Category Archives: Ekonomi

Waralaba: Skim Alternatif Investasi di Sektor Riil

Amir Karamoy

 

Waralaba (franchise) adalah, ”hak khusus yang dimiliki orang perorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”.

Demikian bunyi PP no. 42/2007 tentang ”WARALABA”. Berdasarkan pengertian di atas, maka waralaba dapat dikatakan adalah (1) Sistem bisnis (dalam rangka pemasaran) yang telah terbukti berhasil. (2) Sistem bisnis tersebut dapat dimanfaatkan/digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.

Secara singkat, dapat dikatakan, waralaba adalah ”penggunaan sistem bisnis yang telah terbukti berhasil (a proven system of business) yang dapat dimanfaatkan/digunakan oleh pihak lain” yaitu perusahaan atau perorangan.  Pemilik sistem bisnis (yang telah terbukti berhasil) tadi disebut pemberi waralaba atau  pewaralaba (franchisor), sedang pihak yang memanfaatkan/menggunakan sistem bisnis disebut penerima waralaba atau terwaralaba (franchisee). Kebanyakan terwaralaba adalah perorangan atau pengusaha mikro/kecil (lokal/nasional) dan pewaralaba adalah perusahaan menengah besar.

Berdasarkan data tahun 2008 (Sumber: IFBM), ada 518 perusahan pewaralaba yang sepanjang tahun 2008 membentuk sebanyak 41.381 gerai (outlets), baik franchised outlets maupun company owned outlets dengan mempekerjakan 890.128 tenaga kerja. Perputaran penjualan waralaba, pada tahun 2008 mencapai Rp. 52,8 trilyun. Namun, menurut sumber lainnya penjualan waralaba telah mencapai Rp. 100 trilyun lebih pada tahun 2010.

Waralaba pemegang merek asing  lebih tertarik membangun gerai usaha sendiri (company owned outlets) daripada membangun gerai waralaba (franchised outlets). Sedangkan waralaba pemilik merek nasional/lokal, kebanyakan lebih tertarik  membangun gerai waralaba.

Apa perbedaan gerai usaha sendiri dengan gerai waralaba? Gerai usaha sendiri adalah cabang perusahaan atau ”anak perusahaan” yang dimiliki (owned) dan dijalankan (operated) perusahaan induk (franchisor). Sedangkan gerai waralaba kepemilikan usahanya (business ownership) dikuasai oleh banyak pihak, baik perusahaan ataupun perorangan.  Secara kontras, dapat ilustrasikan bahwa, gerai usaha sendiri dimiliki oleh hanya satu perusahaan, gerai waralaba dimiliki oleh publik, keduanya–owned outlets maupun franchised outlet –menggunakan merek yang sama, milik pewaralaba.

Dalam konteks ”menjual” portofolio waralaba oleh pewaralaba dalam rangka ekspansi pasar dengan membentuk gerai-gerai waralaba, acapkali dikategorikan sebagai suatu skim investasi di sektor riil.  Pewaralaba sebagai pihak yang menjual waralaba dan terwaralaba adalah pihak yang membeli atau berinvestasi dalam waralaba, disebut investor.  Saat ini ada dua pola yang dijalankan dalam investasi waralaba, yaitu (1) Investasi aktif; (2) Investasi pasif.

Disebut investasi aktif karena investor (terwaralaba) terjun langsung dan menjalankan usahanya sehari-hari (dengan supervisi dan bimbingan pewaralaba). Investasi pasif, investor atau terwaralaba terbatas hanya menyediakan modal dan atau aset, pihak pewaralaba-lah yang menjalankan operasional usaha sehari-hari gerai atau toko milik terwaralaba. Dalam pola investasi aktif, pihak pewaralaba menerima pembayaran dari investor berupa franchise fee atau up-front fee (hanya dibayarkan satu kali di muka) dan on-going royality yang diambil dari hasil penjualan kotor (gross revenues) gerai terwaralaba, berdasarkan jumlah prosentasi tertentu, selama kedua pihak terikat perjanjian (waralaba/lisensi).

Dalam pola investasi pasif, biasanya, selain franchise fee atau up-front fee dibayarkan kepada pewaralaba,  kemudian setiap 3 atau 4 bulan sekali dibagi keuntungan bersih dari hasil penjualan gerai terwaralaba. Besarnya prosentasi pembagian keuntungan (profit sharing), proporsinya dinegosiasikan dan disepakati para pihak. Misalnya,  40% untuk terwaralaba dan 60% untuk pewaralaba.

Secara empiris, dari beberapa simulasi keuangan yang pernah dibuat, return waralaba, khususnya usaha waralaba rumah makan atau kafe dan ritel,  rata-rata lebih stabil dan bila dihitung dalam jangka 2 sampai dengan 5 tahun, lebih tinggi dari bunga deposito yang berlaku maupun  bermain di pasar modal.  Di samping itu, investasi dalam waralaba sama sekali tidak terpangaruh oleh isu-isu ekonomi atau politik dan relatif stabil menghadapi turun naiknya nilai tukar uang. Di samping, tidak terpengaruh oleh turun-naiknya nilai saham di pasar regional.

Dari beberapa studi yang pernah dibuat di AS  (US Federal Trade Commission), terungkap bahwa tingkat keberhasilan usaha (business success rate) waralaba rata-rata mencapai 92%, sedang usaha non-waralaba hanya 38%. Mengapa tingkat keberhasilan sebagai investor (terwaralaba) tinggi? Karena, investor membeli pengalaman usaha – seperti disebut di atas – yang telah terbukti sukses dan menguntungkan. Bukankah ”pengalaman adalah guru yang baik?”

Bila waralaba ingin dijadikan skim investasi di sektor riil, disarankan agar aturan tentang waralaba lebih diperketat. Khususnya aturan profesionalitas  pewaralaba dan transparansi dalam penawaran waralaba (initial franchise offering), lewat dikeluarkannya suatu regulasi. Misalnya, setiap pewaralaba, ketika menawarkan waralabanya, diwajibkan untuk membuka (disclose) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik. Dan, setiap pemberian  surat tanda pendaftaran waralaba (STPW) oleh Kementerian Perdagangan (atau Dinas Perindustrian dan Perdagangan di daerah), harus berdasarkan rekomendasi suatu badan independen yang profesional–dimana badan ini bertugas melakukan penilaian tingkat kesehatan dan bonafiditas usaha pewaralaba.

Selain itu, badan ini dapat pula mengeluarkan semacam sertifikat yang menyatakan kelayakan perusahaan pewaralaba menawarkan portofolio waralabanya ke publik, sekaligus melakukan evaluasi terhadap kinerja pewaralaba setiap tahun. Namun, ijin operasional waralaba tetap dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan (dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan).

Mengapa badan independen ini diperlukan? Karena, Kementerian Perdagangan maupun Dinas Perindustrian dan Perdagangan di daerah-daerah sudah sibuk dengan rutinitas pekerjaaannya sehari-hari. Oleh sebab itu, dikuatirkan tidak dapat fokus dalam membina usaha waralaba, terkait dengan menjadikan waralaba sebagai skim investasi di sektor riil.  Dengan adanya badan independen yang operasionalnya dibiayai sendiri, tidak mengambil anggaran negara/daerah maka,  akan lebih fokus dalam membina dan mengembangkan waralaba.

Perhimpunan WALI (Waralaba dan Lisensi Indonesia) dapat berperan sebagai badan dimaksud di atas, karena organisasi ini bebas dari vested interest para pengurusnya. Kita tau misalnya ada asosiasi franchise yang hingga saat ini Ketuanya tidak pernah tergantikan, sejak didirikan pada tahun 1991. Selain hal ini melanggar ART (Anggaran Rumah Tangga)  asosiasi itu sendiri, juga mengingkari asas kepantasan dan etika berorganisasi.

Melalui pembentukan Badan ini pula, maka strategi yang akan ditempuh dalam rangka menjadikan waralaba sebagai skim investasi di sektor riel adalah menumbuhkan terlebih dahulu pewaralaba yang sehat, bonafid dan telah terbukti menguntungkan sebagai perusahaan. Mengapa? Karena  hanya dari pewaralaba yang telah berhasil akan tumbuh berkembang terwaralaba yang sukses atau investor yang mendapatkan capital gain yang tinggi – tidak pernah sebaliknya.

Selain itu, disarankan otoritas perbankan segera menyalurkan kredit murah bagi usaha kecil, khususnya untuk terwaralaba.  Belajar dari AS misalnya, Presiden Obama telah mengeluarkan suatu kebijakan khusus  untuk mendorong berkembangnya waralaba sebagai bagian dari recovery package di AS. Badan yang membiayai usaha kecil menengah (termasuk waralaba) yaitu, Small Business Administratiom (SBA) telah diperintahkan untuk meningkatkan jaminan kredit SBA dan memperkccil fees (increasing the SBA loan guarantees, lowering fees).

Pengucuran kredit untuk waralaba, resikonya jauh lebih rendah (lower-risk) dibandingkan dengan usaha independen. Terlebih lagi apabila adanya ketentuan yang mewajibkan pewaralaba yang akan menawarkan portofolio waralaba ke publik memiliki sertifikat dari badan independen seperti diusulkan di atas.  Dengan demikian, pihak bank tidak perlu ragu untuk mengucurkan kreditnya, karena perjalanan bisnis terwaralaba terus didampingi dan dibimbing oleh pewaralaba yang sudah terbukti berhasil dan bonafid. Pendampingan yang diberikan pewaralaba berujung kepada tingkat keberhasilan usaha terwaralaba semakin besar dan pada gilirannya tingkat resiko kredit menjadi lebih rendah daripada usaha non-waralaba.

 

–  Tulisan di atas dapat dikutip / dipublikasikan dengan menyebutkan sumbernya.

“Koperasi Kita Semakin Buram”

Sejarah koperasi Indonesia sudah ditorehkan sejak lama. Tidak itu saja, roh koperasi juga selaras dengan spirit dan nilai-nilai budaya bangsa kita yang menjunjung tinggi semangat kesatuan dan kegotong-royongan. Namun, dalam perkembangannya saat ini, koperasi justru tidak cukup berkembang sebagaimana sebutan yang disematkan padanya, sebagai soko guru perekonomian Indonesia. Oleh karena itu bertepatan Hari Koperasi tahun ini, Tim Redaksi INSPIRASI mewawancarai Prof. Dr. H. Rully Indrawan, M.Si. yang kini menjabat Rektor IKOPIN, Bandung, untuk menggali apa sebenarnya yang tengah terjadi dengan koperasi di Indonesia. Berikut petikan wawancaranya:

 

Bagaimana Bapak melihat wajah koperasi kita yang usianya cukup panjang ini?

Jujur saja, semakin buram dan tidak jelas.

 

Seperti apa Pak? 

Masyarakat semakin kurang yakin dengan keberadaan koperasi dan design pengembangan ke depan masih belum menemukan format yang dapat meyakinakan semua pihak terhadap peran koperasi. Tarik-menarik tentang pemahaman dasar koperasi sering menyebabkan kekisruhan pelaku koperasi di lapangan, apakah yang mereka lakukakan masih dalam koridor koperasi atau bukan.

 

Bagaimana pertumbuhannya?

Secara kuantitatif, konon kabarnya mengalami pertumbuhan positif. Secara kualitatif selain koperasi fungsional, umumnya mengalami kemandegan luar biasa.

 

Sektor apa yang masih kuat digeluti koperasi di Indonesia?

Umumnya simpan pinjam, dan sedikit saja pada sektor lain, misalnya perdagangan.

 

Apa yang kurang, yang telah membuat wajah koperasi kita saat ini sebegitu memprihatinkan? 

Banyak faktor, secara internal koperasi kita membutuhkan format baru dalam perangkat instrumentasi strategi. Tidak bisa menggunakan lagi menggunakan mindset lama, sebab lingkungan strategis kita sudah berubah. Kecuali pada beberapa daerah yang memiliki karakteristik tertentu, misalnya di Indonesia Timur khususnya kepulauan, dimana atmosfir persaingan belum begitu kuat, format lama masih bisa digunakan.

 

Kemudian, apa Pak?

Kemudian dari sisi eksternal, keberpihakan pemerintah seyogyanya tidak dipahami dalam kerangka “belas kasihan” atau kebijakan “asesoris” tapi yang mampu menyentuh kebutuhan nyata koperasi. Faktanya koperasi saat ini masih cukup sulit mengakses permodalan akibat masalah struktural. Semestinya, Pemerintah bisa melakukan peran mediasi secara elegan, misal dengan mengaktifkan lembaga penjaminan simpanan maupun pinjaman.

 

Kira-kira format baru koperasi kita seperti apa Pak?

Format baru koperasi, secara ideologis harus dipertahankan sebagai gerakan ekonomi yang bertugas mendukung usaha anggota. Dalam perspektif instrumen, koperasi harus memiliki fleksibilitas dalam menyikapi perubahan yang ada di lingkungan strategisnya. Saat ini fleksibilitas manajemen kerap berhadapan dengan tekanan rapat anggota yang kadang-kadang tidak memahami masalah praktis yang dihadapi dalam bisnis koperasi.

 

Di era yang serba kompetitif seperti sekarang, masihkah koperasi memiliki prospek dan sanggup bersaing?

Faktanya koperasi tumbuh di negara-negara kapitalis. Koperasi besar 22% ada di Amerika, koperasi terbaik dunia ada di Jepang. Koperasi retail Perancis bisa bersaing dengan Carrefour di sana. Singapura, Belanda, Italia, Kanada dan negara-negara lain koperasinya tumbuh dengan baik dan bisa bersaing. Kalau di kita beum seperti itu, koperasinya yang salah, atau penyikapan kita kepada koperasi selama ini yang salah..

 

Dimana salahnya?

Ketidakberjalanan public relation koperasi. Padahal itu penting dalam format masyarakat seperti saat ini. ICA telah mengeluarkan 300 koperasi terbaik dunia, atau 300 koperasi terbaik di negara berkembang. Sudah disajikan dengan tepatkah success story  ini ke tengah masyarakat?

 

Bilamana koperasi kita masih sanggup dan prospektif, pemerintah harus ambil tindakan seperti apa?

Tadi sudah saya jelaskan, peran pemerintah harus seperti apa. Namun tidak akan banyak membantu bila semua diserahkan kepada pemerintah. Sejauh ini pemerintah juga sudah mulai banyak kewalahan memikirkan hal lain. Peran pemerintah dalam pembangunan koperasi setidak-tidaknya ada tiga, pertama sebagai regulator yang bijak, kedua sebagai penyedia infrastruktur usaha yang mendukung tumbuhnya sektor ril yang memadai, dan ketiga, sebagai fasilitasi dan mediasi pembiayaan.

 

Boleh dibilang sejarah koperasi kita sudah dikenal sejak tahun 1896, seharusnya sudah bisa membantu masyarakat. Namun mengapa saat ini koperasi kita nyaris tak terdengar?

Jujur saja sebenarnya koperasi sudah berperan. Bagaimana saat krisis ekonomi koperasi dijadikan penyangga ekonomi, kita yang signifikan. Kalau kurang terdengar, mestinya media massa ikut membantu. Briptu Norman atau Sita dan Jojo dibesarkan media massa. Masak untuk koperasi beritanya hanya seragam, misalnya penyimpangan pengurus, kebangkrutan, atau gedung koperasi yang mau roboh. Apakah sama sekali tidak ada yang bisa diangkat sedikit saja untuk ikon koperasi?

 

Bagaimana peran pemerintah kita dari dekade ke dekade tentang Koperasi?

Setelah Orde Baru tumbang, terasa sekali ada degradasi kehormatan koperasi. Ini seiring juga dengan program-program Orde Baru lainnya seperti KB, Transmigrasi, PKK, Pertanian dan lain sebagainya. Tapi sekarang alhamdulillah mulai dilirik kembali setelah melihat faktanya, program-program itu baik. Tapi recovery kepercayaan masyarakat terhadap koperasi membutuhkan waktu yang lama tampaknya.

 

Bisakah disamakan peran Koperasi dengan UMKM (Usaha Mikro dan Kecil Menengah)?

Itu kekeliruan yang lain, koperasi adalah lembaga ekonomi. UMKM  adalah skala ekonomi. Penyatuan seperti itu membuat koperasi dipersepsikan sebagai kecil yang tidak prospektif.

 

Apa yang sudah dilakukan  Kementerian Koperasi dan UKM untuk mendongkrak image atau citra koperasi di indonesia?

Sudah ada upaya, namun belum cukup. Karena membangun citra koperasi membutuhkan perubahan mindset secara mendasar. Kelompok muda belum sepenuhnya disentuh, potensi Kopsis atau Kopma sebagai bagian dari upaya kaderisasi belum berjalan dengan baik.

 

Apa kendalanya?

Tidak tahu persis, mungkin dana, mungkin juga karena problematika otonomi daerah.

 

Perlukah kita menghidupkan koperasi sebagai gerakan ekonomi  alternatif dalam rangka memberdayakan ekonomi kerakyatan kita?

Jelas, pada era persaingan dengan pasar bebas seperti ini, tidak mungkin usaha rakyat bertanding secara perorangan. Sulit bersaing. Koperasilah sebenarnya bisa digunakan dalam mensiasatinya.

 

Seperti apa caranya Pak?

Membangun sistem clustering

 

Bisa dijelaskan apa itu sistem clustering Pak?

Koperasi ke depan seyogyanya diarahkan pada mono purpose agar fokus.

 

Siapa yang menjadi motor atau inisiator koperasi sebagai gerakan ekonomi alternatif itu?

Asosiasi, Dekopin, dan dukungan pemerintah.

 

Bagaimana pandangan Bapak terhadap  generasi muda/penerus konsen dengan dinamika koperasi di Indonesia?

Cukup pesimis, di sekolah mereka sudah tidak lagi belajar perkoperasian secara khusus, termasuk di SMK. Di perguruan tinggi lebih parah lagi karena keterbatasan liearatur dan penelitian perkoperasian membuat pembelajaran koperasi, bila pun ada, masih memegang cara berfikir lama yang terbukti tidak efektif.

 

Bagaimana cara mengenalkan dan mengembangkan koperasi di kalangan generasi muda?

Koperasi harus memiliki citra baru, bagaimana batik yang lama bisa menjadi trendi di kalangan anak muda. Ini membutuhkan strategi baru dalam memasyarakatkan koperasi di kalangan anak muda.

 

Bagaimana penilaian Bapak melihat geliat koperasi di setiap daerah?

Setiap daerah apalagi dalam kerangka otonomi daerah, memiliki  karakteristik dan potensi yang berbeda. Setiap daerah harus memiliki keunggulan yang teridentifikasi.

Harapan di Harkopnas adalah Koperasi diharapkan harus kembali merebut posisi strategis. Bagaimana pendapat Bapak?

Harapannya tentu begitu, setiap tahun kita diingatkan tentang koperasi dan mudah-mudahan ke depan lebih baik apalagi tahun depan adalah Tahun Koperasi Internasional.

Koperasi di Era Globalisasi dan Liberalisasi Ekonomi: Mau Dikemanakan ?

Dr. Muslich Anshori

 Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga

Apabila kita berbicara tentang koperasi, maka tidak terlepas dari pengertian, nilai-nilai, serta prinsip-prinsip yang digunakan oleh koperasi. Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial dan budaya bersama melalui perusahaan yang mereka miliki bersama dan mereka kendalikan secara demokratis. Koperasi dibangun berdasarkan nilai-nilai menolong diri sendiri, tanggung jawab sendiri, demokrasi, persamaan, keadilan don kesetiakawanan.

Mengikuti tradisi para pendirinya, anggota koperasi percaya pada nilai-nilai etis dari kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial serta kepedulian terhadap orang-orang lain. Prinsip-prinsip koperasi adalah pedoman yang digunakan oleh koperasi untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam praktek. Ada tujuh prinsip-prinsip koperasi, yakni: (1) keanggotaan secara sukarela dan terbuka, (2) pengendalian oleh anggota-anggota secara demokratis, (3) partisipasi ekonomi anggota, (4) otonomi dan independensi, (5) pendidikan, pelatihan dan informasi, (6) kerjasama diantara koperasi, dan (7) kepedulian terhadap masyarakat (ICA Cooperatives Identity Statement, 1995).

Undang-undang No. 25 Tahun 1992 menyatakan bahwa koperasi disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Oleh karena itu, koperasi perlu lebih membangun dirinya dan dibangun menjadi kuat dan mandiri berdasarkan prinsip koperasi, sehingga mampu berperan sebagai soko guru perekonomian nasional. Koperasi merupakan salah satu dari tiga “soko guru ekonomi”.  Koperasi adalah lembaga ekonomi yang berpotensi besar untuk mengurangi tingkat kebergantungan ekonomi kita terhadap ekonomi dunia.

Koperasi, oleh banyak kalangan, diyakini sangat sesuai dengan budaya dan tata kehidupan bangsa Indonesia. Di dalamnya terkandung muatan menolong diri sendiri, kerjasama untuk kepentingan bersama (gotong royong), dan beberapa esensi moral lainnya. Pembangunan koperasi merupakan tugas dan tanggungjawab pemerintah dan seluruh rakyat sesuai dengan perkembangan dan keadaan.

Di banyak negara maju, koperasi sudah menjadi bagian dari sistem perekonomian. Koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar. Dengan demikian koperasi tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar, dan ternyata koperasi juga bisa bersaing dalam sistem pasar bebas, dengan lebih menerapkan asas kerjasama dari pada persaingan. Di negara maju, kebanyakan koperasi tidak dipengaruhi politik. Kegiatan koperasi di negara maju adalah murni kegiatan ekonomi, sehingga sudah terbiasa menjalankan aktivitas ekonomi dalam kondisi persaingan.

Di banyak negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, koperasi dibentuk dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, peranan pemerintah terkait perkoperasian tampak menonjol, dan unsur politik juga tidak lepas dari perkoperasian. Hal ini mengakibatkan terjadinya kebergantungan yang tinggi kepada pemerintah, sehingga potensi kegagalan koperasi untuk berkembang secara mandiri juga tinggi.

Globalisasi ekonomi bisa dikatakan sebagai arus ekonomi liberal, yang menurut Mubyarto mengandung pembelajaran tentang paham ekonomi Neoklasik Barat yang lebih cocok untuk menumbuhkan ekonomi, tetapi tidak cocok untuk mewujudkan pemerataan. Era globalisasi bertumpu pada tiga pilar, yakni: liberalisasi, perdagangan, dan investasi. Apabila ditelusuri lebih mendalam, proses globalisasi ekonomi didorong oleh dua faktor, yakni: teknologi (yang meliputi teknologi komunikasi, transportasi, informasi, dan sebagainya) dan liberalisme.

Globalisasi dan liberalisasi, kedua-duanya merupakan kekuatan lama yang telah berubah dari latent, menjadi riil dan penuh vitalitas pada saat ini. Pasar bebas dengan segala ketidaksempurnaannya mampu menggulung dan menggusur apa saja yang merintanginya. Pasar-bebas yang diberlakukan di negara-negra berkembang tidak sedikit yang menghasilkan pelumpuhan (disempowerment) bahkan pemiskinan (impoverishment) terhadap rakyat kecil (Swasono, 1994). Dalam kenyataannya, pasar-bebas adalah pasarnya para penguasa pasar, yaitu mereka yang menguasai dana-dana sangat besar, yang akhirnya secara langsung atau tidak langsung mengontrol bekerjanya mekanisme-pasar. Mekanisme pasar tak lain adalah suatu mekanisme lelangan (Thurow, 1987).

Dengan kondisi seperti itu, pemilik dana besarlah yang akan menang dalam lelangan (auction). Sementara yang miskin akan hanya menjadi penonton transaksi ekonomi, menerima nasib sebagai price-taker, atau bahkan akan bisa tergusur peran ekonominya (Swasono, 1994). Dalam persaingan seperti ini, maka yang besar dan kuat secara ekonomi akan keluar sebagai pemenang. Mungkin inilah yang dimaksudkan oleh Thomas Friedman (1999) sebagai “the winner-take-all market” sebagaimana ia telah menyitir ekonom-ekonom yang mencemaskan globalisasi ekonomi sebagai penyebar ketidak-adilan global.

Meskipun lingkungan ekonomi telah didominasi oleh mekanisme pasar kapitalistik, namun gerakan koperasi tetap lebih dekat dengan kolektivisme dan sosialisme, yaitu mengutamakan kepentingan masyarakat (publik), dengan tetap menghormati identitas dan inisiatif individu. Banyak yang menganggap bahwa dalam globalisasi ekonomi saat ini mempertentangkan kapitalisme dan sosialisme telah dianggap kuno, meskipun pembela-pembela dari masing-masing kubu masih terus gigih mempertahankan keyakinan mereka masing-masing secara filsafati.

Bagaimanapun juga, kita perlu mengamati perkembangan keduanya sehingga gerakan koperasi dapat mampu menempatkan dirinya dengan tepat, bahkan dapat ikut berperan membentuk kecenderungan-kecenderungan baru dan sekaligus mengarahkan proses globalisasi ekonomi dalam mencapai wujud finalnya. Wujud final itu diharapkan dapat menjanjikan suatu kemakmuran dan keadilan global (Sri Edi Swasono (2000). Di era seperti itu, pelaku ekonomi yang tidak efisien, kurang cekatan melihat peluang, dan tidak segera mengadakan perubahan untuk menyesuaikan dengan tuntutan zaman akan tergilas oleh waktu. Oleh karena itu, koperasi harus mengubah jati diri dan orientasinya dalam berbisnis. Jika tidak, koperasi akan makin terpuruk dan dominasi pemilik modal terhadap ekonomi nasional makin mencengkeram.

Globalisasi dan liberalisasi ekonomi makin menjauhkan pemerintah dari permainan pasar sehingga koperasi tidak mungkin lagi untuk banyak berharap kepada pemerintah untuk mengatasi kelemahannya. Sikap pemerintah yang makin memberikan keleluasaan kepada liberalisasi ekonomi yang menyebabkan berkurangnya insentif dan fasilitas kepada koperasi hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi koperasi. Koperasi harus bersaing untuk meningkatkan kontribusinya dan mewujudkan perekonomian yang lebih berpihak kepada ekonomi kerakyatan. Profesionalisme harus menjadi roh dari manajemen koperasi. Koperasi jangan diasumsikan sebagai lembaga ekonomi untuk orang-orang miskin sehingga hanya mengelola kebutuhan dasar dan kemampuan pengelolanya pun menjadi apa adanya.

Berkaitan dengan konsep pembangunan ekonomi, koperasi masih dipandang sebagai salah satu elemen ekonomi yang strategis. Namun demikian, keberadaan dan tumbuh kembangnya koperasi ternyata masih menjadi perdebatan dalam era globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Ketika koperasi mendapat kemudahan dan fasilitas dari pemerintah serta derajat globalisasi dan liberalisasi ekonomi belum secepat seperti saat ini, koperasi belum pernah mampu memberikan peran yang signifikan. Koperasi tetap menjadi kelompok marginal. Apa lagi dengan kondisi seperti sekarang, dimana globalisasi dan liberalisasi ekonomi sudah merajalela dan berkembang sangat cepat. Oleh karena itu, seringkali timbul pertanyaan terkait dengan cepatnya proses globalisasi dan liberalisasi ekonomi, yakni tentang kewajaran apabila pemerintah tetap berobsesi menempatkan koperasi sebagai salah satu soko guru ekonomi.

Kita tidak boleh terlalu pesimis tentang perkembangan dan pertumbuhan koperasi. Lembaga koperasi sejak awal diperkenalkan di Indonesia memang sudah diarahkan untuk berpihak kepada kepentingan ekonomi rakyat yang dikenal sebagai golongan ekonomi lemah. Strata ini biasanya berasal dari kelompok masyarakat kelas menengah kebawah. Eksistensi koperasi memang merupakan suatu fenomena tersendiri, sebab tidak satu lembaga sejenis lainnya yang mampu menyamainya, tetapi sekaligus diharapkan menjadi penyeimbang terhadap pilar ekonomi lainnya.

Walaupun banyak kendala dan tantangan terkait dengan globalisasi dan liberalisasi ekonomi, koperasi di Indonesia masih menunjukkan eksistensinya, bahkan masih ada pekembangan. Sebagai gambaran umum saja, perkembangan koperasi di Indonesia tahun 2005 sampai pertengahan 2007, jumlah koperasi meningkat dari 134.963 unit menjadi 144.527 unit. Penyerapan tenaga kerja meningkat dari 288.589 orang menjadi 369.302 orang, sedangkan permodalannya meningkat dari Rp 33.015.403,45 juta menjadi Rp 43.211.059,79 juta.  Selain itu, lembaga koperasi oleh banyak kalangan, diyakini sangat sesuai dengan budaya dan tata kehidupan bangsa Indonesia. Di dalamnya terkandung muatan menolong diri sendiri, kerjasama untuk kepentingan bersama (gotong royong), dan beberapa esensi moral lainnya. Sejak kemerdekaan diraih, organisasi koperasi selalu memperoleh tempat sendiri dalam struktur perekonomian dan mendapatkan perhatian dari pemerintah.

Dalam menghadapi tantangan globalisasi dan liberalisasi ekonomi, koperasi harus mampu memberikan layanan dan manfaat kepada anggota atas dasar persamaan. Dari persamaan tersebut diharapkan dapat timbul rasa kebersamaan dalam hidup berkoperasi, baik dalam pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab maupun npenggunaan haknya. Kebersamaan dalam berkoperasi sebagai modal sosial untuk menciptakan rasa saling percaya, kerukunan, dan toleransi satu sama lain.

Kebersamaan juga merupakan modal yang sangat berharga bagi koperasi dalam menghadapi tantangan globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Menurut Purbayu (2004) agar supaya koperasi dapat tetap eksis dalam era globalisasi perlu menempuh empat langkah: (1) merestrukturisasi hambatan internal dengan mengikis segala konflik yang ada (dalam hal ini mengandung unsur kebersamaan), (2) melakukan pembenahan manajerial, (3) integrasi ke luar dan ke dalam, dan (4) peningkatan efisiensi dalam proses pproduksi dan distribusi.

Dari kajian-kajian yang dilakukan oleh para ahli, antara lain; Soetrisno (2001), Lawless dan Reynolds (2004), Peterson (2005), Keeling (2005), Hendar dan Kusnadi (2005) tentang perkembangan koperasi, penulis menyimpulkan bahwa: koperasi harus memiliki keunggulan-keunggulan kompetitif sebagai suatu kekuatan organisasional yang secara jelas menempatkan suatu organisasi bisnis di posisi terdepan dibandingkan organisasi-organisasi bisnis lain yang menjadi pesaing-pesaingnya di dalam era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini. Faktor utama untuk menciptakan keunggulan kompetitif yang sebenarnya dari koperasi adalah hubungan, kekompakan, dan kerjasama para anggota.

Kriteria-kriteria kunci untuk menjadikan suatu koperasi bisa berhasil adalah: (1) memiliki kepemimpinan yang visioner yang bisa membaca kecenderungan perkembangan pasar, kemajuan teknologi, perubahan pola persaingan; (2) menerapkan struktur organisasi yang merefleksikan dan mempromosikan suatu kultur terbaik yang sesuai dengan bisnisnya dan sepenuhnya didukung oleh anggota; (3) anggota sepenuhnya memahami industri-industri atau sektor-sektor yang mereka geluti dan kekuatan-kekuatan serta kelemahan-kelemahan dari koperasi mereka; (4) kreatif dalam pendanaan (tidak hanya tergantung pada kontribusi anggota, tetapi juga bisa lewat pinjam dari bank); dan (5) mempunyai orientasi bisnis (misi) yang kuat dan didefinisikan secara jelas dan terfokus. Adapun beberapa faktor yang seringkali menyebabkan runtuhnya/tutupnya koperasi adalah: (1) kurangnya pendidikan dan pengawasan dari pengurus; (2) manajemen yang tidak efektif; dan (3) keanggotaan yang pasif.

Jika koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela, maka koperasi merupakan organisasi yang dimiliki oleh para anggota. Oleh karena itu, semua harapan dan perkembangan koperasi sebenarnya juga berada di tangan para anggota, baik yang menjadi pengurus koperasi maupun yang tidak. Seharusnya semua anggota berperan aktif sesuai dengan posisi dan kondisi masing-masing. Para anggota perlu melakukan aktivitas (sesuai dengan kemampuan dan kompetensinya) yang dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai dan bermanfaat. Sehingga nilai dan kemanfaatan tersebut dapat saling dipertukarkan, untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Apabila hal ini bisa terjadi, maka kesejahteraan para anggota koperasi dan masyarakat akan terwujud.

Dilihat dari sudut pandang seperti itu, maka keberadaan dan peranan sumber daya manusia sangat menentukan keberhasilan koperasi. Kompetensi dan semangat sumber daya manusia menjadi titik sentral dalam upaya memperkuat koperasi, oleh karena itu pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan, menjadi kunci utama untuk meningkatkan dan mengembangkan kekuatan koperasi. Selain itu  peningkatan teknologi juga menjadi sangat penting untuk menunjang produktivitas dan efisiensi kerja dalam pengembangan koperasi. Peran, dorongan, dan bantuan dari pemerintah masih sangat diperlukan, namun harus lebih banyak diarahkan kepada peningkatan dan pengembangan konpetensi dan semangat sumber daya manusianya. Bantuan permodalan dan sarana prasarana lain diberikan sesuai dengan kondisi (tidak harus sama rata), dan hanya bersifat sebagai titik awal dalam melakukan kegiatan usaha koperasi.

Pada peringatan Hari Koperasi Nasional 2009, Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyampaikan bahwa: “Dalam era globalisasi bisa saja perusahaan raksasa dunia mendominasi semua kegiatan bisnis. Meskipun keberadaan mereka penting tetapi absennya koperasi dan usaha kecil menengah, maka upaya kita untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengurangi kemiskinan dan pengangguran akan tetap sulit. Solusinya adalah makin kedepan koperasi dan usaha kecil dan menengah mesti dikembangkan di seluruh tanah air agar lebih banyak saudara-saudara kita yang bisa berusaha. Mari kita jalankan dan tingkatkan. ”

Pemerintah sebagai fasilitator dan pembuat kebijakan ekonomi nasional, harus terus mengembangkan iklim kondusif bagi pertumbuhan koperasi secara konsisten. Keberpihakan pemerintah pada kekuatan ekonomi rakyat melalui gerakan koperasi, akan berkembang dan menjadi kenyataan jika didukung oleh konsistensi dan system yang berlaku. Pernyataan dan harapan SBY tentang pengucuran KUR perlu didukung perwujudannya. Akan tetapi yang sebenarnya lebih dibutuhkan adalah membangun dan meningkatkan kompetensi dan semangat sumber daya manusia untuk menjalankan kegiatan/aktivitas yang dapat menghasilkan nilai atau manfaat yang lebih besar. Hal ini harus dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) yang lebih efektif.

Pemerintah perlu membuat program untuk memfasilitasi agar diklat dapat berjalan secara berkesinambungan, antara lain dapat mengadakan kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan baik pendidikan formal maupun pendidikan non-formal yang terkait dengan bidang ekonomi dan bisnis, dengan catatan bahwa program tersebut harus bisa terlaksana dengan baik (sesuai dengan sasaran), tidak hanya sekedar melaksanakan program demi untuk memanfaatkan anggaran yang sudah ditetapkan. Untuk itu juga perlu dilakukan pemantauan dan evaluasi terhadap proses dan hasil yang dicapai dalam pelaksanaan program diklat tersebut.

Dengan demikian, dalam era globalisasi dan liberalisasi ekonomi, koperasi harus tetap dibawa dan diarahkan untuk tetap dapat berperan sebagai salah satu dari soko guru perekonomian nasional, yakni; koperasi, badan usaha milik negara, dan swasta. Untuk itu koperasi perlu lebih membangun dirinya untuk menjadi kuat dan mandiri berdasarkan prinsip koperasi. Pemerintah bersama koperasi dan masyarakat perlu melakukan beberapa hal yang telah penulis sebutkan di muka terkait dengan penguatan koperasi, sehingga ketiga soko guru ekonomi nasional dapat berjalan secara seimbang (seimbang tidak selalu berarti sama rasa sama rata). Masyarakat tidak perlu terlalu pesimis dengan berbagai tantangan dan ancaman globalisasi dan liberalisasi ekonomi, dan harus punya keyakinan bahwa sistem apapun yang terjadi di dunia ini tidak lepas dari kemampuan dan kerjasama serta kebersamaan manusia.

Jika tidak ingin kalah dan tertindas, ya harus mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk melawan tindasan. Namun yang sebenarnya lebih baik adalah apabila manusia itu bisa saling bekerja sama. Hal ini sesuai dengan anjuran bahwa manusia diperintah oleh Allah SWT untuk tolong menolong (bekerja sama) dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan dilarang tolong menolong (bekerja sama) dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Manusia juga dianjurkan dapat melakukan aktivitas yang menghasilkan atau memberikan manfaat bagi yang lain. Manusia yang baik adalah yang mempunyai perilaku baik dan bermanfaat bagi manusia. Amien.

Koperasi di Persimpangan Zaman

Oleh: Renato Fenady

Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan

Univ. Katholik Parahyangan

Pada awal dibentuknya koperasi oleh Robert Owen pada masa revolusi industri dilatarbelakangi oleh adanya ketidakadilan, dimana saat itu buruh diupah sangat rendah oleh kaum pemilik modal. Melihat fenomena ketidakadilan ini, Robert Owen membuat sebuah solusi koperasi, dimana sistem yang dibangun adalah menjual barang di bawah harga pasar dan kepemilikannya dimiliki oleh anggota. Kritik dia kepada kaum pemilik modal pada saat itu adalah jika buruh diupah sangat rendah lalu siapa yang akan membeli produk mereka.

Poin penting dari perjuangan Robert Owen adalah koperasi yang ia bangun tidak melulu sekedar lembaga usaha, namun utamanya adalah spirit keadilan yang tentunya harus dikelola dengan profesional. Spirit inilah yang coba ditanamkan dalam sistem bernama koperasi. Dilihat dari kepemilikan semua anggota memiliki porsi kepemilikan yang sama berdasarkan sama besarnya modal yang anggota tanamkan di koperasi, kemudian pemilik modal mendapat dividen yang bernama sisa hasil usaha pada akhir tahun.

Jika kita beranjak ke negara lain, di Jerman koperasi didirikan oleh F. W. Raiffeisen dan Hermann Schulze-Delitzsch. Dia mendirikan koperasi untuk mengatasi permasalahan petani yang berpenghasilan rendah. Seperti koperasi versi Robert Owen, poin utama koperasi Jerman adalah spirit untuk meningkatkan kesejahteraan petani miskin melalui pertukaran yang berkeadilan. Kondisi yang dihadapi para petani dan pengusaha kecil adalah kesulitan modal karena terjadinya perubahan struktur perekonomian menjadi free trade. Kesulitan petani pada saat itu bertambah karena gagal panen yang terjadi, sehingga hasil dari pertanian menjadi sedikit.

Bagi para pengusaha kecil masalah utama yang dihadapi oleh mereka adalah kesulitan akses ke lembaga keuangan formal (bank) karena pada saat itu perubahan sistem perekonomian membawa konsekuensi perubahan sistem pada sektor keuangan. Akibat kesulitan mendapat pinjaman dari bank, para pengusaha kecil beralih ke private lender yang mengenakan bunga tinggi. Berdasarkan masalah-masalah tersebut, koperasi di Jerman mencoba menjadi lembaga simpan pinjam yang modalnya dihimpun dari anggota dan yang dapat meminjam hanya anggota koperasi. Sistem ini terbukti sangat membantu petani dan pengusaha di Jerman sehingga koperasi saat itu berkembang dengan pesat.

Swedia merupakan negara lain di Eropa yang sampai saat ini berhasil mengelola koperasi sehingga koperasi dapat menjadi salah satu pilar perekonomian di Swedia. Dimulai pada abad ke-19, koperasi bermetamorfosis sampai pada 1911 berhasil memenangkan persaingan dengan perusahaan swasta. Pada awalnya koperasi dibentuk untuk memerangi sistem monopoli yang saat itu merupakan struktur pasar di Swedia. Akibat monopoli tersebut pembagian benefit yang didapatkan dari perdagangan menjadi tidak berimbang, dimana konsumen yang notabene kaum yang tidak kaya harus mengonsumsi barang dengan harga yang tinggi.

Koperasi yang juga merupakan spirit perjuangan ini menyediakan barang dengan kualitas baik dan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga pasar. Modal yang dikumpulkan juga berasal dari para anggotanya, sama seperti koperasi di negara lain. Pejuang koperasi yang terkenal di Swedia adalah Anders Orne yang dengan gigih berjuang dan membuktikan bahwa koperasi bukan merupakan organisasi yang mengandalkan dari pemerintah.

Sekarang kita kaji koperasi di Indonesia. Koperasi di Indonesia dimulai oleh R. Aria Wiriatmadja pada akhir abad ke-19. Pada saat itu dia membangun koperasi untuk membantu rakyat miskin yang terjerat hutang dengan bunga yang tinggi. Namun menurut beberapa versi, titik awal berdirinya koperasi bersamaan dengan organisasi Boedi Oetomo (BO) pada tahun 1908. Melalui keputusan kongres BO ditetapkanlah salah satu tujuannya yaitu memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan melalui koperasi. Koperasi pertama yang dibentuk adalah koperasi konsumsi yang diberi nama Toko Adil. Sejak saat itu nilai-nilai koperasi dari luar negeri mulai masuk ke Indonesia. Pemerintah Belanda melihat gejala koperasi Indonesia dijadikan alat perjuangan maka Belanda menerapkan beberapa UU pada saat itu yang tujuannya mempersulit atau bahkan mematikan koperasi di Indonesia. Seiring dengan masa penjajahan maka koperasi pun mengalami pasang surut di Indonesia.

Kondisi koperasi di Indonesia terus berkembang, sampai saat ini koperasi masih tumbuh walaupun mungkin koperasi saat ini kurang begitu diminati. Hal ini bisa jadi disebabkan karena jika kita mendengar kata koperasi maka asosiasi yang terbentuk adalah sebuah lembaga usaha kecil, baik ruang lingkup usaha, pangsa pasarnya dan bahkan anggotanya. Asosiasi kecil ini identik dengan orang miskin. Padahal seperti yang sudah saya jabarkan sebelumnya bahwa koperasi tidak melulu organisasi kecil, bahkan seperti contoh di Swedia, koperasi di sana telah menguasai 20% pangsa pasar perekonomian.

Selain asosiasi tadi, ada sebuah ironi besar koperasi di Indonesia. Koperasi di Indonesia dikonotasikan pertama kali sebagai sebuah badan usaha, bukan pada spirit keadilan. Spirit ini yang sering luntur dan bahkan hilang di koperasi Indonesia, koperasi di Indonesia seakan-akan dikempesi oleh kepentingan elit, melalui bantuan sosial yang menurut saya sangat mengkerdilkan koperasi. Koperasi seharusnya organisasi yang memacu enterpreneur anggotanya, namun dengan bantuan sosial ini justru membuat koperasi menjadi manja.

Hal ini sangat bertentangan dengan spirit koperasi seperti di Swedia versi Anders Orne yang gigih menunjukkan bahwa koperasi tidak mengandalkan bantuan. Selain itu jika kita mempelajari koperasi di luar negeri, kita mendapati bahwa koperasi jika dikelola secara profesional dapat menjadi pilar penting perekonomian negara. Tentunya dengan syarat utama bahwa koperasi harus bebas dari kepentingan selain keadilan dan kesejahteraan.

Koperasi Indonesia yang saat ini menghadapi ancaman pengkerdilan harus jeli. Anggota dan pengurus koperasi harus menyadari hal ini, bukan justru terlena dengan “kenikmatan” sesaat yang dirasakan melalui bantuan-bantuan sosial. Melalui koperasi justru seharusnya spirit keadilan bagi semua orang dikembangkan. Spirit ini harus tumbuh secara mandiri dan independen.

 Dengan kata lain, koperasi harus menjadi sebuah organisasi yang membangun mental kemandirian, dimana kesejahteraan harus diusahakan sendiri, bukan menunggu atau mengandalkan bantuan orang lain. Jika koperasi di Indonesia tidak menyadari hal ini makan bukan tidak mungkin koperasi akan berubah menjadi lembaga penerima bantuan yang tidak mendidik bagi anggota-anggotanya dan akan menghilangkan spirit koperasi, yaitu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan bagi anggotanya.

Kuatkah Peluang Ekonomi Kita di ASEAN?

Selama lebih dari setahun penerapan ACFTA, perkembangan yang terlihat sekarang justru memperkuat kekhawatiran kita selama ini bahwa kita “keteteran” dan tidak siap menghadapi persaingan ketat dalam perdagangan bebas. Tak pelak lagi, situasi ini menimbulkan pertanyaan seputar peluang dan daya saing ekonomi kita di tingkat ASEAN. Topik inilah yang menjadi bahasan dalam acara dialog Mata Mahasiswa yang ditayangkan di TVRI pada tanggal 27 Juni 2011 lalu yang mengambil tema: “Kuatkah Peluang Ekonomi Kita di ASEAN?”

Acara dialog kali ini menghadirkan narasumber mahasiswa: Chintya Permatasari (FE Universitas Jayabaya), Okto Reza (FE Universitas Pancasila), dan Renato Fenady (FE Universitas Parahayangan). Sementara, narasumber pendamping yang hadir adalah: Ferrari Roemawi (Komisi VI DPR RI), Edi Putra Irawadi (Deputi Bid. Industri dan Perdagangan Menko Perekonomian), Tobang Hari (Ketua JCI)

Menjawab pertanyaan seberapa kuat peluang ekonomi Indonesia di ASEAN, Edi Putra Irawadi dari Kemenko Perekonomian menjelaskan bahwa Indonesia punya modal untuk memimpin ekonomi ASEAN, karena kita punya keunggulan dalam SDM dan sumberdaya alam yang beragam. Hanya ada beberapa hal yang perlu dibenahi, bukan hanya dari segi pemasaran, dari produksi dan pariwaisata juga. “Kalau kita lihat dari wisata tiap tahun, kunjungan di negara-negara ASEAN menghasilkan 30,1 trilyun. Kalau kita bisa ambil setengahnya saja, berarti kita bisa mengambil 15 trilyun tiap tahunnya. Rival kita terdekat adalah Malaysia, Thailand dan Vietnam,” katanya.

Sedangkan, Anggota DPR RI, Ferrari Roemawi mengatakan bahwa dengan keunggulan SDM dan SDA yang besar seharusnya kita yang memimpin ekonomi di kawasan ASEAN. “Sebagai negara terbesar di ASEAN, kita tidak serta merta memimpin ASEAN. Dari data yang ada, kita dengan Thailand itu selalu defisit, dengan Vietnam kita surplus tapi dari tahun ke tahun surplusnya berkurang, dengan Filipina dan Kamboja kita surplus. Yang perlu diwaspadai bukan hanya Thailand tapi juga Vietnam,” tambahnya.

Tobang Hari mengungkapkan fakta lain selain yang sudah diungkapkan pembicara sebelumnya. Dia mengatakan bahwa rata-rata penduduk kita adalah berusia 29 tahun, China itu di atas 50-an tahun. “Jadi, kita ini berada di usia produktif. Selain itu kita juga pengguna facebook terbesar setelah Amerika Serikat, dan pengguna Twitter terbesar ketiga di dunia. Jika dilihat angka pertumbuhannya, kita paling besar. Kalau melihat fakta ini saya optimis kita bisa menjadi bangsa yang besar, bisa memimpin ekonomi ASEAN,” ungkapnya.

Chintya dari Univesitas Jayabaya mengomentari bahwa memang Indonesia sudah punya rencana menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN. Tapi faktanya, kita kalah dalam ACFTA. Kendalanya ada di infrastruktur. Coba saja lihat jeruk China bisa lebih murah dibanding jeruk Pontianak karena transportasinya yang mahal. “Kita harus berbenah. Dalam birokrasi, misalnya, birokrasi kita berbelit, memakan waktu, biaya dan tenaga. Masyarakat kita adalah masyarakat yang konsumtif sehingga lebih memikirkan harga daripada kualitas,” katanya.

Sementara, Okto Reza dari Universitas Pancasila merasa bahwa Indonesia harus lebih menggali potensi dalam negeri. “Kita harus lebih banyak ekspor daripada impor. Jangan sampai ada pepaya Bangkok, duruan Monthong, jeruk Mandarin yang banyak di Indonesia. Kita juga bisa mengembangkan ekspor buah ke luar negeri,” ungkapnya.

Renato dari Universitas Parahyangan Bandung berpendapat bahwa ketika berbicara perdagangan tentu harus bicara benefit. Ketika kita berdagang dengan satu pihak tentunya ada keuntungan dari pihak itu. “Tapi Indonesia tidak semenguntungkan itu. Kita sering dianggap sebagai pasar, bukan produsen, seperti China. Yang kedua adalah ketika kita ditantang sebagai ketua ASEAN, kita lihat tahu Sumedang kedelainya masih harus impor. Bagaimana kita bisa menjadi leader kalau kita tidak bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Perlu ada kebijakan menyeluruh dari pemerintah?” gugatnya.

Menanggapi komentar dari mahasiswa, Ferrari mengungkapkan bahwa hal pertama yang perlu kita benahi untuk meningkatkan daya saing adalah infrastruktur. Yang kedua adalah bagaimana kita menjual produk dengan nilai tambah. Artinya, barang tambang atau pun pertanian diolah dulu. Yang ketiga, dalam meningkatkan infrastruktur itu koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah harus baik.

Sedangkan Tobang Hari meminta agar jangan melihat Indonesia saat ini, tapi bagaimana Indonesia  lima, sepuluh, atau lima belas tahun lagi. Apakah akan tetap seperti atau tidak. Ini tergantung kesungguhan kita. Pemerintah punya koridor, pengusaha punya koridor, generasi muda juga punya koridor. Permasalahan kita adalah ekonomi biaya tinggi sehingga harga tidak bisa bersaing dengan barang luar.

Ditanya tentang keyakinan pemerintah dalam menghadapi persaingan di ASEAN, Edi menyatakan keyakinannya. Edi melihat bahwa modal bangsa Indonesia sekarang ada pada generasi muda.  Dia melihat mahasiswa sekarang berbeda. Keterlibatan mereka dalam berbagai masalah, terutama ekonomi, cukup tinggi.

Bisnis Internet, Sudahkah Menyentuh UKM?

Ketika ditanya apa keuntungan yang bisa didapat UKM kalau benar-benar mengoptimalkan fungsi Internet, Adi Trisnanto, Sekjen Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I),  menyatakan bahwa fungsi paling mudah dari internet ini adalah email. Tapi, banyak fungsi internet yang bisa dimanfaatkan oleh UKM dari mulai berinteraksi dengan konsumen, membeli, memesan produk, menerima umpan balik dari konsumen untuk meningkatkan brand produk UKM. “Saya khawatir saat ini penggunanaan internet baru sebatas email itu manfaat tapi manfaat itu belum optimal,” katanya.

Hal itu dipaparkan dalam acara Mata Mahasiswa di TVRI yang ditayangkan pada 20 Juni 2011 pukul 22.00 WIB dengan tema “Bisnis Internet, Sudahkan Menyentuh UKM” bersama narasumber pendamping lainnya, seperti: Ir. Hari Katana, MM (Anggota Komisi VI DPR RI) dan Nedi Rafinaldi Halim (Deputi Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha Kementrian Koperasi dan UKM). Sementara, narasumber dari kalangan mahasiswa adalah: Riki Rahman Permana (Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Paramadina), Bayu Dirgantara (Fakultas Ilmu Komunikasi, IISIP Jakarta), dan Bryan Gunawan (Fakultas Ekonomi, Universitas Bina Nusantara)

Sementara, Nedi Rafinaldi Halim dari Kementerian Koperasi dan UKM berpandangan bahwa  sebenarnya UMKM kita sudah siap untuk mengakses teknologi yang dapat meningkatkan usahanya. Problemnya adalah asset dan modal yang dimiliki. Untuk mengakses teknologi internet yang cenderung mahal Usaha yang asetnya kecil harus menyisihkan sebagian besar dari asetnya tapi ini mustahil. Untuk usaha menengah ke atas gak ada macula, mereka sudah terbedaki oleh yang namanya internet. “Untuk itu kita harus mendorong usaha kecil yang terbesar hampir di seluruh pedesaan untuk bisa mengakses internet dari mulai pendidikan penggunaan internet sampai bantuan fasilitas,” tambahnya.

Hari Katana, Anggota DPR dari Komisi VI menambahkan bahwa para anggota DPR selalu berpikir apakah kita ingin mencapai keadilan dan kemakmuran. Untuk mencapai keadilan dan kemakmuran itu ada pembangunan nasional. Dalam pembangunan ekonomi, faktor yang mendukung salah satunya adalah ICT (Information Communication Technology). “Ini sangat berperan penting. Sekarang internet itu sudah bisa memiliki fungsi transaksi. Kalau transaksi di internet besar ekonomi kita kan maju. Kita cukup berbisnis di rumah, dan semuanya dapat berjalan,” jelasnya.

Dalam pandangan mahasiswa, masalah penguasaan internet juga dianggap sebagai hal penting bagi UKM. Riki Rahman dari Universitas Paramadina mengemukakan bahwa penetrasi Internet di Indonesia diprediksi tahun ini mencapai 18% dan itu akan terus bertambah. UKM dalam rencana pembangunan 2005-2025 ditempatkan sebagai sektor strategis yang akan mengembangkan ekonomi kita. Dengan bertambahnya penetrasi internet dan posisi UKM yang strategis diharapkan bisnis UKM itu berkembang lebih cepat dan efisien.

Pernyataan Riki dikomentari oleh Bayu Dirgantara dari IISIP. Ia berpendapat bila penetrasi internet yang 18% ini adalah peluang bagi usaha pemula yang modalnya masih kecil dan masih modal nekad. Sekarang orang sudah malas nonton TV. Orang lebih merasa praktis dengan ponsel, apalagi sekarang banyak sekali yang sudah memiliki ponsel cerdas (smartphone). Orang bisa mengakses intern melalui ponsel mereka. “Internet itu direct market. Kita tidak perlu punya kantor, tidak perlu punya tempat untuk berdagang,” katanya.

Bryan Gunawan dari Universitas Bina Nusantara pun sependapat dengan pendapat kedua rekannya. “Kita sudah sepakat bahwa internet itu sangat bermanfaat. Pertanyaannya sekarang bisa atau tidak. Kalau dilihat dari permodalan, sebenarnya itu tidak mahal, komputer saja sekarang sudah 1-2 juta. Pasar smartphone lima kali lipat dari tahun sebelumnya. Saya berpikir ketika membuka bisnis online, pemerintah bisa membuat portal pasar online yang setiap orang bisa masuk ke sana. Sekarang apakah pemerintah sudah membuat itu? Itu tidak terlalu mahal. Apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah?” tanyanya menggugat.

Pada sesi berikutnya, Riki mengungkapkan bahwa masalah yang dihadapi UMKM ini ada dua, teknis dan non teknis. Yang pertama, masih banyak daerah yang belum terhubung dengan internet. Yang kedua, masalah SDM dan psikologis. Bisnis internet kebanyakan masih oportunistik, sekedar untung-untungan, coba-coba. Bukan sebagai strategi utama. “Transaksi secara offline pun masih banyak yang ditipu apalagi online yang gak tahu siapa penjual dan pembeli. Pemerintah harus membantu kesiapan psikologis UKM ini,” katanya.

Bayu menambahkan bahwa akan sangat disayangkan bila di satu daerah ada potensi usaha yang bagus, tapi kita tidak tahu. “Masalah di kementerian ada portal saja, kita dari mahasiswa baru tahu sekarang, apalagi orang-orang di daerah..” katanya.

Sedangkan Bryan menyoroti masalah masalah klasik yang masih dihadapi masyarakat di daerah, yaitu pasokan listrik yang tidak cukup, sering terjadi pemadaman bergilir. “Jadi, bagaimana kita optimalkan daerah untuk berkembang?” tanyanya.

Memotret Kinerja dan Kontribusi Koperasi dalam Perekonomian Nasional

Amelia, SE, RFP-I, MM (Dosen Manajemen Universitas Pelita Harapan Surabaya)

Ronald, ST, MM (Ketua Jurusan Universitas Pelita Harapan Surabaya)

Berbicara mengenai Koperasi bukanlah hal baru di dalam sendi perekonomian nasional. Walaupun koperasi sebenarnya bukanlah organisasi usaha yang asli berasal dari Indonesia, namun dengan keberadaannya lebih dari 50 tahun diharapkan koperasi menjadi pilar atau soko guru perekonomian nasional dan juga lembaga gerakan ekonomi rakyat. Namun, harapan ini tentu tidak seindah kenyataannya dimana gaung dari koperasi sangat jarang terdengar saat ini.

Bila ditilik lebih jauh, kegiatan berkoperasi dan organisasi koperasi (dalam bahasa Inggris disebut co-operation, cooperative) pada awalnya diperkenalkan di Inggris sekitar abad pertengahan, dengan misi utama untuk menolong kaum buruh dan petani yang menghadapi problem-problem ekonomi dengan menggalangkan kekuatan mereka sendiri. Keberhasilan dari kegiatan berkoperasi ini kemudian menyebar ke Amerika Serikat dan negara-negara lainnya di dunia.

Pengenalan mengenai koperasi di Indonesia sendiri baru dimulai pada awal abad 20 sejak masa penjajahan Belanda. Setelah proklamasi kemerdekaan, gerakan koperasi Indonesia akhirnya dideklarasikan sebagai sebuah gerakan pada tanggal 12 Juli 1947 melalui Kongres Koperasi di Tasikmalaya. Koperasi memperoleh tempat sendiri dalam struktur perekonomian nasional dan mendapatkan perhatian dari pemerintah. Hal ini karena badan usaha yang paling sesuai dengan asas kekeluargaan sebagaimana diamanatkan dalam  Pada Pasal 33 UUD 1945 adalah koperasi.

Sejak awal koperasi diperkenalkan di Indonesia, koperasi telah diarahkan sesuai dengan cikal bakal koperasi di Inggris yaitu untuk berpihak kepada kepentingan ekonomi rakyat yang merupakan golongan ekonomi lemah. Keberadaan dari koperasi diharapkan memberi dampak yang positif bagi perekonomian Indonesia dimana tidak terdapat satupun lembaga sejenis lainnya yang mampu menyamainya, namun di lain sisi juga mampu menjadi penyeimbang terhadap pilar perekonomian lainnya. Kesesuaian prinsip koperasi dengan budaya dan tata kehidupan yang dijunjung oleh bangsa Indonesia dapat terlihat dari prinsip koperasi yaitu menolong diri sendiri, kerjasama untuk kepentingan bersama (gotong royong), dan beberapa esensi moral lainnya.

Tegaknya pondasi koperasi di Indonesia sendiri tidak lepas dari peran serta Bung Hatta yang pada awal pergerakan koperasi menjabat menjadi Wakil Presiden RI yang pertama. Buah kerja keras Bung Hatta akhirnya dapat terlihat dengan dihantarkannya koperasi memasuki masa kejayaan pada dekade 1950-1960-an dimana kegiatan ekonomi kerakyatan dengan berasaskan kekeluargaan digerakkan oleh koperasi. Tentu saja tidak salah bila akhirnya Bung Hatta menjadi Bapak Koperasi Indonesia.

Namun, seiring dengan bergantinya kekuasaan dari pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru, kejayaan dari koperasi mengalami penurunan drastis. Ekonomi kerakyatan bukan lagi digerakkan oleh koperasi, melainkan konglomerasi yang serba membutuhkan modal sangat besar. Memasuki tahun 1970-an, koperasi mengalami masa dilematis dimana koperasi haruslah mengurus diri sendiri dan di lain pihak mereka harus bersaing dengan para perusahaan besar (multinasional) yang mendapat berbagai keuntungan, baik dari fasilitas dana dan berbagai kebijakan pemerintah. Salah satu institusi yang dapat memberikan fasilitas peminjaman dana adalah BRI, namun pada masa itu bukanlah lembaga keuangan yang bersahabat dengan koperasi. Sekilas dari perjalanan panjang koperasi tersebut dapat terlihat bahwa perjalanan yang dilewati oleh koperasi tidaklah selamanya mulus.

 

Kontribusi Koperasi dalam Perekonomian Nasional

Perekonomian nasional Indonesia disangga oleh tiga pilar utama, yaitu: Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), dan koperasi. Meskipun setiap pilar tersebut mempunyai peranan masing-masing sesuai dengan kapasitasnya di dalam meningkatkan perekonomian nasional, namun bila ditilik dari UUD 1945 maka dapat dikatakan bahwa koperasi memiliki kedudukan istimewa yaitu sebagai soko guru perekonomian nasional.

Selain itu, diantara ketiga pilar utama perekonomian nasional tersebut, koperasi juga dapat menyesuaikan dengan baik. Di dalam ilmu ekonomi dimana secara makro diharapkan koperasi dapat berkontribusi secara nyata terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), penciptaan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, menjaga kestabilan inflasi dan pada akhirnya mengentaskan kemiskinan demi kesejahteraan masyarakat secara utuh. Di lain sisi, sesuai dengan mikro ekonomi, diharapkan koperasi dapat meningkatkan ketrampilan dan kemampuan serta kemandirian dari setiap anggotanya di dalam korelasinya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan anggotanya. Namun sungguh ironis karena diantara ketiga pilar utama tersebut Koperasi merupakan pilar ekonomi yang paling surut langkahnya dibandingkan BUMN dan BUMS.

Tabel 1: Perkembangan Usaha Koperasi, 2000 – 2010

Periode(Tahun) Total Koperasi(Unit) Tidak Aktif(Unit) Aktif(Unit) % Aktif RAT(Unit) RAT (% dari koperasi aktif) Anggota(Orang)
Des. 98 52.000 .. .. .. .. .. ..
2000 103.077 14.147 88.930 86,28% 36.283 40,80% 27.295.893
2001 110.766 21.010 89.756 81,03% 37.637 41,93% 23.644.850
2002 118.644 26.113 92.531 77,99% 44.834 48,45% 25.007.601
2003 123.181 29.381 93.800 76,15% 44.661 47,61% 27.282.658
2004 130.730 37.328 93.402 71,45% 46.310 49,58% 27.523.053
2005 134.963 40.145 94.818 70,25% 45.508 48,00% 27.286.784
2006 141.326 42.383 98.944 70,01% 46.057 46,55% 27.776.133
2007 149.793 44.794 104.999 70,10% 48.262 45,96% 28.888.067
2008 154.964 46.034 108.930 70,29% 47.150 43,28% 27.318.619
2009 170.411 49.938 120.473 70,70% 58.534 48,59% 29.240.271
2010 177.482 52.627 124.855 70,35% 55.818 44,71% 30.461.121

Sumber: Depkop dan UKM, diolah penulis

Berdasarkan data resmi dari Departemen Koperasi dan UKM sampai pada akhir 2010 menunjukkan bahwa terdapat peningkatan signifikan dari akhir tahun 1998 dimana masa tersebut merupakan masa-masa terjadinya krisis ekonomi sampai pada tahun 2000. Peningkatan yang terjadipun hampir dua kali lipat dari jumlah total koperasi. Menurut Soetrisno (2003), pada dasarnya tanggapan terhadap dibukanya secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres 18/1998, sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan hingga 2001 sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi.

Namun, perkembangan yang terjadi setelah ini cukup memprihatinkan meskipun setiap tahun jumlah koperasi di Indonesia mengalami pertumbuhan. Kondisi prihatin tersebut dapat dilihat dari menurunnya persentasi koperasi aktif dari tahun ke tahun sampai pada akhirnya mengalami peningkatan kecil di tahun 2009 yaitu dari 70,29% menjadi 70,70% untuk kemudian pada akhir tahun 2010 kembali mengalami penurunan ke titik 70,35%. Dan dari jumlah koperasi yang aktif tersebut tidak sampai 50% yang menjalankan Rapat Tahunan Anggota (RAT). Situasi ini menunjukkan kurangnya keseriusan di dalam mengembangkan usaha koperasi karena di dalam RAT dapat dijelaskan mengenai kemampuan dan kelemahan serta strategi pengembangan koperasi ke depannya yang perlu untuk disesuaikan dan disamakan pada semua anggota. Ditambah lagi jumlah anggota koperasi yang kurang menunjukkan peningkatan signifikan dari tahun 2000 sebesar 27.295.893 dan di tahun 2010 sebesar 30.461.121. Padahal bila dapat disosialisasikan dengan baik maka dengan peningkatan anggota koperasi tentu saja akan meningkatkan perekonomian nasional.

Sejalan dengan ketidakseriusan tersebut, penurunan persentasi koperasi aktif ini menunjukkan kurangnya peran pemerintah dalam menjalankan perannya sebagai pembina koperasi. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak menunjukkan dukungan terhadap pengembangan koperasi rakyat. Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), Adi Susono yang diberitakan di Kompas pada 31 Mei 2007 menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah menyebabkan koperasi pasar tradisional semakin tersingkir oleh pasar modern. Selain itu, lebih lanjut Adi Susono menjelaskan bahwa perbankan juga kerap tidak berpihak pada koperasi kecil sehingga koperasi kecil sulit mendapatkan pinjaman modal untuk pengembangan usaha. Ini sangatlah kontras bila pada awal dijelaskan mengenai peran koperasi sebagai soko guru perekonomian Indonesia.

Tabel 2: Perkembangan Usaha Koperasi 2000 – 2010

Periode(Tahun) Modal Sendiri(Rp Juta) Modal Luar(Rp Juta) Rasio Modal dalam dan Modal luar Volume Usaha (Rp Juta) % Perkembangan Volume Usaha SHU (Rp Juta) % SHU terhadap Volume Usaha
2000 6.816.950,25 12.473.404,16

54,65%

23.122.224,23 .. 694.502 3,00%
2001 11.699.952 16.322.599,10

71,68%

38.730.174,95 67,50% 3.134.446,41 8,09%
2002 8.568.530,3 14.773.180,65

58,00%

28.415.411,31 -26,63% 988.516,72 3,48%
2003 9.419.987,16 14.939.422,15

63,05%

31.683.699,39 11,50% 1.871.926,70 5,91%
2004 11.989.451,5 16.897.052,35

70,96%

37.649.091,04 18,83% 2.164.234,54 5,75%
2005 14.836.208,06 18.179.195,39

81,61%

40.831.693,56 8,45% 2.198.320,31 5,38%
2006 16.790.860,53 22.062.212

76,11%

62.718.499,78 53,60% 3.216.817,65 5,13%
2007 20.231.699,45 23.324.032,14

86,74%

63.080.595,81 0,58% 3.470.459,45 5,50%
2008 22.560.380,03 27.271.935,23

82,72%

68.446.249,39 8,51% 3.964.818,55 5,79%
2009 28.348.727,78 31.503.882,17

89,98%

82.098.587,19 19,95% 5.303.813,94 6,46%
2010 30.102.013,90 34.686.712,67

86,78%

76.822.082,4 -6,43% 5.622.164,24 7,32%

Sumber: Depkop dan UKM, diolah penulis

Penggunaan modal dari koperasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu: modal sendiri dan modal luar. Dari tahun 2000 ke tahun 2010 dapat terlihat peningkatan penggunaan modal sendiri dibandingkan modal luar yaitu dari rasio modal dalam dan modal luar tahun 2000 sebesar 54,65% menjadi 86,78% pada tahun 2010. Di satu sisi, ini dapat dipandang sebagai semakin matangnya manajemen serta anggota koperasi sehingga memiliki modal di dalam pengembangan koperasi. Namun, di sisi lain, dapat menimbulkan persepsi bahwa koperasi semakin sulit di dalam memperoleh modal luar di dalam membiayai koperasi. Dengan adanya kedua sisi ini maka perlu dilakukan peninjauan mendalam mengenai alternatif pembiayaan dari koperasi.

Salah satu indikator umum pengukuran kinerja koperasi yaitu perkembangan volume usaha dan Sisa Hasil Usaha (SHU). Seperti halnya profit perusahaan, SHU sangat dipengaruhi oleh sisi permintaan (harga dan volume penjualan efektif) dan penawaran (biaya produksi). Dari persentasi SHU terhadap volume usaha menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun sejak tahun 2002 meskipun peningkatan belum sepenuhnya stabil dan pada tahun 2010 mencapai nilai 7,32%. Hal ini mencerminkan peningkatan tingkat efisiensi yang berbanding lurus dengan tingkat produktivitas di koperasi. Namun, dari persentasi perkembangan volume usaha dapat terlihat kurang stabilnya perkembangan dari volume usaha koperasi ataupun lebih parahnya menjadi kemunduran. Ini dapat terlihat dari penurunan volume usaha pada tahun 2002 sebesar -26,63% dan meskipun tidak sebesar pada tahun 2010 namun kemunduran ini terulang lagi pada tahun 2010 yaitu sebesar -6,43%.

Selain itu, terdapat perbedaan pemerataan koperasi aktif di setiap provinsi di Indonesia berdasarkan data Depkop dan UKM tahun 2011. Terdapat provinsi dengan tingkat koperasi aktif yang tinggi dan di lain pihak terdapat tingkat koperasi aktif yang rendah. Pembahasan ini dapat dilihat dari teori ilmu ekonomi. Secara teori dalam ilmu ekonomi, korelasi antara koperasi aktif dan kondisi ekonomi atau pendapatan per kapita dapat berpengaruh positif ataupun negatif.

Dari sisi permintaan (pasar output), dalam kondisi ceteris paribus maka pendapatan per kapita yang tinggi membuat prospek pasar output baik (kondisi booming), memberi suatu insentif bagi perkembangan aktivitas koperasi karena pelaku-pelaku koperasi dapat melihat peluang besar dimana pasar sedang berkembang, sering disebut sebagai efek demand-pull. Di sisi berseberangan yaitu dari sisi penawaran (pasar output), bila dilihat dari sisi masyarakat dengan ekonomi lemah (petani dan produsen), pendapatan per kapita yang tinggi menciptakan disinsentif bagi para petani atau produsen untuk membentuk koperasi karena mereka merasa telah memperoleh kehidupan yang mereka inginkan atau disebut efek supply-push.

Fenomena supply-push menjelaskan bahwa petani dan produsen yang berada di daerah/provinsi dengan tingkat pendapatan per kapita yang cenderung rendah lebih berpotensi untuk membentuk koperasi dikarenakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi mereka untuk bekerja secara individu. Dengan membentuk koperasi maka mereka dapat memperoleh lebih banyak keuntungan untuk dapat bersaing dengan perusahaan besar baik dalam keunggulan harga ataupun penguasaan pangsa pasar.

Berdasarkan penelitian Tulus Tambunan (2008) dapat terlihat korelasi yang kuat antara koperasi aktif dan tingkat pengangguran di setiap provinsi di Indonesia. Ini dibuktikan dari data tahun 2006 dimana tingkat pengangguran tertinggi di Jawa Barat (22,86%) dan jumlah koperasi aktif juga paling banyak (masing-masing 14.211 dan 20.562 unit). Sedangkan tingkat pengangguran terendah di Bangka Belitung (0,25%) dan jumlah koperasi aktif terkecil (473 unit). Terlihat indikasi fenomena supply-push didalam melihat hubungan koperasi aktif disetiap provinsi yang berbeda-beda.

 

Perjalanan Koperasi Indonesia di Masa Mendatang

Perjalanan koperasi di masa mendatang tentu saja tidak mudah, masih banyak hambatan-hambatan yang akan menghalangi. Namun setiap hambatan janganlah dijadikan penghambat yang dapat mematikan langkah tetapi dapat dijadikan peluang untuk menjadikan koperasi lebih baik lagi di masa mendatang. Sebelum pembahasan mengenai strategi-strategi yang dapat diterapkan oleh koperasi maka perlu dilakukan analisis SWOT (kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan ancaman) terlebih dahulu.

Berdasarkan penelitian Widiyanto (1996, 1998) berhasil mengiventarisasi kekuatan dan kelemahan faktor-faktor internal koperasi yaitu sebagai berikut:

Tabel 3: Inventarisasi Kekuatan dan Kelemahan Faktor-Faktor Internal Koperasi

No.

Faktor

Kekuatan

Kelemahan

Netral

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Captive marketLoyalitas

Mentalitas

Legalitas

Personalia

Dominasi kekuasaan

Konflik misi

Rantai distribusi

Administrasi

X

X

X

X

X

X

X

X

X

Sumber: penelitian Widiyanto (1996, 1998)

Disimpulkan oleh Widiyanto (1996) bahwa tidak banyak koperasi yang memiliki keunggulan bersaing, dan memaparkan bahwa posisi koperasi cenderung pada posisi “dapat bertahan” ke “lemah”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor internal dari koperasi sangat lemah padahal koperasi merupakan usaha yang mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah.

Bila dilihat dari kondisi tersebut maka untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan koperasi menjadi lebih baik diperlukan perhatian lebih terhadap koperasi, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, pemerintah dalam hal ini Departemen Koperasi dan UKM perlu memiliki database yang lengkap mengenai koperasi secara spesifik serta keunggulan kompetitif dan kelemahan dari setiap koperasi, sosialisasi koperasi secara tepat dan berkala akan koperasi ke berbagai pelosok provinsi oleh pemerintah ataupun lembaga terkait untuk meningkatkan kesadaran untuk berkoperasi. Selain itu, juga turut berperan aktif dalam mendukung manajemen koperasi baik dalam kebutuhan, penganggaran, implementasi, dan evaluasi dana koperasi. Lebih lanjut, diperlukan capacity building dalam koperasi yaitu peningkatan sumberdaya manusia untuk dapat menjawab tantangan globalisasi.

Secara eksternal, kemampuan menetapkan harga dan struktur pasar perlu menjadi prioritas pembelajaran bagi koperasi. Di dalam memperoleh keunggulan dan dapat bertahan dalam jangka panjang maka penentuan harga serta pemilihan struktur pasar yang tepat perlu diperhatikan karena akan berdampak pada kualitas dan efisiensi. Selain itu, koperasi dapat lebih aktif di dalam menganalisis strategi yang digunakan badan usaha non-koperasi yang sekiranya dapat diterapkan, seperti: akuisisi, Joint Venture, dan bentuk-bentuk kerjasama lainnya untuk meningkatkan diversifikasi produksi, spesialisasi, serta penerapan teknologi infomasi yang lebih modern dan inovatif. Peran pemerintah lebih spesifik Departemen Koperasi dan UKM diperlukan di dalam pembinaan, baik secara internal maupun eksternal, dan pembinaan ini diharapkan dapat berjalan sistematis dan berkesinambungan sehingga dapat memperoleh hasil seoptimal mungkin.

Keberhasilan koperasi bukanlah semata-mata peran pelaku koperasi dan pemerintah saja tetapi peran keseluruhan masyarakat untuk dapat menjadikan lingkungan yang kondusif untuk koperasi dapat hidup dan berkembang dengan sehat. Oleh karena itu, setiap lapisan masyarakat beserta keseluruhan aparat pemerintah perlu untuk senantiasa bergandengan tangan di dalam menghidupkan kembali dan menyuburkan koperasi Indonesia. Bukanlah mustahil koperasi dapat kembali merasakan masa kejayaannya seperti dahulu atau bahkan lebih.

Menggagas Koperasi Modern Berbasis Ideologi Pancasila dan Prinsip-prinsip Akuntansi

Darwis Said

Dosen Fakultas Ekonomi

Universitas Hasanuddin, Makassar

Pengantar

Cita-cita kemerdekaan Indonesia tidak hanya untuk memperjuangkan kedaulatan bangsa secara politik, tetapi juga kedaulatan dan kemandirian secara ekonomi.  Cita-cita kemerdekaan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur (mandiri secara ekonomi) hanya dapat diwujudkan jika seluruh potensi dan sumber daya bangsa dikelola secara bersinergi melalui pengembangan dan pengintegrasian seluruh instrumen dan kebijakan politik-ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan bersama.

Pada dasarnya, lembaga bisnis (korporasi) dibangun dengan maksud untuk menciptakan kesejahteraan (welfare) masyarakat melalui penciptaan dan distribusi barang dan jasa. Ia kemudian berkembang menjadi institusi yang mengakomodasi kepentingan masyarakat, dan sekaligus mengarahkan tindakan orang-orang yang ada di dalamnya bahkan orang-orang yang ada di luarnya.  Korporasi diakui sebagai salah satu hasil peradaban manusia modern yang paling menakjubkan. Dapat dibayangkan lebih dari 90% kebutuhan masyarakat modern dihasilkan atau disuplai oleh perusahaan. Dan tidak hanya disuplai tetapi juga diarahkan dan ditentukan oleh institusi tersebut.

Namun dalam perkembangannya, terutama ketika korporasi dijalankan berdasarkan mekanisme pasar dan persaingan berbasis pada kekuatan modal, maka lambat laun peran korporasi sebagai pencipta welfare mengalami pergeseran. Hal ini antara lain disebabkan oleh karena korporasi yang dikelola berdasarkan kekuatan modal dan mekanisme pasar semata cenderung hanya menciptakan barang dan jasa yang diinginkan dan demi kepentingan produsen, bukan oleh konsumen, diproduksi dengan sistem padat modal bukan padat karya.

Karakter korporasi seperti di atas dipandang tidak sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi dan karakter bangsa Indonesia, baik secara kultural maupun dari aspek regulasi, dan telah bergeser dari cita-cita demokrasi bangsa, terutama masalah pemerataan dan kedaulatan ekonomi. Oleh karena itu, diperlukan konsep dan tata kelola perekonomian yang lebih sesuai dengan karakter keindonesiaan, yang berorientasi pada penciptaan keadilan ekonomi dan sosial. Koperasi dianggap sebagai bentuk lembaga perekonomian yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Secara geo-kultural, koperasi dianggap sesuai karena mengandung nilai dan prinsip gotong-royong; sifat altruistik; solidaritas; mengajarkan tanggung jawab; menjunjung persamaan, keadilan, dan kesetiakawanan sosial, serta nilai-nilai etis lainnya.

Secara geografis, dimana negara kesatuan yang berkarakter archipelago mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia sangat pluralis secara sosial-ekonomi. Bentuk koperasi juga memungkinkan untuk membangun persamaan-persamaan kepentingan dan solidaritas anggota yang tentunya akan bermuara pada persamaan dan solidaritas bangsa, yang pada akhirnya akan menghilangkan jarak yang terbentuk oleh lautan dan gugusan nusantara. Dengan demikian, aktivitas dan sistem perekonomian, selain mampu mencapai kesejahteraan dan kemandirian ekonomi bangsa juga dapat berperan dalam menciptakan tatanan politik dan masyarakat yang lebih baik.

Oleh karena itu, gagasan utama tulisan ini adalah bagaimana membangun koperasi yang berkarakter ideologi Pancasila, pelibatan institusi negara seperti BUMN/D, BULOG dan lainnya, penerapan prinsip-prinsip bisnis dan akuntansi modern, serta penciptaan komoditas berbasis kebutuhan dasar (basic needs) yang mampu merambah pasar Internasional.

 

 

Relevansi Ideologi Pancasila dalam Membangun Koperasi yang Unggul

Prinsip kedua dari Pancasila mencerminkan kesadaran bangsa Indonesia sebagai bagian dari [kesadaran] kemanusiaan universal (Yudi Latif, 2011: 237). Kesadaran kemanusiaan merupakan modal ideologis dan kultural yang memungkinkan seseorang dan masyarakat dalam membangun suatu tatanan kebangsaan dan tatanan ekonomi yang berorientasi pada upaya untuk menciptakan kesejahteraan (welfare) bersama, bukan kesejahteraan atau kepentingan individu. Dalam konteks ekonomi, kesadaran seperti ini akan memungkinkan suatu bangsa untuk membangun sistem ekonomi yang lebih mengutamakan sistem kerja sama dan pencapaian tujuan (kesejahteraan) bersama pula.

Komitmen kemanusiaan, persatuan, dan keadilan sosial akan memberikan maknanya yang agung jika hal itu diimplementasikan dalam seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, baik dalam bidang hukum, politik, dan juga dalam bidang ekonomi. Sebaliknya dimensi dan aktivitas ekonomi sejatinya harus mampu menumbuhkan kesadaran sebagai suatu bangsa yang mandiri, berkarakter, dan berwibawa. Aktivitas dan sistem ekonomi hendaknya dibangun dalam konteks sebagai kepentingan suatu bangsa, meretas kebersamaan dan persatuan sehingga mampu mewujudkan bangsa yang tidak hanya maju di bidang teknologi dan ekonomi saja, tetapi juga bangsa dan masyarakat yang berkarakter serta memiliki tatanan sosial yang tangguh dan unggul.

Kita memerlukan pengerahan potensi, kemauan dan upaya yang luar biasa untuk menyatukan keragaman dan luasnya teritorial serta kebhinekaan sosio-kultural bangsa Indonesia. Salah satu yang paling ‘seksi’ dan memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi adalah bidang ekonomi. Sistem dan aktivitas ekonomi memerlukan desain yang memungkinkan terbentuknya komitmen kebangsaan, persatuan, kepedulian, serta pembangunan karakter. Koperasi yang merefleksikan ideologi Pancasila adalah salah satu bentuk tepat dan ideal bagi sistem perekonomian bangsa Indonesia.  Ia merupakan sistem ekonomi yang sesuai dengan cita-cita dan karakter bangsa Indonesia.

Sistem koperasi yang berbasis pada ideologi Pancasila memberi ruang bagi semua strata ekonomi masyarakat untuk terlibat dan dilibatkan dalam kegiatan ekonomi. Koperasi juga memberi ruang dalam pembelajaran demokrasi, implementasi prinsip-prinsip gotong-royong, keterbukaan, tanggung jawab dan kebersamaan yang juga dapat menjadi modal dasar bagi pembangunan ekonomi yang mandiri.  Dengan demikian, akan memberi ruang dan kesempatan pula bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi, ruang dan kesempatan untuk menata persatuan dan solidaritas bangsa.

 

Memfungsikan Institusi Negara dalam Memperkuat Sendi-sendi Ekonomi Koperasi

Untuk membangun koperasi sebagai lembaga bisnis yang kompetitif, maka diperlukan komitmen bersama dalam konteks kebangsaan, diperlukan nilai-nilai dasar sebagai spirit bersama dalam mencapai tujuan bersama suatu bangsa, bukan hanya sekedar mencapai tujuan individu. Nilai-nilai Pancasila sebagai wujud karakter ke-Indonesiaan perlu digali dan dioptimalkan dalam mewarnai karakter pengelolaan perekonomian/perkoperasian di Indonesia. Kita membutuhkan values sebagai pegangan dan penegasan bersama bahwa orientasi ekonomi kita bukan utilitarianisme, melainkan untuk kesejahteraan bersama dan bagi kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini sejalan dengan gagasan yang dikemukakan oleh Soekarno: “Prinsip No. 4  sekarang saya usulkan…yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka” (Soekarno, 1 Juni 1945) dalam Yudi Latif (2011: 491).

Untuk membangun koperasi sebagai lembaga bisnis yang unggul dan kompetitif, maka perlu dibangun di atas landasan ideologis yang kokoh dan berbasis pada manajemen modern. Landasan ideologi dibutuhkan agar sistem perekonomian tidak menggeser paradigma dan komitmen bernegara, solidaritas berbangsa, serta tetap mempertahankan perekonomian dan tata kelola yang menjunjung karakter dan nilai-nilai etis.

Penerapan manajemen modern menjadi suatu keniscayaan bagi semua lembaga bisnis termasuk koperasi. Kata kunci keberhasilan suatu usaha adalah efisiensi dan efektivitas. Perusahaan harus mampu menganalisis aspek-aspek kekuatan, kelemahan serta peluang dan tantangan. Selanjutnya harus mampu pula memanfaatkan kekuatan menjadi keuntungan dan mengubah kelemahan menjadi kekuatan. Perusahaan harus mampu memanfaatkan peluang menjadi pendapatan dan mengubah tantangan menjadi peluang-peluang bisnis.

Kekuatan yang telah dimiliki atau melekat pada koperasi antara lain karena sifatnya yang terbuka, demokratis, berbasis masyarakat (sumber daya dan ketersediaan pasokan), gotong-royong, sejalan dengan karakter dasar bangsa Indonesia, serta didukung oleh aturan perundang-undangan (UUD 1945 Pasal 33). Karena koperasi berbasis pada keanggotaan, maka peluang pasar menjadi salah satu jaminan pasti bagi ke ketersediaan pasokan untuk keberlanjutan usahanya.

Namun demikian, tantangan yang dihadapi juga juga tidak ringan. Ia dihadapkan pada derasnya arus globalisasi yang diikuti oleh arus modal, barang dan jasa. Kemajuan teknologi, ketersediaan infrastruktur dan transportasi menyebabkan kuatnya penetrasi pasar dalam bentuk produk maupun perusahaan-perusahaan sebagai kompetitor yang tangguh. Keadaan ini pada gilirannya dapat mendorong dan menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan dan perilaku masyarakat. Masyarakat cenderung lebih percaya dan tertarik kepada produk-produk impor dan perusahaan-perusahaan asing.

Tekanan globalisasi dengan berbagai turunannya tersebut, sekali lagi dapat diatasi jika koperasi dan masyarakat dibangun di atas pondasi ideologis yang kuat. Kita memerlukan spirit dan komitmen kebangsaan, masyarakat yang memiliki sifat gotong-royong, solidaritas yang tinggi, sifat altruistik, dan bertanggung jawab. Tanpa pondasi seperti ini, maka kita akan mudah terseret pada godaan gelombang globalisasi yang diikuti oleh semakin maraknya prilaku utilitarian,  pola hidup individualistik, serta hilanganya kebanggaan terhadap karakter dan jati diri bangsa yang berdasarkan ideologi Pancasila.

Koperasi yang unggul dan kompetitif dapat dibangun atau dicapai dengan pola triangulasi pendekatan: pertama, pentingya penanaman karakter ideologi kebangsaan, baik terhadap aspek kelembagaan maupun terhadap aspek sosiologis (masyarakat pelaku). Kedua, pentingya optimalisasi peran institusi ekonomi negara dalam sistem dan struktur ekonomi. Ketiga, pentingya implementasi prinsip-prinsip akuntansi dan bisnis modern dalam manajemen koperasi. Akhirnya,  diperlukan upaya penciptaan komoditas yang berbasis pada kebutuhan dasar (basic needs), penciptaan nilai tambah, perwilayahan komoditas unggulan berdasarkan kebutuhan riil masyarakat dan karakter geografis.   Dan juga harus memperhatikan produk yang mampu merambah pasar domestik dan kawasan.

Sebagai wujud komitmen dan kesadaran tersebut, diperlukan fungsi dan optimalisasi institusi ekonomi negara seperti BUMN/D, BULOG, dan institusi relevan lainnya sebagai bagian integral (bukan hanya membantu) dari sistem perkoperasian Indonesia. Institusi tersebut dapat mengambil peranan dalam hal permodalan, manajemen, dan distribusi. Jika koperasi yang beranggotakan seluruh rakyat Indonesia menjadi satu rangkaian dari rantai kegiatan ekonomi yang dikelola oleh BUMN/D, maka tentu hsl ini menjadi suatu bentuk optimalisasi potensi dan resources bangsa, dan akan mendorong peningkatan profitabilitas.

Beberapa persoalan yang dihadapi koperasi selama ini antara lain adalah lemahnya manajemen tata kelola, permodalan serta distribusi dan pemasaran barang dan jasa yang dihasilkan. Persolan tersebut akan teratasi dengan sendirinya jika ada perbaikan struktur ekonomi nasional, yakni dengan pelibatan semua instrumen ekonomi negara menjadi bagian dari sistem perkoperasian kita. Kemudian optimalisasi peran ekonomi masyarakat (petani dan nelayan serta industri rumah tangga) sebagai pilar utama sistem koperasi Indonesia.

Dengan demikian, akan terbentuk koperasi modern yang berbasis ideologi, berbasis pada komunitas dan kekuatan sosial kemasyarakatan yang mampu menciptakan kesejahteraan bersama atas usaha bersama (common wealth community).  Kita juga dapat membayangkan terbentuknya model desa mandiri (yakni desa yang dikelola seperti perusahaan), dimana semua warga adalah karyawan dan pemiliknya.

 

Implementasi Prinsip-prinsip Akuntansi dalam Manajemen Koperasi

Koperasi merupakan suatu lembaga bisnis yang unik.  Keunikan ini tergambar dari posisi koperasi sebagai institusi ekonomi yang dianggap paling tepat menerjemahkan konsep perekonomian Indonesia sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 (Pasal 33, Ayat 1). Ini juga merupakan bentuk identifikasi koperasi sebagai wujud sistem ekonomi kerakyatan yang memiliki spirit kebangsaan untuk menciptakan kesejahteraan bersama bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini juga merupakan penegasan bahwa sistem perekonomian yang ingin dikembangkan dan diyakini dapat menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia bukanlah sistem ekonomi liberal-kapitalis yang cenderung imperialis. Namun demikian, sebagai suatu lembaga bisnis yang harus bersaing dalam suatu mekanisme pasar, tetap harus menerapkan manajemen dan tata kelola yang memungkinkan untuk mampu beroperasi secara efisien dan efektif, serta mampu membaca peluang dan perubahan pasar. Tiga hal ini mutlak dimiliki suatu entitas bisnis sebagai syarat untuk tetap eksis dan sustainable.

Koperasi sebagai suatu unit bisnis perlu menerapkan prinsip-prinsip akuntansi, terutama dalam hal manajemen keuangan, akuntabilitas, dan sistem perencanaan dan pengendalian. Manajemen keuangan dan akuntabilitas dapat membantu dalam memberikan informasi keungan yang memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih akurat.   Dan yang tidak kalah pentingnya adalah akan membantu dalam meningkatkan tingkat kepercayaan anggota koperasi yang akan diikuti oleh kualitas dukungan dan loyalitas. Ingat anggota koperasi juga sekaligus sebagai pemasok dan konsumen.

Organisasi modern adalah organisasi yang berbasis pada perencanaan (planning). Perencanaan menjadi dasar (guidance) dalam menjalankan, mengarahkan dan mengendalikan suatu organisasi. Tanpa perencanaan, maka tidak ada pengendalian. Dan tanpa keduanya, maka tidak ada tujuan.  Dalam akuntansi, perencanaan dan pengendalian terutama diarahkan pada perencanaan laba (untuk koperasi tentunya SHU) yang meliputi aspek pendapatan (revenues), harga pokok (cost) dan beban (expenses).

Optimalisasi pendapatan (revenues) dan pengendalian biaya (cost) maupun beban (expenses) yang merupakan implementasi konsep efisiensi-efektivitas menjadi syarat mutlak dalam upaya untuk menciptakan unit bisnis yang unggul dan memiliki daya saing.  Jika hal ini dikembangkan lebih jauh, maka kita akan sampai pada konsep value chain activity, dimana suatu unit bisnis mengintegrasikan dan mensinergikan seluruh aktivitas yang terkait dalam proses penciptaan produk (baca: nilai). Seluruh proses diarahkan untuk mampu menciptakan nilai tambah.  Mulai dari riset dan desain produk, hubungan dengan pemasok, proses produksi, distribusi dan pemasaran, serta layanan pelanggan (customer service).

 

Penutup

Adalah sebuah ironi jika koperasi Indonesia berada di persimpangan jalan. Betapa tidak, lembaga ekonomi yang selalu didengung-dengungkan sebagai “soko guru perekonomian nasional” dan “diproklamirkan” sebagai yang paling sesuai dengan semangat UUD 1945 Pasal 33, justru tidak berdaya menghadapi bentuk perekonomian lain. Dan bahkan mungkin memang tidak diberdayakan oleh masyarakat dan pemerintah.

Permberdayaan kembali sistem perekonomian koperasi bukanlah suatu pilihan, melainkan sebagai suatu keniscayaan. Jika selama ini ada kelemahan, maka yang perlu dipikirkan adalah pembenahan manajemen dan pola baru pengelolaannya sehingga lebih mampu bersaing dan sesuai dengan perubahan kebutuhan dan lingkungan masyarakat. Pola yang penulis tawarkan untuk dikaji lebih dalam adalah koperasi yang berbasis pada ideologi Pancasila, pola integritas atau activity chain dengan institusi ekonomi negara seperti BUMN/D, BULOG dan isntitusi relevan lainnya, penerapan prinsip-prinsip akuntansi dan bisnis modern, serta pengembangan usaha yang berbasis pada penciptaan nilai tambah (value added), disparitas produk, dan perwilayahan komoditas unggulan.

Perekonomian dengan sistem koperasi sangatlah sesuai dengan spirit ideologi Pancasila, cocok pula dengan karakter sosial-ekonomi masyarakat Indonesia yang sangat pluralis-variatif. Oleh karena itu, jika sistem tersebut dapat dijalankan dengan baik, diyakini tidak hanya membangkitkan dan menumbuhkan perekonomian masyarakat secara keseluruhan, melainkan juga akan menumbuhkan kembali solidaritas bangsa dan akan menjadi perekat kebhinnekaan budaya dan ekonomi bangsa.

Mengurai Belenggu pada Koperasi

As’ad Nugroho

Peneliti pada Regulation and Bureaucracy Reform Center (RUBRIC),

Fellow pada Paramadina Graduate School of Business

as'ad

Kehidupan dan perjalanan bangsa Indonesia tidak bisa dipisahkan dari keberadaan dan peran koperasi. Sejak masa penjajahan Belanda, tepatnya pada 1896 sudah terdapat sebuah usaha simpan-pinjam yang berprinsip sebagai usaha koperasi. Usaha ini mampu menggalang partisipasi dan memenuhi kebutuhan masyarakat, utamanya petani, untuk mengembangkan usahanya. Koperasi inilah yang menjadi cikal-bakal Bank Rakyat Indonesia saat ini.

Sejak saat itu hingga awal kemerdekaan Republik Indonesia perkoperasian terus bergerak mendinamisasi perekonomian bangsa dengan segala pasang-surutnya. Muara dari dinamika awal perkoperasian di Indonesia tersebut adalah terjadi pada tanggal 12 Juli 1947 ketika dilaksanakan Kongres Koperasi pertama, yang kemudian dikenal sebagai Hari Koperasi di Indonesia.

Kehandalan koperasi sebagai sistem ekonomi, bersama pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) kembali teruji ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1998. Saat itu koperasi dan UMKM yang menjadi pelaku ekonomi non korporasi berhasil menjadi buffer ekonomi yang saat itu sedang kacau. Sifat informalitas dan kegotong-royongan koperasi dan UMKM menjadi salah satu kunci keberhasilannya meniti gelombang krisis ekonomi.

 

Potensi dan Hambatan

Berbagai keunggulan koperasi sehingga mampu menjadi salah satu sistem ekonomi alternatif di tengah derasnya perkembangan kapitalisme sebagai mainstream, diantaranya adalah sebagai berikut ini. Pertama, uniknya sifat keanggotaan dan kepemilikan pada koperasi. Keanggotaan yang dinamis dan demokratis ini tercermin dalam prinsip-prinsip koperasi sebagaimana yang dirumuskan oleh International Cooperative Organization. Prinsip-prinsip tersebut adalah: keanggotaan bersifat terbuka dan sukarela; pengelolaan secara demokratis; partisipasi anggota dalam ekonomi; kebebasan dan otonomi; serta mengembangkan pendidikan, pelatihan, dan informasi.

Kedua, pinsip pelayanan dari dan untuk anggota. Prinsip ini diterapkan sebagai perwujudan kedaulatan anggota dan untuk menunjukkan bahwa orientasi bisnis dalam koperasi adalah pelayanan dan kesejahteraan bersama, bukan semata mengejar keuntungan individu. Hal ini menjadi keunggulan koperasi dibandingkan dengan sistem bisnis biasa (kapitalisme). Stand point yang unik inilah yang sebenarnya bisa ditawarkan koperasi untuk menjadi sistem alternatif ekonomi berbasis keanggotaan/kerakyatan.

 

Namun demikian, koperasi pada saat ini juga tidak lepas dari berbagai persoalan yang pada gilirannya akan menghambat perkembangan dan signifikansi peran koperasi di Indonesia. Berbagai permasalahan perkoperasian di Indonesia saat ini diantaranya adalah, pertama, intervensi politik. Intervensi politik yang lazim ditemui adalah pemaksaan berbagai agenda politik tertentu baik dari pemerintah maupun kekuatan politik lain pada gerakan koperasi. Intervensi lainnya adalah koperasi digunakan sebagai kendaraan bagi individu atau kelompok tertentu demi meraih keuntungan politik.

Besarnya intervensi politik ini akan sangat berpotensi membuyarkan konsentrasi pencapaian visi-misi koperasi. Alih-alih akan bekerja untuk kepentingan dan kesejahteraan anggota, jika intervensi ini terlalu besar maka institusi koperasi akan lebih mengabdi untuk kepentingan politik tersebut. Hal ini dapat terjadi karena setiap kekuatan politik yang masuk biasanya akan membawa sejumlah amunisi yang besar dan bisa menyilaukan pegiat koperasi di dalamnya.

Kedua, inkonsistensi dalam penerapan prinsip koperasi. Hal ini tercermin, misalnya, dalam inkonsistensi penerapan prinsip pelayanan usaha koperasi dari anggota untuk anggota. Semestinya prinsip ini, yang menjadi salah satu unique value proposition koperasi terhadap sistem bisnis lain, dipegang dengan erat. Namun saat ini banyak dijumpai koperasi yang memberikan layanan pada non anggota. Bahkan diduga ada beberapa koperasi yang operasinya sudah cukup besar namun keanggotannya hanya dimiliki oleh segelintir orang saja.

Ketiga, rendahnya militansi anggota dalam menjalankan perannya di koperasi. Hal ini terjadi diantaranya karena rendahnya pengetahuan dan komitmen dalam berkoperasi. Implikasi yang ditimbulkan bisa tidak sepele, mulai dari tidak berjalannya program sebagaimana mestinya, hingga pada penggadaian dirinya untuk kepentingan politik sesaat.

 

Agenda Revitalisasi

Dari berbagai uraian di atas terlihat bahwa koperasi sebenarnya masih memiliki posisi strategis dan memiliki uniqueness sebagai sebuah penggerak roda ekonomi alternatif. Secara agak heroik gerakan ini bisa dikaitkan dan diberi label “kerakyatan”. Namun secara agak pragmatis juga bisa digunakan sebagai alat pemenuhan kesejahteraan bersama, yang saat ini sudah langka karena mainstreamnya sistem kapitalisme. Namun problem yang dihadapi juga begitu serius, yang terkadang terlihat sebagai sebuah tembok kuat yang tidak mudah diruntuhkan.

Oleh karena itu perlu ada upaya konkrit dan komprehensif untuk merevitalisasi peran koperasi sebagai penopang perekonomian bangsa. Beberapa poin yang bisa dijadikan catatan untuk revitalisasi tersebut adalah sebagai berikut ini. Pertama, membersihkan institusi koperasi dari kepentingan politik praktis. Masuknya berbagai kepentingan politik ini biasanya didasari atas lemahnya kekuatan sumberdaya internal koperasi, sementara berbagai kekuatan politik yang masuk biasanya membawa amunisi besar yang bisa menjadi shortcut untuk menjawab persoalan minimnya sumberdaya. Untuk menjawab tantangan ini maka perlu dibangun kekuatan internal anggota, sehingga koperasi bisa mandiri dan memiliki harga diri yang kuat.

Kedua, tumbuhkan militansi dan kebanggaan anggota pada koperasi. Meskipun koperasi biasanya digunakan sebagai alat pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan anggota, tapi perlu ditumbuhkan pula kesadaran bahwa untuk memenuhi kebutuhan tersebut bisa diraih dengan tetap memegang prinsip dan menjunjung nilai berkoperasi. Jika hal ini dapat dilakukan maka praktek berkoperasi secara benar dapat dilakukan, dan mencegah terjadinya praktek gadai-menggadai suara untuk kepentingan politik sesaat.

Ketiga, melakukan pendidikan perkoperasian secara benar dan terarah. Pendidikan berkoperasi ini perlu dilakukan ke dalam anggota agar nilai-nilai berkoperasi semakin terinternalisasi dalam diri anggota, juga kepada masyarakat umum sebagai ajang rekrutmen anggota. Agar proses pendidikan ini sempurna, maka yang mesti melakukan adalah para pengurus koperasi pada skala masing-masing. Proses ini tidak bisa disandarkan pada pihak luar, termasuk pemerintah.

Keempat, pembenahan manajemen usaha. Kesan bahwa koperasi lambat dan tidak profesional yang kadang menempel pada setiap usaha dan institusi koperasi, harus dihilangkan. Pengelolaan koperasi harus bisa mengadopsi teknik-teknik berorganisasi dan menjalankan bisnis secepat dan seprofesional organisasi bisnis modern lainnya. Hal ini bisa dilakukan dengan melibatkan berbagai perangkat keras, perangkat lunak atau bahkan tenaga profesional yang memadai.

Berbagai catatan untuk revitalisasi koperasi seperti tercantum di atas memang ada yang mudah dilakukan tapi ada juga yang terasa akan sulit diaplikasikan. Banyak kisah sukses, baik di dalam maupun di luar negeri, koperasi yang berhasil menjadi besar bahkan menjadi kekuatan ekonomi yang dapat menyejahterakan ratusan ribu anggotanya tanpa dukungan pihak lain. Semoga koperasi di Indonesia dapat memenuhi harapan mulia para pelopor koperasi terdahulu, yaitu koperasi sebagai soko guru perekonomian bangsa.

Pengaruh Penerapan Mata Uang Tunggal ASEAN terhadap Dunia Usaha : Sebuah Prediksi

 

 

Oleh: Ernie Tisnawati Sule

Guru Besar dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran

Karakteristik pertumbuhan ekonomi modern sangat berkaitan erat dengan peranan negara-negara maju, dimana timbul kecenderungan dari negara-negara kaya untuk terus melakukan ekspansi ekonomi ke negara-negara lain dalam rangka memperoleh sumber pasokan produk primer dan bahan baku, tenaga kerja yang murah dan lokasi pemasaran yang menguntungkan bagi produk-produk mereka. Ekspansi ekonomi ini tentunya berpengaruh besar terhadap terintegrasinya model-model perekonomian dunia dalam bentuk globalisasi ekonomi, yang berdampak pada peningkatan aktivitas transaksi barang dan modal antar negara, sehingga tidak ada lagi negara yang tidak mempunyai hubungan ekonomi dan keuangan dengan negara lainnya.

 

Globalisasi ekonomi telah merubah struktur perekonomian dunia secara fundamental. Demikian pula halnya dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Dewasa ini ASEAN tumbuh sebagai wadah integrasi ekonomi dengan pasar potensial, yang pengaruhnya berdampak pada peningkatan kerjasama ekonomi yang semakin luas terutama dengan negara-negara di kawasan Asia Timur seperti China, Jepang dan Korea Selatan.

 

Integrasi ekonomi ASEAN menghadapi tantangan besar karena negara-negara ASEAN memiliki sistem ekonomi, pendapatan per kapita, tingkat pembangunan ekonomi dan institusi serta kondisi sosial yang berbeda dan heterogen. Perbedaan dan heterogenitas menyebabkan beberapa negara yang tidak memiliki infrastruktur dan kapasitas institusional yang memadai mengalami kesulitan untuk berintegrasi dengan negara yang lain. Salah satu kondisi yang berbeda dan heterogen adalah mata uang. Implikasi dari hal ini adalah, munculah wacana pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang merupakan visi ASEAN 2020. MEA bertujuan untuk membentuk suatu pasar tunggal, yang diarahkan pada penerapan mata uang tunggal (single currency) yang bertujuan untuk menjaga stabilitas mata uang regional dalam pelaksanaan pasar tunggal di ASEAN, yang rencananya akan dimulai pada 2015.

 

Rencana munculnya mata uang tunggal tersebut tercetus dalam sebuah sebuah ASEAN Community yang sudah disepakati menjadi ASEAN vision 2020. ASEAN Community sendiri yang dimaksudkan akan dibangun berdasarkan tiga pilar, yakni ASEAN Security Community (ASC), ASEAN Economic Community (AEC) dan ASEAN Socio-Cultur Community (ASCC).

 

Integrasi ekonomi di sebuah kawasan pada dasarnya tidak perlu selalu berujung pada penerapan mata uang tunggal di kawasan yang bersangkutan. Harmonisasi kebijakan perdagangan dan koordinasi kebijakan perekonomian dalam sebuah kawasan dapat dilakukan tanpa hadirnya mata uang tunggal. Secara ideal, penerapan mata uang tunggal hanya akan menjadi relevan jika kawasan yang bersangkutan telah memenuhi syarat-syarat yang digariskan oleh teori kawasan mata uang tunggal optimum (optimum currency area/OCA); yang meliputi kecukupan prakondisi politik dan standard kriteria ekonomi tertentu, yang akan dibahas kemudian dalam tulisan ini.

 

Namun karena pentingnya kepastian nilai tukar dalam perekonomian global menyebabkan kebutuhan integrasi ekonomi tidak lagi hanya berupa integrasi perdagangan namun berkembang menjadi integrasi keuangan. Integrasi keuangan secara penuh terjadi pada saat masing-masing negara dalam kawasan tersebut telah menghadapi kebijakan yang sama dalam keuangan (single set of rules), di mana investor dan penerbit aset keuangan mempunyai akses yang sama terhadap pasar keuangan (equal access) dan diperlakukan secara sama (treated equally) ketika beroperasi di sektor keuangan (Baele et al. 2004).

 

Usulan mata uang tunggal ini sesungguhnya sangat menguntungkan para investor di negara kaya, yang cemas terhadap fluktuasi kurs tukar, namun negara berkembang yang tidak punya produk dan jasa unggulan, juga harus waspada tetap waspada dengan penerapan mata uang tunggal. Negara dengan produktivitas lemah akan selalu menjadi negara konsumen tanpa pernah bisa menjual barangnya akibat tingkat harga yang tinggi. Dengan adanya mata uang yang stabil, perekonomian para anggota ASEAN diharapkan akan menjadi lebih mapan, yang berarti dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi anggotanya.

 

Idealnya, penerapan mata uang tunggal hanya akan relevan jika kawasan yang bersangkutan telah memenuhi syarat-syarat yang digariskan oleh teori kawasan mata uang tunggal optimum (optimum currency area/OCA); yang meliputi kecukupan prakondisi politik dan standar kriteria ekonomi tertentu

 

Ada beberapa manfaat yang mungkin dapat diperoleh bagi negara-negara ASEAN, sehubungan dengan penerapan mata uang tunggal (single currency) di ASEAN, yang rencananya akan dimulai pada 2015, yaitu : Melalui penetapan mata uang tunggal, diharapkan agar anggota ASEAN dan SDM di dalamnya dapat lebih efektif dan efisien dalam meningkatan perekonomian anggotanya, yang indikasinya tercermin melalui (i) berkurangnya biaya transaksi perdagangan antar negara anggota melalui hilangnya ongkos transaksi mata uang dan risiko nilai tukar yang umumnya mengikuti proses pembayaran dalam transaksi perdagangan antar negara, (ii) meningkatnya transparansi harga dari sebuah produk yang dihasilkan oleh Negara-negara berbeda yang ada di kawasan mata uang tunggal yang bersangkutan.

 

Keuntungan lain yang juga diperoleh adalah berkurangnya ongkos pengelolaan kebijakan moneter dari negara-negara kawasan mata uang tunggal tersebut. Hal ini terkait dengan terrpusatnya pengelolaan kebijakan moneter untuk setiap negara anggota ASEAN. Di samping itu, penerapan mata uang tunggal juga memberikan kredibilitas dan disiplin pengelolaan kebijakan ekonomi makro bagi negara-negara anggotanya. Diharapkan agar proses penetapan sistem uang tunggal (single currency) tersebut, tidak merujuk pada Uni Eropa sebagai acuan rencana, karena diketahui bahwa struktur ekonomi, politik, dan sosial negara-negara anggota ASEAN tidak sama dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN.

 

Acuan dari sistem ini lebih kepada penguatan pasar bersama bagi ASEAN ataupun menjadikan ASEAN sebagai basis produksi untuk berbagai industri.

 

Terkait dengan pemberlakuan sistem uang tunggal (single currency) di negara-negara ASEAN, maka  terdapat dua syarat berlakunya mata uang tunggal, : Pertama, sistem ekonominya sejenis dan kedua tingkat perkembangan ekonominya tidak boleh terlalu jauh. Untuk kasus ASEAN, Negara Singapore agak sulit bergabung pada satu mata uang tunggal ASEAN, mengingat tingkat perekonomian Negara Singapore sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lainnya di ASEAN. Income per capita Jepang dan Indonesia terlalu berbeda. Demikian juga negara-negara ASEAN dan Singapore (Singapore income per capitanya sudah tinggi).

 

Dari sisi kriteria ekonomi, hambatan utama diterapkannya mata uang tunggal di ASEAN muncul dari tingkat pembangunan ekonomi negara-negara ASEAN yang cenderung tidak seragam. Hambatan yang lebih besar muncul dari sisi pra-kondisi politik yang berkaitan dengan kesiapan negara-negara anggota ASEAN untuk membentuk sebuah institusi trans-nasional yang memiliki kredibilitas cukup untuk mendukung komitmen negara-negara anggota dalam mempertahankan keberadaan mata uang tunggal. Kedua, upaya untuk membentuk kawasan mata uang tunggal di ASEAN juga perlu didukung oleh persyaratan-persyaratan yang mengikat bagi anggotanya untuk bekerja sama secara transparan dalam pertukaran informasi tentang perkembangan ekonominya masing-masing.

 

Apabila ASEAN telah menetapakan sistem mata uang tunggal, hal ini mengindikasikan bahwa ASEAN telah menetapakan sistem moneter tunggal. Yang merupakan bentuk kerjasama regional yang paling tinggi tingkatannya. Hal ini menjelaskan bahwa ASEAN telah berhasil melaksanakan kerjasama-kerjasama lainnya dengan sukses seperti Free Trade Zone, bebas visa dan fiskal untuk perpindahan penduduk antar negara.

 

Semua anggota ASEAN hendaknya memfokuskan pada usaha untuk menjamin stabilitas financial, memperkuat pembangunan infrastruktur regional dan konektivitas, mempromosikan pembangunan berkelanjutan, dan memperkecil kesenjangan pembangunan. Yang tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan solidaritas komunitas antar masyarakat sekarang.

 

Berdasarkan fakta dan data yang diberikan, ASEAN tentunya tidak akan memakai mata uang tunggal dan sistem moneter tunggal untuk beberapa dekade ke depan. Walaupun sebagian pra-kondisi ekonomi untuk pembentukan kawasan mata uang tunggal telah secara berlanjut makin terpenuhi, disparitas tingkat pembangunan ekonomi negara-negara anggota ASEAN sendiri nampaknya masih akan tetap muncul sebagai hambatan. Jika hal ini tetap dipaksakan, maka akan berdampak buruk bagi masing-masing anggotanya, antara lain trafficking akan semakin berkembang pesat antar negara anggota ASEAN.

 

Untuk itulah, sebelum memikirkan bagaimana kita membentuk unifikasi antar anggota ASEAN, maka perlu dilakukan pembenahan ke dalam bagi masing-masing anggota ASEAN. Memperkuat sektor ekonomi domestik, jangan terlalu bergantung kepada pihak luar. Apabila negara-negara ASEAN tersebut sudah cukup mapan, baru kemudian ASEAN dapat membicarakan tentang unifikasi ASEAN, terutama penggunaan mata uang tunggal dan sistem moneter tunggal untuk ASEAN, yang tentunya harus memberikan dampak positif terhadap perkembangan dunia usaha di kawasan Asia Tenggara.