikan lahan dan penguasaan teknologi adalah fakta tak mengenakan di negeri agraris ini.. Di tengah negara-negara lain sibuk berinovasi dengan tekhnologi dan peningkatan kualitas
produk pangan, Indonesia justru masih belum menemukan jati dirinya sebagai bangsa agraris. Hal ini dapat dilihat dari posisi bidang
pertanian yang seakan menjadi anak tiri di ibu pertiwi.

Keseriusan dalam pelaksanaan konsep pembangunan pertanian masih jauh panggang dari api. Dalam iklim perdagangan bebas yang mulai diterapkan di Indonesia, tentu melahirkan beberapa konsekuensi yang harus segera dikaji. Dengan tarif nol persen tanpa bea pajak, produk-produk pertanian China dan Asean berbondong-bondong masuk pasar lokal, persaingan harga juga akan berpotensi hancurnya produk-produk pertanian dalam negeri. Pasalnya harga produk pertanian luar negeri lebih murah dibanding harga produk pertanian lokal. Hal ini dikarenakan negara maju memiliki konsep dan tata distribusi yang jelas baik dalam pengadaan pupuk, benih sampai hasil panen pertanian. Di bidang teknologi dan mekanisasi, Indonesia sangat jauh tertinggal dibanding negara-negara maju. Ditambah kondisi sumber daya manusia yang fokus pada sektor pertanian masih cukup rendah kualitasnya. Kelemahan-kelemahan tersebut harus segera dibenahi agar Indonesia bisa menjadi
negara besar seperti yang dicita-citakan founding fathers pendiri bangsa ini.

Menariknya adalah, dalam situasi rapuh yang demikian, sektor pertanian masih menjadi gantungan hidup 42% masyarakat Indonesia. Mereka berketerampilan pas-pasan dengan produktivitas rendah. Pertanian akhirnya identik dengan keterbelakangan dan kemiskinan. Saat ini angka kemiskinan 32,5 juta jiwa (14%): 11,87 juta jiwa di kota dan 20,62 juta di desa (63,4%). Angka kemiskinan di sektor pertanian 56,1%, jauh di atas industri (6,77%) (BPS, 2009).

Karut marut pengelolaan potensi pertanian membuahkan pertanyaan, apakah Indonesia telah siap dihadapkan pada iklim perdagangan bebas
terutama globalisasi pertanian? Perdagangan bebas bisa menjadi bumerang bagi sektor pertanian Indonesia. Dimana kekuatan global yang menganut kepada ‘mahzab’ mekanisme pasar, menjadikan Indonesia salah satu negara ‘pengimpor beras’ terbesar di dunia.

Jika pemerintah tidak sigap dan siaga menanggapi masalah-masalah genting itu maka diprediksikan petani akan gulung tikar karena tak kuat menahan tekanan dan terpaan persaingan produk-produk asing. Tentu rakyat tidak menginginkan sektor pertanian kita hancur tinggal
sejarah dan hanya menjadi dongeng generasi berikutnya. Rakyat juga tak menginginkan bangsa agraria ini kelaparan dalam lumbung padi sendiri atau menjadi bangsa peminta-minta dan jajahan ekonomi negara-negara maju.

Perbaikan kondisi sistem agribisnis dan tata niaga harus segera dilakukan agar berpihak pada petani lokal yang berorientasi kesejahteraan dan keadilan. Menurut FAO, kita sebagai bangsa besar memiliki pasar yang besar dan kekayaan hayati nomor dua di dunia setelah Brazil, tetapi selalu tidak berdaya dan terperangkap dalam berbagai kelemahan diri sendiri. Pendiri
bangsa ini telah mengkumandangkan “Bahwa hidup matinya suatu bangsa ada di pertaniannya”, ketika sektor pertaniannya kuat maka kuat pula negara itu. Tak ada salahnya bangsa ini belajar dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, China dan Korea Selatan, walaupun terkenal sebagai negara industri di dunia, tapi sektor pertanian mereka sangat kuat, negara-negara tersebut sangat menyadari bahwa pertanian merupakan sektor yang dapat menyatukan seluruh bangsanya seperti yang diungkapkan oleh Abraham Lincoln (Presiden AS).

Sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah petani. Indonesia sebagai negara berkembang yang berada pada wilayah tropika dan memiliki luas wilayah daratan kurang lebih seluas 192 juta hektar dengan keanekaragaman karakteristik tanah/lahan dan sumber daya hayati yang tinggi. Potensi ini tentu harus dioptimalkan. Sektor pertanian juga berperan penting dalam penyedia dan penyerap tenaga kerja di Indonesia. Ini merupakan kekuatan atau modal dasar untuk menempatkan bidang pertanian sebagai pilar perekonomian nasional atau sebagai leading sector pembangunan yang akhir-akhir ini terbukti cukup tangguh menghadapi terpaan badai krisis global dibandingkan sektor industri.

Pemerintah harus menjamin kemudahan akses petani terhadap pupuk. Pemberantasan praktek mafia pertanian di bidang rantai distribus pupuk adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi demi menekan kelangkaan pupuk dan meningkatkan produktifitas. Sungguh disayangkan apabila kerja keras petani tidak diimbangi olek komitmen pemerintah dalam hal pembangunan sektor pertanian. Kesepakatan transfer teknologi dan transfer ilmu dari negara maju ke negara berkembang seperti Indonesia adalah strategi ampuh dalam menyongsong iklim perdagangan bebas seutuhnya. Peningkatan kualitas sumber daya manusia, jaminan ketersediaan lahan dan segera menghentikan ali fungsi lahan secepat mungkin dapat meminimalisir rendahnya produktifitas pangan di negeri ini. Kebijakan yang berorentasi pada keadilan bagi kesejahteraan petani harus segera di berlakukan.

Dengan keseriusan dalam mengoptimalkan potensi kekayaan alam Indonesia khususnya pertanian, harapannya Indonesia bisa bertahan dan memiliki posisi tawar yang tinggi dalam arus globalisasi. Atmosfher globalisasi hendaknya memacu Indonesia sebagai pejantan tangguh bukan malah menjadikan Indonesia sebagai mangsa predator-predator negara maju bahkan bukan tidak mungkin bisa menjadi gudang pangan dunia. ***

 

Dapatkah Teknologi Berkembang di Sektor Pertanian Indonesia?

Sam Herodian

Dekan Fakultas Teknologi Pertanian IPB

Sebelum kita bicarakan lebih lanjut tentang peluang pengembangan teknologi untuk pengembangan pertanian kita, saya ingin membatasi pertanian di sini terutama pada tanaman pangan khususnya padi, walaupun akan disinggung sedikit untuk komoditas lain.  Sedangkan teknologi akan saya batasi pada penggunaan alat mesin pertanian, sedangkan teknologi lain seperti perbenihan, budidaya dan lain-lainnya tidak saya perdalam.

Pada usianya yang telah mencapai 66 tahun ternyata pertanian kita masih belum beranjak dari praktek-prakter pertanian gurem yang sudah kita lakukan sejak sebelum jaman kemerdekaan. Marilah kita potret sedikit wajah pertanian kita dari segi proses produksi beras yang dimulai dari pengolahan lahan.

 

Praktek di lahan

Pengolahan lahan kita sebagian memang sudah menggunakan traktor tangan, namun kalau kita lihat populasi traktor tangan dibandingkan dengan jumlah petani satu tarktor tangan harus melayani lebih dari 400 petani atau lebih dari 100 ha lahan sawah permusim tanam.  Artinya, masih banyak lahan yang digarap dengan menggunakan tenaga hewan atau bahkan manusia. Bandingkan dengan negara-negara tetangga kita bahkan Vietnam yang baru bergeliat, angkanya jauh lebih baik dari kita.

Untuk penanaman malah lebih menyedihkan lagi angkanya, hampir 100% sawah kita penanamannya dilakukan secara manual. Apakah tidak ada teknologi untuk penanaman? Jawabannya tentu saja ada. Di Jepang mesin ini sudah lama digunakan, demikian juga di Korea, China bahkan Thailand. Beberapa tahun lalu bahkan kita sudah pula memperkenalkan teknologi ini kepada masyarakat, mulai yang bermesin sampai yang semi mekanis.  Akan tetapi sayang hasilnya dapat dikatakan gagal total.

Sampai saat ini para petani masih menggunakan tangannya untuk menanam bibit padi ke sawahnya. Untuk pemeliharaan tanaman, agak sedikit berkembang dengan digunakannya sprayer untuk pemberantasan hama penyakit. Namun demikian sebagian lainnya seperti penebaran pupuk masih dilakukan secara manual.

Penanaman pun menghadapi problematika yang sama. Masalahnya bukan kepada ketiadaan teknologi untuk keperluan ini.  Namun ketidakmampuan kita mengadopsinyalah penyebabnya.  Penyiangan juga setali tiga uang, sebagian besar masih menggunakan tenaga manusia, baik secara manual dengan mencabut gulma satu persatu ataupun dengan alat penyiang sederhana yang juga harus digerakkan oleh tenaga petani sendiri.

Pemanenan juga masih sangat memprihatinkan, kita masih mengandalkan sabit.  Sayangnya pemerintahpun secara sadar tidak mendorong ke arah kemajuan dengan lebih cepat. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih memberikan bantuan berupa sabit bergerigi untuk pemanenan, bukan mesin panen.

Apakah tidak ada sama sekali petani yang sudah menggunakan mesin panen? Jawabannya, ada. Di Sulawesi Selatan sudah banyak berkembang mesin panen yang biasa disebut sebagai stripper.  Mesin ini dikembangkan oleh IRRI dan disosialisasikan sekitar 20 tahun yang lalu dan seorang pengusaha bengkel di sana, mengembangkannya dan diterima oleh masyarakat dengan baik.

Tahap berikutnya adalah perontokan gabah dari malainya. Pada tahap ini agak berkembang dengan banyaknya thresher atau perontok padi yang beredar di masyarakat petani. Namun demikian jumlahnya masih kurang dibandingkan dengan kebutuhannya.  Sebagian besar masih menggunakan tenaga manusia dengan membantingnya pada landasah perontok. Pemerintah pun, lagi-lagi, sayangnya belum berhasil mengubah dengan baik kebiasaan ini.  Alih-alih mendrong menggunakan teknologi malah membagikan terpal untuk mempertahankan teknologi yang ada agar digunakan terus.

Kalau membaca hal-hal yang disebutkan di atas tentu sangat mengherankan bukan? Kebutuhan ada, teknologi tersedia, namun kenyataan di lapangan masih sangat memprihatinkan.

 

Pascapanen

Selanjutnya di pengeringan gabah. Pada musim panen kita selalu disuguhi pemandangan petani menjemur gabahnya di pinggir jalan dan di manapun tempat lapang yang tersedia.  Di beberapa tempat memang sudah ada lamporan yang dibuat khusus untuk menjemur gabah, namun jumlahnya masih kurang memadai. Sering kita dengar keluhan petani gabahnya rusak ketika mereka memanen gabahnya, terutama pada saat musim hujan.  Lalu bagaimana dengan mesin pengering apakah tidak ada? Jawabannya tentu saja sudah ada, namun belum diadopsi dengan baik.

Hal yang sama juga kita dapati untuk penggilingan padi.  Memang pada saat ini kita sudah tidak menjumpai lagi petani yang mengupas gabahnya dengan alu, semuanya sudah menggunakan penggilingan padi yang sering disebut sebagai Rice Milling Unit (RMU).  Tahap inilah, tahap yang paling tinggi level adopsi teknologinya dibandingkan tahap lainnya.  Namun demikian sebagian besar mesin yang digunakan sudah ketinggalan zaman dan tentu saja kualitas beras yang dihasilkan tidak sebagus yang diharapkan.

 

Status teknologi di negara lain

Sebagai ilustrasi saya ceritakan sedikit tentang penggunaan teknologi yang sudah dilakukan oleh teman-teman kita di Jepang dan Korea. Untuk pengerjaan di lahan semuanya sudah menggunakan mesin, mulai pengolahan lahan, pemupukan, penyiangan, sampai penyemprotan hama. Bahkan traktor yang digunakan tidak lagi traktor tangan yang operatornya harus jalan, akan tetapi sudah menggunakan traktor empat roda.

Untuk pemanenan dan perontokan dilakukan sekaligus dengan menggunakan Combine Rice Harvester yang juga tipe yang dikendarai (riding type). Untuk pengeringan langsung masuk kedalam mesin pengering, dan biasanya hasilnya dimasukkan silo untuk disimpan dalam waktu yang cukup lama.  Gabah digiling dengan menggunakan penggilingan yang sangat canggih yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Apakah di dua negara tersebut saja yang sudah maju? Tentu saja tidak. Negara-negara penghasil beras lainnya seperti Thailand dan bahkan Vietnam pun sudah menggunakan teknologi ini.  Belum lagi China dan Amerika yang tentu saja jauh lebih maju lagi.

Lho, jika di negara-negara tersebut sudah ada sejak lama dan juga berkembang di tempat-tempat lain, lalu mengapa di Indonesia belum bisa berkembang? Lalu dapatkah semua itu dikembangkan di Indonesia? Terus terang secara ekstrim saya sering mengatakan, jika tidak ada perubahan yang mendasar maka sampai kiamatpun pertanian kita akan tetap seperti sekarang ini.  Tentu saja kita masih ada peluang untuk mengubahnya, namun apakah kita cukup berani untuk menuju kesana?

Marilah kita lihat permasalahannya dari empat faktor yang harus diperhatikan dalam mengadopsi teknologi khususnya di bidang pertanian. Faktor-faktor tersebut adalah; faktor teknis, faktor ekonomis, faktor sosial-budaya dan faktor kebijakan pemerintah.

 

Faktor Teknis

Seperti sudah saya singgung di atas bahwa secara teknologi hampir seluruh proses produksi beras teknologinya sudah tersedia. Namun demikian dalam adopsi suatu teknologi diperlukan pengaturan untuk menyesuaikan dengan prasyarat agar teknologi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.

Untuk aplikasi teknologi pada budidaya padi misalnya, agar traktor dapat bekerja dengan optimal diperlukan prasyarat seperti bentuk lahan yang teratur dengan minimal luasan tertentu, di Jepang misalnya, untuk pengolahan dengan traktor tangan ukuran lahannya adalah 100 x 30 m, lapisan kedapnya (hard pan) sudah terbentuk dengan baik dan pada kedalaman yang optimal. Ditambah syarat-syarat yang lain seperti tersedianya air irigasi yang memadai, saluran draenase, dan jalan lahan untuk setiap petak sawah.

Sayangnya di kita, dari semua faktor tersebut hanya irigasi yang tersedia, itupun masih sangat sederhana dan terkadang masih harus melalui petakan sawah yang lain.  Lapisan kedap memang sudah tersedia secara alamiah, namun karena kedalamannya tidak merata, beberapa alat mekanis mengalami kesulitan untuk bekerja di atasnya.

Aplikasi mesin yang lain juga mengalami kesulitan yang kurang lebih sama.  Beberapa tahun yang lalu saya berkesempatan mengantar industri mesin pemanen padi (combine rice harvester) terkemuka dari Jerman untuk melihat peluang mengembangkan pabriknya di Indonesia. Kami antar mereka ke beberapa sentra produksi beras di Jawa dan Sumatera, mereka sangat terkejut karena melihat petakan yang kecil-kecil dan tidak beraturan, ditambah lagi tidak ada akses jalan untuk menuju petak sawah yang di tengah.  Tidak menunggu waktu lama merekapun langsung pulang dan tidak pernah kembali lagi.  Padahal mesin yang sama sudah operasional di Thailand.

Untuk pascapanen juga masih mengalami hambatan yang hampir sama.  Walaupun kita tahu bahwa jika pemanenan dilakukan pada musim hujan akan mengalami masalah dalam mengeringkan gabah, tapi anehnya mesin pengering masih juga belum berkembang.  Pemerintah bukannya tidak berusaha, pada beberapa waktu yang lalu sudah pernah memberikan bantuan mesin pengering ke beberapa daerah namun nampaknya masih kurang berhasil.

Ada faktor fundamental yang tidak pernah mau disentuh oleh pemerintah, yang mengakibatkan usaha yang dilakukan hampir selalu kurang berhasil. Faktor utama yang sangat berpengaruh dalam hal ini adalah skala usaha yang tidak memadai.  Dampaknya juga terasa pada proses yang lain seperti penggilingan padi dan penyimpanannya.

Beberapa waktu yang lalu beberapa pemerintah daerah membangun Rice Processing Complex yang modern dengan kapasitas besar, sayangnya dilakukan tanpa perencanaan yang matang. Mereka kebingungan, ternyata walaupun secara hitungan matematis ketersediaan gabah mencukupi, setelah operasional, gabah yang akan diproses ternyata tidak mencukupi.  Akibatnya fasilitas tersebut hanya menjadi besi tua.

 

Faktor Ekonomi

Salah satu hal penting lain yang sampai saat ini tidak disentuh oleh pemerintah adalah skala usaha.  Dengan penguasaan lahan yang hanya 0.3 ha per keluarga petani, maka sudah dapat dipastikan bahwa usaha produksi beras sangatlah tidak menguntungkan.  Untuk itu harus ada perombakan secara cukup radikal agar syarat skala luasan minimal dapat dipenuhi.

Sesungguhnya kebijakan tersebut sudah ada di benak pemerintah yaitu melalui apa yang disebut sebagai rice estate, sayangnya pengertian tersebut hanya untuk lahan baru yang saat itu terfikir di Marauke. Saya sudah sampaikan ke berbagai pihak di Kementerian Pertanian agar konsep tersebut tidak hanya untuk lahan baru yang pengelolaannya seperti lazimnya perkebunan pada umumnya.

Konsep tersebut dengan sedikit modifikasi justru akan lebih murah jika dilakukan di sentra padi yang ada saat ini, baik yang di Jawa, Sumatera maupun Sulawesi. Dengan melakukan hal ini maka ongkos untuk membuat infrastruktur akan jauh lebih ringan dibandingkan membuat yang baru. Menyatukan manajemen pengelolaan dalam satu organisasi akan memecahkan banyak hal termasuk penggunaan mesin, pengelolaan proses sampai pada pemasaran.

Hal lain yang sangat menguntungkan adalah kita dapat menghasilkan produk dari limbahnya, bahkan jauh lebih menguntungkan. Produk-produk seperti listrik dari sekam, rice bran oil, dan lain-lain hanya dapat dihasilkan jika pengelolaan produknya menjadi satu.  Memaksakan asupan teknologi pada skala ekonomi yang jelas-jelas tidak mungkin ekonomis adalah usaha sia-sia yang tidak pernah akan menyelesaikan masalah.

 

Faktor Sosial-Budaya

Adopsi teknologi juga kerap sangat dipengaruhi oleh masalah sosial-budaya.  Mengubah suatu kebiasaan Selalu membutuhkan waktu dan tenaga khusus untuk melakukannya.  Sebagai contoh sampai saat ini pemerintah belum berhasil untuk mengubah budaya panen di pantura Jawa Barat.  Budaya ini sangat kuat mengakar di masyarakat dan sangat terkait dengan sistem ekonomi yang berlaku di masyarakat setempat. Budaya ini sangat berakibat pada lambannya adopsi power thresher di daerah ini.  Jika power thresher saja sulit untuk masuk maka dapat dipastikan bahwa combine rice harvester akan sangat sulit untuk diaplikasikan di daerah ini.

Namun demikian apakah kita harus menyerah? Menurut saya justru hal ini harus kita jadikan tantangan para ahli sosial budaya agar dapat merekayasanya menjadi budaya yang adaptif terhadap teknologi. Untuk mempermudah melaksanakan pemikiran ini sebenarnya  kita dapat memulainya dari beberapa daerah yang lebih memungkinkan, seperti beberapa daerah di Sumatera Selatan bahkan petaninya sudah mengatakan bersedia. Belum lagi di Sulawesi Selatan yang petaninya sangat responsif terhadap perkembangan teknologi dan jumlah petaninya relatif lebih sedikit.  Jika sudah dimulai dan memberikan hasil yang baik, saya berkeyakinan daerah lainpun pasti ingin melakukannya.

 

Faktor Kebijakan Pemerintah

Jika kita amati seluruh faktor di atas, maka sesungguhnya seluruh permasalahan dapat ditangani jika pemerintah dapat membuat kebijakan yang tepat. Memang pada umumnya memerlukan waktu dan usaha yang tidak mudah, namun hasilnya akan sangat luar biasa.  Pembentukan estate baru di tempat baru hanya membuktikan bahwa pemerintah kurang mau menghadapi tantangan, semuanya diserahkan ke pihak swasta sehingga tanpa usaha keras dapat menghasilkan produk secara nasional secara mudah.  Tapi tidak pernah peduli dengan nasib para petani yang seharusnya menjadi target utama pemerintah untuk menaikan taraf hidup mereka.

Secara politis mungkin akan terlihat berhasil, karena dapat meningkatkan produksi nasional.  Namun secara riil di lapangan tidak mengubah nasib petani bahkan mungkin akan lebih menyengsarakan karena harga berasnya menurun?  Oleh karena itu saya menyarankan agar pemerintah mulai benar-benar secara serius memikirkan untuk memecahkan masalah yang mendasar agar kita segera lepas landas menuju pertanian yang modern dan menguntungkan dengan sasaran untuk meningkatkan kesejahteraan petani kita.

 

Bagaimana dengan komoditas lainnya?

Beberapa komoditas andalan kita ternyata juga masih belum secara optimal dikembangkan. Contoh paling mudah adalah minyak kelapa sawit.  Kita sudah sangat bangga menjadi eksportir terbesar CPO, sementara negara tetangga kita sudah sibuk dengan berbagai produk turunannya.

Sebagai contoh, ada satu program pemerintah yang aneh dan menggemaskan yaitu rencana fortivikasi vitamin A pada minyak goreng. Sepintas memang terlihat sangat baik, namun jika kita telusur lebih jauh, sesungguhnya dalam CPO kita kaya akan pro-vitamin A yang pada prosesnya kita buang begitu saja. Lucunya, setelah kita buang kemudian kita akan menambahkannya lagi dengan vitamin A sintetis yang diimpor. Sungguh kebijakan yang sangat tidak memihak kepada produk bangsa sendiri.

Oleh karena itu program hilirisasi dari Kementerian Perindustrian hendaknya dapat kita dukung dan optimalkan. Program ini tentu saja harus syarat teknologi, karena tanpa teknologi nilai tambah akan sulit didapatkan. Produk yang memilki nasib yang sama juga cukup banyak, seperti kopi, coklat, jambu mete dan lain-lain yang secara sengaja kita biarkan orang lain menikmati nilai tambahnya. Terlalu…. (kata Bang Haji).

Produk lain yang juga perlu perhatian adalah komoditas hortikultura. Berbeda dengan produk yang saya sebutkan di atas. Produk ini punya potensi namun belum digarap secara serius, bahkan yang sudah ada seperti apel Malang kita dengar sedang menghadapi masalah serius dengan keberlangsungannya.  Kita memiliki varietas mangga yang luar biasa, namun mengapa kita sulit untuk dapat mengekspornya? Begitu pula dengan buah-buahan yang lain.

Permasalahannya sangat sederhana, karena kita tidak mampu menyediakan kualitas yang sama dengan kuantitas tertentu dalam waktu yang diinginkan. Contoh sepele kita harus sibuk mencium mangga satu-persatu jika kita akan membelinya, atau menekan jeruk untuk memastikan bahwa produk tersebut manis. Hal tersebut menunjukkan bahwa kita tidak dapat menghasilkan produk yang seragam. Bagaimana tidak, biasanya pedagang pengumpul hanya mengumpulkan dari berbagai pohon yang ada di berbagai tempat kemudian menjualnya.

Apakah kita dapat menghasilkan buah dengan kualitas yang dimaksud? Jawabannya dapat, asalkan dilakukan dengan cara-cara yang tepat. Teman-teman di beberapa daerah sudah melakukannya.  Namun lagi-lagi belum dilakukan secara sistematis oleh pemerintah.  One Vilage One Product (OVOP) misalnya, masih menjadi wacana, belum terlaksana dengan baik.

Peluang Ekspor Pertanian Semakin Tinggi di Indonesia

Oleh : Diera

 

Dengan semakin majunya teknologi serta kemajuan dari zaman, semakin maju pula pemikiran-pemikiran dari orang-orang untuk tetap bertahan hidup dan menghadapi persaingan yang semakin ketat. Oleh karena itu pula kita harus bisa memanfaatkan peluang-peluang yang ada agar kita tetap bisa bertahan dan dapat bersaing dengan orang lain. Selain skill yang kita miliki kita harus juga dapat melihat peluang serta dapat ber inovasi dan mengeluarkan ide-ide yang baru.

Saat ini peluang untuk berwirausaha sangat tinggi, oleh karena itu pula kita dapat memanfaatkan hal tersebut. Kita dapat melihat peluang apa saja yang ada di Indonesia dalam hal ini. Sektor apa saja yang dapat kita pilih untuk dapat kita manfaatkan dalam berwirausaha. Untuk hal itu awal mula yang harus kita pilih yaitu mencari sektor apa yang ingin kita pilih kemudian apa produk yang ingin kita fokuskan.

Saat ini peluang yang paling tinggi yang dapat kita manfaatkan adalah pada sektor pertanian. Dimana sektor pertanian di Indonesia saat ini sudah hampir kalah bersaing dengan produk-produk pertanian impor dari negara lain. Saat ini kita dapat melihat buah-buahan impor mulai merajai Indonesia. Kita mulai hampir kehilangan citra bangsa kita yaitu bangsa yang kaya dengan buah-buahan.

Oleh karena itulah kita harus dapat menciptakan kualitas yang baik untuk produk-produk dalam negeri agar kita tidak kalah bersaing dengan produk luar negeri yang mulai merambah dan mulai menurunkan integritas produk-produk dalam negeri. Kita juga harus manfaatkan sumber daya yang ada untuk memaksimalkan produk-produk dalam negeri dan kita melakukan inovasi-inovasi untuk perubahan serta mengembangkan produk-produk dalam negeri khususnya untuk sektor pertanian.

Peluang untuk sektor pertanian Indonesia sangat tinggi dimana Indonesia untuk sektor pertanian mengalami peningkatan terus setiap bulan nya. Dari hal inilah kita dapat memanfaatkan peluang tersebut. Kita dapat mengambil ataupun memfokuskan untuk produk ataupun barang tertentu.

Saat ini untuk sektor pertanian, peluang ekspor coklat sangat tinggi. Hal ini dikarenakan coklat sangat diperluakan oleh banyak orang dan coklat semua orang pun menyukainya. Selain itu Pantai Gading (Afrika) sebagai pengekspor tertinggi untuk coklat sedang mengalami konflik sehingga negara tersebut tidak mengekspor sama sekali coklatnya. Dengan demikian kita dapat memanfaatkan peluang ini. Saat ini Indonesia telah ratifikasi Internasional Cocoa Agreement/ICA 2010 yang tinggal selangkah lagi Indonesia bisa bergabung dengan ICCO ( International Cocoa Organization ). Di tingkat dunia Indonesia merupakan negara produsen kakao ketiga terbesar menurut ICCO.

Selain ekspor coklat/kokoa kita tetap dapat memanfaat kan peluang pada kelapa sawit yang masih mendominasi untuk pertanian. Kelapa sawit mengalami perkembangannya yaitu Indonesia menjadi negara produsen kedua saat ini. untuk menjadi produsen pertama kita harus dapat memanfaatkan peluang yang ada serta merencanakan ide-ide untuk mengembangkan ekspor kelapa sawit ke dunia Internasional. Banyak lagi hasil-hasil pertanian yang dapat kita jadikan sebagai peluang untuk kita manfaatkan serta kita dapat jadikan usaha yang dapat membuahkan hasil ataupun menguntungkan. Kita harus dapat melihat pangsa pasar yang ada serta dapat melihat bagaimana segmentasi,targeting serta positioning untuk produk atau barang yang kita fokuskan atau pilih.

Saat ini kita dapat manfaatkan peluang untuk sayur-sayuran serta buah-buahan dari organik. Hal ini dapat dicari banyak oleh orang-orang. Bahan organik sangat dibutuhkan untuk kesehatan, selain itu lebih awet dibandingkan dengan sayur-sayuran ataupun buah-buahan non organik. Oleh karena itu hal ini dapat dijadikan sebagai peluang ekspor pertanian untuk buah-buahan serta sayur-sayuran organik. Indonesia sangat berpeluang untuk menghasilkan sayur-sayuran serta buah-buahan organik, karena Indonesia masih memiliki sumber daya alam yang sangat banyak. Selain itu Indonesia masih memiliki lahan untuk dapat membudidayakan buah-buahan serta sayur-sayuran organik. Di daerah Puncak (Bogor) misalnya kita dapat membudidayakan produk-produk organik karena selain lahan masih ada udara di sana masih sangat sejuk dan sedikit polusinya.

Sayur mayur serta buah-buahan Indonesia sangat berpeluang untuk masuk ke pasar Singapura karena saat ini pangsa pasar Indonesia hanya 10 persen untuk sayur-sayuran serta buah-buahan ke negara tersebut. Indonesia menargetkan 2014 pangsa pasar Indonesia bisa mencapai 25 persen untuk ekspor sayur-sayuran serta buah-buahan ke negara tersebut. Indonesia masih membutuhkan eksportir karena Indonesia masih kekurangan eksportir sayur-sayuran dan buah-buahan baik yang bentuknya perusahaan maupun koperasi. Hal ini sangat penting karena Singapura menginginkan partner dagang yang dapat memberikan pasokan dalam volume tertentu secara berkelanjutan.

Dengan demikian ekspor sayur-sayuran serta buah-buahan organik sangat dibutuhkan. Karena pastinya hal ini sangat diperlukan khususnya untuk negara-negara yang tidak memiliki lahan pertanian serta untuk negara-negara maju yang kebanyakan sangat kurang sumber daya alam nya. Dalam hal ini kita dapat memanfaatkan sumber daya alam Indonesia yang sangat kaya ini dengan menciptakan peluang serta lapangan kerja baru untuk para petani serta menciptakan inovasi-inovasi dan ide-ide untuk mengembangkan ekspor sektor pertanian Indonesia.

Keyakinan untuk menciptakan peluang baru serta pasar baru di sektor pertanian Indonesia ini sangat tinggi. Karena dapat dilihat sendiri Indonesia memiliki SDA serta SDM yang tinggi, serta ekspor tertinggi Indonesia masih mendominasi di sektor pertanian. Karena masih banyaknya peluang inilah diharapkan kita dapat memanfaatkannya dan dapat mengambil keuntungan serta dapat mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia. Dari hal ini maka indikator-indikator ekonomi semuanya akan berpengaruh. Dimana apabila tingkat ekspor meningkat, pendapatan meningkat, pengangguran berkurang, inflasi turun serta cadangan devisa untuk negara pun bertambah. Dengan ini maka Pendapatan Nasional Indonesia pun dapat meningkat.

Mencari peluang yang ada mungkin sangat sulit akan tetapi jika kita tidak pernah mencoba peluang yang ada maka kita akan menjadi orang yang selalu gagal dan tidak pernah berhasil dalam apapun.

Jangan Remehkan Potensi Buah dan Sayur Indonesia

Yogi Yogasara

(Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Lampung)

 

Usaha pertanian hortikultura, khususnya buah dan sayur, dapat menjadi solusi alternatif pendapatan bagi siapa pun yang ingin mengusahakannya. Selain mendukung program pemerintah dalam gerakan mengkonsumsi buah dan sayur di masyarakat, ternyata peluang usaha ini masih sangat besar baik di dalam maupun luar negeri. Kementan Republik Indonesia menyebutkan, bahwa konsumsi buah dan sayur dalam negeri masih rendah dan permintaan buah tropis dan sayur di luar negeri terus meningkat per tahun 2011 (Bisnis Indonesia, 21/06).

Lantas, bukankah ini termasuk peluang yang besar bagi Indonesia untuk mengembangkannya? Terlebih lagi Indonesia dianugerahi iklim yang cocok bagi buah-buah tropis dan sayuran yang digemari oleh penduduk luar negeri; untuk buah seperti manggis, nanas, pisang, mangga, salak, alpukat dll; sedangkan sayuran seperti peleng, tomat, sawi, kol, kentang, dll. Seharusnya dengan kondisi Indonesia yang demikian, dimana permintaan yang besar, baik di dalam negeri dan pasar dunia, Indonesia dapat menjadi penyumbang buah dan sayur terbesar di dunia.

 

Kondisi produksi buah dan sayur di Indonesia saat ini

Jika ditinjau dari potensi Indonesia, sungguh disayangkan jika peningkatan produksi buah dan sayur tidak menjadi perhatian utama Pemerintah dan pelaku usaha. Kendala klasik yang dimiliki seperti masalah infrastruktur jalan, pelabuhan, pembiayaan, kualitas produk yang tidak memenuhi pasar, dan tidak terjamin kontinuitas pasokan tentunya bukan lagi persoalan yang diwariskan.

Sebagai contoh, Tempo Interaktif (20/8) melaporkan bahwa, per Agustus 2011 ini, pasokan buah dan sayur ke Singapura sebesar 43 persen didapat dari Malaysia, dan 31 persen dari Cina; sedangkan Indonesia hanya 6,5 persen. Data tersebut membuktikan bahwa produktivitas buah dan sayur Indonesia masih kalah jauh dengan negara lain seperti Malaysia dan Cina. Selain itu, impor buah dan sayur  pun kini merambah di Indonesia, hal ini menjadi ancaman semangat para pelaku usaha buah dan sayur di Indonesia serta mengurangi kegemaran masyarakat Indonesia terhadap buah dan sayur lokal.

Jika diperhatikan, permasalahan buah dan sayur Indonesia memang terletak pada rendahnya produksi dan keberlangsungan produksi. Selain itu, Indonesia pun masih belum mempunyai daerah utama atau sektor khusus dalam pengembangan buah dan sayur secara intensif dan berskala luas. Sehingga ini menjadi dugaan, bahwa produktivitas buah dan sayur Indonesia masih belum bisa bersaing di tingkat dunia.

 

Peluang

Perdagangan buah tropika di tingkat dunia terus mengalami peningkatan berdasarkan data FAO mengenai perdagangan (Morey, 2007). Pada tahun 2004, jenis buah tropika utama yang diimpor pada tingkat dunia adalah pisang (12,4 juta ton), nenas (1,6 juta ton), mangga (732 ribu ton) dan pepaya (208 ribu ton). Negara terbesar yang mengimpor buah tropika dalam bentuk segar adalah Amerika Serikat diikuti oleh negara-negara Eropa.

Volume ekspor total untuk mangga, manggis dan jambu biji di pasar dunia mencapai 1.178.810 ton dalam tahun 2005. Indonesia berkontribusi sebesar 1.760 ton atau 0,15 persen dari ekspor total dunia. Impor total dunia untuk ketiga komoditas tersebut mencapai 857.530 ton dan untuk Indonesia hanya sebesar 540 ton atau sekitar 0,06 persen (FAO, 2007). Dalam tahun 2006, ekspor total dari komoditas tersebut menjadi 901.520 ton senilai US $ 684,6 juta (NAFED, 2007).

Indonesia memiliki beragam jenis buah-buahan bermutu yang berpotensi untuk mendatangkan devisa bagi negara. Khusus untuk pasar ekspor, beberapa komoditas buah-buahan Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini telah banyak diminati pasar dunia, seperti: manggis, salak, mangga, dan lain sebagainya. Sebagai contoh manggis, buah ini masih diminati dan menjadi tujuan ekspor di beberapa negara, seperti: Jepang, Hongkong, Korea, Taiwan, Cina, Singapura, Malaysia, Vietnam, India, Arab Saudi, Belanda, Swiss, Perancis, Jerman dan Belgia.

Di Singapura misalnya, ada beberapa jenis buah Indonesia yang hingga kini belum pernah masuk di sana, seperti buah pepaya, pisang, avokad dan salak. Bahkan informasi dari Antara News.com (12/8), buah salak merupakan salah satu komoditas baru di Singapura sehingga banyak orang di sana yang belum tahu cara membuka salak. Di samping itu, buah avokad banyak diminati oleh warga Singapura, namun avokad yang masuk ke negara itu jenisnya kecil, tidak seperti avokad dari Indonesia yang buahnya besar dan dagingnya tebal.

Pada perdagangan sayur dan buah, untuk di Singapura, peluang dalam menyuplai permintaan Singapura 1340 ton per harinya masih sangat besar mengingat Indonesia hanya bisa menyuplai 78 ton (6%) saja. Hal ini seharusnya menjadi tantangan bagi para pelaku usaha buah dan sayur serta pemerintah dalam menjawab tantangan tersebut.

 

Upaya Peningkatan Dan Akselerasi Ekspor Buah dan Sayur Indonesia

Langkah awal dalam peningkatan dan akselerasi ekspor buah dan sayur Indonesia dapat dilakukan melalui beberapa upaya yaitu melalui pengembangan kawasan buah dan sayur; standarisasi produk serta promosi dalam dan luar negeri.

Pengembangan kawasan buah dan sayur merupakan suatu bentuk implementasi yang prima dan keseriusan dari fungsi pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam kerangka desentralisasi pemerintahan. Kawasan tersebut dapat diupayakan melalui penetapan kawasan atau daerah mana yang cocok untuk buah tropika dan sayur dengan pendampingan intensif oleh Depertemen Hortikultura. Selain itu, kerjasama dalam pemanfaatan lahan dengan PTPN untuk diintensifikasi lahannya dengan komoditi buah dan sayur adalah hal yang mungkin, karena PTPN dapat menjadi mitra riset dan pengembangan buah dan sayur dalam skala luasan lahan yang besar.

Selanjutnya adalah standarisasi produk. Standarisasi tentunya menjadi hal utama agar buah dan sayur Indonesia dapat diterima oleh negara lain dengan ketentuan yang berlaku. Mengesampingkan masalah ini dapat berakibat fatal karena akan menurunkan nilai jual buah dan sayur di mata dunia. Dengan standarisasi, produk buah dan sayur akan mengakibatkan para pelaku usaha dan pemerintah akan bekerja secara profesional dan disiplin hingga produk tersebut diterima oleh konsumen di luar negeri.

Dalam mencapai keinginan sebagai penyuplai buah topis dan sayuran yang berkualitas, sinergitas antara pelaku usaha, pemerintah dan eksportir pun perlu dibenahi dan dikonsolidasikan. Pengenalan akan buah dan sayur di dalam negeri pun harus diterapkan secara masif kepada masyarakat, agar masyarakat makin gemar dan terbiasa untuk memenuhi kebutuhan buah dan sayur di kehidupan sehari-hari. Selain itu, pengenalan produk buah dan sayur lokal di tingkat dunia pun harus dilakukan, hal ini sebagai upaya dalam menarik minat dunia terhadap buah dan sayur Indonesia.

Melalui langkah awal di atas, tentunya menjadi harapan agar Indonesia lebih tertantang untuk berusaha dalam memenuhi tuntutan dunia atasnya. Sangat yakin bahwa Indonesia akan berhasil mewujudkan hal tersebut selama nasionalisme, profesional dan disiplin Indonesia untuk rakyatnya tidak ternodai dengan perilaku korupsi beserta hal-hal negatif yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan kemajuan Indonesia ke depannya. Semoga Indonesia bisa.